BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan dan peningkatan jumlah folikel yang berkembang hingga mengalami ovulasi dirangsang melalui penyuntikan pregnant mare serum gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG). Jumlah korpus luteum dan folikel sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a). Peningkatan jumlah folikel, korpus luteum, dan plasenta menyebabkan kenaikan sekresi dari kelenjar penghasil hormon kebuntingan dan mammogenik. Hormon kebuntingan dan mammogenik berperan penting dalam pemeliharaan kebuntingan hingga memasuki periode pasca partus. Penggunaan PMSG/hCG untuk meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b), sapi (Sudjatmogo et al. 2001), dan kambing (Adriani et al. 2004a). Superovulasi yang dilakukan sebelum perkawinan dapat memperbaiki konsentrasi hormon metabolisme yang tergambar melalui peningkatan sekresi endogen T3 dan T4. Selain meningkatkan sekresi endogen, superovulasi ternyata mampu meningkatkan metabolit penting, yaitu trigliserida, protein dan glukosa darah (Mege et al. 2009). Superovulasi meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan sehingga menyebabkan peningkatan pertumbuhan fetus pada masa prepartum dan postpartum. Dengan mengabaikan jumlah anak kambing per kelahiran, superovulasi induk sebelum perkawinan terbukti meningkatkan bobot lahir anak kambing sebesar 21% dan bobot sapih anak kambing sebesar 37% (Adriani et al. 2004a).
Perlakuan superovulasi dengan level dosis 600 hingga 1200 IU per ekor pada babi meningkatkan sekresi progesteron dan estradiol serta pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta pada masa gestasi 15, 35, dan 70 hari. Kondisi ini membuktikan bahwa superovulasi dengan dosis 600 sampai 1200 IU dapat meningkatkan reproduksi babi. Superovulasi pada induk akan meningkatkan hormon kebuntingan progesteron sekaligus juga meningkatkan kapasitas plasenta yang dimanifestasikan melalui peningkatan bobot basah dan kering, massa sel aktif, aktivitas sintetik sel (DNA dan RNA), dan sintesis nutrien plasenta hingga usia 70 hari kebuntingan. Peningkatan kapasitas plasenta juga dipengaruhi oleh pemeliharaan korpus luteum dan produksi progesteron oleh plasenta (Mege et al. 2005). Peningkatan volume ambing sebagai efek superovulasi sangat nyata meningkatkan produksi susu yang dihasilkan dan bekerja sinergis dengan kombinasi suplementasi seng dalam pakan, terutama pada konsentrasi seng 60 mg/kg bahan kering. Peningkatan volume ambing selama kebuntingan sejalan dengan peningkatan korpus luteum, estrogen, dan progesteron yang dihasilkan serta berhubungan erat dengan naiknya produksi susu. Peningkatan produksi susu akibat superovulasi tidak mempengaruhi kualitas susu dan konsumsi nutrien pakan (Adriani et al. 2004b). Sediaan yang juga sering dimanfaatkan untuk perlakuan superovulasi adalah controlled internal drug release (CIDR) dan folicle stimulating hormone (FSH). Bentuk CIDR seperti huruf T dengan bahan silikon yang mengandung hormon progesteron. Perlakuan superovulasi dengan kombinasi CIDR dan FSH disertai penyuntikan hCG mampu secara nyata meningkatkan respon superovulasi dan jumlah korpus luteum yang terbentuk pada induk sapi donor Brangus sehingga meningkatkan jumlah embrio terkoleksi dan jumlah embrio layak transfer. Jumlah korpus luteum yang dihasilkan pada perlakuan superovulasi dengan CIDR, FSH, dan hCG meningkat signifikan dibandingkan dengan kelompok hewan coba yang hanya disuperovulasi dengan CIDR dan FSH (Kaiin dan Tappa 2006). Menurut Situmorang (2008), tujuh dari sebelas kerbau memberikan respon positif
terhadap
perlakuan
superovulasi
dengan
menggunakan
hormon
gonadotropin. Terdapat bukti nyata bahwa konsentrasi progesteron pada masa inisiasi superovulasi memegang peranan yang penting dan konsentrasi progesteron yang tinggi menjadi indikasi signifikan dari keberhasilan program untuk mendapatkan embrio berkualitas baik dengan jumlah yang lebih tinggi. Adriani et al. (2007), dalam jurnalnya menyatakan bahwa perlakuan superovulasi dengan dosis 40 mg FSH secara intramuskular pada sapi Simbrah memberikan hasil terbaik dengan jumlah korpus luteum terbanyak.
2.2. Hematologi Darah Darah merupakan komponen metabolisme makhluk hidup yang berperan sebagai media transportasi oksigen dan sari makanan ke dalam jaringan dan mengangkut sisa metabolisme jaringan dan karbon dioksida untuk selanjutnya diekskresikan. Selain itu, sistem sirkulasi darah dapat juga berperan sebagai sarana penyaluran sekresi kelenjar endokrin menuju organ target. Menurut Dellman dan Brown (1989), volume total darah mamalia berkisar antara 7-8 % dari bobot badan dengan komposisi plasma sebesar 75-85% dan sisanya merupakan benda-benda darah sebanyak 25-35 % yang terdiri atas eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan platelet (keping darah). Sedangkan plasma darah itu sendiri tersusun atas 91-92% cairan dan 8-9% padatan (Swenson 1984). Darah juga berfungsi sebagai buffer atau regulator yang mengatur kestabilan pH pada jaringan untuk metabolisme optimum, salah satunya dengan ion bikarbonat. Senyawa karbonik anhidrase dalam darah berperan mengkatalis reaksi antara CO2 dan H2O membentuk ion bikarbonat (H2CO3) dan selanjutnya CO2 dikeluarkan dari tubuh melalui sistem respirasi. Pengaturan suhu dilakukan oleh darah melalui mekanisme yang berkaitan dengan kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi dan berkonstriksi sehingga dapat mengatur pelepasan panas. Dalam sistem imunologis, darah dapat menjadi target agen infeksius sehingga di dalam darah terkandung pula faktor-faktor penting pertahanan tubuh seperti limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil, dan basofil (Frandson 1996 dan Banks 1993).
Perubahan gambaran darah seperti jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin dapat mencerminkan adanya perubahan status fisiologis. Indeks hematologi domba normal tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter Hematologi Domba Normal Parameter
Nilai kisaran
Satuan
RBC (eritrosit)
8-16
106/µl
WBC (leukosit)
4-12
103/µl
Hb
8-16
g%
PCV
24-50
%
MCV
33-48
fl
MCH
8-13
pg
MCHC
27-38
g/dl
(Sumber: Frandson 1996, Banks 1993, dan Kelly 1984)
2.3. Sel Darah Merah (Eritrosit) Istilah eritrosit berasal dari bahasa yunani yaitu eritro yang berarti darah dan sit yang berarti sel. Proses pembentukan sel-sel eritrosit berbeda tergantung pada tahap perkembangan hewan. Pada masa fetus, sel eritrosit diproduksi oleh hati dan limpa, sedangkan pada saat hewan dewasa produksi eritrosit diambil alih fungsinya oleh sumsum tulang merah (Frandson 1996). Domba memiliki eritrosit berukuran sekitar 4,8 µm dengan bentuk cakram bikonkaf dan pinggiran sirkuler (Swenson 1984). Eritrosit domba dapat bertahan aktif dalam sistem sirkulasi selama 146 ± 12,9 hari dilihat melalui uji serologis dan selama 137 hari melalui pengujian radioaktif (Sherif dan Habel 1976). Secara umum, eritrosit mamalia termasuk domba, memiliki karakteristik yang tidak berinti dan bersifat nonmotil (Swenson 1984). Produksi eritrosit pada mamalia dipengaruhi oleh stimulasi EPO atau erythropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap hipoksia yang terjadi di jaringan (Guyton and Hall 1997). Penghancuran dan pembuangan sel-sel darah merah dilakukan oleh makrofag atau sistem rerikuloendotelial, yang terdiri atas sel-sel khusus dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan limfonodus. Sel akan mengalami proses disintegrasi, melepaskan Hb ke dalam sirkulasi, dan menjadi
debris (puing-puing) sel rusak untuk selanjutnya dibuang dari sirkulasi (Frandson 1996). Pembentukan eritrosit terjadi di sumsum tulang. Eritrosit memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan sel-sel lain dalam jaringan. Kandungan utama dalam eritrosit, yaitu hemoglobin, lipid, protein, dan enzim. Hemoglobin merupakan zat padat yang memberi warna merah pada eritrosit dan berfungsi mengikat oksigen dalam fungsi respirasi. Lipid yang terdapat dalam eritrosit, diantaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein dalam eritrosit, yaitu stromatin, lipoprotein, dan elimin. Karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzimenzim dalam sistem glikolisis, merupakan enzim yang terdapat dalam eritrosit. Bahan organik utama dalam eritrosit adalah ATP dan ADP yang berperan dalam produksi energi. Bahan organik lain yang terkandung dalam eritrosit, di antaranya urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa (Schalm 1975). Struktur membran eritrosit tampak seperti gambar 1 dibawah ini,
Gambar 1. Struktur Membran Eritrosit Simplified diagram of the RBC membrane structure. (A) Rh complex; (B) protein 4.1 complex; (C) and (D) band 3 macrocomplex ((C) band 3 tetrameric form and (D) band 3 dimeric form (Oliveira dan Saldanha 2009). Komposisi elektrolit dan konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan komposisi dan konsentrasi di dalam eritrosit dan memiliki tekanan osmolaritas yang isotonis dengan osmosis larutan 0,9% NaCl dalam air. Jumlah eritrosit antara satu spesies dengan spesies lain berbeda-beda. Umumnya, jumlah normal eritrosit dalam tubuh berkisar antara 4 juta hingga 5 juta sel dalam tiap 1 mm 3.
Jumlah eritrosit dalam tubuh memiliki nilai yang cenderung tetap. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian kecepatan pembentukan eritrosit baru dengan kecepatan rusaknya eritrosit lama. Proses pembentukan darah yang terdiri atas eritrosit, leukosit, dan platelet disebut hemopoiesis. Sel darah hewan dewasa berasal dari satu sumber, yaitu selsel batang primordial di dalam sumsum tulang. Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang dipengaruhi oleh respon tubuh terhadap kadar oksigen dalam jaringan. Bila jaringan dan sel mengalami kondisi hipoksia atau kurangnya kadar oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme optimum, maka renal akan melepaskan
hormon
eritropoietin ke
plasma
darah
untuk
merangsang
eritropoiesis. Eritropoietin akan berada dalam plasma satu jam setelah mulai terjadinya hipoksia. Hipoksia dapat terjadi karena rendahnya kadar oksigen dalam darah yang dapat disebabkan oleh hipoventilasi, maupun karena afinitas hemoglobin yang rendah terhadap oksigen sehingga suplai oksigen ke jaringan menurun. Sumsum tulang tidak menunjukkan respon langsung terhadap hipoksia dan umumnya produksi eritrosit baru akan terjadi tiga hari kemudian hingga kondisi hipoksia dapat dihilangkan. Setelah kondisi hipoksia berakhir, eritrosit yang berlebih dalam sirkulasi akan dieliminasi melaui mekanisme atrisi (pelemahan) dan degenerasi normal setelah kurang lebih bersirkulasi selama 120 hari tanpa pergantian (Frandson 1996). Kondisi kelainan klinis berupa menurunnya jumlah eritrosit dibawah batas normal disebut anemia. Anemia dapat terjadi karena infeksi maupun kelainan kongenital. Menurunnya jumlah eritrosit berakibat pada menurunnya suplai oksigen ke jaringan dan terhambatnya penyaluran bahan organik ke sel yang secara tidak langsung menggangu metabolisme tubuh. Jumlah eritrosit yang meningkat hingga diatas ambang normal juga merupakan suatu kondisi kelainan yang disebut polisitemia (Guyton dan Hall 1997). Menurut Palazzuoli et al. (2011), anemia adalah tanda klinis penyakit yang sering dikaitkan dengan kegagalan fungsi jantung dan insufisiensi renal. Hubungan antara ketiga kondisi kelainan ini disebut sebagai penyakit cardiorenal-anemia syndrome (CRS). Anemia dapat muncul sebagai hasil dari interaksi kompleks antara kemampuan jantung, homeostasis sumsum tulang, disfungsi
renal, dan efek samping dari berbagai jenis obat-obatan. Aktivitas neurohormonal dan antiinflamasi seringkali menjadi kunci awal munculnya penyakit yang bersifat progresif hingga akhirnya berujung pada anemia. Menurut Silverberg (2011), penyebab utama anemia pada kondisi gagal jantung kongesti, adalah penyakit ginjal kronis yang mengakibatkan terjadinya depresi produksi eritropoietin di ginjal diikuti produksi sitokin yang berlebihan dan berakhir dengan terjadinya depresi produksi eritropoietin di ginjal maupun di sumsum tulang. Kelebihan produksi sitokin pada gagal jantung kongesti juga menyebabkan defisiensi besi karena sitokin akan meningkatkan produksi hepcidin dari hati yang menyebabkan penurunan absorpsi besi di gastrointestinal dan mengurangi pelepasan besi dari depositnya di makofag dan hepatosit. Polisitemia didefinisikan sebagai kenaikan hematokrit dan hemoglobin berturut-turut. Penyebab utamanya dapat karena penyakit neoplastik seperti polisitemia vera dengan proliferasi sel klon. Beberapa kondisi polisitemia dapat terjadi sebagai hasil dari hipoksia kronis. Polisitemia fisiologis dapat ditemukan di penduduk dataran tinggi dan atlit yang berlatih di daerah tinggi (Kohler dan Dellweg 2010).
2.4. Hemoglobin Hemoglobin adalah bahan organik padat yang terdapat dalam eritrosit, berfungsi mengikat oksigen, dan memberi warna merah pada eritrosit. Kandungan hemoglobin dalam darah kurang lebih 15 gram per 100 mL darah. Molekul hemoglobin terdiri atas protein globin dan gugus heme yang mengandung Fe. Hemoglobin
yang
berikatan
dengan
oksigen
akan
membentuk
ikatan
oksihemoglobin. Proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat dihambat oleh gas karbonmonoksida (CO). Hal ini dikarenakan ikatan antara hemoglobin dengan CO lebih kuat dibandingkan dengan oksigen dan kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya keracunan CO pada jaringan. Pengikatan oksigen oleh hemoglobin dilakukan melalui Fe yang terdapat pada gugus heme. Zat besi dalam bentuk Fe2+ yang terdapat pada pusat heme akan mengikat atom oksigen membentuk oksihemoglobin. Selanjutnya oksihemoglobin akan melepaskan oksigen ke jaringan.
Kerusakan eritrosit menyebabkan keluarnya hemoglobin dari sel, sehingga Fe yang terikat pada gugus heme akan ikut terlepas ke jaringan. Fe yang terlepas akan ditangkap oleh transferin dan kemudian disimpan untuk dapat digunakan lagi. Transferin adalah protein dalam plasma yang mampu mengikat Fe secara reversible. Kadar Fe dalam tubuh dipengaruhi oleh tingkat hemoglobin dan bobot tubuh. Selain dalam hemoglobin, Fe juga terdapat dalam feritin dan hemosiderin. Kandungan Fe yang lebih sedikit terdapat dalam mioglobin, plasma, dan cairan ekstraseluler. Hemoglobin yang rusak menyebabkan terbentuknya bilirubin. Bilirubin adalah zat warna kuning yang mampu berikatan kompleks dengan albumin sebelum ditranspor ke hati (Guyton dan Hall 1997).
2.5. Hematokrit (PCV) Suatu ukuran yang menunjukkan volume total eritrosit dalam setiap 100 mL darah disebut hematokrit atau Packed Corpuscular Volume (PCV). Nilai hematokrit dinyatakan dalam persentase. Dalam pengukuran nilai hematokrit, darah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu eritrosit pada bagian dasar, leukosit dan trombosit yang berupa lapisan berwarna putih sampai abu-abu (buffy coat), dan plasma darah pada bagian paling atas (Schalm 1975). Pada kondisi perdarahan, jumlah eritrosit yang hilang seringkali berbanding lurus dengan plasma darah sehingga nilai hematokrit tetap. Nilai hematokrit yang rendah dapat menyebabkan anemia (Duncan dan Prase 1986).
2.6. Domba Domba tergolong sebagai hewan ruminansia kecil yang didosmetikasi atau diternakkan sebagai sumber protein hewani dan merupakan kerabat kambing, sapi, dan kerbau (Mulyono 2005). Domba termasuk dalam Famili Bovidae dan Genus Ovis. Domba yang diternakkan saat ini, diperkirakan merupakan hasil domestikasi tiga jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis vignei) dari Asia. Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa, yaitu domba lokal atau domba ekor tipis, domba ekor gemuk, dan domba Priangan. Domba ekor tipis
memiliki ukuran tubuh dan ekor yang relatif kecil, bulu cenderung berwarna putih, domba jantan bertanduk kecil dan melingkar, sedangkan domba betina tidak bertanduk, bobot domba jantan berkisar 30-40 kg dan bobot betina berkisar 15-20 kg (Sarwono 2004). Bangsa domba ekor tipis berasal dari India dan Bangladesh dengan penamaan yang berbeda di berbagai wilayah di Indonesia, seperti domba negeri, domba kampung, domba lokal, dan domba kacang. Gambaran domba ekor tipis tampak seperti gambar dibawah ini,
Gambar 2. Domba ekor tipis (Sumber: Anomim1 2012) Domba ekor gemuk memiliki ukuran badan yang besar, bobot domba jantan mencapai 50 kg dan bertanduk, sedangkan domba betina mencapai 40 kg dan tidak bertanduk. Bangsa domba ekor gemuk cenderung berekor panjang dengan bagian pangkalnya besar dan menimbun banyak lemak. Domba ini banyak tersebar di Madura, Sulawesi, Lombok, dan Jawa Timur. Gambaran domba ekor gemuk tampak seperti gambar dibawah ini,
Gambar 3. Domba ekor gemuk (Sumber: Anomim2 2012) Domba Priangan atau domba Garut berasal dari Priangan, Kota Garut, Jawa Barat. Bobot domba jantan dapat mencapai 80 kg dan betina dapat mencapai 40 kg. Bangsa domba Priangan umumnya berbadan besar dan lebar, memiliki leher dan tanduk yang kuat sehingga sering dimanfaatkan sebagai domba aduan. Gambaran domba Priangan tampak seperti gambar dibawah ini,
Gambar 4. Domba Priangan (Sumber: Anomim3 2012) Tanduk domba Priangan jantan melingkar ke belakang membentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir menyatu. Domba Priangan betina umumnya tidak bertanduk dengan postur tubuh yang lebih panjang dan bulu halus (Mulyono 2005).