BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkerasan Jalan Menurut Sukirman (2003), perkerasan jalan adalah lapisan perkerasan
yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada transportasi, dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti.
2.1.1
Jenis Konstruksi Perkerasan Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi
perkerasan jalan dapat dibedakan menjadi: 1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. 2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. 3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
2.1.2
Kelompok Struktur Jalan Lentur Struktur perkerasan jalan lentur dibuat secara berlapis dan terdiri atas
elemen perkerasan: lapisan pondasi bawah (sub-base course), lapisan pondasi atas (base course), lapisan permukaan (surface course) yang dihampar pada tanah dasar (sub-grade). Masing-masing elemen lapisan di atas termasuk tanah dasar secara bersama-sama memikul beban lalu lintas. Tebal struktur perkerasan dibuat sedemikian rupa sampai batas kemampuan tanah dasar memikul beban lalu lintas,
6
atau dapat dikatakan tebal struktur perkerasan sangat tergantung pada kondisi atau daya dukung tanah dasar.
Lapisan Aus (wearing course) Lapis Antara (binder course)
Lapisan Permukaan
Lapis Pondasi Atas (base course)
Lapis Pondasi Bawah (sub base course)
Subgrade
Gambar 2.1 Lapis perkerasan 1. Elemen Tanah dasar (sub-grade) Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Tidak semua jenis tanah dapat digunakan sebagai tanah dasar pendukung badan jalan secara baik, karena harus dipertimbangkan beberapa sifat yang penting untuk kepentingan struktur jalan, seperti: daya dukung dan kestabilan tanah yang cukup, komposisi dan gradasi butiran tanah, sifat kembang susut tanah, kemudahan untuk dipadatkan, kemudahan meluluskan air (drainase), plastisitas dari tanah, sifat ekspansif tanah dan lain-lain. Pemilihan jenis tanah yang dapat dijadikan tanah dasar melalui penyelidikan tanah menjadi penting karena tanah dasar akan sangat menentukan tebal lapis perkerasan di atasnya, sifat fisik perkerasan di kemudian hari dan kelakuan perkerasan seperti deformasi permukaan, dan sebagainya. 2. Elemen Lapis Pondasi Bawah (sub-base course) Lapis pondasi bawah (sub-base) adalah suatu lapisan yang terletak antara lapis tanah dasar dan lapis pondasi atas (base), yang berfungsi sebagai bagian perkerasan yang meneruskan beban di atasnya, dan selanjutnya menyebarkan tegangan yang terjadi ke lapis tanah dasar.
7
Lapis pondasi bawah dibuat di atas tanah dasar yang berfungsi di antaranya sebagai: A. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda. B. Menjaga efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi). C. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi. D. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar. Bermacam-macam material setempat (CBR > 20 %, PI < 10 %) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Ada berbagai jenis lapis pondasi bawah yang sering dilaksanakan, yaitu: A. Pondasi bawah yang menggunakan batu pecah, dengan balas pasir. B. Pondasi bawah yang menggunakan sirtu yang mengandung sedikit tanah. C. Pondasi bawah yang menggunakan tanah pasir. D. Pondasi bawah yang menggunakan agregat. E. Pondasi bawah yang menggunakan material ATSB (Asphalt Treated Sub-Base) atau disebut Laston Bawah (Lapis Aspal Beton Pondasi Bawah). F. Pondasi bawah yang menggunakan stabilisasi tanah. 3. Elemen Lapis Pondasi Atas (base course) Lapis Pondasi Atas (LPA) adalah suatu lapisan perkerasan jalan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah (sub-base), yang berfungsi sebagai bagian perkerasan yang mendukung lapis permukaan dan bebanbeban roda yang bekerja di atasnya dan menyebarkan tegangan yang terjadi ke lapis pondasi bawah, kemudian ke lapis tanah dasar. Lapis pondasi atas dibuat di atas lapis pondasi bawah yang berfungsi di antaranya: A. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda. B. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan. C. Meneruskan limpahan gaya lalu lintas ke lapis pondasi bawah.
8
Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR > 50%, PI <4 %) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi atas, antara lain: batu pecah, kerikil pecah, dan/atau stabilisasi tanah dengan semen atau kapur. Secara umum dapat berupa: a. Pondasi atas yang menggunakan pondasi Telford. b. Pondasi atas yang menggunakan material agregat. c. Pondasi atas yang menggunakan material ATB (Asphalt Treated Base) atau disebut Laston (Lapisan Aspal Beton) Atas. d. Pondasi atas yang menggunakan stabilisasi material. 4. Elemen Lapis Permukaan (surface course) Fungsi lapis permukaan antara lain: A. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda. B. Sebagai lapis kedap air, yaitu lapisan yang melindungi lapisan di bawahnya dari resapan air yang jatuh di atas permukaan perkerasan. C. Sebagai lapisan aus (wearing course) yaitu lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah campuran bahan agregat dan aspal, dengan persyaratan bahan yang memenuhi standar. Penggunaan bahan aspal diperlukan sebagai bahan pengikat agregat dan agar lapisan dapat bersifat kedap air, di samping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Adapun jenis lapisan permukaan (surface course) yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain: 1. Lapisan bersifat nonstruktural, yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air yang meliputi: A. Burtu (laburan aspal satu lapis), merupakan lapisan penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam, dengan tebal maksimum 2 cm. B. Burda (lapisan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi agregat, yang dikerjakan dua kali secara berurutan dengan tebal maksimum 3,5 cm.
9
C. Latasir (lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus, dicampur dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat maksimum 1-2 cm. D. Buras (laburan aspal), merupakan lapis penutup terdiri dari lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inch. E. Latasbum (lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur dalam keadaan dingin dengan ketebalan maksimum 1 cm. F. Lataston (lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama Hot Rolled Sheet (HRS) merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran agregat bergradasi timpang/senjang, filler dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu panas dengan tebal padat maksimum 2,5-3 cm. 2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan menyebarkan beban roda, yaitu antara lain: A. Penetrasi Macadam (lapen), merupakan lapis perkerasan yang terdiri atas agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan di atasnya dan dipadatkan lapis demi lapis dengan ketebalan maksimum 4-10 cm. B. Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas campuran agregat asbuton dan bahan pelunak yang dihampar dan dipadatkan dalam keadaan dingin dengan ketebalan padat pada tiap lapisan antara 3-5 cm. C. Laston (lapis aspal beton) merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas campuran aspal keras dan agregat bergradasi menerus, dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu panas. D. Campuran Emulsi bergradasi rapat (CEBR) dan campuran emulsi bergradasi terbuka (CEBT).
10
5. Lapis Resap Pengikat (prime coat) Lapis resap pengikat merupakan bagian dari struktur perkerasan lentur yang tidak mempunyai nilai struktur akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat besar terhadap kekuatan dan keawetan struktur terutama untuk menahan gaya lateral atau gaya rem. Lapis resap pengikat dilaburkan diantara lapisan material tidak beraspal dengan lapisan beraspal yang berfungsi untuk menyelimuti permukaan lapisan tidak beraspal. 6. Lapis Perekat (tack coat) Sama halnya dengan lapis resap pengikat, lapis perekat dilaburkan diantara lapis beraspal lama dengan lapis beraspal yang baru (yang akan dihampar diatasnya), yang berfungsi sebagai perekat diantaranya.
2.2
Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Beton Aspal Menurut Sukirman (2003), beton aspal adalah jenis perkerasan yang terdiri
dari campuran agregat dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan. Beberapa aspek campuran yang harus dimiliki oleh beton aspal adalah stabilitas, keawetan atau durabilitas, kelenturan atau fleksibilitas, ketahanan terhadap kelelahan (fatique resistance), kekesatan permukaan atau ketahanan geser, kedap air, dan kemudahan pelaksanaan. 1. Stabilitas Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur, dan bleeding. Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan, dan beban lalu lintas yang akan dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi dan dominan terdiri dari kendaraan berat, membutuhkan perkerasan jalan dengan stabilitas tinggi. Sebaliknya perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk melayani lalu lintas kendaraan ringan tentu tidak perlu mempunyai nilai stabilitas yang tinggi.
11
2. Keawetan (durabilitas) Keawetan atau durabilitas adalah kemampuan beton aspal menerima repetisi beban lalu lintas seperti berat kendaraan dan gesekan antara roda kendaraan dan permukaan jalan, serta menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan iklim, seperti udara, air, atau perubahan temperatur. Keawetan dipengaruhi oleh tebalnya film atau selimut aspal, banyaknya pori dalam campuran, kepadatan dan kedap airnya campuran. Selimut aspal yang tebal akan membungkus agregat secara baik, beton aspal akan lebih kedap air, sehingga kemampuannya menahan keausan semakin baik. Tetapi semakin tebal selimut aspal, maka semakin mudah terjadi bleeding yang mengakibatkan jalan semakin licin. Besarnya pori yang tersisa dalam campuran setelah pemadatan, mengakibatkan keawetan atau durabilitas beton aspal menurun. Semakin besar pori yang tersisa semakin tidak kedap air dan semakin banyak udara di dalam beton aspal, yang menyebabkan semakin mudahnya selimut aspal beroksidasi dengan udara dan menjadi getas, dan keawetannya menurun. 3. Kelenturan (fleksibilitas) Kelenturan atau fleksibilitas adalah kemampuan beton aspal untuk menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi) dan pergerakan dari pondasi atau tanah dasar, tanpa terjadi retak. Penurunan terjadi akibat dari repetisi beban lalu lintas, ataupun penurunan akibat berat sendiri tanah timbunan yang dibuat di atas tanah asli. Fleksibilitas dapat ditingkatkan dengan mempergunakan agregat bergradasi terbuka dengan kadar aspal yang tinggi. 4. Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance) Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance) adalah kemampuan beton aspal menerima lendutan berulang akibat repetisi beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur dan retak. Hal ini dapat tercapai jika mempergunakan kadar aspal yang tepat (optimal). Umumnya kadar aspal yang lebih tinggi bisa memiliki ketahanan terhadap kelelahan lebih baik. 5. Kekesatan/Tahanan Geser (skid resistance) Kekesatan/tahanan geser (skid resistance) adalah kemampuan permukaan beton aspal terutama pada kondisi basah, memberikan gaya gesek pada roda
12
kendaraan sehingga kendaraan tidak tergelincir, atau slip. Faktor-faktor untuk mendapatkan kekesatan jalan sama dengan untuk mendapatkan stabilitas yang tinggi, yaitu kekasaran permukaan dari butir-butir agregat, luas bidang kontak antar butir atau bentuk butir, gradasi agregat, kepadatan campuran, dan tebal film aspal. Ukuran maksimum butir agregat ikut menentukan kekesatan permukaan. Dalam hal ini agregat yang digunakan tidak saja harus mempunyai permukaan yang kasar, tetapi juga mempunyai daya tahan untuk permukaannya tidak mudah menjadi licin akibat repetisi kendaraan. 6. Kedap air (impermeabilitas) Kedap air (impermeabilitas) adalah kemampuan beton aspal untuk tidak dapat dimasuki air ataupun udara ke dalam lapisan beton aspal. Air dan udara dapat mengakibatkan percepatan proses
penuaan
aspal,
dan
pengelupasan
film/selimut aspal dari permukaan agregat. Jumlah pori yang tersisa setelah beton aspal dipadatkan dapat menjadi indikator kedapan air campuran. Tingkat impermeabilitas beton aspal berbanding terbalik dengan tingkat keawetannya atau durabilitas. 7. Mudah dilaksanakan (workability) Mudah dilaksanakan (workability) adalah kemampuan campuran beton aspal untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan. Tingkat kemudahan dalam pelaksanaan,
menentukan
tingkat
efisiensi
pekerjaan.
Faktor
yang
mempengaruhi tingkat kemudahan dalam proses penghamparan dan pemadatan adalah viskositas aspal, kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur, dan gradasi serta kondisi agregat. Revisi atau koreksi terhadap rancangan campuran dapat dilakukan jika ditemukan kesukaran dalam pelaksanaan. Ketujuh sifat campuran beton aspal ini tidak mungkin dapat dipenuhi sekaligus oleh satu jenis campuran. Sifat-sifat beton aspal mana yang dominan lebih diinginkan, akan menentukan jenis beton aspal yang dipilih. Hal ini sangat perlu diperhatikan ketika merancang tebal perkerasan jalan. Jalan yang melayani lalu lintas ringan, seperti mobil penumpang, sepantasnya lebih memilih jenis beton aspal yang mempunyai sifat durabilitas, dan fleksibilitas yang tinggi, daripada memilih jenis beton aspal dengan stabilitas tinggi.
13
2.3
Jenis Campuran Laston Laston (Lapisan Aspal Beton) adalah beton aspal bergradasi menerus yang
umumnya untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas berat (Sukirman, 2003). Laston dikenal pula dengan nama Asphalt Concrete (AC). Sesuai dengan fungsinya Laston mempunyai 3 macam campuran yaitu: 1. Laston sebagai lapisan aus, dikenal dengan nama Asphalt ConcreteWearing Course (AC-WC). Lapisan aus adalah lapisan perkerasan yang berhubungan langsung dengan ban kendaraan, merupakan lapisan yang kedap air, tahan terhadap cuaca dan mempunyai kekesatan yang disyaratkan. Tebal nominal minimum untuk lapisan AC-WC adalah 4 cm. Lapisan AC-WC terletak pada lapis permukaan di atas AC-BC pada bagian perkerasan. 2. Laston sebagi lapisan pengikat, dikenal dengan nama Asphalt ConcreteBinder Course (AC-BC). Tebal nominal minimum lapisan AC-BC adalah 5 cm. Lapisan AC-BC terletak di bawah lapisan aus. Lapisan ini tidak berhubungan langsung dengan cuaca, tetapi perlu memiliki stabilitas yang cukup untuk memikul beban lalu lintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan. 3. Laston sebagai lapisan pondasi, dikenal dengan nama Asphalt ConcreteBase (AC-Base) merupakan Laston yang memiliki tebal nominal minimum 6 cm. Untuk campuran AC-Base ukuran agregat maksimum 1 1/2” atau 37,5 mm.
2.4
Bahan Perkerasan AC-BC Bahan campuran AC-BC terdiri dari agregat kasar, agregat halus, bahan
pengisi (filler), dan aspal. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan harus diuji terlebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifat dari bahan tersebut. 2.4.1
Agregat Menurut Saodang (2005), agregat merupakan elemen perkerasan jalan
yang mempunyai kandungan 90%-95% acuan berat, dan 75%-85% acuan volume dari komposisi perkerasan, sehingga otomatis menyumbangkan faktor kekuatan utama dalam perkerasan jalan. Berfungsi sebagai penstabil mekanis, agregat harus
14
mempunyai suatu kekuatan dan kekerasan, untuk menghindarkan terjadinya kerusakan akibat beban lalu lintas. 1. Klasifikasi Agregat A. Ditinjau dari asal kejadiannya agregat/batuan dapat dibedakan menjadi: a. Batuan Beku Batuan beku adalah batuan yang berasal dari magma yang mendingin dan membeku. Dibedakan atas batuan beku luar dan batuan beku dalam. Batuan beku luar dibentuk dari magma yang keluar permukaan bumi saat gunung berapi meletus dan mengalami pendinginan dan membeku. Sedangkan batuan beku dalam dibentuk dari magma yang tidak keluar permukaan bumi. b. Batuan Sedimen Sedimen dapat berasal dari campuran partikel mineral, sisa-sisa hewan dan tananian. Pada umumnya merupakan lapisan-lapisan pada kulit bumi, hasil endapan di danau, laut dan sebagainya. Berdasarkan pembentukannya batuan sedimen dapat dibedakan menjadi: batuan sedimen yang dibentuk secara mekanik seperti batu pasir, secara organis seperti batu bara dan secara kimiawi seperti batu gamping, garam, gips dan flint. c. Batuan Metamorf Batuan Metamorf berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat perubahan tekanan dan temperatur kulit bumi. Berdasarkan strukturnya dibedakan menjadi: bantuan metamorf yang massif seperti marmer, kwarsif dan batuan metamorf yang berfolisasi/berlapis seperti batu sabak, filit, dan sekit. B. Berdasarkan proses pengolahannya agregat yang digunakan pada perkerasan lentur dapat dibedakan menjadi: a. Agregat alam Merupakan agregat yang dapat dipergunakan sebagai material perkerasan jalan dengan bentuk dan ukuran sebagaimana diperoleh di lokasi asalnya, atau sedikit proses pengolahan. Agregat ini terbentuk
15
melalui proses erosi dan degradasi. Dua bentuk agregat alam yang sering digunakan yaitu kerikil dan pasir. b. Agregat yang melalui proses pengolahan Adalah agregat yang melalui proses pemecahan terlebih dahulu supaya diperoleh: - Bentuk partikel bersudut, diusahakan berbentuk kubus. - Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan yang baik. - Gradasi yang diinginkan. c. Agregat buatan Adalah agregat yang diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen dan mesin pemecah batu. Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan ukuran < 0,075 mm atau lolos saringan No.200). C. Berdasarkan besar partikel agregat dapat dibedakan menjadi: a. Agregat kasar Agregat kasar adalah agregat tertahan 2,36 mm (saringan No.8) Agregat kasar yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Abrasi dengan mesin Los Angeles (SNI 03-2439-1991) maksimum 40% . - Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium sulfat dan magnesium sulfat (SNI 03-3407-1994) maksimum 12%. - Kelekatan agregat terhadap aspal (SNI 03-2439-1991) minimum 95%. - Material lolos saringan No.200 (SNI 03-4142-1996) minimum 1%. b. Agregat halus Agregat halus adalah agregat lolos 2,36 mm (saringan No.8) dan tertahan 0,075 mm (saringn No.200). Agregat halus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Nilai setara pasir (sand equivalent) (SNI 03-4428-1997) minimum 5%. - Material lolos saringan No.200 (SNI 03-4428-1997) maksimum 8%.
16
c. Mineral Filler Bahan pengisi atau mineral filler yang digunakan harus dari bahan mineral yang bersifat katonik antara lain semen portland. Debu batu dan bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesui SNI 03-4142-1996 harus mengandung bahan yang lolos ayakan No.200 (75 micron) tidak kurang dari 75% dari yang lolos ayakan No.30 (600 micron) dan mempunyai sifat non plastis. 2. Sifat Agregat Sifat dan kualitas agregat menentukan kemampuannya dalam memikul beban lalu lintas. Agregat dengan kualitas dan sifat yang baik, dibutuhkan pada lapisan permukaan yang langsung menerima beban lalu lintas dan menyebarkan beban tersebut ke lapisan dibawahnya. Adapun sifat-sifat agregat yang perlu diperiksa antara lain (Sukirman, 1999): A. Gradasi Gradasi/distribusi partikel-partikel ukuran agregat merupakan hal yang penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi mempengaruhi rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi agregat diperoleh dari hasil analisa saringan. Gradasi agregat dapat dibedakan menjadi: a. Gradasi seragam (uniform graded)/terbuka Adalah gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka (open graded) karena hanya mengandung sedikit agregat halus, sehingga terdapat banyak rongga/ruang kosong antar agregat. Agregat dengan gradasi seragam menghasilkan lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang dan berat volume kecil. b.
Gradasi rapat (dense graded)/bergradasi baik (well graded) Merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang berimbang. Agregat dengan gradasi rapat akan menghasilkan lapis perkerasan dengan stabilitas tinggi, kedap air, berat volume besar.
17
c.
Gradasi buruk (poorly graded) atau gradasi senjang Adalah campuran agregat dengan satu fraksi hilang atau sedikit sekali. Agregat bergradasi senjang umumnya digunakan untuk lapisan perkerasan lentur yaitu gradasi celah (gap graded). Agregat dengan gradasi senjang menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak diantara kedua jenis diatas. Dalam pembuatan rancangan campuran AC-BC digunakan spesifikasi
menurut Puslitbang Prasarana Transportasi (2004) dimana terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penetapan gradasi yang digunakan. Syaratsyarat tersebut adalah: 1.
Gradasi harus terletak dalam titik kontrol Dalam gradasi baru tidak dikenal amplop atau pita gradasi seperti yang selama ini terdapat dalam spesifikasi lama sebagai batasan terluar gradasi. Dalam spesifikasi Puslitbang Prasarana Transportasi (2004) batasan gradasi hanya diberikan dalam bentuk beberapa titik kontrol. Dengan titiktitik kontrol ini diharapkan penentuan gradasi dapat lebih lues tanpa mengabaikan persyaratan gradasi lainnya.
2.
Gradasi harus terletak sejauh mungkin dari kurva Fuller dan hanya boleh memotong kurva Fuller satu kali. Kurva Fuller adalah garis gradasi agregat yang paling rapat yang memiliki nilai VMA terkecil. Garis Fuller digambarkan dengan menggunakan grafik berskala log maupun dalam skala biasa dimana ukuran saringan dikalikan dengan Persen lolos : 100
0,45
0,45
(2.1)
dimana: D = ukuran saringan maksimum d = ukuran saringan yang dituju Gradasi agregat yang mengikuti garis Fuller merupakan gradasi terpadat dimana material halus akan mengisi rongga antar agregat. Bila garis gradasi berada diatas kurva Fuller maka akan didapatkan gradasi halus atau gradasi bermatrik pasir yaitu agregat yang mempunyai susunan ukuran menerus dari kasar sampai halus, tetapi dominan berukuran agregat halus.
18
Sebaliknya bila gradasi berada jauh dibawah garis Fuller maka akan didapatkan gradasi kasar atau gradasi bermatrik batu yaitu agregat yang mempunyai susunan ukuran menerus dari kasar sampai halus, tetapi dominan berukuran agregat kasar. Dalam spesifikasi Puslitbang Prasarana Transportasi (2004), gradasi agregat gabung adalah gradasi yang terletak diatas garis Fuller atau bila hal ini tidak dapat dicapai dapat digunakan gradasi yang hanya memotong garis Fuller satu kali pada fraksi medium agregat yaitu antara ukuran 2,36 mm sampai 4,75 mm. 3. Gradasi tidak boleh memotong daerah larangan atau daerah hitam (restricted zone) Pemakaian daerah hitam untuk mencegah diperolehnya campuran beraspal yang lunak dan rentan terhadap deformasi plastis. Gradasi agregat yang tidak memotong daerah hitam akan menghasilkan campuran beraspal yang kuat dengan ikatan antar batu yang mampu menahan deformasi permanen tapi masih memiliki rongga udara yang memadai untuk menjamin durabilitas campuran. Sebaiknya campuran yang memotong daerah hitam akan sulit dipadatkan, sensitif terhadap perubahan kadar aspal dan mudah mengalami deformasi plastis. 4. Gradasi tidak boleh bongkok Pemakaian agregat berukuran sedang secara berlebihan dengan tujuan untuk menghindari daerah hitam akan menghasilkan gradasi yang bongkok. Daerah bongkok biasanya terjadi didaerah yang terletak antara saringan ukuran 4,75 mm (No.4) hingga 0,150 mm (No.100) dan puncaknya terjadi disaringan 0,600 mm (No.30). Bila bongkok atau penyimpangan lebih dari 3% diatas garis lurus kurva gradasi yang menghubungkan saringan ukuran 4,75 mm hingga 0,150 mm maka dihasilkan campuran yang lunak. Masalah lunaknya campuran beraspal yang dihasilkan bila menggunakan gradasi bongkok mungkin tidak akan terjadi bila menggunakan agregat batu pecah dengan tekstur kasar. Tetapi walaupun begitu penggunaan gradasi bongkok tidak direkomendasikan. Contoh bentuk gradasi bongkok dapat dilihat pada Gambar 2.2.
19
Gambar 2.2 Contoh bentuk gradasi yang bongkok 5. Pembatasan pemakaian pasir alam Pemakaian pasir alam dibatasi maksimum 15% karena bentuknya yang halus dan bulat pemakaian pasir alam yang berlebihan akan menghasilkan campuran aspal yang lunak dan menimbulkan masalah deformasi permanen. 6. Perbedaan berat jenis agregat harus < 0,2 Penentuan gradasi masing-masing fraksi agregat dilakukan berdasarkan berat masing-masing agregat hasil analisa saringan. Tetapi dalam analisa volumetrik persentase terhadap volume yang digunakan. Sejauh berat jenis agregat memiliki perbedaan yang kecil (<0,2) persentase kebutuhan agregat dalam berat akan tidak jauh berbeda dengan persentase kebutuhan agregat yang dinyatakan dalam persentase volume. Tetapi bila berat jenis antar fraksi memiliki perbedaan >0,2 maka persentase masing-masing agregat harus dikoreksi. Koreksi ini dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa berat adalah hasil kali volume dengan berat jenis. B. Ukuran Maksimum Agregat Semua lapisan perkerasan lentur membutuhkan agregat yang terdistribusi dari besar sampai kecil. Terdapat dua cara untuk menyatakan ukuran partikel agregat yaitu:
20
a. Ukuran maksimum agregat Yaitu ukuran saringan terkecil dengan porsi agregat yang lolos saringan tersebut sebanyak 100%. b. Ukuran nominal maksimum Merupakan ukuran saringan terbesar dengan porsi agregat tertahan tidak lebih dari 10%. C. Kadar lempung Lempung mempengaruhi mutu campuran agregat dengan aspal karena: a. Lempung membungkus partikel-partikel agregat sehingga ikatan antara aspal dan agregat berkurang. b. Lempung mengakibatkan luas daerah yang harus diselimuti aspal bertambah. Dengan kadar aspal sama menghasilkan tebal lapis perkerasan yang lebih tipis yang dapat mengakibatkan terjadinya striping (lepas ikatan antara aspal dan agregat). c. Tipisnya lapisan aspal mengakibatkan lapisan teroksidasi sehingga lapisan cepat rapuh dan getas. d. Lempung cenderung menyerap air yang berakibat hancurnya lapisan aspal. D. Daya tahan agregat Daya tahan agregat merupakan ketahanan agregat terhadap adanya penurunan mutu akibat proses mekanis dan kimiawi. Agregat yang digunakan harus mempunyai daya tahan terhadap pemecahan (degradasi) yang mungkin timbul selain proses pencampuran, pemadatan, ataupun oleh beban lalu lintas. Ketahanan agregat terhadap degradasi diperiksa dengan menggunakan percobaan Abrasi Los Angeles. E. Bentuk dan tekstur permukaan Bentuk dan tekstur permukaan mempengaruhi stabilitas dari lapis perkerasan yang dibentuk oleh agregat tersebut. Partikel agregat dapat berbentuk bulat, lonjong, pipih, dan kubus. Agregat berbentuk kubus paling baik digunakan sebagai material perkerasan jalan. Agregat berbentuk kubus mempunyai bidang kontak yang lebih luas sehingga mempunyai daya saling mengunci
21
yang baik. Kestabilan yang diperoleh lebih baik dan lebih tahan terhadap deformasi. F. Daya lekat terhadap aspal Faktor yang mempengaruhi lekatan aspal dan agregat dapat dibedakan atas dua bagian yaitu: a. Sifat mekanis yang tergantung dari: - Pori-pori dan absorbs. - Bentuk dan tekstur permukaan. - Ukuran butir. b. Sifat kimiawi dari agregat G. Berat jenis agregat Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, berat jenis adalah suatu rasio tanpa dimensi, yaitu rasio antara berat suatu benda terhadap berat air yang volumenya sama dengan benda tersebut. Sebagai standar dipergunakan air pada suhu 4°C karena pada suhu tersebut air memiliki kepadatan yang stabil.. Pertimbangan volume untuk penentuan SG dapat dilihat pada Gambar 2.3. Ada beberapa jenis berat jenis agregat yaitu: a. Berat jenis bulk (bulk specific gravity) Adalah berat jenis dimana volume yang diperhitungkan adalah seluruh volume pori yang ada (volume pori yang dapat diresapi air dan volume pori yang tidak dapat diresapi air). Berat jenis bulk digunakan jika dianggap aspal hanya menyelimuti bagian luar dari agregat. Bulk SG
Ws Ws w.Vs Vi Vp w.Vtotal
2.2)
b. Berat jenis semu (apparent specific gravity) Jika volume yang diperhitungkan adalah partikel dan bagian yang dapat diresapi air. Penggunaan berat jenis ini diperhitungkan jika dianggap aspal dapat meresapi seluruh bagian yang dapat diresapi oleh air. Apparent SG
Ws w.Vs Vi
(2.3)
22
c. Berat jenis efektif (effective spesific gravity) Pada kenyataanya aspal yang digunakan secara normal hanya akan meresapi sebagian dari pori yang dapat diresapi oleh air. Effective SG
Ws w.Vs Vi Vc
(2.4)
dimana : Vc = volume pori yang dapat diresapi air dan aspal Vp = volume pori yang tidak dapat diresapi aspal tetapi dapat diresapi oleh air Vi = volume pori yang tidak dapat diresapi air Vs = volume partikel agregat γw = berat volume air Bj = berat dalam keadaan jenuh air Ba = berat agregat dalam air Bk =berat agregat kering
Vs sss s
Vi
Vc
Vp - Vc Vp
Vs = Volume solid Vi = Volume yang impermeable terhadap air dan aspal. Vp = Total volume permeable Vc = Volume yang permeable terhadap air tapi impermeable terhadap aspal. Vp – Vc = Volume yang permeable terhadap air dan aspal.
Gambar 2.3 Pertimbangan volume untuk penentuan SG 3.
Pencampuran Agregat Pada umumnya agregat yang tersedia di lapangan, baik hasil produksi
mesin pemecah batu maupun sebagaimana bentuk dan ukurannya di alam belum memenuhi gradasi sebagaimana disyaratkan didalam spesifikasi pekerjaan. Untuk itu diperlukan pencampuran dari berbagai ukuran agregat seperti yang tersedia di lapangan. Adapun syarat gradasi agregat untuk campuran AC-BC adalah sebagai berikut:
23
Tabel 2.1 Persyaratan gradasi untuk campuran AC-BC asbuton modifikasi Ukuran Ayakan ASTM Mm 11/2" 1" 3/4" 1/2" 3/8" No.8 No.16 No.30 No.200 No.4 No.8 No. 16 No.30 No.50
% Berat yang lolos AC-BC Asbuton Modifikasi
37.5 25 100 19 90-100 12.5 Maks 90 9.5 2.36 23-39 1.18 0.600 0.750 4.0-8.0 DAERAH LARANGAN 4.75 2.36 34.6 1.18 22.3-28.3 0.600 16.7-20.7 0.300 13.7
Sumber: Bina Marga (2006)
Pencampuran antar agregat dapat dilakukan dengan cara: 1. Cara Coba-coba (Trial & error) Adalah cara penggabungan agregat dengan cara coba-coba kemungkinan berbagai proporsi agregat, kemudian mengadakan analisa saringan yang dibandingkan dengan spesifikasi yang disyaratkan. Cara ini dilakukan berkali-kali hingga ditemukan gradasi agregat yang sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan. Syarat-syarat tersebut adalah: - Gradasi harus terletak dalam titik kontrol. - Gradasi harus terletak sejauh mungkin dari kurva Fuller dan hanya boleh memotong kurva Fuller satu kali. - Gradasi tidak boleh memotong daerah hitam atau daerah larangan (restricted zone). - Gradasi tidak boleh bongkok. - Pembatasan pemakaian pasir alam. - Perbedaan berat jenis agregat harus <0,2. 2. Cara Analitis A. Pencampuran agregat kasar (kasar+sedang)
24
Rumus :
X=
100
(2.5)
dimana : X = % Agregat yang dicari S = % Total campuran agregat (kasar+sedang) yang dikehendaki lolos saringan tertentu (No.200) C = % Agregat kasar lolos saringan tertentu (No.200) F = % Agregat sedang lolos saringan tertentu (No.200) B. Pencampuran agregat kasar (kasar+sedang) dan agregat halus Rumus :
X=
100
(2.6)
dimana : X = % Agregat yang dicari S = % Total campuran agregat (kasar+sedang) dan halus yang dikehendaki lolos saringan tertentu (No.8) C = % Agregat kasar lolos saringan tertentu (No.8) F = % Agregat sedang lolos saringan tertentu (No.8) 3. Cara Grafis Proporsi masing-masing fraksi agregat dapat pula ditentukan dengan mempergunakan
cara
grafis.
Langkah-langkah penentuan proporsi
campuran adalah sebagai berikut: A. Bagi kertas millimeter block menjadi 3 (tiga) daerah yang mempunyai rentang (range) yang sama yaitu 10 cm. B. Beri tanda pada garis vertikal 0 cm adalah A untuk agregat kasar (CA), 10 cm adalah B untuk agregat sedang (MA), 20 cm adalah C untuk abu batu dan D untuk pasir pada garis vertikal 30 cm. C. Pencampuran pertama antara agregat sedang dengan abu batu. Tarik garis dari garis vertikal C ke arah vertikal B dengan memperhatikan ukuran saringan dan persentase lolos dari masing-masing agregat. D. Selanjutnya buat batas spesifikasi campuran untuk masing-masing nomor saringan dan ditandai dengan garis yang lebih tebal. Tarik garis melintang yang memotong semua garis yang menyatakan rentang dari 25
batas-batas spesifikasi. Garis ini menyatakan proporsi antara agregat kasar dan agregat halus. E. Proyeksikan titik potong antara garis melintang dengan batas spesifikasi masing-masing garis nomor saringan ke garis skala B. F.
Tarik garis skala A dengan memperhatikan ukuran saringan dan persentase lolos dari agregat kasar untuk mendapatkan persentase agregat kasar dan sedang.
G. Untuk mendapatkan persentase abu batu dan pasir, ulangi langkah E dan F dengan memproyeksikan ke garis skala C. 4. Cara Diagonal Adapun prinsip pencampuran dengan cara diagonal adalah sebagai berikut: A.
Mengetahui syarat gradasi yang diminta
B.
Buat diagram (grafik) empat persegi panjang dengan millimeter blok ukuran 10 x 20 cm.
C.
Sisi vertikal (10 cm) adalah sumbu % lolos saringan.
D.
Tarik garis diagonal dari sisi bawah ke kanan atas.
E.
Tentukan titik tengah (ideal) spesifikasi untuk tiap diameter saringan.
F.
Tempatkan titik-titik tengah spesifikasi pada garis diagonal dan tarik garis vertikal untuk mendapatkan posisi diameter saringan.
G.
Gambar grafik % lolos dari masing-masing fraksi agregat.
H.
Untuk menentukan % agregat kasar, tarik garis vertikal sedemikian rupa di suatu posisi, hingga jarak antara garis agregat sedang ke tepi atas sama dengan jarak antara garis agregat kasar ke tepi bawah sama dengan d.
I.
Dari titik potong dengan garis diagonal, tarik garis horizontal sampai memotong tepi kanan, sehingga diperoleh jarak vertikal ke tepi atas yang merupakan % agregat kasar yang diperlukan.
J.
Buat lagi garis vertikal sedemikian rupa hingga jarak antara garis agregat halus ke tepi atas sama dengan jarak antara garis agregat kasar + sedang ke tepi bawah, kemudian dari titik potong dengan garis diagonal tarik garis horizontal.
26
5.
Cara proporsional Adapun prinsip pencampuran agregat dengan cara proporsional adalah dengan memproporsikan agregat berdasarkan gradasi pilihan untuk campuran aspal panas AC-BC.
2.4.2 Aspal Aspal adalah bahan alam dengan komponen kimia utama hidrokarbon, hasil eksplorasi dengan warna hitam bersifat plastis hingga cair, tidak larut dalam larutan asam encer dan alkali atau air, tapi larut sebagian besar dalam CS2 bensol, dan chloroform (Saodang, 2005). Komposisi dari aspal terdiri dari asphaltenes dan malthenes. Asphalthenes merupakan material berwarna hitam atau coklat tua yang tidak larut dalam heptanes. Malthenes larut dalam hepthane, merupakan cairan kental yang terdiri dari resins dan oils. Resins adalah cairan berwarna kuning atau coklat tua yang memberikan sifat adhesi dari aspal dan merupakan bagian yang mudah hilang atau berkurang selama masa pelayanan jalan. Sedangkan oils yang berwarna lebih muda merupakan media dari asphalthene atau resin. 1. Jenis aspal Aspal yang digunakan untuk bahan perkerasan jalan (Saodang, 2005), terdiri atas beberapa jenis: A. Aspal Alam Aspal alam terbentuk apabila deposit minyak mentah dalam perut bumi terdestilasi secara alami. Aspal ini bisa muncul ke permukaan bumi melalui celah/retakan. Apabila aspal yang muncul ke permukaan yang berupa lembah maka terbentuk deposit aspal alam yang disebut aspal danau. Sedangkan apabila aspal yang muncul ke permukaan bumi dan meresap ke dalam batuan porus akan terbentuk aspal gunung. Di Indonesia terdapat aspal alam yang disebut aspal batu buton atau Asbuton. Aspal alam ini terjadi karena adanya minyak bumi yang mengalir keluar melalui retak-retak kulit bumi. Setelah minyak menguap, maka tinggal aspal yang melekat pada batuan yang dilalui.
27
B. Aspal minyak (petroleum asphalt) Berbentuk padat atau semi-padat sebagai cikal bakal bitumen, yang diperoleh dari penirisan minyak. Aspal minyak dibedakan menjadi : a. Aspal keras-panas (asphaltic-cement, AC) Aspal ini berbentuk padat pada temperatur ruangan. Di Indonesia aspal semen dibedakan dari nilai penetrasinya, misalnya: AC dengan penetrasi 40/50, 60/70, 85/100). Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas atau lalu lintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi digunakan di tempat bercuaca dingin atau lalu lintas dengan volume rendah. b. Aspal dingin-cair (cut-back asphalt) Aspal ini digunakan dalam keadaan cair dan dingin. Aspal dingin adalah campuran pabrik antara aspal panas dengan bahan pengencer dari hasil penyulingan minyak bumi. Berdasarkan bahan pengencer dan kemudahan menguap, bahan pelarutnya, aspal dingin dibedakan menjadi: -
Jenis RC (rapid curing): aspal cair dengan bahan pencair bensin. RC merupakan aspal cair yang paling cepat menguap.
-
Jenis MC (medium curing): bahan pengencer minyak tanah (kerosene) dengan MC0 sampai MC5.
-
Jenis SC (slow curing): aspal cair dengan bahan pencair solar (minyak diesel). SC merupakan aspal cair yang paling lambat menguap.
c. Aspal emulsi (emulsion asphalt) Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengemulsi, yang dilakukan di pabrik pencampur. Aspal emulsi ini lebih cair daripada aspal cair. Di dalam aspal emulsi, butir-butir aspal larut dalam air. Untuk menghindari butiran aspal saling menarik membentuk butir-butir yang lebih besar, maka butiran tersebut diberi muatan listrik.
28
Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan menjadi: -
Aspal emulsi kationik (aspal emulsi asam), yang bermuatan listrik positif.
-
Aspal emulsi anionik (aspal emulsi alkali), yang bermuatan listrik negatip.
-
Aspal emulsi nonionik, merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionosasi, berarti tidak mengantarkan listrik.
Berdasarkan bahan pengemulsi ditambah air, aspal emulsi dibedakan menjadi: - Tipe RS (rapid setting): RS1 - Tipe MS (medium setting): MS1 sampai MS3 - Tipe SS (slow setting): SS1 2. Sifat Aspal Aspal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: A. Daya Tahan (durability) Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan. B. Adhesi dan Kohesi Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara aspal dengan agregat. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadinya pengikatan. C. Kepekaan Terhadap Temperatur Aspal akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah dari suhu ruang. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur (termoplastis). D. Kekerasan Aspal Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga dilapisi aspal atau disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses pelaburan. Pada proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas. Peristiwa perapuhan terus
29
berlangsung selama masa pelaksanaan. Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami proses oksidasi yang besar yang dipengaruhi oleh ketebalan aspal yang meyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi. 3. Pemeriksaan Aspal Aspal merupakan hasil produksi dari bahan-bahan alam, sehingga sifat-sifat aspal harus selalu diperiksa di laboratorium dan aspal yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan dapat dipergunakan dapat dipergunakan sebagai bahan pengikat perkerasan lentur. Pemeriksaan yang dilakukan untuk aspal keras adalah sebagai berikut: A. Pemeriksaan penetrasi aspal Pemeriksaan penetrasi aspal bertujuan untuk memeriksa tingkat kekerasan aspal. B. Pemeriksaan titik lembek / lunak (softening point test) Pemeriksaan kepekaan aspal terhadap temperatur dilakukan melalui pemeriksaan titik lembek. Titik lembek adalah temperatur pada saat aspal mulai lunak. Titik lembek setiap hasil produksi aspal tidaklah sama walaupun mempunyai nilai penetrasi yang sama. C. Pemeriksaan titik nyala dan bakar Pemeriksaan titik nyala dan bakar bertujuan untuk menentukan suhu dimana aspal terlihat menyala singkat di permukaan aspal (titik nyala) dan suhu pada saat terlihat nyala sekurang-kurangnya lima detik. Titik nyala dan bakar perlu diketahui untuk memperkirakan temperatur maksimum pemanasan aspal sehingga aspal tidak terbakar. D. Pemerikasaan kehilangan berat aspal Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui pengurangan berat akibat penguapan bahan-bahan yang mudah menguap dalam aspal. Penurunan berat yang besar menunjukkan banyaknya bahan-bahan yang hilang karena penguapan. Aspal tersebut akan cepat mengeras dan menjadi rapuh. E. Pemeriksaan kelarutan bitumen dalam karbon tetrakhlorida/karbon bisulfida (solubility test).
30
Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan jumlah bitumen yang larut dalam karbon tetrakhlorida/karbon bisulfida. Jika semua bitumen yang diuji larut dalam CCl4/CS2 maka bitumen tersebut adalah murni. F. Pemeriksaan daktilitas aspal Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mengetahui sifat kohesi dalam aspal itu sendiri. Aspal dengan daktilitas yang lebih besar mengikat butir-butir agregat yang lebih baik tetapi lebih peka terhadap perubahan temperatur. G. Pemeriksaan berat jenis aspal (spesific gravity test) Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dengan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu, 25°C atau 15,6°C. H. Pemeriksaan viskositas Pemeriksaan viskositas bertujuan untuk memeriksa kekentalan aspal, dilakukan pada temperatur 60°C (temperatur maksimun perkerasan selama masa pelayanan) dan 135°C (temperatur pada proses pencampuran/ penyemprotan aspal pada umumnya dilakukan).
2.5
Aspal Retona Blend 55 Sekretariat Balitbang Kementrian PU, (2010) aspal batu buton atau biasa
disebut asbuton ditemukan tahun 1924 di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Asbuton mulai digunakan dalam pengaspalan jalan sejak tahun 1926. Berdasarkan data yang ada, asbuton memiliki deposit sekitar 677 juta ton atau setara dengan 170 juta ton aspal minyak. Asbuton merupakan deposit aspal alam terbesar di dunia. Terjadi pasang surut penggunaan asbuton yang seiring dengan kebutuhan akan bahan aspal dan perkembangan teknologi. Asbuton pernah diproduksi sampai 500.000 ton/tahun. Pada tahun delapan puluhan produksi asbuton mengalami titik nadir. Sedangkan pada periode sembilan puluhan, asbuton yang dihasilkan tidak optimal akibat kegagalan konstruksi yang disebabkan oleh penggunaan teknologi yang tidak tepat. Namun demikian, sesuai dengan Renstra Departemen Pekerjaan Umum 2005-2009, asbuton dipatok sebanyak 556.000 ton untuk digunakan pada pemeliharaan jalan nasional. Di samping itu, sekitar 550.000 km jalan-jalan provinsi, kabupaten, dan kota serta jalan lainnya berpeluang untuk menerapkan asbuton dalam lapisan aspalnya.
31
Terdapat dua jenis unsur utama dalam asbuton, yaitu aspal (bitumen) dan mineral. Pemanfaatan unsur ini dalam pekerjaan pengaspalan akan mempengaruhi kinerja perkerasan aspal yang direncanakan. Jenis asbuton yang telah diproduksi secara fabrikasi dan manual dalam tahun-tahun belakangan ini adalah: 1. Asbuton Butir Asbuton butir dapat diproduksi dengan berbagai ukuran. Dilihat dari segi kemudahan mobilisasi bitumen, makin kecil ukuran butir maka makin mudah bitumen asbuton termobilisasi dalam campuran beton aspal. Saat ini ada beberapa produk asbuton butir yang sudah terakomodir dalam pedoman campuran asbuton untuk perkerasan jalan yaitu: -
Asbuton tipe 5/20 (penetrasi 5 dmm dan kadar bitumen 20%) 5 dmm (desi milimeter) = 5 x 0,1 mm
-
Asbuton tipe 15/20 (penetrasi 15 dmm dan kadar bitumen 20%) 15 dmm (desi milimeter) = 15 x 0,1 mm
-
Asbuton tipe 15/25 (penetrasi 15 dmm dan kadar bitumen 25%) 15 dmm (desi milimeter) = 15 x 0,1mm
-
Asbuton tipe 20/25 (penetrasi 20 dmm dan kadar bitumen 25%) 20 dmm (desi milimeter) = 20 x 0,1 mm
Pada asbuton campuran panas, pada prinsipnya asbuton butir dengan jumlah tertentu dimasukkan kedalam campuran beraspal panas aspal minyak. Fungsi asbuton pada campuran tersebut adalah sebagai bahan tambah (additive) dan sebagai bahan subsitusi aspal minyak. Sebagai bahan tambah asbuton diharapkan akan meningkatkan karakteristik aspal minyak dan karakteristik campuran beraspal terutama agar memiliki ketahanan terhadap beban lalu lintas dan kepekaan terhadap temperatur panas dilapangan yang lebih baik. Lawele Granular Asphalt (LGA), asbuton lawele termasuk dalam asbuton butir yang memiliki sifat kadar bitumen, kadar minyak ringan dan nilai penetrasi bitumen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis BGA. Asbuton ini juga memiliki sifat yang mudah hancur menjadi butiran-butiran kecil pada kondisi panas. Karena asbuton lawele memiliki
32
sifat yang khusus maka untuk dapat memanfaatkan asbuton lawele pada perkerasan jalan campuran beraspal panas diperlukan spesifikasi khusus. 2. Asbuton Murni Ekstraksi Asbuton jenis ini merupakan bitumen murni hasil ekstraksi asbuton menggunakan beberapa cara, antara lain dengan bahan pelarut atau cara lain seperti menggunakan teknologi air panas. Asbuton murni hasil ekstraksi dapat digunakan langsung sebagai pengganti aspal keras atau sebagai bahan tambah yang akan memperbaiki karakteristik aspal keras. Mineral asbuton merupakan limbah dari proses ekstraksi. Selain dapat dimanfaatkan sebagai filler dapat juga digunakan sebagai bahan stabilisasi tanah. 3. Asbuton Pra-Campur (pre-blended) Asbuton pra-campur (pre-blended) merupakan gabungan antara asbuton butir hasil refine asbuton dengan kadar bitumen 60% sampai 90% dengan aspal minyak penetrasi 60/70 dalam komposisi tertentu. Asbuton jenis ini dapat dikatakan sebagai aspal minyak yang dimodifikasi, sehingga dalam campuran dapat langsung digunakan untuk dicampur dengan agregat. Kini telah banyak perusahaan-perusahaan memproduksi asbuton yang telah diekstraksi dan telah beredar dipasaran antara lain: Retona 60, Retona 90 dan Retona Blend 55. Dilihat dari campuran komposisi aspal dan cara penggunaannya Retona 60, Retona 90 dan Retona Blend 55 dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Aspal Retona 60 baru dikembangkan melalui proses penyulingan dan ekstraksi asbuton. Proses tidak mengeluarkan seluruh semua mineral dari asbuton, tetapi hanya mempertahankan Refined Buton Asphalt (Retona) dengan kadar aspal 60% dan kadar filler 40%. Aspal Retona 60 di dalam campuran beraspal panas berfungsi sebagai bahan tambah. Untuk mendapatkan campuran aspal yang sesuai dengan ketentuan Bina Marga maka dalam proses campuran beraspal, aspal Retona 60 akan dicampur dengan aspal minyak (aspal penetrasi) 60/70 sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan terhadap berat total bahan pengikat (Handri Sarosa, 2008).
33
2. Aspal Retona 90 mengandung kadar aspal 60,5% dan kadar mineral 39,5%. Aspal Retona 90 di dalam campuran beraspal panas berfungsi sebagai bahan tambah. Untuk mendapatkan campuran yang sesuai dengan ketentuan Bina Marga maka dalam proses campuran beraspal, aspal Retona 90 akan dicampur dengan aspal minyak (aspal penetrasi) 80/100 sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan terhadap berat total bahan pengikat (Suhartono, 2005). 3. Aspal Retona Blend 55 merupakan campuran antara asbuton butir yang telah diekstraksi sebagian dengan aspal keras penetrasi 60/70 yang pembuatannya dilakukan secara pabrikasi. Kata 55 di dalam aspal Retona Blend 55 berarti pada suhu 55°C aspal Retona Blend 55 mulai mencair (titik lembek). Aspal Retona Blend 55 memiliki komposisi 20% asbuton dan 80% aspal minyak (Bina Marga, 2008). Penulis lebih tertarik untuk meneliti aspal Retona Blend 55 karena penggunaan aspal Retona Blend 55 ke dalam campuran beraspal panas lebih praktis karena didalam aspal Retona Blend 55 sudah terkandung aspal minyak (aspal penetrasi) sehingga dalam penggunaannya tidak perlu membuat komposisi antara aspal Retona dan aspal minyak (aspal penetrasi). Aspal Retona Blend 55 merupakan campuran antara asbuton butir yang telah diekstraksi sebagian dengan aspal keras penetrasi 60/70 yang pembuatannya dilakukan secara fabrikasi. Aspal Retona Blend 55 memiliki komposisi: 20% asbuton dan 80% aspal minyak. Dalam 20% Asbuton terdapat 90% bitumen dan 10% mineral. Proses pembuatan aspal Retona Blend 55 dapat digambarkan seperti Gambar 2.4 dan contoh aspal Retona Blend 55 dapat dilihat pada Gambar 2.5:
Butir Asbuton Hasil Pecah
Proses semi ekstraksi
Aspal Keras Pen 60 pada Temperatur 160°C
Retona
Dicampur pada temp 155°C
Retona Blend 55 Gambar 2.4 Proses Pembuatan Aspal Retona Blend 55 34
Gambar 2.5 Aspal Retona Blend 55 Adapun keunggulan-keunggulan menggunakan aspal Retona Blend 55 dalam campuran beraspal panas yaitu (PT Olah Bumi Mandiri, 2003): 1. Mampu meningkatkan kestabilan jalan. 2. Memiliki ketahanan yang baik dan terhindar dari retak campuran. 3. Kekuatan adhesi dan kohesi yang tinggi. 4. Daya tahan terhadap air karena nitrogen base Retona 5,61 (± 400%). 5. Stabilitas Marshall naik hingga 30%, stabilitas dinamis naik hingga 400%. 6. Usia pelayanan yang lebih lama. 7. Biaya pemeliharaan jalan yang murah. 8. Pelaksanaan mudah, sama dengan menggunakan aspal penetrasi 60/70. 9. Mempunyai daya hampar yang sangat luas, sehingga hemat dan ekonomis. 10. Daya rekat yang tinggi sehingga pekerjaan lapis penetrasi dengan menggunakan aspal Retona Blend 55 lebih awet.
2.5.1 Karakteristik Aspal Retona Blend 55 Karakteristik aspal Retona Blend 55 secara umum telah memenuhi persyaratan pada Spesifikasi Umum Jalan dan Jembatan seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.2.
35
Tabel 2.2 Karakteristik aspal Retona Blend 55 dan Persyaratan aspal yang dimodifikasi dengan aspal alam Jenis Pengujian
Metode
Karakteristik
Syarat*)
Retona Penetrasi, 25°C; 100 gr; 5 dtk; 0,1 mm
SNI 06-2456-1991
40 – 50
40 - 50
Titik Lembek, °C
SNI 06-2434-1991
55 – 56
Min. 55
Titik Nyala, °C
SNI 06-2433-1991
270 – 330
Min. 225
Daktilitas; 25°C, cm
SNI 06-2432-1991
50 – 100
Min. 50
Berat Jenis
SNI 06-2441-1991
1,05 – 1,13
Min. 1,0
Kelarutan dalam Trichlor Ethylen, %
RSNI M-04-2004
90 – 93
Min. 90
SNI 06-2440-1991
0,01 – 2
Max. 2
SNI 06-2456-1991
Min. 55
Min. 55
Daktilitas setelah TFOT, cm
SNI 06-2432-1991
Min. 50
Min. 50
Mineral lolos saringan No.100, %
SNI 03-1968-1991
Min. 90
Min. 90
berat Penurunan Berat (dengan TFOT), & berat Penetrasi setelah kehilangan berat, % asli
Sumber: Bina Marga (2008)
2.5.2
Persyaratan Campuran AC-BC dengan Menggunakan Aspal Retona Blend 55 Perencanaan campuran beraspal panas menggunakan aspal Retona Blend
55 telah memenuhi Spesifikasi Umum Jalan dan Jembatan . Persyaratan sifat-sifat campuran beraspal panas dimodifikasi asbuton dapat diperlihatkan dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3 Sifat-sifat campuran beraspal panas dimodifikasi asbuton Sifat-sifat Campuran Penyerapan Aspal Jumlah tumbukan perbidang Rongga dalamCampuran (VIM) (%)(1) Rongga dalam agregat (VMA) (%) Rongga terisi aspal (VFB) (%) Stabilitas Marshall (kg) Pelelehan (mm) Marshal Quotien (kg/mm)
Min Maks Min
AC-BC Asbuton Modifikasi 1,7 75 3,5 5,5 14
Min Min Maks Min Maks Min
63 1000 3 300
Maks
36
Lanjutan Tabel 2.3 Sifat-sifat campuran beraspal panas dimodifikasi asbuton
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
Min
75
Min
2,5
Min
2500
perendaman selama 24 jam, 60ºC Rongga dalam Campuran (%) pada kepadatan membal (refusal)(2) Stabilitas Dinamis (lint/mm)(3) Sumber: Bina Marga (2008) Catatan: 1. Modifikasi Marshall ( RSNI M-06-2004) 2. Untuk menentukan kepadatan membal (refusal), penumbuk bergetar (vibratory hammer) disarankan digunakan untuk menghindari pecahnya butiran agregat dalam campuran. Jika digunakan penumbuk manual jumlah tumbukan per bidang harus 600 untuk cetakan berdiameter 6 in dan 400 untuk cetakan berdiameter 4 in. 3. Berat jenis efektif agregat dihitung berdasarkan pengujian Berat Jenis maksimum Agregat (Gmm, AASHTO T-209).
2.6
Sifat Volumetrik Campuran Campuran beraspal panas pada dasarnya terdiri dari aspal yang berfungsi
sebagai pengikat (binder) dan agregat. Aspal yang digunakan biasanya adalah aspal semen atau aspal keras. Agregat umumnya terdiri dari agregat kasar dan agregat halus (Puslitbang Prasarana Transportasi, 2004). Proporsi masing-masing bahan harus dirancang sedemikian rupa agar dihasilkan aspal beton yang dapat melayani lalu lintas dan tahan terhadap pengaruh lingkungan selama masa pelayanan. Ini berarti campuran beraspal panas harus (Puslitbang Prasarana Transportasi, 2004): 1. Mengandung cukup kadar aspal agar awet. 2. Mempunyai stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas. 3. Mengandung cukup rongga udara (VIM) agar tersedia ruangan yang cukup untuk menampung ekspansi aspal akibat pemadatan lanjutan oleh lalu lintas dan kenaikan temperatur udara tanpa mengalami bleeding atau deformasi plastis. 4. Rongga udara yang ada harus juga dibatasi untuk membatasi permeabilitas campuran.
37
5. Mudah dilaksanakan sehingga campuran beraspal dapat dengan mudah dihampar dan dipadatkan sesuai dengan rencana dan memenuhi spesifikasi. Dalam Puslitbang Prasarana Transportasi (2004), kinerja campuran beraspal ditentukan oleh volumetrik campuran (padat) yang terdiri atas : 1. Rongga diantara Agregat (Void in Mineral Agregate,VMA) VMA adalah volume rongga udara diantara butir-butir agregat dalam campuran beraspal dalam kondisi padat. VMA meliputi volume rongga udara dalam campuran padat dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA = 100
]
(2.7)
Gmb =
(2.8)
Gsb =
(2.9)
dimana: Gmb
= berat jenis bulk campuran padat
Gsb
= berat jenis bulk agregat
Pbt
= kadar aspal persen terhadap berat total campuran
Bk
= berat kering campuran padat
Bssd
= berat kering permukaan campuran padat
Ba
= berat campuran padat dalam air
P1,P2 = persentase masing-masing fraksi agregat Gl,G2 = berat jenis masing-masing fraksi agregat 2. Rongga dalam campuran beraspal (Void in Mix, VIM) Rongga udara dalam campuran beraspal (VIM) adalah rongga-rongga udara diantara partikel agregat yang terselimuti aspal. VIM dinyatakan dalam persen terhadap volume total campuran. VIM = 100 ( 1 -
VIM = 100
atau
(2.10)
38
dimana: Gmb = berat jenis bulk campuran padat Gmm = berat jenis maksimum campuran, rongga udara nol 3. Rongga terisi aspal (Void Filled in Bitumen, VFB) Rongga terisi aspal adalah bagian dari VMA yang terisi oleh kandungan aspal efektif dan dinyatakan dalam perbandingan persen antara (VMAVIM) terhadap VMA sehingga: VFB =
(2.11)
dimana: VFB = Volume pori antara butir agregat yang terisi aspal, % dari VMA VMA = Volume pori antara butir agregat didalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat VIM = Volume pori dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat 4. Kadar aspal efektif (Pbe) Kadar aspal efektif (Pbe) campuran beraspal adalah kadar aspal total dikurangi jurnlah aspal yang diserap oleh agregat. Kadar aspal efektif ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan menentukan kinerja campuran aspal. Pbe = Pbt -
x Pagg
(2.12)
dimana: Pbe = kadar aspal efektif yang menyelimuti butir-butir agregat, % terhadap berat campuran padat. Pagg = kadar agregat, % terhadap berat campuran padat. Pbt = kadar aspal persen terhadap berat total campuran. Pba = kadar aspal yang terabsorbsi kedalam pori butir agregat, % terhadap berat agregat. 5. Aspal terserap oleh agregat (Pbabs) Jumlah aspal yang terabsorbsi oleh agregat dinyatakan dalam persentase berat terhadap berat total agregat, tidak dalam persentase terhadap berat total campuran. 39
Pbabs =
x 100
(2.13)
Gse =
(2.14)
dimana: Pbabs
= banyaknya aspal yang terserap agregat
Gsb
= berat jenis bulk agregat
Gse
= berat jenis efektif agregat
Gmm
= berat jenis maksimum campuran
Pbt
= kadar aspal persen terhadap berat total campuran
6. Berat jenis maksimum campuran (Gmm) Dalam spesifikasi terdahulu besarnya nilai Gmm
yaitu berat jenis
maksimum campuran beraspal dimana rongga udara dalam campuran dianggap nol, dihitung secara teoritis dengan rumus : Gmm teoritis =
(2.15)
Padahal dalam kenyataannya rongga udara akan selalu ada walaupun dalam campuran beraspal yang paling padat sekalipun. Berdasarkan kenyataan ini berat jenis maksimum teoritis tidak digunakan dalam spesifikasi Puslibang Prasarana Transportasi (2004). Nilai Gmm pada campuran dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : Gmm = Wtotal =
(2.16)
dimana: Wagg
= berat total agregat
Pbt
= kadar aspal, persen terhadap berat total campuran
Gse
= berat jenis efektif agregat
Gbt
= berat jenis aspal
40
Volumetrik campuran beraspal dapat diilustrasikan seperti Gambar 2.6:
Gambar 2.6. Volumetrik campuran beraspal dimana: VMA
= volume rongga diantara agregat
VMB
= volume bulk campuran padat
VMAE
= volume agregat padat tanpa rongga
VFB
= volume rongga terisi aspal
VIM
= volume rongga dalam campuran
VB
= volume aspal
VBA
= volume aspal yang diserap agregat
VMAB
= volume agregat tanpa rongga
VVM
= volume agregat + volume aspal
2.7
Estimasi Kadar Aspal Awal Menentukan kadar aspal awal dapat dilakukan dengan menggunakan
rumus estimasi kadar aspal awal sebagai berikut (Puslitbang Prasarana Tranportasi, 2004): Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + k
(2.17)
dimana : Pb = kadar aspal rencana awal, adalah % terhadap berat campuran. CA = agregat kasar, adalah % terhadap agregat tertahan saringan No.8. FA = agregat halus, adalah % terhadap agregat lolos saringan No.8 dan tertahan saringan No.200.
41
FF = filler, adalah % terhadap agregat lolos saringan No.200, tidak termasuk mineral aspal Retona Blend 55. K = konstanta berkisar antara 0,5-1,0
2.8
Pengujian Marshall Karakteristik campuran aspal beton dapat diperiksa dengan menggunakan
alat Marshall. Alat Marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan proving ring (cincin penguji) berkapasitas 22,2 KN dan flowmeter. Proving ring digunakan untuk mengukur nilai stabilitas dan flowmeter untuk mengukur kelelehan plastis atau flow. Benda uji Marshall berbentuk silinder berdiameter 4 inchi (10,2 cm) dan tinggi 2,5 inchi (6,35 cm). Kinerja beton aspal padat ditentukan melalui pengujian benda uji yang meliputi: 1. Penentuan berat benda uji. 2. Pengujian nilai stabilitas, yaitu kemampuan maksimum aspal beton padat menerima beban sampai terjadi kelelehan plastis. 3. Pengujian kelelehan (flow) adalah besarnya perubahan bentuk plastis dari aspal beton padat akibat adanya beban sampai batas keruntuhan. 4. Perhitungan Quetient Marshall, yaitu perbandingan antara nilai stabilitas dan flow. 5. Perhitungan berbagai jenis volume pori dalam aspal beton padat (VIM, VMA, VFB). 6. Perhitungan tebal selimut/film aspal. Dari keenam butir pengujian di atas hanya nilai stabilitas dan flow yang ditentukan dengan menggunakan alat Marshall sedangkan yang lainnya ditentukan melalui penimbangan benda uji dan perhitungan.
2.9
Campuran AC-BC dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak Derajat kepadatan mutlak (Percentage Refusal Density / PRD) adalah
rasio antara kepadatan uji laboratorium terhadap kepadatan refusal dalam suatu satuan persen (Puslitbang Prasarana Transportasi, 2002). Kepadatan mutlak merupakan pendekatan terhadap kondisi lapangan setelah campuran beraspal dipadatkan secara sekunder oleh lalu lintas selama beberapa tahun umur rencana,
42
tanpa mengalami perubahan bentuk plastis. Kadar aspal yang digunakan untuk kepadatan mutlak adalah kadar aspal yang memberikan nilai VIM Marshall 6% dan 0,5% diatas dan dibawah dari kadar aspal tersebut. Untuk masing-masing kadar aspal dibuatkan tiga benda uji. Benda uji ini dipadatkan dalam cetakan yang berukuran 152-153 mm (6 inchi) dengan pemadatan getar atau dengan pengembangan pemadatan Marshall sebanyak 400 tumbukan untuk cetakan berdiameter 4" dan 600 tumbukan untuk cetakan berdiameter 6" untuk masingmasing sisi. Hasil pengujian VIM PRD disatukan kedalam grafik hubungan VIM Marshall dimana perbedaan nilai VIM yang dipadatkan dengan Marshall standar dengan yang dipadatkan mencapai kepadatan mutlak tidak boleh lebih dari 3%. Untuk
PRD
dengan
pengembangan
pemadatan
Marshall
dapat
memungkinkan terjadinya pemecahan partikel agregat. Oleh karena itu perlu diperhatikan mutu agregat yaitu nilai abrasi dengan mesin Los Anggeles maksimum 40% suhu pemadatan + 140°C (untuk penetrasi 80/100) atau ± 145°C (untuk penetrasi aspal 60/70).
2.10
Kadar Aspal Optimum Kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan merata-ratakan kadar aspal
yang memberikan stabilitas maksimum, kepadatan maksimum, dan kadar aspal pada VIM PRD yang disyaratkan, serta persyaratan campuran beraspal lainnya seperti VMA, VFB dan kelelehan campuran. Selain itu kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan menggunakan Metode Bar-Chart. Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi semua persyaratan spesifikasi (Bina Marga, 2006). Penentuan kadar aspal optimum dapat digambarkan seperti Gambar 2.7.
43
Karakteristik Campuran Kepadatan (gr/cc) Rongga diantara agregat (%) (VMA) Rongga terisi Aspal (%) (VFB) Rongga dalam campuran (%) (VIM Marshall) Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan mutlak
5
Rentang kadar aspal yang memenuhi spesifikasi 5,5 6 6.5
7
Stabilitas (kg) Kelelehan (mm) Hasil Bagi Marshall (kg/mm)
Kadar Aspal Rencana
Gambar 2.7 Penentuan Kadar Aspal Optimum
44