BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio-ekologi Rusa Timor Rusa termasuk satwa ruminansia dari bangsa artiodactyla, suku cervidae yang memiliki 17 marga, 42 jenis dan 196 anak jenis. Rusa menyebar hampir di seluruh dunia, kecuali bagian sahara (Afrika), Antartika dan Pasifik. Secara umum rusa dicirikan dengan tubuhnya ditutupi rambut sama dengan mamalia umumnya, jumlah jari yang genap, empat buah jari pada setiap kakinya; dua jari berada agak di atas dan mengecil sehingga tidak mencapai tanah, sedangkan dua jari lainnya menopang pada tanah (Semiadi 2006). Di Indonesia semua jenis rusa (rusa timor, rusa sambar, rusa bawean, dan muntjak) termasuk dalam kategori sebagai satwa langka dan dilindungi undangundang. Rusa timor merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi dan status konservasi dalam IUCN termasuk dalam Red List, rusa timor digolongkan ke dalam “Vulnerable” yaitu dalam kondisi rentan dari kepunahan dan termasuk jenis satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999. Rusa timor terdiri dari delapan sub-spesies dan menyebar di seluruh wilayah nusantara, rusa sambar terdiri dari dua sub-spesies menyebar di Sumatera dan Kalimantan, rusa bawean hanya terdiri dari satu jenis dan endemik di Pulau Bawean, sedangkan Muntjak atau kijang terdiri dari satu jenis dan terdapat di Pulau Jawa (Masy’ud et al. 2003). Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville 1822) merupakan salah satu rusa asli Indonesia. Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976); Reyes (2002); Semiadi dan Nugraha (2004) memiliki ciri-ciri rambut berwarna coklat kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna coklat, mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, dan gigi seri relatif besar. Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping, panjang, dan bercabang. Cabang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang dari cabang depan kedua, cabang belakang kedua
5
kiri dan kanan terlihat sejajar (Gambar 1). Sedangkan taksonomi rusa timor dapat diuraikan sebagai berikut : Phyllum
: Vertebrata
Sub phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Ordo
: Artiodactyla
Familia
: Cervidae
Genus
: Rusa
Species
: Rusa timorensis de Blainville 1822 (IUCN, 2008)
Gambar 1 Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville 1822). Menurut Whitehead (1993) diacu dalam Semiadi (2006), rusa timor pernah dilepaskan di daerah Banjarmasin pada tahun 1680 dan berkembang dengan baik. Selain itu pelepasan secara tidak sengaja di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur). Tahun 1855, rusa timor dari daerah Pulau Seram pernah didatangkan ke Kepulauan Aru (Nootebom 1996 diacu dalam Semiadi 2006). Rusa timor juga pernah dilepaskan di Taman Nasional Wasur dan populasinya berkembang baik serta status perlindungannya dicabut sehingga masyarakat diizinkan berburu (Semiadi 2006), akan tetapi populasi rusa timor saat ini semakin berkurang dan menurun. Melihat kondisi seperti ini, Taman Nasional Wasur mempunyai kebijakan untuk tetap mengizinkan dan memperbolehkan masyarakat berburu rusa timor dengan syarat menggunakan alat buru tradisional. Selain di Indonesia, rusa timor juga menyebar di Afrika, Australia, Pasifik, Papua New Guinea dan Selandia Baru.
6
Menurut Semiadi (2006) dan Wiyanto (2011), rusa timor memiliki habitat asli berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savana. Adanya lingkungan yang ternaungi merupakan hal yang paling dibutuhkan oleh rusa karena sebagai tempat berteduh dan untuk menghindar dari gangguan insekta (pada jantan yang sedang mengelupas kulit velvetnya) serta sebagai tempat bersembunyi. Menurut Semiadi (2006) bahwa rusa timor mempunyai habitat utama berupa savana dan di daerah hutan terbuka. Padang rumput dan daerahdaerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang disukai oleh rusa timor adalah semak-semak yang didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Wiyanto (2011) menyebutkan bahwa dalam hal pemilihan pakan, rusa lebih menyukai hijauan berdaun lunak dan basah serta bagian yang muda seperti dari jenis leguminosa atau kacang-kacangan dan rumput-rumputan. Di daerah lain yang menjadi habitat rusa timor, seperti di Papua diantara spesies tumbuhan yang terdapat di dataran tinggi Kebar, terdapat empat (4) jenis leguminosa yang paling disukai oleh rusa, yaitu Themeda arguens, Melinis minutiflora, Cyperus rotundus dan Imperata cylindrica (Pattiselanno et al. 2009). Menurut Semiadi (2006), berdasarkan pemilihan pakan, rusa timor termasuk ke dalam grazer (pemakan rerumputan). Aktivitas mencari pakan pada satwa ruminansia (foraging) dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu merumput (grazing), ruminasi (ruminating) dan istirahat (resting).
Dalam
mencari pakan, rusa tropis dikenal paling aktif di malam hari atau yang disebut nocturnal (Semiadi 2006), sedangkan rusa yang ditangkarkan cenderung meluangkan waktunya lebih banyak untuk istirahat, ruminasi dan berjalan dibandingkan dengan makan dan minum. Menurut Takandjandji dan Garsetiasih (2002), pakan yang diberikan pada rusa timor di penangkaran di Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari rumput, legum dan makanan penguat berupa dedak padi. Jenis hijauan pakan tersebut adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), king grass (Pennisetum purpuphoides), turi (Sesbania grandiflora), lamtoro (Leucaena leucocephalla),
7
beringin (Ficus benjamina), kabesak (Acacia leucophloea), name (Pipturus argenteus) dan busi (Melochia umbellata). Pemberian pakan didasarkan pada bobot badan rusa yakni 10% x berat badan x 2. Maksud dikalikan dua adalah memperhitungkan jumlah hijauan yang tidak dimakan karena pakan telah tua, tidak disukai, kotor dan terinjak-injak, serta telah bercampur dengan faeces (kotoran) dan urine (air kencing). Sebagai perangsang nafsu makan dan untuk memenuhi kebutuhan mineral, pemberian pakan rusa di penangkaran selalu disertai dengan pemberian garam. Hasil penelitian Takandjandji (2009) menyebutkan bahwa jenis hijauan yang diberikan pada rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga adalah bayondah (Isachne globosa), aawian (Panicum montanum Roxb), kipait (Axonopus compressus Beauv), lameta (Leersia hexandra Swartz), kolonjono (Hierochloe horsfieldii Maxim), dan gewor (Comellina nudiflora L.).
Adapun pakan rusa timor di penangkaran, Hutan
Penelitian Dramaga, Bogor, yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum), kaliandra (Calliandra callothyrsus) (Gambar 2) dan berbagai jenis rumput lainnya.
(a) (b) Gambar 2 Pakan rusa timor. (a) Rumput gajah (Pennisetum purpureum); (b) Kaliandra (Calliandra calllothyrsus). 2.2 Perilaku Rusa Perilaku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme (Timbergen 1979) yang merupakan suatu gerakan atau perubahan gerak termasuk perubahan dari bergerak ke tidak bergerak sama sekali. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, satwaliar melakukan kegiatan-kegiatan agresif, persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makan, pelindung, pasangan untuk kawin, dan reproduksi.
Perilaku timbul karena adanya
8
rangsangan dari dalam tubuh satwa atau dari lingkungan dan perilaku berfungsi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978). Setiap satwa dilahirkan dengan berbagai pola perilaku yang sudah sempurna tetapi sebagian pola perilaku berkembang di bawah pengaruh rangsangan lingkungan atau karena proses belajar. Menurut Dradjat (2002), pertumbuhan ranggah berhubungan dengan siklus reproduksi dan ranggah juga berkaitan dengan perilaku seksual, sedangkan Takandjandji dan Handoko (2005) mengatakan, ranggah dan musim kawin pada rusa timor jantan terdapat korelasi. Ranggah yang keras, kuat dan sempurna akan sangat berpengaruh selama musim kawin, dimana terjadi perkelahian antar sesama pejantan untuk merebut betina (Takandjandji et al. 1998). Pada musim kawin rusa jantan terlihat sangat galak sehingga ranggah digunakan sebagai alat untuk berkelahi dengan sesama pejantan. Pertumbuhan dan perkembangan ranggah pada rusa jantan dipengaruhi oleh pubertas, terutama peredaran hormon testosteron. Testosteron yang rendah menyebabkan pelepasan ranggah dan pertumbuhan ranggah baru, sedangkan testosteron yang tinggi menyebabkan matinya velvet dan pengerasan sempurna pada ranggah. Libido merupakan kebutuhan biologis untuk aktivitas seksual (rangsangan seksual) dan seringkali ditandai sebagai perilaku seksual. Dalam definisi lain libido seksual adalah dorongan yang berkekuatan atau yang memiliki energi dan bersifat seksual (Arifiyanti 2010). Timbulnya libido pada hewan jantan ditandai dengan terjadinya ereksi (Zumrotun 2006). Sekresi hormon reproduksi pada rusa dipengaruhi oleh cahaya harian pendek, dimana dengan berkurangnya panjang hari akan terjadi peningkatan frekuensi dan besarnya sekresi LH (Luteinizing Hormone), serta naiknya tingkat FSH (Follikel Stimulating Hormone) dan akan mempengaruhi perkembangan testis dalam memproduksi hormon testosteron (Masy’ud 1998). Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara tingkat hormon yang beredar dalam tubuh, misalnya testosteron atau estrogen, dan jumlah aktivitas seksual yang ditunjukkan oleh satwa jantan dan betina disebabkan oleh: (a) kadar hormon yang lebih besar dalam kebanyakan individu satwa untuk menunjukkan tingkah laku seksual secara maksimal atau (b)
9
respon terhadap hormon yang dipengaruhi sepenuhnya oleh reaksi sebelumnya dari pusat syaraf. Dilihat dari aspek reproduksi, rusa termasuk satwaliar yang produktif, dengan masa reproduksi dimulai dari umur 1,5 - 12 tahun, dan rusa dapat bertahan hidup antara umur 15 - 20 tahun. Hasil penelitianTakandjandji et al. (1998) pada rusa timor di penangkaran NTT melaporkan bahwa rata-rata lama birahi 2,2 hari dengan siklus 20,3 hari; dewasa kelamin atau pubertas pada rusa jantan 8 bulan dan rusa betina 8,13 bulan; umur perkawinan pertama pada rusa jantan 12,7 bulan pada rusa betina 15,3 bulan; umur kebuntingan pertama 17 bulan dengan lama bunting 8,4 bulan dan umur beranak pertama 25,5 bulan dengan jarak kelahiran pertama dan kedua 13,25 bulan; lama menyusui 4 bulan dengan tingkat pertambahan anak rusa yang lahir per tahun 0,8 ekor dan ratio kelamin anak yang lahir antara jantan dan betina 1:1,3 ekor; persentase kelahiran sebesar 96,07% dan tingkat kematian 17,25%. Musim kawin pada rusa tropis sangat tergantung pada kondisi alam setempat. Perkiraan massa perkawinan dapat dilakukan dengan mengurangi lama kebuntingan terhadap bulan kelahiran anak. Cara lain memperkirakan musim kawin adalah dengan mengekstrapolasi bulan tertinggi pejantan dalam keadaan ranggah keras, adanya bekas torehan pada tumbuhan, terbentuknya kubangan dan perilaku pejantan dalam menjaga betina (Semiadi 2006). Umur tertua mampu bereproduksi yang tercatat pada rusa timor adalah pada umur 16 tahun. Sedangkan kebuntingan itu sendiri dilaporkan mulai dapat terjadi apabila berat badan telah mencapai minimal 70% dari berat dewasanya. Semiadi (2006) melaporkan bahwa berat minimal untuk kebuntingan pada rusa timor adalah 40-50 kg, kelahiran pertama dapat terjadi pada umur 15-18 bulan, dengan masa kebuntingan selama 8 (delapan) bulan, berarti bahwa umur termuda perkawinan pertama pada rusa timor dapat terjadi pada umur 7 (tujuh) bulan, kelahiran rusa timor di penangkaran dari awal sampai akhir musim kemarau dan di NTT bulan tertinggi kelahiran rusa yaitu bulan Juli. Menurut Semiadi (2006), ranggah merupakan ciri utama dari kelompok rusa dan hanya dimiliki oleh pejantan, namun pada rusa jenis Rangifer tarandus (reindeer) dan Alces alces (moose) betina juga memiliki ranggah. Ranggah
10
merupakan jaringan tulang yang tumbuh keluar dari anggota tubuh dan memiliki siklus tumbuh, mengeras dan luruh secara berulang dan terus-menerus. Pertumbuhan ranggah merupakan satu-satunya jaringan tubuh hewan yang tumbuh paling cepat. Pertumbuhan ranggah terjadi pada daerah tulang tengkorak, dengan pusat pertumbuhannya di daerah frontal yang disebut pedicle adalah sejalan dengan pertambahan umur, diawali dengan tampaknya pusaran bulu dan dilanjutkan dengan tumbuhnya benjolan yang membesar dan memanjang pada saat jantan memasuki umur pubertas. Pertumbuhan selanjutnya yaitu velvet yang diawali dengan pertumbuhan tulang rawan (kartilago) yang memanjang dan diselimuti oleh lapisan kulit tipis berbulu yang kaya akan pembuluh darah dan syaraf. Selanjutnya proses pengerasan jaringan (kalsifikasi) yang diawali dengan menipis dan matinya jaringan velvet dan diakhiri dengan terlihatnya jaringan tulang disebut ranggah kera. Ranggah pada rusa berbeda dengan tanduk pada sapi, kerbau, kambing dan domba yang terbuat dari bahan dasar keratin, teksturnya berlubang dan tidak memiliki siklus tumbuh dan luruh. Selama pertumbuhan ranggah tua, perlu peningkatan konsumsi mineral. Ketika kondisi ranggah keras maka perilaku untuk berkubang dan sikap agresif akan meningkat. Di saat seperti ini rusa dalam kondisi optimum untuk kawin (Semiadi 2006). Hal ini berkaitan dengan peningkatan hormon testosteron yang berfungsi dalam proses siklus pertumbuhan ranggah dan juga spermatogenesis (Semiadi 2006). Adapun pertumbuhan dan perkembangan ranggah terlihat pada Gambar 3.
a
b
11
c
d
e f Gambar 3 Tahapan pertumbuhan ranggah rusa. (a) Saat ranggah luruh/lepas; (b) Saat pertumbuhan pedicle; (c) Saat pertumbuhan velvet; (d) Saat ranggah keras; (e) Kondisi ranggah keras pasca pemotongan; (f) Ranggah yang sudah lepas. 2.3 Tumbuhan Obat Pasak Bumi Menurut Heriyanto et al. (2006), pasak bumi pada umumnya berbentuk semak atau pohon, tingginya dapat mencapai 10 m, berdaun majemuk menyirip ganjil, batangnya berwarna kuning, kulit batang keras, dan rasanya sangat pahit (Gambar 4). Pasak bumi merupakan tumbuhan pantai yang bagus dan menarik. Menurut Ang et al. (2003), pasak bumi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Dunia : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo
: Sapindales
Famili : Simaroubaceae Genus : Eurycoma Jenis : Eurycoma longifolia Jack
12
Gambar 4
Tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) Keterangan: Pohon pasak bumi; Serbuk pasak bumi (dari kiri ke kanan). Pasak bumi tumbuh di daerah tropis, termasuk Indonesia yakni ditemukan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya (Talawang 2009). Heriyanto et al. (2006), menyatakan bahwa pasak bumi adalah tumbuhan liar yang banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dari permukaan laut. Penyebaran pasak bumi meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Burma Selatan, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Di Jawa, tumbuhan ini belum pernah ditemukan. Pasak bumi merupakan salah satu tumbuhan herbal dan bagian yang dimanfaatkan yaitu bagian akar dan batangnya. Pasak bumi termasuk tumbuhan afrodisiak (perangsang). Menurut penelitian Sukimin (2008), tumbuhan afrodisiak mengandung senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang secara fisiologis dapat melancarkan peredaran darah pada sistem saraf pusat atau sirkulasi darah tepi. Efeknya dapat meningkatkan sirkulasi darah pada alat kelamin pria. Menurut Heriyanto et al. (2006), batang dan akar pasak bumi yang telah diperdagangkan secara luas sampai ke Malaysia berkhasiat untuk meningkatkan stamina di samping sebagai obat sakit kepala, sakit perut, dan sipilis. Daun pasak bumi dipakai sebagai obat disentri, sariawan, dan meningkatkan nafsu makan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Forest Research of Malaysia membuktikan bahwa pasak bumi mengandung bahan aktif. Bahan aktif tersebut adalah beta-sitosterol, N-nonacosana, dan neoclovena. Pasak bumi memiliki
13
pengaruh terhadap peningkatan kadar testosteron 4 (empat) daripada ginseng.
kali lebih besar
Disamping itu, penggunaan pasak bumi dalam jangka waktu
yang lama dan dosis yang tidak tepat atau berlebihan akan mengganggu kesehatan terutama bagi kesehatan hati dan dapat merusak fungsi organ ginjal (Pusat Medis 2008). Sedangkan menurut Heriyanto et al. (2006) keseluruhan bagian dari tumbuhan pasak bumi dapat digunakan sebagai obat, antara lain obat demam, radang gusi, obat cacing, dan sebagai tonikum setelah melahirkan. Menurut Sukimin (2008), hasil penelitian Nurliani Bermawie di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik (Balittro), Cimanggu, Bogor, bahwa masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan menggunakan pasak bumi sebagai obat kuat. Hal ini diperkuat lagi bahwa khasiat pasak bumi yang paling dipercaya adalah yang berasal dari pedalaman Kalimantan Barat. Khasiat tersebut telah dibuktikan oleh Johari Mohd. Saad, yang melakukan penelitian dengan menggunakan tikus jantan dan betina, dimana tikus jantan yang diberi ektrak pasak bumi menunjukkan perilaku lebih agresif terhadap tikus betina. Ekstrak ethanolic yang terkandung dalam pasak bumi dapat menambah jumlah hormon testosteron. Ethanolic merangsang bekerjanya chorionic gonadotropin (Ch atau hCG) yang bisa membantu terbentuknya testosteron. Selain itu, akar pasak bumi juga dapat mengobati penyakit malaria, karena mengandung senyawa kuasinoid dan erikomanon.
Pasak bumi juga dapat
mencegah serangan kanker, karena mengandung senyawa kuasinoid dan alkaloid. Hal ni telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Abdul Razak Mohd Ali dari Forest Research Institute of Malaysia, sebanyak delapan (8) alkaloid ditemukan dalam akar pasak bumi, salah satunya adalah 9methoxycanthin yang berfungsi sebagai antikanker payudara (Sukimin 2008). Menurut Sukimin (2008), penelitian yang dilakukan oleh Department of Pharmacognocy, Tokyo College of Pharmacy & The Faculty of Medicine, Tokyo University, Jepang menemukan senyawa antileukimia dari pasak bumi. Selain afrodisiak, antikanker, antimalaria, dan antileukemia, pasak bumi juga bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh bagi para penderita HIV. Struktur kimia isolate A dari akar pasak bumi, diidentifikasi sebagai eurycomanone.
14
Eurycomanone mampu menghambat angiogenesis pada CAM embrio ayam terinduksi bFGF mulai kadar 10 μg/mL (Salamah et al. 2009).