BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan
negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang pemilikannya berada pada rakyat (Ditjen RRL Departemen Kehutanan 1996). Menurut SK Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Hutan rakyat yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat telah lama bekembang dan memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat (Martin et al. 2003). Hutan rakyat dalam bentuk agroforestri tradisional sudah memainkan peranan penting dalam perbaikan produktivitas dan keberlanjutan sistem pertanian tradisional maupun yang semakin berorientasi pasar (Djogo 1993). 2.2
Pengawetan Kayu Tidak semua jenis kayu mempunyai tingkat keawetan alami yang sama.
Tingkat keawetan kayu sangat beragam menurut jenis dan umurnya: semakin tua umur kayu maka semakin awet juga kayunya. Dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, hanya sebagian kecil (15-20%) yang memiliki keawetan tinggi sedangkan sisanya termasuk jenis kayu yang kurang awet (Duljapar 2001). Keawetan alami suatu jenis kayu bersifat relatif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor mulai dari zat ekstraktif, organisme perusak, suhu dan kelembaban (Muslich & Sumarni 2007). Jenis kayu yang tahan terhadap suatu organisme perusak belum tentu mempunyai ketahanan yang sama terhadap organisme perusak lainnya. Keadaan iklim mempunyai efek yang nyata terhadap umur pakai kayu yang tidak diawetkan, karena cuaca panas lembab lebih cocok bagi pembusukan kayu dari pada cuaca kering atau dingin (Hunt & Garrat 1986).
Keterawetan kayu adalah tingkat mudah-tidaknya kayu dimasuki oleh bahan pengawet. Menurut Martawijaya dan Barly (2000), 4 faktor utama yang mempengaruhi keterawetan kayu, adalah: a. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi (trakeida, pori/pembuluh, serabut, dan saluran damar), permeabilitas, kerapatan dan sebagainya. b. Keadaan kayu pada saat dilakukan pengawetan seperti kadar air, bentuk kayu, gubal atau teras. c. Metoda pengawetan yang digunakan. d. Sifat bahan pengawet yang digunakan. 2.3
Pengawetan Kayu Secara Rendaman Dingin Metode rendaman dingin merupakan salah satu proses sederhana dalam
metode pengawetan. Metode ini biasa dilakukan untuk mengawetkan kayu yang akan digunakan pada tempat-tempat yang daya serang organisme perusaknya tergolong sedang atau pada lokasi yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Bowyer et al. 2003). Proses rendaman dingin dilakukan dengan cara kayu direndam dalam bak yang berisi larutan bahan pengawet. Bak pengawetan dapat dibuat dari besi, kayu atau beton bergantung pada keperluan. Lama waktu perendaman bergantung pada jenis kayu dan ukuran tebal sortimen. Perendaman dihentikan apabila berat contoh uji sebelum dan semudah diawetkan menunjukkan nilai retensi yang dikehendaki. Cara tersebut sangat cocok untuk mengawetkan kayu yang memiliki kelas keterawetan mudah atau sedikit sukar diawetkan. 2.4
Fumigasi Fumigasi adalah perlakuan pengendalian hama (rayap, kutu buku, tikus,
kecoa, ngengat, kumbang dan lain-lain) dengan menggunakan gas beracun methyl bromide (CH3Br). Teknik fumigasi memiliki tingkat penetrasi yang tinggi dan mampu membunuh semua stadia kehidupan hama tanpa mengotori bahan yang difumigasi (Hendrawan 2007). Giler (2006) menyatakan bahwa fumigan adalah zat kimia atau campuran dari bahan kimia aktif dan tidak aktif (jika ada) yang diramu untuk menghasilkan satu fumigan. Formulasi fumigan dapat berupa zat padat, cair dan gas. Fumigan yang ideal memiliki ciri-ciri berikut:
1.
Memiliki tingkat racun yang tinggi terhadap hama yang dijadikan target, namun tidak berbahaya bagi manusia, tumbuhan, organisme lain yang bukan menjadi sasaran, komoditas dan lingkungan.
2.
Tersedia di pasaran dan hemat dalam penggunaan
3.
Tidak terbakar, tidak merusak dan tidak meledak dalam keadaan penggunaan normal.
4.
Mudah menguap dengan penetrasi yang baik. Amonia merupakan senyawa kimia dengan rumus NH3. Senyawa ini
merupakan senyawa yang berbahaya, bersifat kaustik, korosif dan dapat merusak kesehatan. Amonia bahkan mampu menyebabkan terjadinya kematian apabila terjadi kontak langsung dengan gas amonia yang berkonsentrasi tinggi. Penampilan senyawa ini berupa gas yang tidak berwarna dengan bau tajam yang khas bersifat iritan dan mudah larut dalam air (Moran et al. 2004). Amonia memiliki titik didih pada suhu -33ºC dan titik lebur -77ºC, oleh karena itu cairan amonia harus disimpan pada suhu yang sangat rendah atau disimpan dalam tekanan yang sangat tinggi. Amonia memiliki berat molekul 17, tekanan uap 400 mmHg (-45,4ºC), berat jenis uap 0,60 dan memiliki suhu kritis 133ºC (Moran et al. 2004). 2.5
Rayap Rayap termasuk binatang purba karena sudah ada sejak 200 juta tahun
silam. Jenis serangga yang sangat kecil ini (panjang sekitar 3 mm) merupakan faktor perusak (biologis) kayu yang paling dikenal. Menurut Lensufie (2008), ada tiga jenis rayap, yaitu: rayap kayu kering, rayap pohon, dan rayap tanah. Makanan utama rayap adalah kayu atau bahan yang mengandung selulosa sehingga hampir semua kayu dapat terserang rayap. Pada beberapa kasus, lignin juga didekomposisi. Hal tersebut tergantung dari jenis rayap (Lee & Wood 1971). Namun ada jenis-jenis kayu tertentu yang tahan terhadap rayap, misalnya ulin, merbau, dan sengon laut. Rayap tergolong serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni dan tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila tidak
berada dalam koloninya (Nandika et al. 2003). Berdasarkan Tambunan dan Nandika (1989), rayap mempunyai beberapa sifat penting yaitu: 1. Trophalaksis, yaitu sifat untuk berkumpul saling menjilat dan mengadakan pertukaran bahan makanan. 2. Cryptobiotik, yaitu sifat untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta produktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya. 3. Kanibalisme, yaitu sifat untuk memakan individu sejenis yang lemah atau sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan. 4. Necrophagy, yaitu sifat untuk memakan bangkai sesamanya. Menurut Tarumingkeng (2000), terdapat beberapa kasta dalam koloni rayap yang wujudnya berbeda, yaitu: 1. Kasta reproduktif Terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (abdomennya biasanya besar) yang tugasnya bertelur, dan jantan (raja) bertugas membuahi betina. Raja tidak sepenting ratu karena setelah sekali kawin dia akan mati. Sperma dapat disimpan oleh betina dalam kantong khusus, sehingga mungkin sekali tidak diperlukan kopulasi berulang-ulang. Biasanya ratu dan raja adalah individu pertama koloni, yaitu sepasang laron yang mulai menjalin kehidupan bersama. Pasangan ini disebut reproduktif primer. 2. Kasta prajurit Kasta ini ditandai dengan bentuk tubuh yang kekar karena penebalan (sklerotisasi)
kulitnya
agar
mampu
melawan
musuh
dalam
rangka
mempertahankan kelangsungan hidup koloninya. Mereka bergerak hilir mudik diantara para pekerja yang sibuk mencari dan mengangkut makanan. Jika terowongan kembara diganggu, tidak jarang kita saksikan pekerja-pekerja diserang oleh semut, sedangkan para prajurit sibuk bertempur melawan semutsemut. Pada umumnya prajurit tersebut kalah karena semut lebih lincah bergerak dan menyerang. Prajurit biasanya dilengkapi dengan mandibel (rahang) yang berbentuk gunting. Sekali mandibel menjepit musuhnya, biasanya gigitan tidak akan terlepas walaupun rayap tersebut akhirnya mati.
3. Kasta pekerja Kasta ini membentuk sebagian koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni merupakan individu-individu pekerja. Tugasnya hanya bekerja tanpa henti mencari makanan dan mengangkutnya ke sarang, membuat terowongan-terowongan, menyuapi dan membersihkan rayap reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja sendiri. Rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, dan buta warna. Warna rayap pekerja lebih muda dan ukurannya sedikit lebih pendek. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu. Kasta inilah yang membuat segala macam kerusakan pada kayu. Menurut Tarumingkeng (2000), hingga saat ini telah tercatat kira-kira 2000 jenis rayap dan tersebar di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia telah ditemukan lebih kurang 200 jenis rayap. Dari sekian banyak jenis rayap, diketahui bahwa kerusakan kayu lebih banyak ditimbulkan oleh golongan rayap subteran (rayap tanah). Rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan membangun liang-liang kembara yang berfungsi untuk menghubungkan sarang dengan benda yang diserang. Golongan rayap subteran selalu menghindari cahaya dan membutuhkan kelembaban yang tinggi dalam kehidupannya. Karena sifatnya yang cryptobiotic dan membutuhkan air untuk melembabkan kayu, liang kembara biasanya tertutup dengan bahan-bahan tanah. Coptotermes curvignathus lebih sering dikenal dengan sebutan rayap tanah, berukuran besar dan menyebabkan serangan yang paling parah di Indonesia. 2.6
Jenis Kayu Hutan Rakyat
2.6.1 Kayu Karet Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk salah satu anggota famili Euphorbiaceae. Tanaman ini sering juga disebut hevea atau rubber-tree (Inggris); rubberboom (Belanda); atau seringueria (Spanyol). Di Indonesia jenis ini banyak ditanam di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan sebagai tanaman perkebunan besar dan perkebunan rakyat untuk produksi getah (Boerhendy dan Agustina
2006). Bila pohon telah mencapai umur 25-30 tahun, perlu segera diremajakan karena tidak ekonomis lagi untuk disadap. Kayu karet memiliki berat jenis (BJ) sekitar 0,61 (0,55-0,70), tergolong kayu dengan kekerasan sedang dan Kelas Awet V (Mandang dan Pandit 1997). Variasi BJ kayu disebabkan beberapa hal, antara lain perbedaan genetik, tempat tumbuh, dan contoh yang dianalisis (Budiman 1987 dalam Boerhendy dan Agustina 2006). Kayu karet mudah digergaji dengan hasil gergajian yang cukup halus, serta mudah dibubut dengan permukaan yang rata dan halus. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat perekatan yang baik dengan semua jenis perekat industri. Kayu karet umumnya digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar/lukisan, lantai parkit, peti kemas, finir, kayu lamina, dan papan balok (Pandit dan Kurniawan 2008). 2.6.2 Kayu Manii Manii dengan nama latin Maesopsis eminii Engl. termasuk ke dalam famili Rhamnaceae. Tanaman ini banyak terdapat di daerah Jawa Barat. Bagian kayu gubal berwarna putih, sedangkan bagian terasnya kuning gelap hingga coklat. Teksturnya kasar dan berbau masam. Pada habitat alaminya, tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai di ketinggian 1.800 mdpl. Kayu manii biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 m dpl dengan curah hujan 1200-3600 mm per tahun dan musim kering sampai 4 bulan (Joker 2002). Kayu yang ber-BJ 0,38-0,48 ini masuk ke dalam Kelas Kuat III dan Kelas Awet III-IV sehingga banyak dimanfaatkan untuk konstruksi ringan-sedang di bawah atap, peti kemas, box, dan kayulapis (Abdurachman dan Hadjib 2006). Menurut Wahyudi et al. (2007), keterawetan kayu manii tergolong sedang. Manii merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serbaguna serta banyak ditanam sebagai sumber kayu bakar. 2.6.3
Kayu Sengon Sengon atau Paraserianthes falcataria termasuk ke dalam famili
Mimosaceae. Penyebarannya ada di seluruh Jawa, Maluku, hingga Papua. Kayu sengon memiliki ciri umum: teras berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) dengan bagian gubal yang tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar
atau berpadu. Permukaan agak licin dan agak mengkilap. Kayu yang masih segar berbau petai. Kayu ini termasuk Kelas Awet IV/V dan Kelas Kuat IV-V dengan BJ sekitar 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan arah radial dan tangensial dari kondisi basah sampai kering tanur berturut-turut adalah 2,5% dan 5,2%. Kayunya mudah digergaji tetapi tidak semudah kayu meranti merah, dan dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah melengkung atau memilin (Martawijaya & Kartasujana 1997). 2.6.4 Kayu Petai Petai (Parkia speciosa atau P. timoriana (DC) Merr.) adalah salah satu tanaman asli dari Malaysia, Brunei, Indonesia dan Semenanjung Thailand. Pohon dapat mencapai tinggi 50 cm dengan permukaan kulit batang halus berwarna coklat kemerahan. Daun majemuk menyirip ganda dua (bipinnate). Tanaman ini sering ditanam mulai dari dataran rendah hingga ke ketinggian 1.500 m dpl, namun tumbuh optimal pada ketinggian 500-1000 m dpl (Abdurrohim 2007). Kayu teras putih kekuning-kuningan, sedangkan bagian kayu gubalnya hampir putih sehingga sukar untuk dibedakan. Corak kayu polos, tekstur agak kasar, arah serat agak berpadu, permukaan kayu mengkilap, dan memiliki tingkat kekerasan yang lunak. Lingkar tumbuh kayu petai agak jelas, ditandai dengan adanya lapisan-lapisan yang berbeda kepadatannya dan ketebalan dinding seratnya. Menurut Oey Djoen Seng (1990), kayu petai memiliki berat jenis minimum 0,35 dan maksimum 0,53 dengan rata-rata 0,45 serta termasuk ke dalam Kelas Awet V dan Kelas Kuat III-V. Dari kelas awet dan kelas kuatnya, maka kayu petai tidak cocok untuk kayu konstruksi dengan pembebanan yang besar, tetapi dapat digunakan untuk bangunan ringan sementara, kayu pertukangan, meubel, kabinet, moulding, perlengkapan interior, pelapis, cetakan beton, peti krat, korek api, usungan, sumpit, pelampung jala, pulp dan kertas, serta kayu energi.
2.6.5 Kayu Pinus Pinus memiliki nama botani Pinus merkusii Jungh. Et de Vries. Nama lainnya adalah merkusee pine (Amerika dan Inggris), merkustall (Swedia) atau Sumatrakiefer (Jerman). Kayu pinus juga memiliki nama daerah damar batu, damar bunga, huyam, uyam dan sala (Sumatera). Kayu ini memiliki tekstur yang agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata. Warna kayu terasnya sukar dibedakan dari bagian gubal kecuali pada pohon berumur tua, dimana terasnya kuning kemerahan sedangkan gubalnya putih krem. Kekerasan kayu pinus tergolong sedang, sedangkan berat tergolong agak ringan sampai agak berat. Dengan berat jenis rata-rata sebesar 0,55, kayu pinus termasuk kelas kuat III. Kayu pinus termasuk ke dalam kelas awet IV (Pandit dan Kurniawan 2008).