5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi dan Fisiologi Kulit
2.1.1. Struktur Kulit Kulit merupakan organ terbesar tubuh yang terdiri dari lapisan sel di permukaan (Moore dan Agur, 2003). Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan (Brunner dan Suddarth, 2001). Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang utamanya disusun oleh sel-sel epitel. Selsel yang terdapat dalam epidermis antara lain: keratinosit (sel terbanyak pada lapisan epidermis), melanosit, sel merkel dan langehans. Epidermis terdiri dari lima lapisan, dari yang paling dalam yaitu stratum basale, stratum spinosum,stratum granulosum, stratum lucidum dan stratum corneum (Price, 2005). Dermis merupakan lapisan yang kaya akan serabut saraf, pembuluh darah, dan pembuluh darah limfe. Selain itu dermis juga tersusun atas kelenjar keringat, sebasea, dan folikel rambut. Dermis terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan papilaris dan lapisan retikularis, sekitar 80% dari dermis adalah lapisan retikularis (Price, 2005). Jaringan subkutan atau hipodermis merupakan lapisan kulit yang paling dalam. Lapisan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh (Price, 2005).
6
Gambar 2.1. Anatomi kulit normal (moore, 2002)
2.1.2. Fungsi kulit (Moore dan Agur, 2003) 1. Perlindungan terhadap cidera dan kehilangan cairan (misalnya pada luka bakar) 2. Pengaturan suhu 3. Sensasi melalui saraf kulit dan ujung akhirnya yang bersifat sensoris (misalnya untuk rasa sakit). 4. Sebagai barrier dari invasi mikroorganisme patogen ataupun toksin
2.2. Luka Bakar 2.2.1.Defenisi Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebakan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) (Moenajat, 2001).
7 2.2.2. Patofisiologi Luka Bakar Luka bakar pada tubuh terjadi baik karena sampai suhu 44oC tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap derajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah ini. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyeluruh, penimbunan jaringan masif di interstitial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001). Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipovolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan (Sjamsuhidajat, 2004). Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan, maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi organ-organ penting seperti otak, kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem (Sjamsuhidajat, 2004). Proses penyembuhan luka dari awal trauma hingga tercapainya penyembuhan melalui tahapan yang kompleks. Proses ini terdiri dari beberapa fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi. Pada fase proliferasi, fibroblas memegang peranan yang penting. Fibroblas berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi. Fibroblas akan menghasilkan bahan dasar serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka (Sjamsuhidajat, 2004). Secara mikroskopis proses penyembuhan luka menyebabkan beberapa perubahan, yaitu: epitelisasi, angiogenesesis, serat kolagen, sel-sel fagosit, dimana hal tersebut melibatkan peran fibroblas. Sel epitel basal di tepian luka terlepas dan akan menutupi dasar luka dan tempatnya diisi oleh hasil mitosis sel epitel lainnya (Bloom and Fawcett, 2002).
8 2.2.3. Etiologi Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin ataupun zat kimia. Ketika kulit terkena panas, maka kedalaman luka akan dipengaruhi oleh derajat panas, durasi kontak panas pada kulit dan ketebalan kulit (Schwarts et al., 1999). Terdapat beberapa tipe luka bakar yang telah kita ketahui seperti: luka bakar suhu tinggi (thermal burn), luka bakar bahan kimia (chemical burn), luka bakar sengatan listrik (electrical burn) dan luka bakar radiasi (radiasi injury) (Moenajat, 2001).
2.2.4. Klasifikasi Luka Bakar Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman : 1.
Luka bakar derajat I Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering hiperemik, berupa
eritema, tidak dijumpai bula, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, penyembuhanya terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari (Brunicardi, 2001).
2.
Luka bakar derajat II Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagian lapisan dermis, berupa
reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula pembentukan scar, dan nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih tinggi dibawah kulit normal (Moenadjat, 2001).
1)
Derajat II Dangkal (superficial) Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis. Organ-organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24 jam. Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan basah, jarang menyebabkan hyperthropic scar. Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan kurang dari 3 minggu (Brunicardi et al., 2005).
9 2)
Derajat II Dalam (Deep) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis. Organ-organ kulit seperti folikel-
folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh, penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel yang tersisa. Dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tampak berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera karena variasi suplai darah dermis (daerah yang berwarna putih mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali, daerah yang berwarna merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran darah). Luka bakar akan sembuh dalam 3-9 minggu (Brunicardi et al., 2005).
3)
Luka bakar derajat III (full thickness burn) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis, dan lapisan lebih dalam, tidak dijumpai bula,
apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna putih dan pucat. Karena kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi oleh karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian jaringan kulit luar setempat. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka (Moenajat, 2001).
10
Gambar 2.2. Histologi Kulit setelah Luka Bakar (Sumber: Taylor,1997)
2.2.5. Proses Penyembuhan Luka Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2-3 minggu, sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak ada tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu. Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipe cedera jaringan luka, baik luka ulseratif kronik, seperti decubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya luas luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik. Tubuh secara normal akan merespon luka melalui proses peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungsi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase yaitu:
11 1.
Inflamasi Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan
yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan (Potter dan Perry, 2005). Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan
substansi
vasokontriksi
yang
mengakibatkan
pembuluh
darah
kapiler
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutupi pembuluh darah (Potter dan Perry, 2005). Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemostaksis neutrofil, makrofag, mast sel, sel endothelial dan fibroblas (Potter dan Perry, 2005). Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi leukosit Polimorfonuklear (PMN). Agregrat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Ttransforming Growth Factor beta-1 (TGF β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Potter dan Perry, 2005). Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator yaitu histamin, serotonin dan sitokins. Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis (Potter dan Perry, 2005). Makrofag selain berfungsi memakan sel-sel yang rusak juga berperan untuk mensintesis kolagen. Makrofag berperan dalam pembentukan jaringan granulasi dan memproduksi growth factor, dimana growth factor selanjutnya berperan penting dalam proses re-epitelisasi, pembentukan pembuluh kapiler baru dan angiogenesis (Potter dan Perry, 2005). Respon inflamasi ini sangat penting dalam proses penyembuhan luka bakar. Respon segera setelah terjadi injuri akan terjadi pembekuan darah untuk mencegah kehilangan darah.
12 Fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi yang berlangsung pada hari ke-3 atau hari ke-4 (Potter dan Perry, 2005).
2.
Proliferasi Fase ini berlangsung pada hari ke-4 sampai hari ke-21. Jaringan granulasi terdiri dari
fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah baru, fibronectin dan hyularonic acid. Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui migrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Dalam 3 sampai 5 hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan granulasi. Gambaran histologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam ECM (extracelullar matrix) yang longgar. Jaringan granulasi kemudian mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, yang akhirnya menghasilkan fibrosis padat (pembentukan jaringan parut) yang dapat melakukan remodeling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu (Syamsul hidjayat, 2004). Fibroblas banyak ditemukan pada jaringan ikat yang berproliferasi dan aktif mensintesis komponen matriks pada proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan yang rusak. Pada saat jaringan mengalami peradangan, maka fibroblas akan segera bermigrasi kearah luka, berproliferasi dan memproduksi matriks kolagen untuk memperbaiki jaringan yang rusak (Potter dan Perry, 2005). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Potter dan Perry, 2005).
3.
Fase Maturasi Fase ini dimulai hari ke-21 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih dari 12
bulan. Tujuan dari fase maturasi ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu (Syamsul hidjayat,2005). Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan memuncak pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
13 dilanjutkan pada fase maturasi. Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses remodelling) (Syamsul hidjayat,2005). Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertropic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Syamsul hidjayat,2005). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologi masing-masing individu, lokasi serta luasnnya luka (Syamsul hidjayat,2005).
2.3.
Fibroblas Fibroblas adalah komponen seluler primer dari jaringan ikat dan sumber sintetis utama
dari matrik protein misalnya kolagen. Sel fibroblas adalah sel yang paling banyak terdapat di jaringan ikat. Fibroblas mensintesis kolagen, elastin, glikosaminoglikan, proteoglikan dan glikoprotein multiadhesif. Di dalam sel ini tedapat 2 (dua) tahap aktivitas yaitu aktif dan tenang. Sel-sel dengan aktivitas sintesis yang tinggi secara morfologis berbeda dari fibroblas tenang, yang tersebar dalam matriks yang telah disintesis sel-sel tersebut (Junqueira, 2007).
2.3.1 Struktur Fibroblas Fibroblas merupakan sel besar, gepeng, bercabang-cabang, yang dari samping terlihat berbentuk gelendong atau fusiform. Cabang-cabangnya berbentuk langsing. Pada jaringan ikat yang direntangkan inti fibroblas tampak pucat. Pada sajian irisan, fibroblas terlihat mengkerut dan terlihat gelap dengan pewarnaan basa. Pada kebanyakan sediaan histologi, batas sel tidak nyata dan ciri inti merupakan pedoman untuk mengenalnya. Inti lonjong atau memanjang dan diliputi membran inti halus dengan satu atau dua anak inti jelas, dan sedikit granula kromatin halus (Leeson, 1996). Sel biasanya tersebar sepanjang berkas serat kolagen dan tampak dalam sediaan sebagai sel fusiform dengan ujung-ujung meruncing. Dalam beberapa situasi, fibroblas ditemukan dalam
14 bentuk stelata gepeng dengan beberapa cabang langsing. Inti panjangnya terlihat jelas, namun garis bentuk selnya mungkin sukar dilihat pada sediaan histologis karena bila relatif tidak aktif, sitoplasmanya eosinofilik seperti serat kolagen di sebelahnya (Fawcet, 2002). Fibroblas telah dikaji secara luas dalam biakan jaringan, tempat sel ini dapat diamati dalam isolasi anyaman serat tempat sel ini berada
in vivo. Dalam lingkungan ini, sel-sel
bermigrasi keluar dari eksplan dengan cabang-cabangnya melekat pada sel-sel di dekatnya untuk membentuk suatu jaringan (Fawcet, 2002).
Gambar 2.3.Gambar Sel Fibroblas Secara Histologi (Sumber: Ali, 2011) 2.3.2. Fungsi Fibroblas Fungsi fibroblas adalah menghasilkan serat dan substansi interseluler aktif terutama serat kolagen. Fibroblas mensintesis serabut kolagen dan glikoaminoglikan pada saat yang bersamaan. Sel ini mensekresi molekul tropokolagen kecil
dan yang bergabung dalam substansi dasar
membentuk serat kolagen. Kolagen akan memberikan kekuatan dan integritas pada setiap luka yang menyembuh dengan baik (Tri Harjana, 2011).
15 2.4. Propolis 2.4.1. Defenisi Propolis adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu, mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket yang dikumpulkan dari sumber tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun, untuk kemudian dicampur dengan air liur lebah (Marcucci et al., 2001, Salatino et al., 2005; Nakajima et al., 2009). Asal tanaman penghasil propolis belum dapat diketahui semuanya, yang saat ini diketahui adalah berasal dari getah resin tanaman kelompok pinus dan akasia. Propolis digunakan untuk menutup sel-sel atau ruang heksagonal pada sarang lebah. Biasanya, propolis menutup celah kecil berukuran 4-6 mm, sedangkan celah yang lebih besar diisi oleh lilin lebah. Dahulu peternak lebah di Amerika Serikat menganggap propolis sebagai bahan pengganggu, sebab melekat di tangan, pakaian, dan sepatu ketika cuaca panas, serta berubah keras dan berkerak ketika dingin (Saalatino et al., 2005) Salah satu jenis lebah yang mampu menghasilkan propolis dalam jumlah banyak yaitu jenis Trigona sp (Sabir, 2009). Spesies lebah madu yang juga aktif mencari propolis adalah Apis Mellifera (Salatino et al., 2005). Hanya lebah betina pekerja yang bertugas mencari polen sebagai bahan baku propolis, mengolah propolis dari berbagai bahan seperti pucuk daun, getah tumbuhan, dan kulit beragam tumbuhan seperti akasia dan pinus. Lebah jantan tidak mempunyai kantong polen di bagian tibia atau tungkai kaki dan tanpa kelenjar malam, itulah sebabnya tidak mampu mencari dan mengangkut polen ke sarang. Lebah madu cenderung menyesuaikan jadwal penerbangannya pada saat bunga-bunga dari spesies yang di kunjungi mulai mekar dan menghasilkan serbuk sasri, dan di luar itu tetap berada di sarang (Ensiklopedi Indonesia, 2003).
16 2.4.2. Karakteristik Propolis Warna propolis bervariasi, dari kuning, hijau hingga coklat tua, tergantung pada sumber tumbuhannya, seperti propolis Brazil (Cuba) berwarna kehijauan (Salatino, 2005). Propolis merupakan substansi resin alami yang mempunyai aroma wangi, sangat lengket pada suhu sarang saat baru dibentuk, mengeras pada suhu 15oC, dan menjadi mudah pecah dibawah suhu 5oC. Pada suhu 25-45oC, propolis bersifat lembut, elastis, dan sangat lengket. Diatas suhu 45oC, propolis semakin lengket seperti karet. Sementara pada suhu 60 dan 70-100oC propolis akan mencair (Krell, 2005).
2.4.3. Kandungan Propolis Propolis terdiri dari resin (50%), wax (30%), essential oils (10%), pollen (5%), dan komponen organik (5%) (Gomez et al., 2006). Resin mengandung flavonoid, fenol, dan berbagai bentuk asam (Borelli et al., 2002). Salah satu ikatan fenol yang ada dalam propolis yaitu Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) (Viuda et al., 2008). Komponen utama dari propolis adalah flavanoid dan asam fenolat, termasuk Caffeic Acid Phenetyl Ester (CAPE) yang kandungannya hampir 50% dari seluruh komposisi. Flavanoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh tumbuhan (Franz,2008).
Gambar 2.4. Struktur Kimia Caffeic Acid Phenetyl Ester
Flavonoid merupakan zat yang yang penting dari propolis baik bagi lebah maupun manusia. Flavonoid terdapat dalam jumlah yang banyak dalam propolis dibandingkan dengan produk-produk lebah lainnya seperti madu, royal jelly dan lain makanan, baik senyawa murni maupun sediaan herbal (misalnya ekstrak) dengan aktivitas biologis tertentu (Hasan, 2006).
17 Ada senyawa flavonoid yang terkandung didalam propolis diantaranya yaitu: pinocembrin, acacetin, chrysin, rutin, catechin, naringenin, galangin dan quercetin (Volpi et al., 2006). 2.4.3. Manfaat dan bukti ilmiah Propolis Propolis dan hasil produk lebah lainnya seperti madu, bee pollen dan royal jelly, bermanfaat untuk kesehatan. Di antaranya bermanfaat sebagai antioksidan, anti bakteri, anti inflamasi, hepato protektif, anti tumor, dan vasodilator (Viuda et al., 2008; Nakajima et al., 2009).
2.5.
Mencit (Mus Musculus) Merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai bahan hewan model
laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%. Mencit banyak digunakan sebagai hewan laboratorium karena memiliki keunggulan-keunggulan siklus hidup relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat- sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan karakteristik reproduksinya mirip manusia. Mencit yang dipakai pada penelitian ini adalah Mus Musculus Galur Double Ditsch Webster. Mencit dapat hidup mencapai umur 1-3 tahun tetapi terdapat perbedaan usia dari berbagai galur terutama berdasarkan kepekaan terhadap lingkungan dan penyakit (Malole dan Pramono, 1989). Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Sub Ordo
: Myoimorphia
Genus
: Mus
Spesies
: Mus Musculus Karena masih termasuk dalam kingdom animalia dan kelas mamalia, maka mencit ini
memiliki beberapa ciri- ciri yang sama dengan manusia dan mamalia lainnya (Malole dan Pramono, 1989)BAB 3