BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan ekosistem yang memiliki sumber daya akuatik yang bermanfaat bagi manusia sehingga harus diperhatikan kelestariannya (Dinas Perikanan, 1993). Danau termasuk ke dalam perairan tenang (lentic water), atau di sebut juga sebagai perairan tenang (Barus, 2001). Ekosistem air tawar secara umum dibagi atas 2 yaitu perairan lentik (perairan tenang) misalnya danau dan perairan lotik (perairan mengalir) yaitu sungai. Perbedaan utama antara perairan lotik dan perairan lentik adalah arus. Dimana arus pada perairan lentik umumnya sangat lambat sehingga kelihatan seperti air tenang. Menurut Odum, (1994), suatu danau terdiri dari 3 zona yaitu : a. Zona litoral, yaitu daerah perairan dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar. b. Zona limnetik, yaitu daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya yang efektif, disebut juga tingkat kompensasi, yaitu daerah dimana fotosintesa seimbang dengan respirasi. c. Zona profundal, yaitu merupakan bagain dasar dan daerah air yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif. Selanjutnya Payne, (1986) & Smith, (1992), membagi danau atas 3 jenis berdasarkan keadaan nutrisinya yaitu : a. Danau Oligotrofik Yaitu suatu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam danau produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupu jumlah organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi b. Danau Eutrofik Yaitu suatu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya Nitrat dan Fosfor yang menyebabkan pertumbuhan algae dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah. c. Danau Dystrofik Yaitu suatu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau dystrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau dystrofik ini. Pada danau juga terjadi stratifikasi thermal yang menyebabkan danau terbagi atas 3 lapisan secara vertikal yaitu lapisan epilimnion (bagian permukaan danau) dimana air lebih hangat dan tersirkulasi; lapisan mesolimnion (bagian tengah danau ) dimana pada lapisan ini terjadi termoklin dan lapisan hipolimnion (bagaian bawah danau) dimana air lebih dingin (Odum,1994; Heddy & Kurniati, 1996) Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satukesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Ekosistem danau termasuk habitat
Universitas Sumatera Utara
air tawar yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1–1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisaberlangsung lebih lama. Menurut Odum, (1993), pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami merupakan danau yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan danau buatan adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah. Umumnya perairan danau selalu menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan resultante dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Kualitas perairan danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada di atasnya. Berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari menembus ke dalam danau, wilayah danau dapat dibagi menjadi tiga mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral merupakan daerah pinggiran danau yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses fotosintesis. Bagian air di zone litoral terdiri dari produsen plantonik, khususnya diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif. Menurut Goldmen dan
Universitas Sumatera Utara
Horne,
(1989),
berdasarkan
kandungan
hara
(tingkat
kesuburan)
danau
diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: danau eutrofik, danau oligotrofik dan danau mesotrofik. Danau eutropik (kadar hara tinggi) merupakan danau yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral melimpah,kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Sementara itu, danau oligotropik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan yang dalam,dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion.Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau mesotropik merupakan danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat danau eutrofik dan danau oligotrofik. Jorgensen, (1990) menambahkan bahwa tingkat trofik (kesuburan) suatu danau juga dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total nitrogen (TN), total fosfat (TP), klorofil-a dan biomassa fitoplankton, seperti disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Klasifikasi Tingkat Kesuburan Perairan Danau (Jorgensen, 1990) TP (µg/l)
Tipe trofik
Biomassa fitoplankton
Klorofil a Mg/l
TN (µg/l)
oligotrofik mesotrofik Eutrofik hipermetrofik
10 - 30 100 -300 > 300 -
0,3 - 3 2 - 15 10 - 500 -
<250 260 - 600 500 – 1100 500 - 1500
<5 5 – 10 10 -30 - 5000
2.2. Ekosistem Danau Siais Danau Siais merupakan danau terbesar kedua di Sumatera Utara memiliki panorama yang dapat dijual, karena belum tertata dan dikelola dengan baik sehingga belum dapat memberikan dampak ekonomi yang positif. Danau Siais merupakan bagian dari Desa Rianiate dengan luas + 4500 ha dan merupakan bagian dari kecamatan Angkola Sangkunur. Berdasarkan kondisi fisik desanya, kawasan Danau Siais memiliki topografi yang berbukit-bukit dengan kemiringan lahan dari 40%.
Universitas Sumatera Utara
Danau Siais mempunyai satu karakter penggunaan lahan edisting yaitu sebagai kawasan wisata, namun kawasan ini memiliki bermacam fungsi, antara lain sebagai kawasan penyangga, wisata, permukiman, kegiatan perlindungan, pendidikan, penelitian dan olah raga serta kawasan pengembangan pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan (Bappeda, 2008). Kawasan Danau Siais memiliki beberapa objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan, diantaranya adalah panorama alam, kawasan Danau Siais, sumber kehidupan Danau Siais seperti jenis-jenis ikan yang ada di dalamnya. Danau Siais merupakan tempat bermuaranya anak sungai Batangtoru dan sungai Rianiate dimana disekitar sungai merupakan tempat pembuangan limbah rumah tangga masyarakat yang ada disekitar sungai tersebut.
2.3. Produktivitas Primer Setiap
ekosistem,
atau
komunitas,
atau
bagian-bagiannya
memiliki
produktivitas dasar atau disebut produktivitas Primer. Batasan Produktivitas primer adalah kecepatan penyimpanan energi potensial oleh organisme produsen, melalui proses fotosintesis dan kemosintesis dalam bentuk bahan-bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Dapat dikenal pula kategori produktivitas, yaitu : 1. Produktivitas Primer kotor yaitu kecepatan total fotosintesis, mencakup pula bahan organik yang dipakai untuk respirasi selama pengukuran. 2. Produktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan-bahan organik dalam jaringan tumbuhan, sebagai kelebihan bahan yang dipakai untuk
respirasi
oleh
tumbuhan
itu
selama
pengukuran.
Kecepatan
penyimpanan energi potensial pada tingkat tropik konsumen dan pengurai, disebut Produktivitas Sekunder
Universitas Sumatera Utara
Produktivitas Primer bersih adalah ukuran yang penting, karena Produktivitas Primer menunjukkan simpanan energi kimia yang tersedia bagi konsumen dalam suatu ekosistem. Antara 50% dan 90% dari Produktivitas primer kotor pada sebagian besar produsen primer tersisa sebagai produktivitas primer bersih setelah kebutuhan energinya terpenuhi. Produktivitas Primer dapat dinyatakan dalam energi per satuan luas per satuan waktu(J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat) vegetasi yang ditambahkan keekosistem per satuan luasan persatuan waktu(g/m2/tahun). Biomassa umumnya dinyatakan sebagai berat kering bahan organik, karena molekul air tidak mengandung energi yang dapat digunakan, temperatur kandungan air tumbuhan bervariasi dalam jangka waktu singkat(Campbell et al., 2004). Cara yang umum dipakai dalam mengukur Produktivitas
Primer suatu
perairan adalah dengan menggunakan botol gelap dan botol terang. Botol terang dipakai untuk mengukur laju fotosintesis yang disebut juga sebagai Produktivitas Primer kotor(= jumlah total sintesis bahan organik yang dihasilkan dengan adanya cahaya), sementara botol gelap digunakan untuk mengukur laju respirasi. Produktivitas Primer dapat diukur sebagai produktivitas kotor dan atau Produktivitas bersih. Hubungan diantara keduanya dapat dinyatakan sebagai : Produktivitas bersih (PN) = Produktivitas Kotor (Pg) – Respirasi (R) R = (O2)awal – (O2)akhir pada botol gelap Pg = (O2)akhir pada botol terang – (O2)akhir pada botol gelap Untuk mengubah nilai mg/l oksigen menjadi mg C/m3, maka nilai dalam mg/l dikalikan dengan faktor 375,36. hal ini akan menghasilkan mg C/m3 untuk jangka waktu pengukuran. Untuk mendapatkan nilai produktivitas dalam satuan hari, maka nilai perjam harus dikalikan dengan 12, mengingat cahaya matahari hanya selama 12 jam per hari (Barus, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Romimohtarto et al, (2001), proses fotosintesis terjadi baik diatas permukaan laut, di darat, di air tawar maupun di dalam laut. Sinar matahari bergabung dengan komponen-komponen kimiawi dalam air untuk menghasilkan jaringan tumbuh-tumbuhan hidup dengan reaksi kimia sederhana.
sin ar matahari organik + 02 + panas CO2 + H20 Klorofil Reaksi kimia ini terjadi pada semua jasad fotosintetik dan merupakan dasar bagi semua kehidupan di peraiaran, kecuali bakteri tertentu dan biota laut yang mampu berkemosintesis atau membuat makanan tanpa bantuan sinar matahari. Mereka yang dinamakan produktivitas
primer, menjadi sumber makanan secara
langsung atau tidak bagi semua konsumen. Prosesnya disebut Produksi primer. Menurut Michael (1994), dalam Barus (2004), hasil dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan berklorofil disebut sebagai Produktivitas primer. Fotosintesis yang memainkan peranan sangat penting dalam pengaturan metabolisme komunitas, sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, konsentrasi karbondioksida terlarut dan faktor temperatur. Laju fotosintesis bertambah 2 – 3 kali lipat untuk setiap kenaikan temperatur sebesar 10oC. Meskipun demikian, intensitas sinar dan temperatur yang ekstrim cenderung memiliki pengaruh yang menghambat laju fotosintesis. Secara sederhana dapat diuraikan bahwa dalam fotosintesis terjadi proses penyerapan energi cahaya dan karbondioksida serta pelepasan oksigen yang berupa salah satu produk dari fotosintesis tersebut. Sebagai proses kebalikan dari fotosintesis dikenal proses respirasi yang meliputi pengambilan oksigen serta pelepasan karbondioksida dan energi. Apabila cahaya tidak ada maka proses fotosintesis akan terhambat, sementara aktivitas respirasi terus berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
Energi matahari yang mencapai bumi sebenarnya merupakan kisaran sempit dalam spektrum radiasi elektromagnetik. Energi itu mencakup radiasi dengan panjang gelombang antara 400 dan 700 nm( 1nm = 10-9 m). Intensitas radiasi yang mengenai bumi dengan latituda dan dengan musim tahun. Sumbu bumi menyinggung 23,5o terhadap bidang gerak bumi mengitari matahari. Untuk alasan ini, belahan bumi utara menerima lebih dari 12 jam cahaya matahari selama 6 bulan (kira-kira 21 Maret sampai 23 September), ketika sumbu bumi menyinggung mengarah ke matahari dan kurang dari 12 jam selama bulan-bulan sisanya ketika sumbu itu menjauh. Situasi kebalikannya terjadi dibelahan bumi Selatan. Fenomena ini berakibat keuntungan bersih radiasi matahari selama separuh tahun dan kerugian bersih selama separuh tahun lagi, dan karena itu menentukan musim-musimnya. Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan fotosintesis. Dalam ekosistem air hasil dari fotosntesis yang dilakukan oleh fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai Produktivitas primer. Fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis. Kepadatan zooplankton disuatu perairan lotik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Pengaruh kecepatan arus terhadap zooplankton jauh lebih kuat dibandingkan pada fitoplankton. Disamping itu temperatur yang relatif hangat sangat mendukung keberadaan fitoplankton (Barus, 2004). Cuaca dapat mempengaruhi Produktivitas primer melalui tutupan awan, dan secara tidak langsung melalui suhu. Awan dapat mengurangi penembusan cahaya kepermukaan laut dan mengurangi kecepatan proses produktivitas primer. Pada umumnya Produktivitas primer di laut bebas relatif rendah karena jauh dari daratan yang menyediakan zat hara, faktor volume air yang besar yang mengencerkan kadar zat hara. Lingkungan eutrofik adalah lingkungan dengan sejumlah besar zat hara.
Universitas Sumatera Utara
Contohnya danau dangkal, kolam dan rawa-rawa untuk lingkungan air tawar, dan estuaria untuk lingkungan laut. Kombinasi antara kandungan zat hara tinggi dari aliran sungai dan perairan dangkal yang teraduk baik, merupakan keadaan ideal untuk produktivitas tinggi. Lingkungan oligotrofik adalah lingkungan dengan produktivitas rendah, seperti laut lepas, danau besar yang dalam dam goba pantai dimana sirkulasi air terbatas (Romimohtarto et al., 2001).
2.4. Klorofil a Proses fotosintesis berlangsung dalam kloroplas, suatu organel yang terdapat di dalam sel tumbuhan hijau. Kloroplas memiliki membran atau pembungkus mengelilingi suatu ruas pusat yang besar yang dinamai stroma. Stroma mengandung beberapa banyak enzim larut yang berbeda yang berfungsi untuk menggabungkan sebagian organik. Di dalam stroma, membran juga membentuk granum. Setiap granum terdiri dari satu timbunan kantung atau ceper yang dinamai tilakoid. Granum dihubungkan antara satu sama lain oleh lamella stroma. Klorofil ada pada membran granum, dan menjadikannya sistem penyimpanan energi bagi kloroplas. Setiap tilakoid berbentuk seperti kantung. Pergerakan ion-ion dari ruang ini melintasi membran tilakoid dipercaya penting dalam proses sintesis. Klorofil tidak menyerap panjang gelombang cahaya dengan banyak. Karena itu, cahaya ini dipantulkan ke mata dan kita melihat klorofil sebagai suatu pigmen hijau (Mader, 1995). Dari hasil penelitian diketahui bahwa klorofil a memainkan peranan penting pada fotosistem I dan II (dahulu disebut fotoreaksi gelombang pendek dan gelombang panjang). Pada tahun 1957, Bessel Kok menemukan adanya klorofil a khusus yang dinamakan P700 dan menurut pendapatnya bahwa P700 adalah pusat reaksi klorofil a fotosintesis. Selanjutnya diperkirakan keberadaan klorofil a khusus lainnya berada di pusat reaksi lainnya, yakni pusat reaksi P680 dari sistem gelombang pendek. Klorofil a tidak hanya berperan dalam cahaya permanen dan pengubahan energi cahaya
Universitas Sumatera Utara
menjadi energi kimia, juga bertindak sebagai penyumbang elektron utama (P680, P700), maupun penerima elektron utama. Feofitin berasal dari klorofil, dengan penggantian Mg dengan H+ di pusat struktur kimia klorofil (Salisbury dan Ross, 1995). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward, (2003), terdapat perbedaan kandungan klorofi a pada perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran air dari bawah ke atas (upwelling) di laut.
2.5 Hubungan antara Produktivitas Primer dengan Faktor Fisik Kimia Menurut Nybakken (1988), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Bermacam-macam faktor fisik dan kimia dapat mempengaruhi pertumbuhan kelangsungan hidup, dan produktivitas tumbuhan teresterial maupun perairan. Faktor – faktor yang sangat penting bagi tumbuhan tersebut ialah cahaya, suhu, kadar zat-zat hara. Jelas kiranya bahwa bagi suatu tumbuhan yang hidup tersuspensi dalam air, baik air maupun tanah tidak penting artinya. Kisaran suhu di Biosfer teresterial dapat mencapai suatu tingkat yang dapat mempengaruhi produktivitas. Hubungan Nilai Produktivitas Primer dengan faktor fisik kimia perairan adalah sebagai berikut : 1) Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa sifat thermal air seperti panas jenis, nilai kalor penguapan dan nilai peleburan air mengakibatkan minimnya perubahan suhu air, sehingga variasi suhu air lebih kecil bila dibandingkan dengan variasi suhu udara. Danau di daerah tropik mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu antara 20-30 0C, dan menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Oleh karena itu perubahan suhu dapat menghasilkan stratifikasi yang mantap sepanjang tahun, sehingga pada danau yang amat dalam cenderung hanya sebagian yang tercampur (Effendi, 2003; Hadi, 2005).Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah eufotik, sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila pada danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu: (1) epilimnion, lapisan yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang, (2) hipolimnion, merupakan lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan (3) metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion.Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin yaitu lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 10C dalam setiap 1 meter. Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1986). Menurut hukum Vant Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 10 C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkat laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksinya. Selain itu suhu juga berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut. Daya larut O2 akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan (Ruyitno, 1980). Suhu yang sesuai untuk kehidupan fitoplankton berkisar 20-30oC, sedangkan suhu yang baik untuk menumbuhkan plankton adalah 25-30oC. Pengamatan tentang suhu secara umum hampir merata di seluruh kolom air. Hal ini dapat dimengerti oleh karena daerah penelitian masih dikategorikan perairan pantai dan dangkal. Selanjutnya, seiring dengan semakin besarnya sudut datang matahari, secara berkelanjutan intensitas cahaya semakin kuat masuk ke kolam perairan. Hal ini tentunya
sangat
berpengaruh
terhadap
aktivitas
fitoplankton
untuk
membelah/memperbanyak diri, sehingga pada kolam air yang mendapat penyinaran yang lebih besar akan mempunyai jumlah fitoplankton lebih banyak. Oleh karena kedalaman dekat permukaan mendapatkan penyinaran yang lebih banyak tentunya akan semakin banyak ditemukan kelimpahan fitoplankton lebih tinggi dari pada kedalam yang lebih dalam. Hal ini terlihat pada selang waku inkubasi kedua dan ketiga yang mendapatkan kelimpahan tertinggi pada kedalaman 0 m. Di samping itu pada kedalaman 0 m intensitas cahaya yang masuk ke perairan sangat cocok untuk perkembangan fitoplankton dan bukan merupakan faktor penghambat,sehingga dengan kondisi seperti itu fitoplankton cenderung semakin aktif berkembang biak dan bertahan pada kedalaman 0 m (adanya kesesuaian intensitas cahaya).
2) Penetrasi Cahaya dan Intensitas Cahaya Matahari Menurut Barus (2004). Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan
Universitas Sumatera Utara
diabsorpsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang mengakibatkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Sedangkan menurut Herlina, (1987) penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisma fotosintetik (fitoplankton) dan juga penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. Menurut Nybakken, (1988), fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai kesuatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air (fitoplankton) untuk proses assimilasi. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton suatu perairan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz, (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Mahida, (1993), mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat,
Universitas Sumatera Utara
lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesbiono, (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu Effendi, (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partike-lpartikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).
3) Total Suspended Solid (TSS) Tingkat kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan suspensi massa air yang berasal dari sungai . Kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam
perairan (Prayitno dan
Edward, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Ditambahkan oleh Nybakken, (1992), peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun. Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air,buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan.
4) Total Dissolved Solid (TDS) Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan perairan. Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat produktifitas perairan (Sastrawijaya, 2000). Menurut Hutter, (1990) dalam Barus, (2004) menyatakan pada perairan yang konsentrasi mineralnya sedikit mempunyai harga total dissolved solid berkisar antara 50 mg/l – 400 mg/l, sementara pada perairan yang kaya akan mineral mempunyai harga total dissolved solid pada kisaran antara 500 mg/l – 2000 mg/l. Keputusan Gubernur Bali No 8 tahun 2007 menetapkan
Baku mutu TDS adalah 2000 mg/l.
Dari hasil pengukuran bahwa nilai TDS pada ketiga stasiun melebihi baku mutu air.
5) pH Air (Derajat Keasaman) pH merupakan suatu ekspresi dari konsentarsi ion hidrogen (H+) didalam air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentasi ion H. pH sangat penting sebagai parameter kualitas air, karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu. Sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu
Universitas Sumatera Utara
apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjung kehidupan organisme air (Rifai,1993). Organisme dapat hidup dalam suatu perairan yang mempuyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme, karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. Setiap organisme membutuhkan derajat keasaman (pH) yang optimum bagi kehidupannya. Pescod, (1973), mengatakan bahwa batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi bergantung pada faktor fisika, kimia dan biologi. pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton berkisar antara 6.5-8.0. Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida, (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan. Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah.
Universitas Sumatera Utara
6) Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen) Oksigen diperlukan oleh organisme air untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan pemeliharaan keseimbangan osmotik, dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen terlarut di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan makhluk hidup lainnya yang hidup di perairan,karena akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan organisme air tersebut. Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/l, sudah cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal (Warhdana, 1995). Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologis air terutama adalah dalam proses respirasi. Konsentrasi oksigen terlarut hanya berpengaruh secara nyata terhadap organisme air yang memang tidak mutlak membutuhkan oksigen terlarut untuk respirasinya.Konsumsi oksigen bagi organisme air berfluktuasi mengikuti prosesproses hidup yang dilaluinya. Pada umumnya konsumsi oksigen bagi organisme air ini akan mencapai maksimum pada masa-masa reproduksi berlangsung. Konsumsi oksigen juga dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut itu sendiri (Barus, 2004). Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton . Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen.
Universitas Sumatera Utara
CO2 + 6 H2O 12O6 + 6 O2 Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zone epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer. Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut alam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Menurut Connel and Miller (1995), sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Menurut Lee et al., (1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan DO (Lee et al., 1978) No
Kadar oksigen terlarut(mg/l)
1
1 > 6,5
2 3 4
2 4,5 – 6,4 3 2,0 – 4,4 4 < 2,0
status kualitas air Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
7) Biochemical Oxygen Demand (BOD) BOD (kebutuhan oksigen biologis) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme dalam lingkungan air, pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya
Universitas Sumatera Utara
hanya terhadap senyawa yang terdapat yang mudah diuaraikan secara biologis seperti senyawa yang terdapat dalam rumah tangga. Untuk produk- produk kimiawi, seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit dan bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004). BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al., (1978) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD5-nya, seperti disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Status Kualitas Air Berdasarkan Nilai BOD5 (Lee et al., 1978) No
Nilai BOD5 (ppm)
Status kualitas air
1
2,9 3,0 – 5,0 5,1 – 14,9 15
Tidak tercemar
2 3 4
Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai COD. Effendi (2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2 dan H2O. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.
Universitas Sumatera Utara
8) Chemycal Oxygen Demand (COD) COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan sacara biologis (Barus, 2004).
9) Kandungan Nitrat dan Fosfat Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 danNH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Haryadi, 2003). Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-),ion nitrat (NO3 -), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4 +) dan molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air. Effendi, (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi (ada yang melibatkan mikrobiologi dan ada yang tidak) sebagai bagian dari siklus nitrogen. Transformasi nitrogen secara mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Asimilasi nitrogen anorganik (nitrat dan ammonium) oleh tumbuhan dan mikroorganisme (bakteri autotrof) untuk membentuk nitrogen organik misalnya asam amino dan protein. 2. Fiksasi
gas
nitrogen
menjadi
ammonia
dan
nitrogen
organik
oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis alga Cyanophyta (alga biru) dan bakteri. N2 + 3 H2 2 NH3 (ammonia); atau NH4+ (ion ammonium).
Universitas Sumatera Utara
Ion
ammonium
yang
tidak
berbahaya
adalah
bentuk
nitrogen
hasil
hidrolisis ammonia yang berlangsung dalam kesetimbangan seperti reaksi berikut: H2O + NH3 NH4OH NH4+ + OHKondisi pada pH tinggi (suasana basa) akan menyebabkan ion ammonium menjadi ammonium hidroksida yang tidak berdisosiasi dan bersifat racun (Goldman and Horne, 1989). 3. Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan berkurang secara nyata pada pH < 7. 2 H+ + NO2- + H2O
NH4+ + 3/2 O2 Nitrosomonas NO2- + ½ O2
NO3Nitrosobacter
Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis (Hendersen-Seller, 1987). 4. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawa anorganik menjadi karbondioksida (Hendersend-Seller, 1987). Selain itu, autolisasi atau pecahnya sel dan eksresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok ammonia. 5. Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2-), dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang pada kondisi pH dan suhu rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi
Universitas Sumatera Utara
anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg/ l/ hari (Jorgensen, 1980). Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming). Konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen bisa mencapai 100 mg/l . Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar. Schmit, (1978) dalam Wardoyo, (1989) menyatakan bahwa pencemaran perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nitritnya (Tabel 2.4).
Tabel 2.4. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Nitrit (Schmit,197 dalam Wardoyo, 1989) No Kadar nitrit (mg/l) Status kualitas air 1 1 < 0,003 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2 0,003 – 0,014 Tercemar sedang 3 0,014 < Tercemar berat Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk yang paling sederhana di perairan (Boyd, 1982). Reaksi ionisasi ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut: H3PO4
H+ + H2PO4-
H2PO4- H+ + HPO42HPO4-
H+ + PO43-
Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O74-), metafosfat (P3O9 3) dan polifosfat (P4O136- dan P3O105-) serta fosfat yang terikat secara organik
Universitas Sumatera Utara
(adenosin monofosfat). Senyawa ini berada sebagai larutan,partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Ferguson, M.N,1996). Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Menurut Perkins (1974), kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi.
Universitas Sumatera Utara