BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 27 hari sifat demam adalah demam tinggi, lebih dari 38.5ºC, penurunan trombosit disertai dengan kepala nyeri (pusing), lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan. Disertai dengan gejala lain seperti mimisan, berak darah, muntah darah, dan kesadaran menurun (Irianto, 2009). Penyebab DBD adalah virus dengue sebagai agen penyebab DBD desebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arboviroses) yang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotype yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Virus ini memerlukan masa inkubasi selama 4-7 hari (Wati, 2009).
Gambar 2.1 Siklus Penularan Penyakit DBD Sumber : Kemenkes RI, 2014 6
8
2.2 Endemisitas DBD 2.2.1 Endemis Endemis adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit atau agen infeksi tertentu secara terus menerus ditemukan dalam suatu wilayah atau dapat dikatakan sebagai suatu penyakit yang umum ditemukan disuatu wilayah (Ayuningtyas, 2013). 2.2.2 Stratifikasi Kecamatan DBD
Menurut Kemenkes RI, 2014 stratifikasi kecamatan DBD adalah sebagai berikut : 1. Kecamatan endemis yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir, terdapat kasus ataupun kematian karena demam berdarah dengue secara berurutan, meskipun jumlahnya hanya satu. 2. Kecamatan sporadis yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus ataupun kematian karena penyakit demam berdarah dengue tetapi tidak berurutan disetiap tahunnya. 3. Kecamatan potensial yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah diketemukan kasus ataupun kematian karena penyakit DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentasi rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5%. 4. Kecamatan bebas yaitu kecamatan yang dalam tiga tahun terakhir tidak pernah ada penderita DBD dan persentasi rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%.
2.3 Nyamuk Aedes Aegypti Sebagai Vektor DBD Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama (primer) dalam penyebaran penyakit DBD dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder yang juga penting dalam
mendukung keberadaan virus. Aedes aegypti memiliki ciri-ciri badan kecil berwarna
9
hitam dengan bintik-bintik putih dengan jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter, menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul 16.0017. Siklus normal infeksi demam berdarah dengue terjadi antara manusia, nyamuk Aedes aegypti, manusia. Dari darah penderita yang dihisap, nyamuk betina dapat menularkan virus dengue. Aedes aegypti dikenal mempunyai kebiasaan hidup pada genangan air jernih pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah (Wirayoga, 2013).
Gambar 2.2 Nyamuk Aedes aegypti Sumber : Cutwa, 2014
2.3.1 Klasifikasi Klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Arthropoda, Sub Phylum : Mandibulata, Kelas : Insecta, Sub Kelas : Pterygota, Ordo : Diptera, Sub Ordo : Nematocera, Famili : Culicidae, Sub family : Culicinae, Genus : Aedes, Sub Genus : Ategomia, Species : Aedes aegypti (Ayuningtyas, 2013).
10
2.3.2 Morfologi 1. Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus a. Telur Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali di keluarkan, lalu menjadi berwarna coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, dengan panjang kurang lebih 0,5 mm. Saat diletakkan telur berwarna putih, 15 menit kemudian telur berubah warna menjadi abu-abu kemudian menjadi hitam. Telur menetas dalam waktu 1-2 hari dan TPA yang disukai adalah yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung (Sucipto, 2011).
Gambar 2.3 Telur Aedes aegypti Sumber : Sivanathan, 2006 b. Larva (jentik) Larva Aedes aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen, yang bergerak sangat lincah dan sangat sensitif terhadap getaran dan cahaya. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air dan pada waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada disekitar dinding tempat penampung air sedangkan Aedes albopictus hidup dan berkembang di kebun dan semak-semak (Sembel, 2009).
11
Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai pertumbuhan larva tersebut, yaitu : instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, instar II : berukuran 2,5-3,8 mm, instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II, instar IV : berukuran paling besar 5 mm. larva mengambil makanannya di dasar TPA sehingga di sebut bottom feeder, dan mengambil oksigen di udara. Larva menjadi pupa membutuhkan waktu 7 – 9 hari untuk larva Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada suhu sekitar 25ºC 30ºC (Kemenkes RI, 2014). 1
2
3
4
Keterangan : 1. Larva Aedes aegypti 2. Gigi-gigi sisir dalam satu baris
3. Larva Aedes albopictus 4. Ada seperti sisir dalam satu baris
Gambar 2.4 Larva (jentik) Aedes aegypti dan Aedes albopictus Sumber : Cutwa, 2014 c. Pupa Pupa berbentuk seperti “koma” lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain. Gerakannya lamban dan sering berada di permukaan air. Masa stadium pupa Aedes aegypti normalnya berlangsung antara 2 hari (Kemenkes RI, 2014).
12
1
2
3
4
4.
Keterangan :
1. Pupa Aedes aegypti
2. Dayung pupa terdapat tunggul
3. Pupa Aedes albopictus
4. Dayung pupa terdapat bulu
Gambar 2.5 Pupa Aedes aegypti dan Aedes albopictus Sumber : Cutwa, 2014
d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti betina. Perbedaan morfologi antara nyamuk Aedes aegypti yang betina dengan yang jantan terletak pada perbedaan morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan memiliki antena berbulu lebat sedangkan yang betina berbulu agak jarang/tidak lebat. Umur nyamuk betina 8-15 hari, nyamuk jantan 3-6 hari dan seekor nyamuk betina Aedes aegypti setelah 3 hari menghisap darah mampu menghasilkan 80-125 butir telur dengan rata-rata 100 butir telur (Sucipto, 2011). Nyamuk Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik sebagai berikut torak mempunyai gambaran sebuah pita putih longitudinal. Ae.
13
Albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya (Sembel, 2009). 1
2
3
4
5
6
Keterangan : 1. Nyamuk Aedes aegypti 2. Torak berbentuk piala 3. Kaki berwarna belang-belang 4. Nyamuk Aedes albopictus 5. Torak terdapat simbul garis putih 6. Terdapat belang hitam putih pada kaki.
Gambar 2.6 Nyamuk Dewasa Aedes aegypti dan Aedes albopictus Sumber : Cutwa, 2014
2.3.3 Bioekologi 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorphosis sempurna, yaitu : telur-jentik (larva)-pupa-nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 608 hari, dan stadium kepompong (pupa) berlangsung antara 24 hari. Pertumbuhan dan telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Kemenkes RI, 2014).
14
2. Tempat perkembangbiakan nyamuk Menurut Kemenkes RI (2011) Tempat perkembangbiakan Aedes. Ialah tempattempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempattempat umum. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus terdapat pada daerah peternakan unggas (misalnya ayam), larva banyak dijumpai pada tendon minuman unggas. Pada daerah pedesaan dengan rumpun bambu, maka bekas tebangan bambu yang ada genangan air merupakan tempat bertelur nyamuk Aedes albopictus (Sembel, 2009).
Menurut Kemenkes RI (2011) habitat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Tempat penampungan (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti : drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember. b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti : tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak control pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh : ban, botol, plastik dan lain-lain. c. Tempat penampungan air alamiah seperti : lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelapah pisang dan potongan bambu dan tempurung coklat/karet dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan Ayuningtyas (2013) Dari hasil penelitian 55 rumah yang diperiksa terdapat 45 rumah yang memiliki kontainer dengan air jernih/bersih 46,7% positif jentik Aedes aegypti. Sehingga keberadaan jentik Aedes aegypti lebih banyak pada kontainer dengan air jernih/bersih dibandingkan dengan kontainer dengan air keruh/kotor. Penelitian lain yang dilakukan oleh Widjaja (2012) dari 30 kontainer yang positif larva bahwa jenis kontainer bak mandi paling banyak ditemukan positif
15
jentik Aedes aegypti dan ditemukan Ae. Albopictus pada bak mandi (26%), tempayan (11%), pot bunga 3%, ember (3%) dan ban bekas sebesar (2%). 3. Perilaku Nyamuk Dewasa Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk semntara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari (Kemenkes RI, 2014). Nyamuk betina meletakkan telur diatas permukaan air, menempel pada dinding tempat-tempat perindukan, tempat perindukan yang disenangi nyamuk biasanya berupa barang buatan manusia untuk keperluan manusia misalnya bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil bekas, tempurung, dan lain-lain. Setiap bertelur dapat mencapai 100 butir, setelah nyamuk menetas biasanya singgah di semak, tanaman hias di halaman, tanaman pekarangan, yang berdekatan dengan pemukiman manusia dan singgah dipakian kotor yang tergantung seperti baju, topi, celana, kerudung (Zulkoni, 2013). 4. Penyebaran Kemampuan terbang nyamuk Aedes. Betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas didaerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas di rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan
16
berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak (Kemenkes RI, 2014). 5. Variasi Musiman Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena telur-telur yang
tadinya
belum
sempat
menetas
akan
menetas
ketika
habitat
perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Kemenkes RI, 2014). 6. Faktor lingkungan Menurut Sucipto (2011) Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbasis lingkungan, artinya lingkungan sangat berperan dalam terjadinya penularan penyakit tersebut. Beberapa faktor lingkungan, diantaranya sebagai berikut : 1. Curah hujan, sangat penting dalam kelangsungan hidup nyamuk Ae. Aegypti, curah hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perkembangan nyamuk Aedes di luar rumah. 2. Pengaruh suhu/temperatur, suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25ºC- 27ºC. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali kurang dari 10ºC atau lebih dari 40ºC. 3. Pengaruh kelembaban udara, kebutuhan kelembaban yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab dan basah sebagai tempat hinggap atau istirahat. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk menjadi pendek.
17
4. Faktor kepadatan penduduk, kepadatan penduduk yang sangat tinggi di beberapa Negara daerah tropis menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering terjadi.
2.4 Surveilans Entomologi Vektor DBD Surveilans vektor DBD meliputi proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data vektor serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak instansi terkait secara sistematis dan terus menerus. Tujuan dari surveilans adalah untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor, tempat perindukan, indek larva (HI, CI, BI) serta mengetahui cara pengendalian vektor DBD. Surveilans vektor DBD merupakan unsur penting dalam pelaksanaan program pengendalian penyakit DBD antara lain dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dan menentukan tindak lanjut dari data yang diperoleh dalam rangka menentukan tindakan pengendalian vektor secara efisien dan efektif (Kemenkes RI, 2014). 2.4.1 Teknis Pengamatan Vektor DBD Dalam metode surveilans vektor DBD yang di peroleh antara lain adalah datadata kepadatan vektor. Untuk memperoleh data-data tersebut tentulah diperlukan kegiatan survei, ada beberapa metode survei seperti, metode survei telur, survei terhadap jentik, dan nyamuk. 1. Survei telur Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya dan gelas plastik/kaca. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah atau tempat yang gelap dan lembab.
18
2. Survei jentik Survei jentik yaitu kegiatan untuk mengetahui positif atau negatifnya jentik di dalam maupun diluar rumah serta tempat-tempat umum yang ada disekitarnya. Adapun cara dalam melakukan survei jentik yaitu : a. Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui ada tidaknya jentik. b. Jika pada pengliatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½-1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada jentik. c. Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air keruh. Menurut Kemenkes RI, 2014 Metode survei jentik dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Single larva Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air dengan mengambil satu ekor jentik menggunakan cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet panjang jentik lalu diidentifikasi lebih lanjut serta jentik yang diambil ditempatkan dalam botol kecil dan diberi label. 2. Visual Cara ini cukup dilakukan dengan melihat atau tidaknya jentik di setiap genangan air tanpa mengambil jentiknya. Dalam menghitung kepadatan jentik, digunakan ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti seperti : 1. House index (HI) yaitu adalah persentase rumah yang positif jentik dari seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa di lokasi penelitian. Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik X 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
19
2. Kontainer Index (CI) persentase kontainer yang positif jentik dari seluruh kontainer yang diperiksa di lokasi penelitian. Jumlah kontainer yang ditemukan jentik X 100% Jumlah kontainer yang diperiksa 3. Breteau index (BI) Jumlah penampung air yang positif jentik dalam per100 rumah/ bangunan yang diperiksa.
Jumlah kontainer yang ditemukan jentik X 100% 100 rumah yang diperiksa Berdasarkan hasil survei larva dapat ditentukan dengan density figure. Density figure adalah kepadatan jentik Aedes aegypti yang merupakan perhitungan dari HI, CI, BI yang di nyatakan dengan skala 1-9 dan di bandingkan dengan tabel larva Index. Apabila angka DF kurang dari 1 menunjukkan risiko penularan rendah, 1 – 5 risiko penularan sedang dan diatas 5 risiko penularan tinggi.
Density Figure
Tabel 2.1 Larva Index House Index Kontainer
(DF)
(HI)
Breteau Index
Index (CI)
(BI)
1
1–3
1–2
1–4
2
4–7
3–5
5–9
3
8 – 17
6–9
10 – 19
4
18 – 28
10 – 14
20 – 34
5
29 – 37
15 – 20
35 – 49
6
38 – 49
21 – 27
50 – 74
7
50 – 59
28 – 31
75 – 99
8
60 – 76
32 – 40
100 – 199
9
>77
>41
>200
Sumber : Lestari et al, 2014
20
c. Survei Nyamuk Dilakukan dengan cara menangkap nyamuk dengan menggunakan umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator. 2.4.2 Pengukuran Maya Index Kondisi tempat potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat diketahui dengan menggunakan indikator maya index (MI). MI merupakan indikator baru yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah lingkungan di perumahan atau komunitas berisiko tinggi atau tidak sebagai tempat perkembangbiakan (breeding sites) nyamuk Aedes spp, di dasarkan pada status kebersihan daerah tersebut dan ketersediaan
tempat-tempat
yang
mungkin
berpotensi
sebagai
tempat
perkembangbiakan nyamuk (Miller et al, 1992 dalam Dhewantara, 2015 ). MI juga digunakan sebagai upaya pengendalian DBD di suatu daerah, karena dapat diketahui tingkat risiko dan tempat perkembangbiakan yang paling disukai, sehingga berguna untuk menentukan prioritas dalam penyusunan program pengendalian jentik nyamuk. Menurut Miller 1992 dalam Dhewantara 2015, tempat perindukan dibedakan menjadi 3, yaitu tempat yang dapat dikontrol (controllable sites) atau dikendalikan oleh manusia seperti ember, pot bunga, talang air, drum minyak, sumur, bak mandi, tempat minum burung, tower, bak air. Selain itu juga sampah atau tempat yang sudah dipakai (disposable sites) seperti botol bekas, kaleng bekas, ban bekas, ember bekas, lubang pada bambu, pohon berlubang, tempurung kelapa, genangan air, toples bekas. Tempat yang selalu terkontrol (undercontrol sites) seperti kolam yang berisi ikan. MI diperoleh dengan mengkombinasikan 2 indikator sebagai berikut :
21
a. Breeding risk index (BRI) adalah proporsi dari controllable sites di setiap rumah. Jumlah controllable sites di setiap rumah yang diperiksa Rata-rata kontainer b. Hygiene risk indikator (HRI) adalah proporsi dari disposable sites di setiap rumah. Jumlah disposable sites di setiap rumah yang diperiksa Rata-rata kontainer Menurut Lazono dan Avila (2002), kedua indikator ini dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan distribusi tertil dibawah ini yaitu : a. X < (µ -0,3) = Rendah b. (µ - 0,3) ≤ X < (µ -0,3) = Sedang c. (µ -0,3) = Tinggi Nilai BRI dan HRI di setiap rumah disusun dalam matrik 3 X 3 untuk menentukan kategori maya index rendah, sedang, tinggi. Tabel 2.2 Kategori Maya Index Indikator
BRI 1 (rendah)
BRI 2 (sedang)
BRI 3 (tinggi)
HRI 1 (rendah)
Rendah
Rendah
Sedang
HRI 2 (sedang)
Rendah
Sedang
Tinggi
HRI 3 (tinggi)
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sumber : Lazono dan Avila (2002) Penelitian yang dilakukan Dhewantara & Dinata, 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis controllable containers (BRI kategori tinggi) umumnya berada di dalam rumah dan aspek kebersihan di sekitar rumah cukup baik (HRI kategori rendah).
22
2.5 Metode Pengendalian Vektor Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan (Kemenkes RI, 2014). Berbagai metode pengendalian vektor (PV) DBD yaitu : 1. Kimiawi Pengendalian vektor dengan cara kimiawi menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih popular dimasyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/foging dan pengabutan dingin sedangkan pra dewasa (jentik) digunakan larvasida temephos (Abate) 1% yang ditaburkan dalam tempat-tempat penampungan air (Sucipto, 2011). 2. Biologi Pengendalian vektor biologi yaitu pengendalian larva nyamuk dengan cara menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah ikan pemakan jentik seperti cupang, dan gabus (Sucipto, 2011). Jenis lain dalam pengendalian vektor biologi misalnya aplikasi parasit (Romanomermes iyengeri), bakteri (Baccilus thuringiensis israelensis) ditujukan untuk stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam perkembangbiakan vektor (Kemenkes RI, 2014).
23
3. Manajemen lingkungan Pengelolaan lingkungan
dengan
melibatkan
perencanaan, organisasi,
pelaksanaan dan monitoring merupakan suatu kegiatan untuk memodifikasi atau manipulasi faktor lingkungan dengan suatu usaha untuk mengubah lingkungan dan mencegah atau meminimalkan vektor DBD untuk itu lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman (WHO, 2011) Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M Plus (menguras, menutup, dan memanfaatkan barang bekas, dan plusnya menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dan lain-lain), dan menghambat pertumbuhan vektor dengan cara menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah (Kemenkes RI, 2014) 4. Pengendalian vektor terpadu (Intergrated Vektor Management) IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta sector lain melalui kegiatan PSN anak sekolah (Kemenkes RI, 2014). 5. Pengendalian Cara mekanik Pengendalian DBD yang lain adalah dengan cara mekanik, yaitu mencegah gigitan nyamuk dengan memakai pakian yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali muka dan penggunaan net atau kasa di rumah-rumah (Sembel, 2009).
24
2.6 Perilaku Kesehatan dan Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Perilaku merupakan hasil dari pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan, sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan (Alma, 2013). Sedangkan menurut Hendrik L. Blum dalam Notoadmodjo (2010) faktor - faktor yang mempengaruhi status kesehatan antara lain : keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan, ke empat faktor ini saling mempengaruhi satu sama lainnya. Apabila dihubungkan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) faktor lingkungan yang kurang baik seperti pembuangan sampah, penyediaan tempat air bersih akan mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti khususnya jentik nyamuk. Sedangkan faktor perilaku yang berhubungan dengan PSN demam berdarah dengue menurut Kemenkes RI, 2014 seperti : 1. Menguras dan menyikat tempat penampungan air (TPA) seperti bak mandi/wc, drum dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali. 2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air (TPA) seperti gentong air, tempayan dan lain-lain. 3. Menyingkirkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. 4. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lain yang sejenis seminggu sekali 5. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak. 6. Menutup lubang pagar pada pagar bambu atau pohon dengan tanah atau adukan semen.
25
7. Menabur bubuk larvasida misalnya pada tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air. 8. Memelihara ikan memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak-bak penampungan air. 2.6.1 Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorng terhadap objek melalui indera yang dimilikinya, (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2010). Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Purnama (2010), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Umur Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. 2. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. 3. Penyuluhan Meningkatkan pengetahuan masyarakat juga melalui metode penyuluhan, dengan pengetahuan bertambah seseorang akan merubah perilakunya.
26
4. Media Massa Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tapi ia mendapatkan informasi yang banyak melalui berbagai media seperti : televisi, radio, surat kabar, majalah maka dari itu media massa akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. 5. Sosial Budaya Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa penalaran apakah yang dilakukan baik atau burung dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya. 2.6.2 Sikap (Attitude) Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian sikap adalah reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Adnani, 2011). 2.6.3 Tindakan (Pratice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung dan suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas atau sarana dan prasarana (Notoadmodjo, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2007) bahwa individu yang tidak melakukan dan melakukan 1 M (menguras atau menutup saja) berisiko 2,22 dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD daripada yang melakukan PSN (3M). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahardika (2009) disebutkan bahwa ada hubungan antara perilaku membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air,
27
menguras tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas, membuang sampah pada tempatnya dan membakarnya, menggantung pakaian, dan memakai lotion anti nyamuk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD). 2.6.4 Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju pada kedewasaan (jasmani dan rohani). Tujuan pendidikan adalah mengubah tingkah laku individu maupun masyarakat kearah yang diinginkan. Sehubungan dengan hal ini maka tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku dan merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan kearah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2007 dalam Riyadi, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2012) disebutkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan tinggi dan melakukan tindakan PSN DBD dengan baik sebanyak 43 (72,9%) dan pendidikan rendah melakukan PSN dengan baik sebanyak 33 (60%) serta uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan PSN DBD di Kelurahan Ballparang Kecamatan Rappocini. 2.6.5 Pekerjaan Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lama bekerja merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan kehidupannya sehari-hari (Hidayah, 2009). Penelitian yang dilakukan Dewi (2015) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara dengan nilai p value 0,909 > 0,05.