BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Degradasi Lahan Pada sistem pertanian lahan kering yang kurang efektif mengendalikan aliran permukaan dapat mempercepat kehilangan bahan organik yang sangat ringan dan mudah terangkut aliran permukaan, terutama bahan organik yang belum tercampur dan terikat bahan mineral tanah yaitu serpihan bahan organik (particulate organic matter). Kehilangan serpihan bahan organik ini sering tidak disadari karena tidak akan teramati tanpa ada upaya untuk menampung dengan menghentikan aliran permukaan (Brata, 2004). Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo, 1990 dalam Abdurachman et al.,2008). Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi disebabkan oleh kemunduran sifat-sifat kimia dan fisik tanah, yakni: kehilangan unsur hara dan bahan organik, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, serta berkurangnya kemantapan struktur tanah yang pada akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas. Hal ini dikarenakan lapisan atas tanah setebal 15 sampai 30 cm mempunyai sifat-sifat kimia dan fisik lebih baik dibandingkan lapisan lebih bawah. Banyaknya unsur hara yang hilang bergantung pada besarnya kandungan unsur hara yang terbawa oleh sedimen dan besarnya erosi yang terjadi (Edukasi.net, 2010). Berdasarkan luasan, lahan kering merupakan sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk menunjang pembangunan pertanian di indonesia. Namun demikian, optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia masih
dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya dalam hal penanggulangan degradasi lahan. Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya semantara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis (Dariah et al., 2004). Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia bagian barat. Bahkan di Indonesia bagian timur pun yang tergolong daerah beriklim kering, masih banyak terjadi proses erosi yang cukup tinggi, yaitu di daerah-daerah yang memiliki hujan dengan intensitas tinggi, walaupun jumlah hujan tahunan relatif rendah (Abdurachman dan Sutono, 2002 dalam Dariah et al., 2004). 2.2 Kehilangan Hara Kalium Kehilangan unsur hara dapat terjadi melalui aliran permukaan maupun erosi (sedimentasi). Unsur-unsur hara yang larut dalam air akan terbawa bersamasama dengan aliran permukaan, sedangkan unsur-unsur hara yang tidak larut dalam air akan terbawa melalui erosi bersama-sama sedimen (Pratiwi, 2001). Menurut Brata (2004), Aliran permukaan mengakibatkan kehilangan bahan yang terlarut (unsur hara, pupuk, dan pestisida) maupun yang terangkut berupa bahan organik, dan bahan mineral halus (liat dan debu) serta mikroba yang dapat mencemari lingkungan yang dilewati. Terlebih lagi aliran permukaan yang terbuang dari areal yang meluas akibat perluasan pertanian lahan kering yang biasanya terjadi di bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai (DAS) telah menyebabkan meluasnya lahan kritis, serta bencana banjir dan kekeringan di bagian hilir yang merupakan lahan pertanian yang relatif lebih subur. Kehilangan hara seperti halnya hara Kalium akan berdampak pada kesuburan tanah serta pertumbuhan tanaman. Kekurangan kalium pada tanaman menyebabkan turgor tanaman menjadi berkurang sehingga sel tanaman menjadi lemah (Silvikultur.com, 2011). Hara Kalium (K) merupakan unsur hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium mempunyai valensi satu dan diserap dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan
tanaman, maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma. Secara umum fungsi Kalium bagi tanaman, antara lain : membentuk dan mengangkut karbohidrat, sebagai katalisator dalam pembentukan protein, mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, menetralkan reaksi dalam sel terutama dari asam organik, menaikan pertumbuhan jaringan meristem, mengatur pergerakan stomata, memperkuat tegaknya batang sehingga tanaman tidak mudah roboh, mengaktifkan enzim baik langsung maupun tidak langsung, meningkatkan kadar karbohidrat dan gula dalam buah, membuat biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat, meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar, dan warna yang lebih baik, membuat tanaman menjadi lebih tahan terhadap hama dan penyakit dan membantu perkembangan akar tanaman (Silvikultur.com, 2011). 2.3 Aliran Permukaan Dan Erosi 2.3.1 Aliran Permukaan Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Bentuk aliran inilah yang paling penting sebagai penyebab erosi (Arsyad, 2006). Aliran permukaan akan terjadi apabila air hujan yang masuk kedalam tanah telah melampaui kapasitas infiltrasinya. Aliran tersebut mula-mula laminer, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi turbulent karena pengaruh permukaan tanah yang dilaluinya. Turbulensi aliran ini digunakan untuk melepas lagi butir-butir tanah dengan mengangkat dari massanya dan menggulingkan butir-butir tanah tersebut, serta terjadi pula penggemburan butir-butir tanah yang terkandung dalam aliran permukaan. Aliran permukaan lama-kelamaan akan berkurang sejalan dengan berkurangnya curah hujan. Oleh karena itu, kemampuan pengangkutannya akan menyusut, dan pada suatu saat saja akan berhenti. Dalam keadaan inilah terjadi pengendapan butir-butir partikel tanah yang merupakan proses akhir terjadinya erosi (Vadari et al., 2004). 2.3.2 Erosi Erosi didefinisikan sebagai suatu proses dimana tanah dihancurkan dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, atau gravitasi (Wibowo, 2007). Menurut Arsyad (2006), menurut bentuknya, erosi dibedakan dalam erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing sungai, longsor dan erosi internal.
1) Erosi lembar Erosi lembar (sheet erosion) adalah pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan tanah. Kekuatan butir-butir hujan dan aliran permukaan yang merata di atas permukaan tanah merupakan penyebab erosi ini. 2) Erosi alur Erosi alur (rill erosion) adalah pengangkutan tanah dari alur-alur tertentu pada permukaan tanah, yang merupakan parit-parit kecil dan dangkal. Erosi alur terjadi oleh karena air mengalir dipermukaan tanah tidak merata akan tetapi terkonsentrasi pada alur tertentu sehingga pengangkutan tanah terjadi tepat pada tempat aliran permukaan terkonsentrasi. Kecenderungan terjadi erosi alur lebih dipengaruhi oleh cara bertanam dan sifat fisik tanah dari pada oleh sifat hujan. 3) Erosi parit Erosi parit (gully erosion) proses terjadinya sama dengan erosi alur, akan tetapi alur yang terbentuk sudah demikian besarnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa. Erosi parit yang baru terbentuk berukuran sekitar 40 cm lebarnya dengan kedalaman sekitar 30 cm. Erosi parit yang sudah lanjut dapat mencapai 30 m dalamnya. 4) Erosi tebing sungai Erosi tebing sungai (river bank erosion) terjadi sebagai akibat pengikisan tebing sungai oleh air dari bagian atas tebing atau oleh terjangan aliran sungai yang kuat pada belokan sungai. Erosi tebing akan terjadi lebih hebat jika vegetasi penutup tebing tidak ada atau jika pengolahan tanah dilakukan sampai kepinggir tebing sungai. 5) Longsor Longsor (landslid) adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan atau gerakan tanah terjadi pada saat bersamaan dalam volume besar. Berbeda dari bentuk erosi lainnya, pada tanah longsor pengankutan tanah dengan volume besar terjadi sekaligus. Longsor terjadi sebagai akibat munculnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan kedap air tersebut terdiri atas liat atau mengandung liat tinggi atau batuan lain seperti napal (clay shale) yang setelah jenuh air berlaku sebagai tempat meluncur.
6) Erosi internal Erosi internal adalah terangkutnya butir-butir tanah ke bawah ke dalam celah-celah atau pori-pori tanah sehingga tanah menjadi kedap air dan udara. Erosi internal mungkin tidak menyebabkan kerusakan berarti oleh karena sebenarnya bagian-bagian tanah tidak terangkut keluar tempat tersebut, dan tanah akan baik kembali setelah dilakukan pengolahan tanah. Akan tetapi erosi internal menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah dengan cepat sehingga aliran permukaan meningkat yang menyebabkan terjadinya erosi lembar atau erosi alur. Erosi internal juga disebut erosi vertikal. 2.3.2.1 Dampak erosi Menurut Arsyad (2006), dampak erosi terjadi di dua tempat yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi dan (2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Kerusakan yang di alami pada tanah tempat erosi terjadi berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, dan meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, menurunnya kapasitas infiltrasi tanah serta kemampuan tanah menahan air. Akibat dari peristiwa ini adalah menurunnya produktivitas tanah, dan berkurangnya pengisian air bawah tanah. Banyak unsur hara yang hilang oleh erosi tergantung pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam bagian tanah yang tererosi. Secara kasar banyaknya unsur hara yang hilang dari sebidang tanah yang tererosi dihitung dengan mengalikan kandungan unsur hara tanah semula dengan besarnya tanah tererosi. Lebih teliti jumlah kandungan hara yang hilang di ukur dengan mengalikan banyaknya sedimen dengan unsur hara yang hilang. 2.3.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi Menurut Baver (1959) dalam Bimapala Uid (2010) menjelaskan bahwa, secara umum erosi dipengaruhi oleh iklim, tanah (C), topografi (S), vegetasi (V) dan manusia (H) yang dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: E = f (C, S, T, V, H)
1) Iklim Pada daerah tropis faktor iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap laju erosi adalah hujan. Jumlah dan intensitas hujan di Indonesia umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan negara beriklim sedang. Besarnya curah hujan menentukan kekuatan dispersi, daya pengangkutan dan kerusakan terhadap tanah (Arsyad, 1989 dalam Bimapala Uid, 2010) 2) Tanah Tanah merupakan faktor penting yang menentukan besarnya erosi yang terjadi. Faktor-faktor tanah yang berpengaruh antara lain adalah (1) ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar baik oleh pukulan air hujan maupun limpasan permukaan, dan (2) kemampuan tanah untuk menyerap air hujan melalui perkolasi dan infiltrasi (Utomo, 1989 dalam Bimapala Uid, 2010). Penerapan teknik konservasi tanah dengan mengurangi derajat kemiringan lahan dan panjang lereng merupakan salah satu cara terbaik mengendalikan erosi (Dariah, 2004). Sifat-sifat tanah yang penting pengaruhnya terhadap erosi adalah kemampuannya untuk menginfiltrasikan air hujan yang jatuh serta ketahanannya terhadap pengaruh pukulan butir-butir hujan dan aliran permukaan. Tanah dengan agregat yang stabil akan lebih tahan terhadap pukulan air hujan dan bahaya erosi. Kapasitas infiltrasi tanah sangat dinamis, dapat berubah atau diubah oleh waktu atau pengolahan tanah (Utomo, 1989 dalam Bimapala Uid, 2010). 3) Topografi Topografi diartikan sebagai tinggi rendahnya permukaan bumi yang menyebabkan terjadi perbedaan lereng. Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1989 dalam Bimapala Uid, 2010). Bentuk lereng juga berpengaruh terhadap erosi (Ramos, 2000 dalam Bimapala Uid, 2010). 4) Vegetasi Menurut Arsyad (2006), Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: (a) intersepsi air hujan;
(b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak hujan dan aliran permukaan; (c) pengaruh akar, bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh dipermukaan tanah dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur porositas tanah; (d) transpirasi yang mengakibatkan keringnya kandungan air tanah. Hutan atau padang rumput yang tebal merupakan pelindung tanah yang efektif terhadap bahaya erosi. Tanaman yang tinggi biasanya menyebabkan erosi yang lebih besar dibandingkan tanaman yang rendah, karena air yang tertahan oleh tanaman masih dapat merusak tanah pada saat jatuh di permukaan tanah. Selain mengurangi pukulan butir-butir air hujan pada tanah, tanaman juga berpengaruh dalam menurunkan kecepatan aliran permukaan dan mengurangi kandungan air tanah melalui transpirasi (Rachman, 1991 dalam Bimapala Uid, 2010). 5) Manusia Pembuatan teras, penanaman secara berjalur, penanaman atau pengolahan tanah menurut kontur, perlindungan tanah dengan mulsa adalah kegiatan manusia yang dapat menurunkan erosi. Di lain pihak, penanaman searah lereng, perladangan dan penggunaan lahan tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan meningkatkan bahaya erosi (Arsyad, 1989 dalam Bimapala Uid, 2010). Pengolahan tanah menurut kontur secara umum mengurangi erosi secara efektif terutama bila terjadi hujan lebat dengan intensitas sedang sampai rendah. Pembuatan teras berfungsi mengurangi panjang lereng sehingga kecepatan aliran permukaan bisa dikurangi dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah lebih besar, akibatnya erosi menjadi berkurang (Sukmana, 1978 dalam Bimapala Uid, 2010). 2.4 Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan serta Teknik-teknik Konservasi Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46−351 t/ha/tahun (Sukmana, 1995 dalam Abdurachman et al., 2008). Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang
terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,10−13,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson : Arsyad, 2000 dalam Abdurachman et al., 2008). Menurut Arsyad (2006), teknik atau metode konservasi tanah dan air dapat digolongkan kedalam tiga golongan utama, yaitu metode vegetatif,
metode
mekanik dan metode kimia. 1) Metode vegetatif Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman dan tumbuhan, atau bagianbagian tumbuhan atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah. Dalam konservasi tanah dan air, metode vegetatif mempunyai fungsi : melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh , melindungi tanah terhadap daya perusak air yang mengalir di permukaan tanah, memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Contoh metode vegetatif yaitu penanaman dalam strip, penggunaan sisa-sisa tanaman/tumbuhan, geotekstil, strip penyangga riparian (riparian buffer strips), tanaman penutup tanah, pergiliran tanaman, dan agroforestri. 2) Metode mekanik Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam konservasi berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan
kekuatan
yang tidak merusak,
memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan penyediaan air bagi tanaman. Contoh metode mekanik mekanik yaitu pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation), guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, parit pengelak,
teras, dam penghambat (check dam), waduk, kolam atau balong (farm ponds), rorak, tanggul, perbaikan drainase dan irigasi. 3) Metode kimia Metode kimia dalam konservasi tanah dan air adalah penggunaan preparat kimia baik berupa senyawa sintetik maupun berupa bahan alami yang telah diolah, dalam jumlah yang relatif sedikit, untuk meningkatkan stabilitas agregat tanah dan mencegah erosi. 2.5 Teknik Konservasi dengan Mulsa Vertikal Mulsa vertikal atau disebut juga jebakan mulsa adalah bangunan menyerupai rorak yang di buat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila dibandingkan dengan rorak (Subagyono et al., 2004). Ukuran jebakan mulsa harus disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40 – 0,60 m dan dalam 0,30 – 0,50 m. Jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan berkisar antara 3-5 m. Jebakan mulsa ini merupakan tempat meletakkan sisa hasil panen atau rumput hasil penyiangan dan sekaligus berfungsi untuk menampung air aliran permukaan serta sedimen. Setelah beberapa kali hujan, jebakan mulsa ini biasanya terisi sedimen. Pada musim tanam berikutnya, bersamaan dengan persiapan dan pengolahan tanah, jebakan mulsa tersebut diperbaiki/dibuat kembali (Subagyono et al., 2004). Menurut Santoso et al., (2004), pemberian mulsa vertikal (slot mulsa) pada lahan kering lebih banyak ditekankan untuk menjaga kelembaban tanah. Kelembapan tanah dapat dipertahankan sampai jarak 150 cm dari tempat mulsa. Bahan organik berperan dalam mempertahankan kelengasan tanah terutama 10 hari setelah hujan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan bahan organik dalam mengikat air yang lebih besar dibandingkan dengan tanah.