BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
PAJAK
2.1.1
TinjauanUmum Tentang Pajak Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat,
masyarakat yang dimaksud disini adalah masyarakat hukum (Ferdinand Tonnies yang menyebutnya dengan Gemeinchaft), yaitu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai masyarakat tetap, yang merupakan kesatuan yang kuat untuk jangka waktu yang panjang, yang anggota masyarakatnya satu sama lain mempunyai hubungan yang erat, mempunyai kepentingan yang sama dan kepentingan bersama dilaksanakan dengan cara gotong royong. Tanpa adanya masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak (R.Soemitro,1998:47). Tujuan atau kepentingan inilah yang mengakibatkan adanya pajak. Apabila masing-masing individu tidak berhubungan satu dengan yang lain dan tidak mempunyai kepentingan bersama, maka tentu tidak ada upaya untuk memenuhi kebutuhan bersama, sehingga tidak ada pula pajak. Jadi, pajak hanya akan dapat dibenarkan apabila pajak tersebut bermanfaat bagi masyarakat. Baik masyarakat maupun individu-individu yang berada didalamnya, masingmasing mempunyai hak dan kewajiban. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban terhadap individu. Sebaliknya, individu pun memiliki hak dan kewajiban terhadap masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu harus mendahului kepentingan umum. Artinya, kepentingan pribadi (HAM) hanya dapat dibatasi oleh kepentingan bersama. Pajak adalah alat yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang merupakan tanggung jawab setiap individu, sehingga bagi setiap individu yang tidak membayar pajak berarti telah melanggar hak asasi masyarakat dan ditindak oleh masyarakat itu sendiri melalui pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah atau fiskus diartikan sebagai wakil masyarakat untuk melaksanakan seluruh hak dan kewajiban masyarakat.
2.1.2
Definisi Perpajakan Sebagai perbandingan, berikut ini disajikan beberapa definisi pajak yang
dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah Prof. Dr. P.J.A. Andriani yang mewakili Eropa; Prof. Dr. H. Roehmat Soemitro,S.H yang mewakili Indonesia dan Sommerfeld dkk yang mewakili Amerika Serikat (Prof.Moch.Zain, 2003:10-11). Definisi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan“. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H., mengatakan : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaranpengeluaran umum.” Definisi ini kemudian dikoreksi sendiri oleh beliau sehingga berbunyi : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”. Ray M. Sommerfeld, Silvia A. Madeo, Kenneth E. Anderson, dan Betty R. Jackson: “Pajak merupakan peralihan sumber daya yang wajib dilaksanakan dan bukan akibat pelanggaran hukum dari sektor swasta ke sektor pemerintah, dipungut berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu, tanpa adanya imbalan secara langsung yang proporsional. Dan digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial.” Dari berbagai definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri atau karakteristik yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut : (1)
Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah atas undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.
Pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah dengan tidak ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan itu hanya dapat berupa perampasan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hibah.
Oleh karena itu, agar pajak tidak dapat dipersamakan dengan peralihan kekayaan tersebut diatas, maka dipersyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan harus mendapatkan persetujuan dari rakyat terlebih dahulu yang dalam hal ini adalah DPR sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain, pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR (R.Soemitro,1998:8). (2) Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (Wajib Pajak) ke sektor negara (Pemungut Pajak atau Administrator Pajak). Peralihan kekayaan atau sumber daya ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu mikro ekonomi dan makro ekonomi. Pendekatan dari segi mikro ekonomi ditekankan pada kebutuhan individu dan pada Income (kelebihan pendapatan setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok atau sering disebut dengan economic surplus) untuk memenuhi kebutuhan individu. Pajak dilihat dari segi ini sebagai sesuatu yang mengurangi daya beli seseorang, dan akhirnya mengurangi kesejahteraan individu. Lain halnya dengan segi makro ekonomi yang mengikut sertakan masyarakat dalam pendekatannya, setiap orang membutuhkan masyarakat untuk dapat hidup. Di sisi lain, masyarakat terbentuk karena adanya kebutuhan atau kepentingan yang sama yang dapat dipecah-pecah menjadi berbagai kepentingan seperti keamanan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Untuk mencapai hal tersebut, masyarakat membutuhkan sumber daya yang salah satunya pajak. Jadi, pajak yang ditarik dari anggota masyarakat akan digunakan
untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
yang
implikasinya
dapat
meningkatkan kualitas hidup anggota masyarakat itu juga. Memandang pajak hanya dari segi mikro ekonomi akan menimbulkan corak pemikiran yang individualistis, dan akan menyesatkan. (3)
Pemungutan Pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah baik rutin maupun pembangunan.
Yang dimaksud dengan pengeluaran atau belanja rutin adalah pengeluaran untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan Pemerintahan sehari-hari. Dahulu untuk jenis pengeluaran ini digunakan isilah gewone dienst atau dinas biasa.
Dinas biasa tersebut terdiri atas belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, dan belanja perjalanan. Belanja barang adalah untuk pembelian barang-barang yang digunakan untuk
penyelenggaraan Pemerintah sehari-hari seperti untuk pembelian
kertas, tinta, pita karbon, dan lain-lainnya. Belanja pemeliharaan adalah pengeluaran untuk memelihara agar milik atau kekayaan Pemerintah (barang-barang capital tetap) seperti gedung, kendaraan, perabot rumah tangga dan lain-lain terpelihara secara baik. Belanja perjalanan adalah biaya perjalanan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemerintah seperti biaya penginapan hotel dan lain-lain (Soetrisno,1984:340). Baik belanja rutin maupun pembangunan harus digunakan untuk melayani kepentingan umum, bukan kepentingan suatu golongan tertentu atau kepentingan orang pribadi. (4)
Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh Pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak.
Istilah asingnya adalah there is no direct quid pro quo. Maksudnya adalah kita tidak dapat menunjukkan secara menyeluruh bahwa karena seseorang membayar pajak, ia mendapat imbalan dari Negara berupa ini dan itu. Hal ini karena orang lain yang tidak membayar pajak mendapatkan juga manfaat itu dari Negara. Kontraprestasi dari pembayaran pajak tersebut pasti atau harus ada, tetapi mungkin disalurkan melalui cara lain guna menciptakan kesejahteraan masyarakat (R.Soemitro,2002:24). (5) Sifatnya dapat dipaksakan Maksudnya adalah bila hutang pajak tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan misalnya dengan surat paksa, sita, penyanderaan dan lain sebagainya. (6) Selain Fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup kebijakan Negara dalam laporan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur dan regulatif) Perpajakan merupakan salah satu instrument dalam kebijakan fiskal. Lingkup kebijakan fiskal ini meliputi penerimaan atau pengeluaran pemerintah dengan segala aspeknya, termasuk aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Misalnya, dengan memberikan Tax Holiday diharapkan dapat mendorong kegiatan investasi di Indonesia sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pegertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang cirri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut : 1) Pajak dipungut oleh Negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah berdasarkan atas Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 2) Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (Wajib Pajak pembayar Pajak) ke sektor Negara (pemungut/administrator pajak). 3) Pemungut pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi Pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4) Tidak dapat ditujukan adanya imbalan (kontra prestasi) individual oleh Pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak. 5) Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan negara dalam sektor ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif).
2.1.3. Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui cirri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak (Erly Suandy,2005:14) yaitu : 1) Fungsi Penerimaan (Budgetair) Yaitu sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam Kas Negara bagi pengeluaran rutin maupun bagi pembangunan. 2) Fungsi Mengatur (Regulair) Yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan di Bidang Keuangan misalnya : memberikan keringanan-keringanan atau pengecualian-pengecualian yang khususnya ditujukan kepada masalah tertentu.
2.1.4. Manfaat Pajak Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya pajak adalah sebagai berikut : 1) Pajak merupakan salah satu sumber Penerimaan Negara Dalam menjalankan tugas rutin dan melaksanakan pembangunan, negara memerlukan biaya yang jumlahnya tidak sedikit. Biaya tersebut dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pengeluaran rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan sebagainya biayanya berasal dari penerimaan pajak. Sedangkan pengeluaran pembangunan bersumber dari tabungan pemerintah yaitu penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah tersebut setiap tahun harus meningkat sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan. Penerimaan non migas sebagian besar merupakan penerimaan yang bersumber dari penerimaan pajak 2) Pajak merupakan salah satu alat pemerataan Pengenaan pajak dengan tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan yang lebih mampu. Dana yang dipindahkan dari sektor swasta ke sektor pemerintah dipergunakan untuk membiayai proyek yang terutama dinikmati oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah, seperti untuk sarana peribadatan, sarana pendidikan, sarana transportasi, sarana kesehatan, sarana perhubungan dan sebagainya. Peranan pajak sebagai alat pemerataan pendapatan ini sangat penting untuk menegakkan keadilan sosial, seperti tercantum dalam trilogi pembangunan. 3) Pajak merupakan salah satu alat mendorong investasi Sebagaimana telah disebutkan dalam fungsi pajak budgeter, apabila masih ada sisa dari dana yang dipergunakan untuk membayai pengeluaran rutin negara, maka kelebihan tersebut dapat dipakai sebagai Tabungan Pemerintah.
2.1.5
Sistem Pemungutan Pajak Ada 2 (dua) sistem pemungutan pajak, yaitu : 1) Official Assessment System
Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. 2) Self Assessment System Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) sendiri besarnya pajak yang terutang dan membayarnya sesuai dengan Ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya, sistem ini didukung oleh With Holding System yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan pula Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) besarnya pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak.
2.2
Pengertian Tunggakan Pajak Undang-Undang No.19 Tahun 2000 Tentang perubahan atas Undang-undang No.19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, pasal 1 angka (9) menegaskan : Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atas kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa utang pajak terutang tidak hanya pada pokok pajak terutang saja, tetapi mencakup pula sanksi-sanksi administrasi yang berkenaan dengan pokok pajak terutang tersebut. Pengertian tunggakan pajak ditegaskan dalam lampiran Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tanggal 23 Februari 1995, yaitu : Tunggakan pajak adalah jumlah pajak yang masih harus ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, dan SK. Pembetulan, SK.Keberatan, Putusan Banding yang meliputi Pokok Pajak, kenaikan, bunga atau denda. a. Surat Tagihan Pajak Menurut sistem self assessment pada prinsipnya Wajib Pajak diberi hak untuk menghitung sendiri pajak yang terutang olehnya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Apa yang ia hitung merupakan ketetapan yang mutlak, artinya jumlah pajak yang harus dibayar merupakan jumlah yang pasti. Jadi, pada prinsipnya Surat Tagihan Pajak (STP) tidak menimbulkan utang pajak, karena utang pajak sudah ada dan jumlahnya sudah pasti. STP ini baru dikeluarkan jika ternyata bahwa pajak yang telah pasti jumlahnya itu tidak dibayar atau kurang bayar. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka (20), berbunyi : Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Pelunasan pajak yang terutang dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu : pemotongan, pemungutan, dan pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak. Utang pajak yang tidak atau kurang bayar sesuai dengan yang ditetapkan diatas akan ditagih dengan menggunakan STP. Begitu pun apabila dari hasil penelitian Ditjen Pajak terhadap STP Wajib Pajak, terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat dari salah tulis dan atau salah hitung, kekurangan pembayaran tersebut akan ditagih dengan menggunakan STP. STP yang dikeluarkan karena kedua peristiwa atau keadaan diatas, sesuai dengan Pasal 14 ayat (3) Undang-undang KUP akan disertai dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan dihitung saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak sampai dengan diterbitkannya STP. Kedudukan STP dalam hubungannya dengan surat-surat ketetapan lainnya yang menjadi wewenang Ditjen Pajak dinyatakan secara tegas dalam Pasal 14 ayat (2) Undangundang KUP No.16 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa: “ Surat Tagihan Pajak……….. mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak ”. Artinya, terhadap STP ini dapat juga dilakukan penagihan secara paksa dengan menggunakan surat paksa.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terhutang, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal : 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang atau tidak bayar. 2. SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan setelah ditegur secara tertulis tidak juga disampaikan sebagaimana waktu yang ditentukan dalam surat teguran. 3. Berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan Tarif 0 % (nol persen). 4. Tidak dipenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 28 dan Pasal 29 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 KUP Pasal 1 angka (17), yang dimaksud dengan SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Seperti halnya SKPKB, maka SKPKBT dapat dikeluarkan apabila : 1. Berdasarkan data baru dan atau data yang semula belum terungkap, menyebabkan pertambahan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebelumnya. 2. Ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat pemeriksaan SKPKB. 3. Telah pernah diterbitkan Ketetapan Pajak.
d. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak yang terutang bertambah Surat Keputusan Keberatan adalah surat yang diajukan oleh Wajib Pajak (yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu) kepada Dirjen Pajak yang mengandung suatu keberatan terhadap suatu Surat Ketetapan Pajak, mengenai jenis pajak dan tahun pajak tertentu. Surat Keberatan ini pada hakikatnya ditujukan terhadap jumlah yang dijadikan dasar untuk
menetapkan ketetapan itu, seperti jumlah penghasilan, jumlah pengurangannya (Soemitro, 1988 :144). Sedangkan yang dimaksud dengan Surat Keputusan Keberatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka (34) Undang-undang KUP No.28 Tahun 2007 sebagai berikut : Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. Pasal 26 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan bahwa dalam waktu 12 bulan terhitung sejak diterimanya Surat Keberatan Wajib Pajak, Dirjen Pajak, yang dalam hal ini Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah, harus sudah memberikan keputusan atas Surat Keberatan tersebut. Jika dalam jangka waktu tersebut Dirjen Pajak belum mengeluarkan keputusan, maka Surat Keberatan dianggap diterima seluruhnya dan Dirjen Pajak harus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. Keputusan tersebut dapat menerima, menerima sebagian, menolak atau menambah jumlah pajak terutang. Jika keberatan diterima, maka kelebihan pembayaran pajak harus dikembalikan (setelah diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak lainnya). Dalam jangka waktu 1 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterbitkan, dan pengembalian ini dilakukan dengan cara menerbitkan surat perintah membayar kelebihan pajak. Jika ditolak, Wajib Pajak diberi hak untuk mengajukan banding terhadap SK. Surat Keputusan tersebut.
e. Putusan Banding Dalam Undang-undang No.14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak pasal 1 angka (6), yang berbunyi Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atas Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Undang-undang KUP Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Putusan badan peradilan bukan merupakan keputusan tata usaha negara”, sehingga putusan tersebut tidak dapat diajukan kasasi atau dengan kata lain putusan ini tidak dapat lagi diajukan sanggahan kepada instansi yang lebih tinggi. Undang-undang pengadilan pajak pasal 33 ayat (1) yaitu “pengadilan pajak merupakan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak sehingga putusan yang dikeluarkan
merupakan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap”, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Pengadilan Pajak Pasal 77 ayat (1). Perlu diketahui, menurut Undang-undang Pengadilan Pajak Pasal 91, PK atas Putusan Banding hanya dapat diajukan bila: a. Putusan Pengadilan Pajak (PP) didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. b. Terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda. c. Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, kecuali putusan tersebut menerima sebagian atau seluruh tuntutan atau menambah pajak yang dibayar . d. Bagian dari suatu tuntutan belum diputus tanpa mempertimbangkan sebab-sebabnya. e. Terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 80 Undang-undang Pengadilan Pajak menyatakan : Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa : a. Menolak b. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya c. Menambah pajak yang harus dibayar d. Tidak dapat diterima e. Membetulkan kesalahan tulis dan kesalahan hitung f. Membatalkan Terhadap putusan-putusan tersebut diatas tidak dapat lagi diajukan gugatan atau kasasi. Putusan-putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pelanggaran terhadap hal ini menyebabkan putusan pengadilan pajak tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi tidak membatalkan keputusan tersebut. Oleh karena itu, putusan tersebut harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka umum.
f. Surat Keputusan, Pembetulan yang mengakibatkan Pajak Terutang Bertambah Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang KUP No.28 Tahun 2007 yang menyatakan: “ Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jendral Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangundangan perpajakan”. Jadi, yang dimaksud dengan SK. Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat-surat diatas. Pengertian membetulkan disini dapat berarti menambah atau mengurangkan atau menghapuskan tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruan. Apabila masih terdapat kesalahan dan/atau kekeliruan dalam SK.Pembetulan, Dirjen Pajak dapat melakukan pembetulan lagi secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
2.3 Penagihan Pajak Pengertian dan istilah penagihan pajak menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dalam Pasal 1 angka (9) menyebutkan bahwa: “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika, dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita”. Hal senada juga diungkapkan oleh H. Moeljo, S.H (1994:2) sebagai berikut : “ Penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Dirjen Pajak, berhubung Wajib Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.”
Tujuan utama dari setiap tahap dalam penagihan pajak adalah untuk mencairkan utang pajak. Artinya, penagihan pajak berkaian dengan kewajiban membayar dari Wajib Pajak. Dalam konteks ini, penanggung pajak memiliki arti lebih luas dari Wajib Pajak. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak, sedangkan Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran utang pajak. Yang bertanggung jawab atas utang pajak tidak hanya Wajib Pajak, tetapi dapat pula orang pribadi atau badan lainnya. Tugasnya selain yang namanya tercantum pada Surat Ketetapan Pajak, dapat pula ditunjuk penanggung pajak lainnya yang ditetapkan undang-undang pajak sebagai yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak (Moeljo Hadi,1994 :15/16). Tahapan dalam penagihan pajak dalam 2 kelompok, yaitu : 1). Penagihan Pajak Pasif Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran. 2). Penagihan Pajak Aktif Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, di mana dalam upaya penagihan ini, fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau Surat Ketetapan Pajak tetapi akan diikuti dengan tindakan sita, dan dilanjutkan dengan pelaksaan lelang. Jadi, penagihan pajak aktif didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT, SK.Pembetulan, SK. Keberatan, SK. Banding, yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan dari penagihan pajak diantaranya sebagai berikut : 1). Surat Teguran Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), tidak dilunasi samapai melewati tujuh (7) hari dari batas waktu jatuh tempo (satu bulan sejak tanggal diterbitkannya). 2). Surat Paksa Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah 21 hari dari tanggal surat teguran, maka akan diterbitkan Surat Paksa yang disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan dibebani biaya penagihan paksa sebesar Rp 25.000,00 (Dua puluh lima ribu rupiah), utang pajak harus dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam. 3). Surat Sita Apabila utang pajak belum juga dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang Wajib Pajak, dengan dibebani biaya pelaksanaan sita sebesar Rp 75.000,00 (Tujuh puluh lima ribu rupiah). 4). Lelang Dalam waktu empat belas hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan dengan tindakan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
2.4. Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak adalah pencairan/penyelesaian yang terjadi atas tunggakan pajak. Dari segi administrasi, realisasi pencairan tunggakan pajak adalah mengeluarkan/menghapus suatu jumlah tertentu tunggakan pajak Wajib Pajak dari daftar tagihan Negara. Realisasi Pencairan Tunggakan Pajak terdiri dari : 1. Pembayaran/Pelunasan Pembayaran yang dimaksud disini adalah pembayaran dalam bentuk uang dengan menggunakan mata uang Rupiah Indonesia, sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004, Pasal 2 ayat (2) dan (3) : Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah diwilayah Negara Republik Indonesia. Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan
pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah. Pembayaran dengan menggunakan mata uang selain rupiah (Dollar Amerika) harus memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan . Pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau surat administrasi lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak Pasal 3 dan Pasal 10 UU KUP serta KMK No. 545/ KMK.04/2000 menjelaskan bahwa pembayaran harus dilakukan melalui kantor pos atau bank BUMN atau bank BUMD, atau bank-bank lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yang dalam hal ini Direktur Jendral Pajak. Pembayaran pajak dapat dikelompokkan menjadi (Erly Suandy,2000 : 102): 1. Pembayaran masa 2. Pembayaran kekuarangan pajak (PPh Pasal 29) setelah berakhirnya pajak/bagian tahun pajak. 3. Pembayaran karena adanya STP, SKPKB, SKPKBT, SK. Pembetulan, SK. Keberatan, dan Putusan Banding. Tanggal jatuh tempo dari setiap pembayaran diatas adalah sebagai berikut: 1. Untuk pembayaran masa ditegaskan dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang KUP yaitu paling lambat 15 (Lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau masa pajak yang berakhir. 2. Untuk kekurangan pembayaran pajak (PPh Pasal 29) yang terutang menurut SPT Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, seperti yang ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU KUP. 3. Pembayaran atas utang PPh yang terdapat pada STP, SKPKB, SKPKBT, dan tambahan utang pajak pada SK. Pembetulan, SK. Keberatan dan Putusan Banding, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran bertepatan dengan hari libur (hari libur nasional dan hari-hari cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah), maka pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya, sesuai dengan
yang
ditetapkan
dalam
pasal
No. 326/KMK.03/2003 tanggal 11 Juli 2003.
2
Keputusan
Menteri
Keuangan
Perlu diketahui pula bahwa disamping pembayaran/pelunasan yang dilakukan secara tunai (cash) atas inisiatif Wajib Pajak/Penanggung Pajak itu sendiri sebagaimana telah dijelaskan diatas, pembayaran/pelunasan dapat pula terjadi atas inisiatif fiskus (Ditjen Pajak) melalui penghasilan secara paksa yang terdiri dari surat paksa, sita dan pelelangan, sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 2. Kompensasi Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang KUP menegaskan : Atas Permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan namun apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. Dalam hal ini, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak. Jika, Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak. Kompensasi dilakukan dengan cara Pemindah Bukuan (Pbk)/overbooking dan dapat dilakukan terhadap jenis pajak yang berbeda, tahun pajak yang berbeda, maupun Wajib Pajak yang berbeda. Keputusan Menteri Keuangan No. 538/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000, Pasal 2 ayat (1) dan (2) menjelaskan : (1) Kelebihan Pembayaran Pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak, baik pusat maupun cabang-cabangnya. (2) Atas dasar persetujuan Wajib Pajak yang berhak atas kelebihan pembayaran pajak, kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama Wajib Pajak lain. Jadi, sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan diatas, kompensasi terhadap utang pajak Wajib Pajak yang bersangkutan. Sedangkan, kompensasi yang akan dilakukan diatas sisa kelebihan pembayaran pajak (setelah memperhitungkan utang pajak), harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Wajib Pajak.
3. Penghapusan (Writing-off) Penghapusan piutang pajak dilakukan berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan sesuai Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak. Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 565/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2002 sebagaimana telah diubah dengan KMK No.539/KMK.03/2002 tanggal 31 Desember 2002 menegaskan bahwa piutang pajak hanya dapat diusulkan untuk dihapuskan setelah adanya laporan hasil penelitian, yang merupakan hasil penelitian setempat yaitu penelitian terhadap keadaan Wajib Pajak dan penelitian administrasi yaitu penelitian administrasi perpajakan. Kedua penelitian ini dilakukan untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, atau dengan kata lain untuk menentukan piutang pajak mana yang telah memenuhi syarat untuk dihapuskan. Syarat-syarat agar pajak dapat dihapuskan tercantum dalam pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No.535/KMK.04/2004, yaitu: 1. Piutang pajak tersebut yang tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, dan SK. Pembetulan, SK. Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah. Piutang Pajak yang tercantum dalam surat-surat tersebut diatas adalah untuk menjamin bahwa piutang pajak benar-benar telah ditatausahakan sebagai Piutang Pajak berdasarkan peraturan yang ada. 2. Piutang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, karena : a. Wajib Pajak orang pribadi : i. Wajib
Pajak/Penanggung
Pajak
telah
meninggal
dunia
dengan
tidak
meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan. Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-19/PJ/1995 menjelaskan
dokumen-dokumen
yang
perlu
untuk
mendukung
alasan
penghapusan piutang pajak adalah : -
Surat keterangan meninggal dunia dari pejabat daerah setempat (minimal lurah) atau Rumah Sakit (jika meninggal di Rumah Sakit).
-
Surat keterangan dari pejabat daerah setempat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak mempunyai ahli waris.
-
Keterangan/petunjuk mempunyai ahli waris.
bahwa
Wajib
Pajak/Penanggung
Pajak
tidak
-
Keterangan/petunjuk
bahwa
Wajib
Pajak/Penanggung
Pajak
tidak
Pajak/Penanggung
Pajak/Penanggung
Pajak
tidak
meninggalkan harta warisan. Apabila
Wajib
meninggalkan harta warisan tetapi mempunyai ahli waris maka penagihan (dengan surat paksa) ditunjukkan kepada ahli waris oleh pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama karena jika tidak, maka ada kemungkinan ahli waris tidak mengakui/menerima waris dalam bentuk utang pajak, dalam hal demikian dapat diartikan bahwa Wajib Pajak/ Penanggung Pajak yang meninggal tersebut tidak mempunyai ahli waris. ii. Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi karena : -
Pindah alamat dan tidak memberitahukan alamat barunya. Dalam hal ini diperlukan surat keterangan dari pejabat setempat (minimal lurah) tentang hal tersebut.
-
Meninggalkan Indonesia, untuk ini diperlukan keterangan yang menyatakan hal itu dari pejabat daerah setempat yang menyatakan ketidak beradaannya pada alamat yang dimaksud dan dari pejabat imigrasi yang memberikan izin meninggalkan Indonesia selama-lamanya.
iii. Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak mempunyai kekayaan lagi. Dokumendokumen yang diperlukan untuk menghapus utang pajaknya dijelaskan dalam lampiran keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor Kep-19/PJ/1995, yaitu: -
Surat keterangan dari pejabat daerah setempat (minimal lurah) yang menyatakan hal itu.
-
Surat keterangan dari pemberi kerja apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak menjadi karyawan, tentang besarnya penghasilan yang diterima yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan fiskus untuk meneliti apakah Wajib Pajak/Penanggung
Pajak
masih
mungkin
untuk
menyisihkan
penghasilannya untuk tujuan mengangsur utang pajaknya. iv. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian salinan surat paksa kepada Penanggung Pajak melalui Pemerintah Daerah setempat. v. Piutang pajak sudah daluwarsa. Dalam hal ini hak untuk menagih piutang pajak dan kewajiban untuk membayar utang pajak telah daluwarsa/lampau waktu.
b. Wajib Pajak Badan : i.
Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan.
ii. Wajib Pajak/Penanggung Pajak sudah habis terjual tetapi mempunyai utang termasuk utang pajak. Lampiran Keputusan DJP No. Kep-19/PJ/1995 menjelaskan bahwa dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendukung Wajib Pajak Badan tersebut adalah : - Akte Pembubaran - Neraca Likuidasi - Pernyataan Kepailitan Utang pajak yang masih tersisa tersebut ditagih terus kepada wakilnya. Jika penagihan sampai pada tingkat ini piutang pajak tetap tidak mungkin ditagih karena: - Wakilnya secara nyata juga sudah jatuh miskin dan dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat daerah setempat, baik secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media masa. - Wakilnya dapat membuktikan dan meyakinkan Dirjen Pajak bahwa mereka benar-benar tidak mungkin dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Maka Piutang Pajak tersebut dapat dihapuskan dengan syarat bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan harus membubarkan diri maka penghapusan dilakukan sesudah hak untuk menagih daluwarsa. iii. Penagihan secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian surat paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, atau pemerintah daerah setempat, baik secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media masa. iv. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa, atau sebab lain sesuai penelitian.
4. Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding Penghapusan tunggakan pajak dari tagihan negara dapat pula dilakukan karena adanya SK.Keberatan atau Putusan Banding yang sifatnya menerima seluruh atau sebagian perihal yang diajukan keberatan/banding tersebut.
5. Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak Pasal 1 huruf (c) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.03/2008 tanggal 6 Februari 2008 menjelaskan bahwa “Direktur Jendral Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan Surat
Ketetapan
Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar”.
Misalnya, Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Dirjen Pajak karena jabatannya, dengan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang diajukan keberatan tersebut.
6. Wajib Pajak/Penanggung Pajak Pindah Permanen Yang dimaksud dengan Wajib Pajak/Penanggung Pajak pindah permanen adalah Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang karena alasan tertentu berpindah (disertai dengan surat pindah dari KPP lama) secara permanen tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain. Perpindahan tersebut akan menghapus tunggakan pajak Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang terdapat pada KPP lama dan memindahkannya ke KPP yang baru.
2.5 Penerimaan Pajak Penerimaan Pajak merupakan penerimaan bruto dan piutang dari pajak, cukai dalam Penerimaan Negara. Sedangkan menurut Ditjen Pajak, penerimaan pajak adalah : Penerimaan Pajak adalah tambahan dana ke Kas Negara yang berasal dari Warga Negara selaku Wajib Pajak yang membayar pajak atas dasar kesadaran yang penuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam hal ini, penerimaan pajak tersebut berasal dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan penerimaan dari pajak lainnya dan Pemberian Imbalan Bunga (PIB). 2.5.1. Pajak Penghasilan (PPh) Dilihat dari segi penerimaan, Pajak Panghasilan dapat membantu negara dalam membiayai pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pajak penghasilan merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola dan dipungut oleh pemerintah pusat, yang secara operasional hal ini dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak dibawah naungan Departemen Keuangan. Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa subjek pajak tersebut akan dikenakan pajak jika menerima atau memperoleh penghasilan dari manapun, dan subjek pajak tersebutlah yang masuk dalam sebutan Wajib Pajak (tax payer). Dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000: Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan pekerjaan c. laba usaha d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi h. royalty i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva n. premi asuransi o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan, subjek pajak penghasilan terdiri dari 2 (dua) jenis yakni : 1. Subjek Pajak Dalam Negeri Adapun yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang berada atau bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia. Secara praktis ini dapat dilihat dalam ketentuan berikut : a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Atau juga orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut bukanlah harus dimulai dari bulan januari atau awal tahun pajak, namun bisa jadi setelahnya. Disamping itu juga tidak harus secara berturut-turut 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tinggal di Indonesia, namun bisa jadi
secara continue
sepanjang jumlahnya memenuhi 183 hari selama 12
bulan. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak 2. Subjek Pajak Luar Negeri Sedangkan yang termasuk sebagai subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut: a. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. b. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Pajak penghasilan terdiri dari dua kategori yaitu : 1. Pajak penghasilan non migas : a. PPh pasal 21 b. PPh pasal 22 c. PPh pasal 22 Impor d. PPh pasal 23 e. PPh pasal 25/29 Orang Pribadi f. PPh pasal 25/29 Badan g. PPh pasal 26 h. PPh Final dan Final Luar Negeri
2. Pajak penghasilan migas : a. PPh minyak bumi b. PPh gas alam c. PPh lain minyak bumi d. PPh lain gas alam
2.5.2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau disingkat PPN dan PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi didalam negeri (didalam daerah pabean), baik konsumsi barang maupun jasa. Sebaliknya, atas impor barang dikenakan pajak yang sama dengan produksi barang dalam negeri. Sesuai dengan pertimbangan keadaan ekonomi, sosial dan budaya, tidak semua jenis barang dan jasa dikenakan pajak (Mardiasmo, 2003 :275). Pajak Pertambahan Nilai yaitu jumlah antara biaya yang dikeluarkan dan tingkat laba yang diharapkan dalam suatu proses produksi, artinya proses pertambahan nilai selalu timbul karena adanya biaya-biaya yang dikeluarkan mulai dari bahan baku menjadi barang setengah jadi sampai menjadi barang jadi yang siap dijual dengan tingkat laba yang diharapkan. Pajak Pertambahan Nilai ini merupakan pajak tidak langsung dimana beban pajaknya dipikul oleh Wajib Pajak tetapi dapat dialihkan kepada orang lain. Berdasarkan Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas : a. Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha Kena Pajak. b. Impor Barang Kena Pajak. c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha Kena Pajak. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
f. Ekspor barang kena pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain. h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan. Dasar hukum pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang atau Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Beberapa karakteristik yang perlu dipahami dalam Pajak Penjualan Barang Mewah yaitu : 1. Pengenaan terhadap PPnBM ini hanya satu kali yaitu pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolon mewah untuk pengusaha yang menghasilkan atau pada saat impor. 2. PPnBM tidak dapat dilakukan pengkreditan dengan PPN (namun demikian, apabila eksportir mengekspor BKP yang tergolong mewah, maka PPnBM yamg telah dibayar pada saat perolehan dapa direstitusi). Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan terhadap : 1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. 2. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah.
2.5.3. Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas tanah(bumi) dan/atau bangunan yang berada di walayah Republik Indonesia. Objek dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi tekhnik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pengertian bangunan
disini termasuk jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, dan fasilitas lainnya yang memberikan manfaat. Adapun objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : 1. Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan nasional, yang tidak dimaksud memperoleh keuntungan 2. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti museum 3. Tanah hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak 4. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik 5. Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Selain itu, yang dimaksud dengan Penanggung PBB adalah orang atau badan yang mempunyai hak atas bumi/tanah dan/atau memiliki, menguasai atas bangunan, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
2.5.4. Pendapatan atas Pajak Lainnya dan Pemberian Imbalan Bunga (PIB) Pendapatan atas Pajak Lainnya dan Penerimaan Imbalan Bunga terdiri dari : a. Bea/Benda Materai Bea Materai dikenakan atas dokumen yang berbentuk (Waluyo,2002 : 410-411): 1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. 2. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3. Akta-akta yang dibuatkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkap. 4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah): a. Yang menyebutkan penerimaan uang. b. Yang menyatakan pembukaan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank. c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank. d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. 5. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 7. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan, yaitu : a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan. b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan dalam orang lain, lain dari maksud semula. b. Bunga Penagihan Pajak Penghasilan Bunga penagihan Pajak Penghasilan adalah bunga karena pembayaran Pajak Penghasilan yang ditagih dengan STP, SKPKB, SKPKBT, dan tambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding,
tidak
atau
kurang
dibayar
dalam
batas
waktu
pembayaran.
Bunga penagihan ini terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP Nomor 16 Tahun 2000 (Erly Suandy,2001:140). c. Bunga Penagihan PPN Bunga penagihan PPN adalah bunga karena pembayaran Pajak Penjualan yang ditagih dengan STP, SKPKB,SKPKBT, dan tambahan jumlah Pajak Penjualan yang masih harus dibayar berdasarkan SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding, tidak atau kurang dibayar dalam batas waktu pembayaran.
d. PIB Berdasarkan SE-01/PJ.35/2005 tentang Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak bahwa : Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas pemberian imbalan bunga berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya keputusan keberatan atau Putusan Banding, dengan ini diberikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. Berdasarkan pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000, atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah atas : a. Dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g. b. Bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f. c. Royalty. d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e.
3. Berdasarkan
butir
5a
Surat
Edaran
Direktur
Jenderal
Pajak
Nomor
SE-04/PJ.42/2002 tanggal 2 April 2002 tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak, Imbalan Bunga yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan SK. Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan objek Pajak Penghasilan. 4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan SK. Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya keputusan keberatan atau Putusan Banding adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan, tetapi bukan merupakan objek Pemotongan PPh pasal 23. Dengan demikian, Imbalan bunga tersebut merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan. 5. Selanjutnya Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Perintah membayar imbalan bunga kepada Wajib Pajak, agar membuat keterangan (KP Data) pembayaran imbalan bunga untuk memastikan bahwa imbalan bunga tersebut dilaporkan Wajib Pajak dalam SP Tahunan untuk tahun pajak diterimanya imbalan bunga.