5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep Gender Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, sedangkan perempuan memiliki saluran reproduksi, seperti rahim, dalam arti secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan, sedangkan gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih,1996). Gender merupakan seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa ’kita’ (diri sendiri) adalah feminin atau maskulin. Beberapa hal yang menarik mengenai peran gender, yaitu peran-peran itu berubah seiring waktu; berbeda antar kultur; sangat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis; dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, kerja, dan sumberdaya (industri dan keterampilan); serta menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan membuat keputusan (Mosse, 1996). Konsep gender lebih kompleks dibandingkan dengan seks (Wood, 2001). Gender, tidak diciptakan stabil, dan pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi sosial, dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Gender adalah konstruksi sosial yang terbentuk berdasarkan budaya (cultural) dari waktu ke waktu dan berdasarkan hubungan dengan gender lain. Gender merupakan simbol yang dibentuk dari suatu kondisi sosial tertentu, dalam hal ini gender merupakan karakter sosial yang terbentuk pada jenis kelamin tertentu (Wood, 2001).
6
2.1.1
Ketidakadilan Gender Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu
dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara, sampai akhirnya perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996). Perbedaan sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Handayani dan Sugiarti (2002), menambahkan bahwa mitos-mitos yang melahirkan ketidakadilan gender disebabkan adanya hukum hegemoni patriarki dan sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang mempunyai modal yang besar itulah yang menang. Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan, akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikan dengan masalah perempuan (DeVries, 2006). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, akan tetapi terdapat perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu : 1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir dari program
7
pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki (Fakih, 1996). Scott (1986) dalam Saptari dan Holzner (1997) menyebutkan bahwa ada empat bentuk marginalisasi, yaitu : a) Pengucilan, yaitu perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis-jenis kerja upahan tertentu, b) Pergeseran perempuan ke pinggiran (margins), yaitu terdapat kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup yang tidak stabil, upah rendah, dan dinilai tidak terampil, c) Feminisasi atau segregasi, yaitu pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu menyebabkan pekerjaan tersebut sudah terfeminisasi sehingga terjadi pemisahan (segregasi) kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin, d) Ketimpangan ekonomi yang makin meningkat, yaitu ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang diindikasikan oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karier. 2. Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama disbanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi sering terjadi di dalam rumahtangga. Penomorduaan (subordinasi) juga berupa pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, pelabelan negatif (stereotype) pada perempuan mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (DeVries, 2006). 3. Stereotype atau pelabelan negatif Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya, pelabelan perempuan sebagai ‘ibu rumahtangga’ membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif dalam kegiatan politik,
8
bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki sebagai ‘pencari nafkah’ mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap ‘sambilan’ sehingga kurang dihargai. 4. Kekerasan (Violence) Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya. 5. Beban kerja Beban kerja menjadi panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan ataupun laki-laki sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumahtangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. 2.1.2
Relasi dan Pembagian Kerja Gender Relasi gender dapat diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara
perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek, dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan (Agarwal, 1994 dalam Hasanudin, 2009). Berdasarkan definisi tersebut, relasi gender menitik beratkan hubungan kekuasaan (akses dan kontrol) antara laki-laki dan perempuan terhadap pembagian kerja peranan dan alokasi sumberdaya (Hasanudin, 2009)
9
Menurut Moore (1988) dalam Saptari dan Holzner (1997), kerja didefinisikan sebagai hal yang dikerjakan oleh seorang individu baik untuk subsistensi, untuk dipertukarkan atau diperdagangkan, untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga atau masyarakat. Menurut Saptari dan Holzner (1997) ada tiga pengkategorian kerja perempuan, yaitu : 1) Produksi atau Reproduksi yaitu perbedaan kerja ini didasarkan oleh hasil yang diberikan dari pekerjaan yang dilakukan, 2) Domestik atau Bukan Domestik yaitu perbedaan kerja ini didasarkan atas tempat dilakukannya kegiatan tersebut, 3) Kerja Upahan atau Bukan Upahan dimana batasan perbedaan kerja ini tidak terlalu tajam seperti pada kedua kerja diatas. Terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan (produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan dan kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada. Nilai-nilai atau ideologi yang terdapat didalam masyarakat Asia pada umumnya dan berpengaruh terhadap pembagian kerja seksual adalah nilai pemingitan (seclusion) yaitu nilai yang memberi batasan kebebasan ruang gerak kaum perempuan sekaligus menentukan bagaimana mereka bertingkah laku. Nilai pengucilan dari bidang-bidang tertentu (exclusion) yaitu nilai yang menutup kemungkinan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan tertentu, namun batasan kebebasan bergerak tidak seketat pada masyarakat yang mengenal pemingitan. Nilai feminitas perempuan yaitu nilai yang mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan karakteristik perempuan dalam bentuk yang ideal seperti kerendahhatian dan ketaatan perempuan (modest dan submissive) atau tentang keterampilan tangan perempuan (numble fingers) (Saptari dan Holzner, 1997).
10
2.1.3 Teknik Analisis Gender Penelitian gender menggunakan pendekatan Gender and Development (GAD) dengan teknik analisis gender sebagai alat analisis. Gender and Development menekankan pada orientasi hubungan sosial yang menekankan pada bagaimana hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan (Handayani & Sugiarti, 2002). Teknik analisis gender adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan atau saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembagunan serta adanya perbedaan tingkat manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan (Handayani & Sugiarti, 2002). Penelitian gender menggunakan metode penelitian berprespektif gender dan menggunakan gender sebagai alat analisis (tool of analysis)4. Gender dipandang sebagai faktor yang berpengaruh menentukan persepsi dan kehidupan perempuan, membentuk kesadarannya, keterampilannya, dan membentuk pula hubungan kekuasaan antara lakilaki dan perempuan (Sadli dan Porter, 1999). Metode survey berdasarkan teknik analisis gender dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang bersifat tertutup dan terbuka untuk mengetahui (1) Profil rumahtangga pekerja (karakteristik sosial ekonomi pekerja) mencakup profil aktivitas laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga berdasarkan aktivitas produktif, reproduktif (rumahtangga), sosio-politik-keagamaan, dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga, dan (2) Profil pendapatan dan pengeluaran dalam rumahtangga (Handayani & Sugiarti, 2002).
4
Prof.Dr. Saparinah Sadli dan Dr. Marilyn Porter (1999), Metodologi Penelitian Berperspektif Perempuan Dalam Riset Sosial, Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, halaman: 5-6
11
2.2
Pengambilan Keputusan Dalam Rumahtangga Alokasi kekuasaan dalam rumahtangga dapat dinyatakan sebagai kemampuan
untuk mengambil keputusan dalam rumahtangga. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga dapat diperinci menurut empat bidang antara lain dalam bidang produksi, pengeluaran dalam kebutuhan pokok, pembentukan keluarga, dan kegiatan sosial (Pudjiwati Sayogyo, 1981). Lima pola pengambilan keputusan sebagai berikut : a. Keputusan dibuat oleh istri sendiri tanpa melibatkan suami b. Keputusan bersama suami dan istri, tapi dengan pengaruh istri lebih dominan c. Keputusan bersama suami dan istri secara setara (pengaruh istri sama besarnya dengan pengaruh suami) d. Keputusan bersama suami istri tetapi dengan pengaruh suami lebih dominan. e. Keputusan dibuat oleh suami sendiri tanpa melibatkan istri 2.3
Kontribusi Pendapatan dalam Rumahtangga Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian
atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Orang yang tinggal serumah disebut anggota rumahtangga, sedangkan orang yang bertanggung jawab atau dianggap bertanggung jawab terhadap rumahtanga adalah kepala rumahtangga (Kusumawardhani, 2003). Pendapatan dalam rumahtangga tidak hanya berasal dari upah yang diterima tetapi juga dari usaha-usaha lain di luar pendapatan seperti berdagang, ojeg, dan pekerjaan lain. Mubyarto (1992) dalam Simarmata (2009) menjelaskan berdasarkan jenisnya, sumber pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan utama dan pendapatan tambahan. Pendapatan utama adalah sumber penghasilan rumahtangga yang paling menunjang kehidupan rumahtangga atau yang memberikan penghasilan terbesar. Pada umumnya mata pencaharian utama memiliki alokasi waktu kerja yang terbesar jika
12
dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Pendapatan tambahan merupakan penghasilan yang diperoleh rumahtangga dengan mengusahakan kegiatan lain di luar pekerjaan utama (Triani, 2000 dalam Simarmata, 2009). Berdasarkan sumber pendapatannya, maka dapat dikatakan bahwa pendapatan total rumahtangga bersumber dari mata pencaharian utama ditambah dengan pendapatan dari mata pencaharian tambahan. Pendapatan atau penerimaan dalam rumahtangga dapat dibedakan menjadi pendapatan tunai dan tidak tunai. Pendapatan tunai tidak mencakup bentuk benda tapi merupakan pendapatan dalam bentuk tunai (cash), sedangkan pendapatan tidak tunai memperhitungkan pendapatan yang tidak berbentuk uang cash, seperti pemberian maupun hutang untuk konsumsi sehari-hari oleh keluarga. Dalam hal ini, pendapatan dalam rumahtangga diperoleh dengan menghitung pendapatan dari sumber lain yang diterima bersama keluarga disamping mata pencaharian utama. 2.4.
Buruh Perempuan Perkebunan Buruh adalah seseorang yang bekerja dan mendapatkan sejumlah upah dari
pengusaha (Semaoen, 2000 dalam Siyamitri, 2009). Buruh terbagi kedalam dua ketegori, yaitu buruh tetap dan buruh lepas. Pekerja di perkebunan ada yang disebut dengan karyawan perkebunan dan ada yang disebut dengan karyawan lepas atau yang lebih dikenal dengan buruh harian lepas. Definisi dari kata buruh itu sendiri menurut UU No. 13/2003 adalah Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi pada dasarnya, semua yang bekerja di baik diperusahaan maupun di luar perusahaan dan menerima upah atau imbalan adalah buruh.5 Perempuan dalam pekerjaannya dilihat dari segi ekonomi memiliki pendapatan yang lemah dan berpendidikan redah. Pekerja perempuan memiliki upah yang sama dengan pekerja laki-laki, yang berbeda adalah kesempatan dalam memperoleh upah 5
http://finance.groups.yahoo.com/group/fspmi/message/4338- (diakses 30 Januari 2010)
13
yang lebih tinggi (Hutagalung, et al., 1992 dalam Pratiwi, 2009). Upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada laki-laki atas pekerjaan yang sama, dari segi karakteristik individu, pekerja perempuan sering diberi stereotipe sebagai mahluk yang patuh, teliti, dan nrimo (Widanti, 2005 dalam Pratiwi, 2009). Peraturan tentang ketenagakerjaan perempuan dibuat untuk melindungi buruh perempuan, namun masih banyak para pengusaha yang melanggar dan tidak memberikan hak-hak buruh perempuan (Sari, 2004 dalam Siyamitri, 2009). Peraturan tersebut antara lain : 1.
Hak atas upah yang sama (dengan pekerja laki-laki) untuk pekerjaan yang sama nilainya dijamin oleh UU No.80 tahun 1987 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan internasional (ILO) Nomor 100
2.
Hak atas cuti haid yang dijamin oleh UU Kerja No.12 tahun 1984 yang dinyatakan berlaku dengan UU No.1 tahun 1951 dalam pasal 13 yang berbunyi : “buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid”
3.
Hak untuk beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan atau gugur kandungan yang dijamin oleh pasal 13 ayat 2 dan 4 UU kerja No.1 tahun 1951, yang lamanya satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan sesudah atau dapat diperpanjang samapai tiga bulan dengan surat dokter.
4.
Hak untuk menyusui anak, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu kerja yang dijamin oleh UU Kerja Pasal 13 Ayat 4 : “…waktu istirahat menyusui ini adalah di luar waktu istirahat makan siang”
5.
Hak untuk mendapat pesangon, uang jasa, dan ganti rugi apabila terjadi PHK yang dijamin oleh Permenaker No.03/men/1996 Bab I Pasal I.
14
2.5
Sistem Kapitalis Perkebunan Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari hubungan eksploitatif
antara pengusaha dan buruh. Dalam sistem kapitalis, proses eksploitasi dari kelas proletar (buruh yang menghasilkan produk) oleh borjuis (majikan yang tidak bekerja tetapi menguasai alat produksi) dan diselenggarakan oleh kelas menengah (Fakih, 1996). Relasi sosial dalam sistem kapitalis adalah antara orang yang memiliki alat produksi dan orang kerja upahan yang dieksploitasi (Ritzer dan Goodman, 2008). Eksploitasi sendiri merupakan bagian penting dalam sistem kapitalis para pekerja menjadi buruh bebas dan membuat kontrak bebas dengan para kapitalis akibatnya muncul yang disebut sebagai ”tentara cadangan” (Ritzer dan Goodman, 2008). Sistem pembayaran dalam sistem kapitalis adalah dengan membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri dalam hal ini muncul yang disebut juga oleh Marx sebagai ”nilai surplus” yaitu perbedaan nilai produk ketika dijual dan nilai elemen-elemen yang digunakan untuk membuat produk (Ritzer dan Goodman, 2008). Dalam kapitalisme modern, hubungan tersebut diperparah dengan masuknya unsur non kelas di dalamnya, dimana unsur kelas dan non kelas menjadi dua unsur penting. Proses hubungan kelas (buruh-majikan) melalui fungsi manajer bersifat eksploitatif, majikan mendapat surplus dari hasil kerja keras para buruh, tetapi hasil tersebut harus didistribusikan kepada unsur non kelas dalam bentuk pajak melalui Negara (Fakih, 1996). Selain itu, oleh karena pendapatan utama unsur non kelas berasal dari unsur kelas maka semua unsur melanggengkan hubungan tersebut melalui perlindungan politik, ekonomi, keamanan, maupun infrastruktur (Fakih, 1996). Dalam bidang pekerjaan keberadaan perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah, dimana perempuan diupah lebih
15
rendah daripada laki-laki dan perempuan dianggap sebagai buruh cadangan yang tak terbatas. Dalam hubungannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, Marx mengistilahkan bahwa hubungan yang terjadi serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis dan tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuan (Fakih, 1996) 2.6
Penelitian Terdahulu Perempuan memiliki peran dalam pengupahan di berbagai bidang pekerjaan,
baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan teh. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Tetiani,2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga di tentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani,1995). Tetiani (2005) menyatakan bahwa dalam pekerjaan dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang penerjemahan nilai partiarkat, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lamanya waktu kerja. Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns, 1987 dalam Siyamitri, 2009). Pimpinan merupakan golongan terpisah yaitu mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan atau menurut sistem borongan. Upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada upah yang diterima buruh laki-laki atas pekerjaan yang sama (Widanti, 2005 dalam Siyamitri, 2009). Suatu sistem kompensasi yang diterapkan oleh Perkebunan Cianten PTPN VIII yang dibedakan menjadi kompensasi finansial langsung dan kompensasi finansial tidak langsung. Kompensasi finansial langsung secara umum dibedakan menjadi upah
16
borongan, upah harian, serta premi dan upah lembur. Upah finansial tidak langsung berupa upah sosial, tunjangan-tunjangan, jaminan sosial dan asuransi kesehatan (jamsostek) serta fasilitas-fasilitas lain (Zulkarnain, 2004). Dalam penelitian berbeda Tetiani (2005) menjelaskan bahwa dalam kehidupan di perkebunan mencakup pekerjaan maupun lingkungan sosial, dalam masyarakat perkebunan terjadi proses eksploitasi antara sektor kapitalis terhadap sektor pra kapitalis. Buruh perkebunan sebagai sektor pinggiran mengalami eksploitasi, aleniasi, dan kontrol dari manajemen sebagai sektor pusat. Kelompok buruh dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang lama, dan dibayar dengan upah rendah. Produksi dari buruh adalah untuk melayani kebutuhan ekspor. Kondisi tersebut sama halnya ketika para buruh dan petani kecil berproduksi untuk kepentingan Negeri Belanda di masa penjajahan (Tetiani, 2005). Kultur feodal dalam masyarakat perkebunan direproduksi selama masa kemerdekaan karena memberikan dukungan hegemoni bagi penguasa kebun untuk menguasai buruh secara sukarela. Kultur feodal memiliki kesamaan landasan dengan pola promosi berbasis lama kerja, dan periode waktu yang relatif lama. Posisi sosial dipandang sebagai tradisi turun temurun yang sudah diterima apa adanya, dan inilah yang menjadi dasar hegemoni kekuasaan berbasis nilai feodal (Tetiani, 2005). Kapitalisme yang didukung kultur feodal di perkebunan melanggengkan eksploitasi buruh. Kolonialisme memberikan tekanan politis yang kuat, sedangkan kapitalisme global berujung pada kesepakatan pengurangan produksi memberikan tekanan ekonomis yang kuat (Tetiani, 2005). Buruh perkebunan dipandang oleh manajemen hanya sebagai faktor produksi akan tetapi komunitas buruh perkebunan terjadi secara turun temurun antar generasi (Siregar dalam Tetiani, 2005). Faktor-faktor penyebab munculnya komunitas buruh
17
karena 1) memilih sendiri (menyukai), 2) tidak memiliki alternatif pilihan (terpaksa), dan 3) tidak mampu mengembangkan pilihan (apatis). Keberadaan mereka untuk tinggal di perkebunan dalam waktu yang lama alasannya dapat terjadi karena 1) terikat ketergantungan dengan perusahaan, 2) memiliki kekayaan di luar perkebunan tetapi memiliki tinggal di perkebunan yang membutuhkan biaya hidup lebih rendah karena subsidi perusahaan (Tetiani,2005). Selain itu, secara sosio-kultural anak-anak yang tumbuh di lingkungan perkebunan yang terisolir dan relatif homogen, dan bekerja kembali sebagai buruh perkebunan telah tersosialisasikan sejak dini (Daulay, 2006). 2.7
Alur Pemikiran Penelitian ini melihat bahwa perkebunan merupakan bagian dari sistem agribisnis
dimana kebijakan yang diterapkan oleh perkebunan merupakan dampak dari kondisi agribisnis yang dijalankannya dan Perkebunan Gunung Mas sangat tergantung pada sistem agribisnis tersebut. Dalam sistem agribisnis, pekerja merupakan salah satu unsur utama berjalannya produksi di perkebunan sehingga sistem agribisnis berpengaruh pada sistem kerja di perkebunan salah satunya mencakup keluar masuknya pekerja. Stuktur pekerja dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas dibedakan berdasarkan status pekerjaan yaitu buruh dan staf yang merupakan cerminan dari struktur di masyarakat. Dalam penelitian ini buruh merupakan pemetik teh dan staf adalah manajerial termasuk mandor didalamnya. Sistem kerja ini membentuk sebuah hubungan kerja yang berpengaruh pada pengupahan. Perempuan pemetik merupakan perempuan bekerja dan memiliki kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. Kontribusi pendapatan tersebut berhubungan dengan status perempuan dalam rumahtangga, namun anggapan bahwa upah perempuan merupakan upah tambahan di rumahtangga menyebabkan munculnya anggapan wajar tentang lebih rendahnya upah perempuan dalam pekerjaan di perkebunan dan berdampak tidak berubahnya status perempuan dalam rumahtangga.
18
Sistem Agribisnis Perkebunan Faktor yang mempengaruhi : - Harga Teh - Kualitas teh - Inflasi
Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan Teh di Perkebunan
Pembagian kerja di Perkebunan
Sistem Kerja Perkebunan
Pengupahan : - Upah/Gaji - InsentifFringe - Benefit/kompensasi
Hubungan Industrial
Relasi Gender
Posisi Pemetik di Perkebunan
Kontribusi pendapatan dan Tanggungjawab pengeluaran perempuan di rumahtangga Keterangan : = berhubungan = mempengaruhi = variabel antiseden = dianalisis dengan relasi gender
Status Perempuan di Rumah Tangga
Dampaknya adalah Pemiskinan Perempuan (Marginalisasi ekonomi yang terjadi pada perempuan)
Gambar 1. Alur Pemikiran 2.8
Hipotesis Pengarah Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan memfokuskan pada pemetik
dalam sistem kerja dan rumahtangga. Untuk memandu penggalian data mengenai fokus penelitian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Diduga terjadi perbedaan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas (PGM)
2.
Diduga tidak ada dinamika berdampak pada kondisi sosial ekonomi pemetik teh dalam pengupahan pemetik di Perkebunan Gunung Mas.
3.
Kontribusi terhadap pendapatan dalam rumahtangga diduga mempengaruhi status perempuan dalam rumahtangga.
19
2.9
Definisi Konseptual
1. Dinamika pengupahan adalah proses perubahan pengupahan dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh faktor faktor penyebab perubahan dan memberikan dampak pada pengupahan. Dinamika sistem pengupahan yang akan diteliti mencakup berbagai hal yang mempengaruhi pengupahan dimulai dari faktor eksternal hinggal internal pekerjaan di perkebunan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 2. Pengupahan adalah keseluruhan hasil kerja yang diberikan kepada pekerja di perkebunan meliputi gaji, insentif, dan kompensasi pelengkap (Fringe benefit). Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif 3. Pemetik Tetap adalah pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama tiga bulan, dan berhak menerima upah seperti rumah, kesehatan, serta THR. 4. Pemetik harian lepas atau disebut juga buruh harian lepas (BHL) adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas untuk pekerja perempuan dan terbatas untu pekerja laki-laki. 5. Upah Borongan adalah upah yang diperoleh pemetik berdasarkan prestasi kerjanya yang berupa kuantitas dan kualitas hasil petikan yang dibayarkan kepada karyawan petik dalam bentuk uang tunai pada awal bulan setelah bekerja selama satu bulan. 6. Upah Harian adalah upah yang diperoleh pemetik berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari bekerja selama sebulan. 7. Eksploitasi tenaga kerja adalah penggunaan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk tertentu secara terus menerus yang dibayar dengan upah rendah.
20
2.10
Definisi Operasional Definisi operasional bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak menjadi
konkrit, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut : 1. Sumber pendapatan adalah sumber pendapatan dalam rumahtangga buruh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sumber pendapatan merupakan variabel untuk melihat kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. Diukur berdasarkan jumlah rupiah per bulan per rumahtangga. 2. Kontribusi pendapatan adalah sejumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga dan disumbangkan dalam pundi-pundi pendapatan keluarga. Kontribusi pendapatan diukur dengan melihat proporsi dalam bentuk persentase pendapatan terhadap kontribusi keseluruhan pendapatan dalam rumahtangga. 3. Tanggungjawab pengeluaran adalah tanggung jawab tingkat pengalokasian uang dalam pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi baik pangan maupun non-pangan. Jenis pengeluaran merupakan variabel untuk melihat kontribusi pendapatan dalam rumahtangga yaitu a) tanggung jawab ayah = skor 1, b) tanggung jawab ibu = skor 2, c) tanggung jawab bersama = skor 3 4. Status dalam rumahtangga adalah alokasi kekuasaan yang diukur berdasarkan pengambilan keputusan di dalam rumahtangga. Status dalam rumahtangga diukur berdasarkan : a) dominasi ayah, b) dominasi ibu, dan c) bersama.