BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGENALAN TENTANG JEMBATAN Jembatan adalah suatu konstruksi yang gunanya untuk meneruskan jalan melalui suatu rintangan yang berada lebih rendah. Rintangan ini biasanya jalan lain (jalan air atau jalan lalu lintas biasa). Jika jembatan itu berada di atas jalan lalu lintas biasa maka biasanya dinamakan viaduct (Struyk, 1995). Terdapat berbagai macam jenis jembatan yaitu (Supriyadi, 2000): 1) Jembatan sederhana 2) Jembatan baja 3) Jembatan rangka baja 4) Jembatan beton bertulang 5) Jembatan beton prategang 6) Jembatan gantung 7) Jembatan cable stayed Berikut ini akan dijelaskan secara sekilas dari berbagai macam jenis jembatan tersebut di atas.
2.1.1 Jembatan Sederhana Pengertian jembatan sederhana adalah ditinjau dari segi konstruksi yang mudah dan sederhana, atau dapat diterjemahkan struktur terbuat dari bahan kayu yang sifatnya darurat atau tetap, dan dapat dikerjakan/dibangun tanpa peralatan modern dan canggih. Jembatan kayu merupakan jembatan dengan material yang dapat diperbaharui (renewable). Kayu adalah sumber daya alam yang pemanfaatannya akhir-akhir ini lebih banyak pada bidang industri kayu lapis dan furniture. Ketersediaan bahan kayu akan sangat erat dengan potensi hutan di suatu wilayah. Seperti halnya Indonesia yang memiliki cukup luas hutan tropis tentunya akan sangat menunjang dalam proses konstruksi jembatan-jembatan sederhana dari kayu (Supriyadi, 2000).
Bab II – Tinjauan Pustaka
8
Kayu mempunyai beberapa keuntungan baik langsung maupun tidak langsung yang antara lain sebagai berikut (Supriyadi, 2000): Kayu relatif ringan, biaya transportasi dan konstruksi relatif murah, dan dapat dikerjakan dengan alat yang lebih sederhana. Pekerjaan-pekerjaan detail dapat dikerjakan tanpa memerlukan peralatan khusus dan tenaga ahli yang tinggi. Sebagai contohnya pada sambungan konstruksi jembatan baja memerlukan peralatan dan keterampilan tenaga kerja tersendiri, sedangkan pada konstruksi kayu dapat menggunakan bor tangan. Jembatan kayu lebih sering menggunakan dek dari kayu, yang mana menguntungkan untuk lokasi yang terpencil dan jauh dari lokasi pembuatan beton siap pakai (ready mix concrete). Dek kayu dapat dipasang tanpa bekisting dan tulangan, sehingga menghemat biaya. Kayu tidak mudah dipengaruhi oleh korosi seperti pada baja atau beton. Kayu merupakan bahan yang sangat estetik, bila didesain dengan benar dan dipadukan dengan lingkungan sekitar. Dari keterangan di atas, dapat dikatakan pula bahwa untuk konstruksi jembatan berat dengan bentang yang sangat panjang, tentunya jembatan dari kayu sudah tidak ekonomis lagi. Barker dan Pucket (1997), mengatakan bahwa jembatan kayu lebih sesuai untuk konstruksi sederhana dengan bentang pendek. Hal ini mengingat dibatasi oleh panjang dan kemampuan bahan.
Gambar 2.1 Jembatan kayu sementara untuk lalu lintas di Haarlem (sumber: Struyk, 1995)
Bab II – Tinjauan Pustaka
9
Gambar 2.2 Contoh jembatan kayu dengan bentang pendek (sumber: Struyk, 1995)
2.1.2 Jembatan Plat Girder Jembatan-jembatan ini yang terdiri atas dua induk balok berdinding penuh, pemikul lintang dan memanjang, banyak dilaksanakan, baik untuk lalu lintas biasa maupun untuk lalu lintas kereta api. Pertimbangan dari sudut ekonomi sebaiknya panjang jembatan tidak lebih dari 25 – 30 m. Jika bentangan yang lebih besar harus dilintasi maka haruslah diselidiki apakah pertegaran dengan busur atau dengan konstruksi pekerjaan vak akan dapat dijadikan alternatif pemakaian (Struyk, 1995). Untuk jembatan-jembatan kereta api dilaksanakan konstruksi gelagar kembar, jika diharapkan akan tinggi konstruksi yang sekecil-kecilnya. Berhubung dengan penempatan dari bidang kendaraan maka jembatan terbagi dalam jembatan berlantai kendaraan rendah dan tinggi. Jika tinggi konstruksi mencukupi jembatan dapat dibuat dengan lantai kendaraan berkedudukan tinggi. Pada jenis ini jalan rel atau lantai kendaraan berada di atas gelagar induk. Satu keuntungan dari jembatan untuk lalu lintas biasa ialah bahwa jalur lalu lintas dapat lebih lebar, oleh sebab gelagar-gelagar induk satu sama lain tidak perlu berjauhan jarak. Tetapi harus dipikirkan bahwa pemikul-pemikul lintang di bawah pengaruh beban akan melengkung, sehingga akan timbul perputaran sudut di atas gelagar induk (Struyk, 1995).
Bab II – Tinjauan Pustaka
10
Gambar 2.3 Contoh jembatan dengan menggunakan plat girder (Sumber: Internet)
Gambar 2.4 Struktur jembatan plat girder (Sumber: Struyk, 1995)
2.1.3 Jembatan Rangka Baja Jembatan baja berdinding penuh memberi keuntungan seperti yang diberikan oleh jembatan yang mempunyai konstruksi sederhana, oleh karenanya biaya pembuatan tetap terbatas pemeliharaan sangat mudah. Jembatan-jembatan ini dengan memakai lantai kendaraan rendah, penegaran-penegaran yang perlu dalam arah lintang diperoleh dengan pelat-pelat bentuk segitiga di atas pemikul-pemikul lintangnya. Pada ukuran panjang lebih dari 30 m, untuk jembatan di atas dua titik
Bab II – Tinjauan Pustaka
11
tumpang dan pada bentangan lebih dari 40 m untuk jembatan-jembatan di atas lebih dari dua titik tumpu, maka menggunakan gelagar-gelagar dinding penuh tidak lagi menguntungkan, sehingga beralihlah kepada pembuatan gelagar-gelagar rangka (Struyk, 1995). Pada gelagar rangka, timbul di dalam batang hanya gaya tarik atau gaya tekan, yang pada titik-titik buhul disambung berengsel, atau dianggap seperti dihubungkan secara demikian, dalam keadaan-keadaan dimana gaya-gaya luar hanya bekerja pada titik-titik simpul. Lantai kendaraan pada umumnya didukung pada tempat titik-titik buhul guna mencegah timbulnya momen-momen lengkung di dalam batang-batang pekerjaan vak. Hanya pada pengecualian istimewa maka lantai kendaraan itu diletakkan di antara titik buhul, hingga batang mendapat juga beban lengkung. Sambungansambungan pada titik-titik buhul biasanya, dilaksanakan dengan kelingan atau juga sekali-kali dilas. Sambungan dari batang-batang dengan potongan penampang besar, ditempat titik buhul, dari sudut merupakan pelaksanaan secara teknis las kurang baik. Dari sebab itu, maka jika dikehendaki suatu konstruksi las untuk bentangan yang lebih besar, lebih baik berpindah kepada pembuatan macam jembatan-jembatan lain (Struyk, 1995).
Gambar 2.5 Contoh jembatan rangka baja untuk jalur kereta api (Sumber: Struyk, 1995)
Bab II – Tinjauan Pustaka
12
Gambar 2.6 Contoh jembatan rangka baja untuk jalan raya (Sumber: Struyk, 1995)
Gambar 2.7 Contoh jembatan rangka baja pada era modern (Sumber: Internet)
Bab II – Tinjauan Pustaka
13
2.1.4 Jembatan Beton Bertulang
2.1.4.1 Jembatan Slab Beton Bertulang Suatu jembatan slab pada tumpuan sederhana tersusun dari pelat monolit, dengan bentang dari tumpuan ke tumpuan tanpa didukung oleh gelagar atau balok melintang (stringer). Jembatan beton bertulang dengan tipe struktur atas berupa slab akan lebih efisien bila digunakan untuk bentang pendek. Hal ini disebabkan berat slab yang tidak ekonomis lagi untuk bentang yang lebih panjang lagi. Struktur slab lebih sesuai untuk bentang sampai dengan 35 ft ( 10 m). Sistem bentang menerus akan menambah penghematan panjang bentang, dengan pertimbangan kederhanaan dalam desain dan pekerjaan lapangan. Pada bentang sederhana, panjang bentang adalah jarak ke pusat tumpuan (Supriyadi, 2000). Jembatan slab beton diberi perkuatan baja tulangan pada arah longitudinal dan juga harus diperkuat dalam arah melintangnya guna mendistribusikan beban hidup lateral. Dalam arah longitudinal, perkuatan dapat berupa bagian slab dengan penulangan tambahan, balok yang terintegral dengan slab dan lebih tinggi dari slab, atau yang terintegral antara slab dan kerb .
Gambar 2.8 Jembatan slab beton bertulang (Sumber: Supriyadi, 1995)
2.1.4.2 Jembatan Gelagar Kotak (Box Girder) Jembatan gelagar kotak (box girder) tersusun dari gelagar longitudinal dengan slab di atas dan di bawah yang berbentuk rongga (hollow) atau gelagar kotak seperti gambar 2.9 di bawah ini. Tipe gelagar ini digunakan untuk jembatan bentang-bentang panjang. Bentang sederhana sepanjang 40 ft ( 12 m) menggunakan tipe ini, tetapi
Bab II – Tinjauan Pustaka
14
biasanya bentang gelagar kotak beton bertulang lebih ekonomis antara 60 – 100 ft ( 18 – 30 m) dan biasanya didesain sebagai struktur menerus di atas pilar. Gelagar kotak beton prategang dalam desain biasanya lebih menguntungkan untuk bentang menerus dengan panjang bentang 300 ft ( 100 m). Keutamaan gelagar kotak adalah pada tahanan terhadap beban torsi (Supriyadi, 2000). Pada kondisi lapangan dimana tinggi struktur tidak terlalu dibatasi, penggunaan gelagar kotak dan balok T kurang lebih mempunyai nilai yang sama pada bentang 80 ft ( 25 m). Untuk bentang yang lebih pendek, tipe balok T biasanya lebih murah, dan untuk bentang lebih panjang, lebih sesuai menggunakan gelagar kotak (Supriyadi, 2000).
Gambar 2.9 Tipikal penampang melintang jembatan gelagar kotak (Sumber: Supriyadi, 1995)
2.1.4.3 Jembatan Gelagar Dek (Deck Girder) Jembatan gelagar dek terdiri atas gelagar utama arah longitudinal dengan slab beton membentangi di antara gelagar. Spasi gelagar longitudinal atau balok lantai dibuat sedemikian sehingga hanya cukup mampu menggunakan slab tipis, sehingga beban mati menjadi relatif kecil. Jembatan gelagar dek mempunyai banyak variasi dalam desain dan fabrikasi. Salah satunya yang dibahas dalam sub bab ini adalah jembatan beton balok T (T beam) (Supriyadi, 2000). Jembatan tipe ini digunakan secara luas dalam konstruksi jalan raya, tersususn dari slab beton yang didukung secara integral dengan gelagar. Penggunaannya akan lebih ekonomis pada bentang 40 – 80 ft ( 15 – 25 m) pada kondisi normal (tanpa kesalahan pekerjaan). Karena kondisi lalu lintas atau batasan-batasan ruang bebas, konstruksi beton pracetak atau beton prategang dimungkinkan untuk digunakan.
Bab II – Tinjauan Pustaka
15
Akan tetapi perlu dijamin penyediaan tahanan geser dan daya lekat pada pertemuan gelagar dan slab. Untuk itu diasumsikan sebagai satu kesatuan struktur balok T. Jembatan gelagar dek lebih sederhana dalam desain dan relatif mudah untuk dibangun, serta akan ekonomis bila dibangun pada bentang yang sesuai. Beberapa variasi gelagar dek dalam desain dan fabrikasi antara lain (Supriyadi, 2000): 1. Balok T beton bertulang a. Balok dan lantai dicetak di tempat (cast in place) secara monolit. b. Balok pracetak dan lantai dicetak di tempat c. Balok pracetak dan lantai pracetak 2. Beton prategang a. Gelagar prategang dan lantai dicetak di tempat (cast in place) b. Gelagar prategang pracetak dengan slab lantai beton bertulang cetak di tempat c. Gelagar prategang pracetak dengan berbagai kemungkinan metode fabrikasi dan pencetakan lantai.
Gambar 2.10 Penampang melintang jembatan gelagar dek (deck girder) (Sumber: Supriyadi, 2000)
Bab II – Tinjauan Pustaka
16
Gambar 2.11 Contoh desain jembatan beton bertulang pada era modern (Sumber: Internet)
2.1.5 Jembatan Beton Prategang Jika dibandingkan kayu, beton bertulang atau baja, penggunaan beton prategang pada struktur atas jembatan tergolong relatif baru. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi bahan. Perkembangan teknologi prategang dimulai sejak Eugene Freyssinet memperkenalkan penggunaan kawat baja berkekuatan tinggi disamping beton mutu tinggi, sebagai beton prategang yang kemudian dipatenkan pada tahun 1928. Sejak itu penggunaan sistem beton prategang untuk struktur jembatan khususnya bentang menengah dan panjang melaju dengan pesat dan bersaing dengan struktur baja, bahkan dengan dikembangkannya sistem kantilever dan cable stayed, struktur beton prategang menjadi trend jembatan berbentang panjang mengalahkan struktur baja yang telah berkembang terlebih dahulu (Supriyadi, 2000). Saat ini lebih dari 50 % jembatan dibuat dengan beton prategang, baik berupa balok pracetak dengan perletakan sederhana, struktur menerus dengan gelagar profil dan box maupun cable stayed. Di Indonesia, trend penggunaan teknologi prategang lebih banyak didominasi oleh jembatan jalan layang sedangkan jembatan yang
Bab II – Tinjauan Pustaka
17
melintasi sungai lebih banyak digunakan struktur rangka baja atau beton bertulang konvensional. Kondisi ini disebabkan antara lain oleh dua hal berikut (Supriyadi, 2000): 1. Teknologi bahan khususnya beton mutu tinggi belum memadai. Sebelum PD II, beton yang dibuat di Indonesia hanya bisa mencapai kekuatan sekitar 100 kg/cm2. Namun dewasa ini, kekuatan beton yang biasa dipakai di Indonesia sudah berkisar antara 250 – 350 kg/cm2 untuk bangunan biasa serta 350 – 500 kg/cm2 untuk jembatan beton prategang bentang panjang dan bangunan tinggi. 2. Umumnya jembatan yang dibangun di Indonesia yang banyak berlokasi di Pulau Jawa adalah jembatan berbentang pendek sampai menengah menggunakan struktur rangka baja atau beton bertulang. Namun dengan semakin meningkatnya tuntutan transportasi khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan maupun KATIMIN, atau untuk transportasi antar pulau maka penggunaan beton prategang merupakan salah satu alternatif yang paling cocok.
Gambar 2.12 Contoh desain modern jembatan beton prategang (Sumber: Internet)
2.1.6 Jembatan Gantung
Bab II – Tinjauan Pustaka
18
Salah satu tipe bentuk jembatan adalah jembatan gantung. Tipe ini sering digunakan untuk jembatan bentang panjang. Pertimbangan pemakaian tipe jembatan gantung adalah dapat dibuat untuk bentang panjang tanpa pilar di tengahnya. Jembatan gantung terdiri atas pelengkung penggantung dan batang penggantung (hanger) dari kabel baja, dan bagian yang lurus berfungsi mendukung lalu lintas (dek jembatan) (Supriyadi, 2000). Selain bentang utama, biasanya jembatan gantung mempunyai bentang luar (side span) yang berfungsi untuk mengikat kabel utama pada balok angker. Walaupun pada kondisi tertentu terdapat keadaan dimana kabel utama dapat langsung diangkerkan pada ujung jembatan dan tidak memungkinkan adanya bentang luar, bahkan kadangkala tidak membutuhkan dibangunnya pilar (Supriyadi, 2000). Berkaitan dengan bentang luar (side span) terdapat bentuk struktur jembatan gantung sebagai berikut (Supriyadi, 2000): 1. Bentuk bentang luar bebas (side span free) Pada bentang luar, kabel utama tidak menahan/dihubungkan dengan lantai jembatan oleh hanger, jadi tidak terdapat hanger pada bentang luar. Disebut juga dengan tipe straight backstays atau kabel utama pada bentang luar berbentuk lurus. 2. Bentuk bentang luar digantungi (side span suspended) Pada bentuk ini kabel utama pada bentang luar menahan struktur lantai jembatan dengan dihubungkan oleh hanger.
Bab II – Tinjauan Pustaka
19
Gambar 2.13 Bentuk umum jembatan gantung, (a) side span free, (b) side span suspended (Sumber: Supriyadi, 2000)
Steinman (1953), membedakan jembatan gantung menjadi dua jenis yaitu: 1. Jembatan gantung tanpa pengaku Jembatan gantung tanpa pengaku adalah tipe jembatan gantung dimana seluruh beban sendiri dan lalu lintas didukung penuh oleh kabel. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya elemen struktur kaku pada jembatan. Dalam hal ini bagian lurus yang berfungsi untuk mendukung lantai lalu lintas berupa struktur sederhana, yaitu berupa balok kayu biasa atau bahkan mungkin terbuat dari bambu. Dalam perhitungan struktur secara keseluruhan, struktur pendukung lantai lalu lintas ini kekakuannya (EI) dapat diabaikan, sehingga seluruh beban mati dan beban lalu lintas akan didukung secara penuh oleh kabel baja melalui hanger.
2. Jembatan gantung dengan pengaku Jembatan dengan pengaku adalah tipe jembatan gantung dimana pada salah satu bagian strukturnya mempunyai bagian yang lurus yang berfungsi untuk mendukung lantai lalu lintas (dek). Dek pada jembatan gantung jenis ini biasanya berupa struktur rangka, yang mempunyai kekakuan (EI) tertentu. Dalam perhitungan struktur secara keseluruhan, beban dari lantai jembatan didukung
Bab II – Tinjauan Pustaka
20
secara bersama-sama oleh kabel dan gelagar pengaku berdasarkan prinsip kompatibilitas lendutan (kerja sama antara kabel dan dek dalam mendukung lendutan) Jembatan gantung dengan pengaku mempunyai dua dasar bentuk umum, yaitu: 1. Tipe rangka batang kaku (stiffening truss) Pada tipe ini jembatan mempunyai bagian yang kaku atau diperkaku yaitu pada bagian lurus pendukung lantai jembatan (dek) yaitu dengan hanger dihubungkan pada kabel utama. 2. Tipe rantai kaku (braced chain) Pada tipe ini bagian yang kaku atau diperkaku adalah bagian yang berfungsi sebagai kabel utama.
Gambar 2.14 Contoh desain jembatan gantung modern (Sumber: Internet)
2.1.7 Jembatan Cable Stayed Jembatan cable stayed sudah dikenal sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, yang pada awal era tersebut umumnya dibangun dengan menggunakan kabel vertikal dan miring seperti Dryburgh Abbey Footbridge di Skotlandia yang dibangun pada tahun 1817. Jembatan seperti ini masih merupakan kombinasi dari jembatan cable stayed modern. Sejak saat itu jembatan cable stayed mengalami banyak perkembangan dan mempunyai bentuk yang bervariasi baik dari segi material yang digunakan maupun segi estetika (Supriyadi, 2000).
Bab II – Tinjauan Pustaka
21
Pada umumnya jembatan cable stayed menggunakan gelagar baja, rangka, beton atau beton pratekan sebagai gelagar utama. Pemilihan bahan gelagar tergantung pada ketersediaan bahan, metode pelaksanaan dan harga konstruksi. Penilaian parameter tersebut tidak hanya tergantung pada perhitungan semata melainkan masalah ekonomi dan estetika lebih dominan. Kecenderungan sekarang adalah menggunakan gelagar beton, cast in site atau prefabricated (precast) (Supriyadi, 2000).
Gambar 2.15 Contoh desain jembatan cable stayed pada era modern
2.2 PENGENALAN STRUKTUR BAJA Struktur baja mulai dipakai pada saat pembangunan jembatan di St. Louis Missouri, mulai 1868 dan selesai 1874. Baja yang dipergunakan untuk konstruksi adalah baja paduan (Alloy Steel) terdiri atas 98 % besi, 1 % karbon, silikon, mangan, sulfur, posphor, tembaga, chromium, nikel (Salmon, 1994) Jembatan umumnya merupakan struktur rangka, seperti balok dan gelagar plat, atau rangka batang, yang biasanya menerus. Sifat-sifat yang paling penting dalam penggunaan kontruksi jembatan adalah kekuatan (Strength) yang tinggi dan sifat keliatan (ductility). Keliatan adalah kemampuan untuk berdeformasi secara baik
Bab II – Tinjauan Pustaka
22
dalam tegangan maupun dalam kompresi sebelum terjadinya kegagalan (failure). Pertimbangan lainnya adalah material baja banyak tersedia secara luas dan daya tahannya (durability) baik, khususnya bila di tambahkan proteksi terhadap karat akibat cuaca dengan cara pengecatan maupun pelapisan galvanize, selain itu fabrikasi atau pekerjaan kontruksi yang sangat singkat. Sehingga total waktu kontruksi bisa berkurang yang akan berakibat pada penurunan biaya kontruksi. Baja dihasilkan dengan menghaluskan biji besi dan logam tua bersama-sama bahan tambahan pencampuran yang sesuai, Kokas (untuk karbon), oksigen dan bahan logam lain seperti tembaga, nikel, krom, mangan, fosfor, silicon, belerang, dan lainlain. Untuk menghasilkan kekuatan, keliatan dan karakteristik terhadap ketahanan korosi karat yang diinginkan. Mutu baja terbagi dalam beberapa mutu yang berbeda, yang sering dipakai diantaranya JIS G 3101 – SS 400 ( setara ASTM A36 ), JIS G 3106 – SM 490 ( setara dengan ASTM A 572 ), HPS 70 ( High Performance Steel ). Yang membedakan dari ketiga mutu baja diatas adalah material properties, yield strength dan tensile strengthnya (Salmon, 1994). Untuk tujuan perencanaan, tegangan leleh tarik adalah besaran yang di gunakan oleh spesifikasi, seperti AISC, sebagai variable sifat bahan untuk menetapkan tegangan ijin terhadap berbagai macam pembebanan.
2.3 SIFAT MEKANIK MATERIAL BAJA
2.3.1 Sifat Mekanik Material Baja Secara Umum Deformasi terjadi bila bahan mengalami gaya. Regangan (strain),, adalah besar deformasi persatuan panjang, dan tegangan (stress), s, adalah gaya persatuan luas. Selama deformasi, bahan menyerap energi sebagai akibat adanya gaya yang bekerja sepanjang jarak deformasi. Kekuatan (strength) adalah ukuran besar gaya yang diperlukan untuk mematahkan atau merusak suatu bahan. Keuletan (ductility) dikaitkan dengan besar regangan permanen sebelum perpatahan, sedangkan
Bab II – Tinjauan Pustaka
23
ketangguhan (toughness) dikaitkan dengan jumlah energi yang diserap bahan sampai terjadi perpatahan (Van Vlack, 1992).
2.3.2 Deformasi Adanya beban pada elemen struktur selalu menyebabkan terjadinya perubahan dimensional pada elemen struktur tersebut. Struktur tersebut mengalami perubahan ukuran atau bentuk atau kedua-duanya. Pada sebagian besar jenis material baja, perubahan dimensional yang terjadi dapat secara kasar di kelompokkan kedalam dua jenis, yaitu (Van Vlack, 1992):
2.3.2.1 Deformasi Elastis Apabila elemen struktur mula-mula di bebani, maka deformasi yang terjadi masih berada dalam daerah elastis. Dalam daerah ini elemen struktur tersebut masih dapat kembali pada keadaan semula apabila bebannya di hilangkan (seperti perilaku pegas). Deformasi dalam daerah elastis sangat tergantung pada besar taraf tegangan yang terjadi pada elemen struktur. Pada kondisi ini regangan awal berbanding lurus dengan besarnya tegangan, disamping itu ia pun mampu balik (reversible). Pada kondisi ini berlaku hukum Hooke dimana Modulus Elastik (modulus Young) adalah perbandingan antara tegangan dan regangan mampu balik .
E dimana : E = modulus elastisitas Hubungan antara tegangan dan regangan pada material baja dalam daerah elastis linier seperti tergambar:
Bab II – Tinjauan Pustaka
24
σ
ε Gambar 2.16 Grafik Regangan dan Tegangan (Sumber: Surdia, 1984)
2.3.2.2 Deformasi Plastis Apabila bebannya bertambah terus, maka akan terjadi deformasi yang termasuk kedalam daerah plastis. Hal ini terjadi apabila tegangan pada material sedemikian besarnya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan permanen di dalam struktur internal material. Apabila perubahan internal material ini terjadi, maka keadaan semula tidak dapat tercapai meskipun beban di hilangkan. Taraf beban atau tegangan yang diasosiasikan dengan daerah plastis selalu lebih besar dari pada daerah elastis. Definisi regangan:
L L
dimana : L = Perubahan panjang akibat beban
L
= Panjang mula-mula.
2.3.3 Kekuatan dan Kekerasan Ketahanan suatu bahan terhadap deformasi plastik disebut kekuatan luluh (yield strength, y) nilai besaran ini adalah besar gaya pada saat luluh dibagi luas penampang. Pada baja lunak, terdapat titik luluh yang jelas, sedangkan pada bahan lainnya tanpa batas proporsional yang jelas. Kekuatan luluh didefinisikan sebagai tegangan yang diperlukan untuk menghasilkan regangan plastik sebesar 0,2 % (atau nilai lain sesuai spesifikasi perancang) (Van Vlack, 1992).
Bab II – Tinjauan Pustaka
25
Kekuatan tarik suatu bahan (Tensile strength) ditetapkan dengan membagi gaya maksimum dengan luas penampang mula. Dimensinya sama dengan tegangan. Kekuatan adalah tegangan pada waktu patah. Akan tetapi pengertian gagal ditentukan oleh definisinya. Baja siku yang digunakan pada menara radio dinyatakan gagal bila lentur karena dapat menjadi penyebab runtuhnya menara tersebut (Van Vlack, 1992). Kekerasan (hardness) didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi pada permukaannya. Dapat diperkirakan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan dan kekuatan bahan, seperti pada gambar berikut.
Gambar 2.17 Hubungan antara kekuatan tarik dan Bilangan Kekerasan Brinell (Sumber: Van Vlack, 1992)
Kekuatan material baja secara umum dapat digambarkan kedalam grafik hubungan tegangan-regangan.
Bab II – Tinjauan Pustaka
26
Batas Proposional σ
Kekuatan Batas Keruntuhan
ε Gambar 2.18 Grafik kekuatan material (Sumber: Surdia, 1984)
σ Daerah Elastis Titik Leleh Tegangan ijin Batas Proposional
ε Gambar 2.19 Grafik daerah elastis kekuatan material (Sumber: Surdia, 1984)
2.3.4 Ketangguhan Ketangguhan adalah suatu ukuran energi yang diperlukan untuk mematahkan bahan. Energi yang merupakan hasil kali gaya dan jarak, dinyatakan dalam joule, dan ada hubungannya dengan luas daerah di bawah kurva tegangan regangan. Suatu bahan ulet dengan kekuatan yang sama dengan bahan rapuh (tidak ulet) akan
Bab II – Tinjauan Pustaka
27
memerlukan energi perpatahan yang lebih besar dan mempunyai sifat tangguh yang lebih baik (Van Vlack, 1992).
2.3.5 Perilaku Daktil (Ductile). Material Baja adalah contoh klasik material daktil, yaitu material yang dapat mengalami deformasi plastis sampai keadaan sebelum putus. Sebaliknya apabila material tidak menunjukkan perilaku palstis apabila dibebani, tetapi dapat putus pada saat deformasi yang tidak benar, disebut material getas (brittle) contohnya: besi tuang. σ Baja structural (daktil)
Besi tuang
Kayu Beton
ε Gambar 2.20 Perbandingan kekuatan antara beberapa jenis material (Sumber: Surdia, 1984)
2.3.6 Sifat konstruksi pada baja Beberapa sifat kontruksi yang paling penting pada baja adalah sebagai berikut : 1. Modulus elastisitas ( E ), jangkauan nilai modulus elastisitas untuk semua baja adalah 28000 – 30000 Ksi ( 193000 – 207000 Mpa ). Nilai untukk desain biasanya di ambil 29000 Ksi atau 200000 Mpa. 2. Modulus geser ( G ), modulus geser setiap bahan elastis dihitung sebagai : G = E/2 ( 1 + µ ) Dimana µ = perbandingan poisson yang diambil nilainya 0,3 untuk baja, dengan nilai tersebut maka akan didapat G = 77000 Mpa atau 11200 Ksi.
Bab II – Tinjauan Pustaka
28
3. Tegangan leleh dan tegangan, batas ( Fy, Fult). Tegangan leleh (yield point) dan tegangan batas (Ultimate strength) dari baja berbeda – beda menurut standar yang di keluarkan suatu pabrik baja. Besar nilainya tegangan leleh di gunakan untuk menentukan tegangan ijin terhadap berbagai macam pembebanan. 4. Massa jenis baja yaitu 490 pcf atau 7,85 t/m3. Massa jenis ini berguna untuk mendapatkan berat kontruksi dari material baja.
Tabel 2.1 Sifat mekanis baja structural
BJ 34
Tegangan putus Minimum,fu ( MPa ) 340
Tegangan leleh Minimum,fy ( MPa ) 210
BJ 37
370
240
20
BJ 41
410
250
18
BJ 50
500
290
16
BJ 55
550
410
13
Jenis Baja
Peregangan minimum (%) 22
(Sumber: RSNI T – 03 – 2005)
Sifat – sifat baja struktural lainnya untuk maksud perencanaan ditetapkan sebagai berikut: Modulus Elastisitas
:
E = 200.000 MPa
Modulus Geser
:
G = 80.000 MPa
Angka Poison
:
µ = 0,3
Koefesien pemuaian :
ά = 12 x 10-6 per 0C
2.3.7 Karakteristik Sifat Mekanis Tipikal Material Baja Struktur
Bab II – Tinjauan Pustaka
29
C A
B D
Gambar 2.21 Grafik karakteristik material baja struktur (Sumber: Hadi)
OA – Daerah Elastis:
• Hubungan Tegangan vs. Regangan Linear (garis lurus) • Apabila gaya tarik dihilangkan benda uji akan kembali ke panjang awal (deformasi perpanjangan hilang) • Material bersifat elastis/elastik
AB – Daerah Plastis : • Tanpa pertambahan gaya tarik akan terjadi deformasi perpanjangan sampai batas tertentu • Apabila beban tarik ditiadakan akan terjadi deformasi perpanjangan yang permanen • Material bersifat plastis
BC – Daerah Penguatan Regangan (Strain Hardening) • Seolah-olah material mendapatkan penguatan sampai suatu nilai tegangan tertentu (dikenal dengan tegangan batas/ultimate) • Hubungan tegangan vs regangan tidak linear (nonlinear)
Bab II – Tinjauan Pustaka
30
• Apabila gaya tarik ditiadakan akan terjadi deformasi permanen yang lebih besar dibandingkan pada kondisi plastis
CD – Daerah Runtuh (Collapse) • Material kehitangan kekuatannya – deformasti tidak dapat dikontrol • Material runtuh (collapse) – benda uji putus.
2.4 PERENCANAAN STRUKTUR BAJA 2.4.1 Konsep Dasar Metoda Desain Struktur Baja Pada tulisan ini, penulis akan memakai metoda desain struktur Allowable Stress Design (ASD). Pada dasarnya desain Allowable Stress Design (ASD) menyatakan bahwa kekuatan dan kekakuan struktur didesain lebih kecil atau sama dengan kekuatan dan kekakuan yang diizinkan bekerja pada material. Dikenal juga dengan metoda desain elastik atau working stress design. Dalam menentukan tegangan dasar/tegangan izin, grafik hubungan tegangan dan regangan tipikal baja untuk baja struktur/kontruksi berikut ini dapat dipergunakan.
Gambar 2.22 Hubungan tegangan dan regangan tipikal baja struktur (Sumber: Hadi)
Bab II – Tinjauan Pustaka
31
Untuk menentukan tegangan izin, dapat dipergunakan persamaan berikut ini: _
yield FK
dimana : FK adalah faktor keamanan Menurut RSNI T-03-2005 nilai tegangan leleh untuk berbagai mutu baja adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Nilai tegangan leleh dan tegangan dasar untuk berbagai mutu baja (Sumber: RSNI T – 03 – 2005)
Harga-harga yang tercantum pada tabel di atas adalah untuk elemen-elemen yang tebalnya kurang dari 40 mm. Untuk elemen-elemen yang tebalnya lebih dari 40 mm, tetapi kurang dari 100 mm, harga-harga pada tabel di atas harus dikurangi 10 %.
Untuk syarat kekuatan, dipakai persamaan berikut:
Tegangan normal : _
dimana :
yield FK
FK = Faktor Keamanan
Tegangan geser :
dimana : 0,6 x
Bab II – Tinjauan Pustaka
32
Untuk syarat kekakuan : Deformasi yang terjadi pada struktur didesain Untuk pembebanan sementara akibat beban sendiri, beban berguna dan gaya gempa atau gaya angin, maka besarnya tegangan dasar boleh dinaikkan sebesar 30 %.
sem 1,30 x
Bab II – Tinjauan Pustaka
33
Berikut ini dapat dilihat beberapa contoh dari bentuk profil baja tipikal (Hadi)
Profil Siku
Sayap/Flens/Flane
Badan / Web Profil King Cross Profil C / Kanal
Profil T
Gambar 2.23 Berbagai macam profil baja struktural (Sumber: Hadi)
Bab II – Tinjauan Pustaka
34
2.4.2 Perencanaan Batang Tarik Batang tarik merupakan batang yang menerima beban tarik. Perencanaan batang tarik merupakan salah satu masalah teknik struktur yang paling sederhana dan bersifat langsung. Karena stabilitas bukan merupakan hal utama, perencanaan batang tarik pada hakekatnya menentukan luas penampang lintang batang yang cukup untuk menahan beban (yang diberikan) dengan faktor keamanan yang memadai terhadap keruntuhan (Salmon, 1986). Dalam perhitungan tegangan yang terjadi pada batang tarik harus diperhitungkan luas penampang bersih (netto) dari batang tarik tersebut, yaitu: Luas bersih (netto / effektif) = Luas kotor – Luas lubang untuk alat penyambung. Apabila terdapat lubang-lubang alat penyambung, maka luas netto diperhitungkan sebagai berikut:
Gambar 2.24 Penampang berlubang pada struktur baja (Sumber: RSNI T – 03 – 2005)
Luas netto (bersih) penampang pada potongan 1-3 dan potongan 1-2-3 adalah sebagai berikut: Potongan 1 – 3 : An A n d1 t 2
Potongan 1-2-3 :
An A n d1 t
s2 t 4u
Desain Tegangan Kerja/Elastik/Tegangan Izin dengan Allowable Stress Design:
Bab II – Tinjauan Pustaka
35
Desain Tegangan Tarik :
S tarik Anetto
Dengan demikian, luas penampang netto profil baja Anetto dapat dihitung sebagai : Anetto
S tarik
dimana: Starik = Gaya batang tarik Anetto = Luas penampang bersih
= Tegangan izin (dasar) material baja
Untuk desain awal, luas netto dapat diperkirakan berkisar 80 % - 85 % dari luas bruto/kotor penampang baja. Tegangan tarik izin ditentukan sebagai berikut : Penampang tanpa lubang
: tarik
Penampang berlubang
: tarik 0,75
dimana tegangan (izin) dasar material baja :
yield ; F .K
F.K. = faktor keamanan =1,5
2.4.3 Angka kelangsingan batang tarik Angka kelangsingan batang tarik dapat digunakan sebagai parameter desain kekakuan batang tarik, yaitu :
tarik
Dan
Lba tan g imin
imin
I min A
Dimana:
tarik
= Angka kelangsingan batang tarik (tanpa dimensi)
Lbatang = Panjang batang tarik (satuan panjang)
Bab II – Tinjauan Pustaka
36
imin
= Jari-jari girasi minimum penampang batang tarik (satuan panjang)
Imin
= Momen inersia minimum penampang batang tarik
A
=
Luas penampang batang tarik.
Menurut PPBBI – 1984 angka kelangsingan batang tarik dibatasi sebagai berikut: Konstruksi Utama
tarik 240
Konstruksi Sekunder
tarik 300
Ketentuan lainnya tentang desain batang tarik menurut PPBBI – 1984 :
Tegangan rata-rata pada batang tank didapat dan gaya tarik yang bekerja dibagi dengan luas penampang bersih. Tegangan tersebut harus tidak boleh lebih besar dari tegangan dasar untuk penampang tidak benlubang, dan tidak boleh lebih besar dari 0,75 kali tegangan dasar untuk penampang berlubang.
Adanya eksentrisitas gaya yang bekerja pada baja profil harus dipertimbangkan, terutama jika pengaruhnya cukup besar.
Batang tarik yang dibuat dari baja bulat dianjurkan untuk memakai water mur yang sesuai dengan ukuran baja tersebut. Sebaliknya water mur tidak dipasang pada bagian konstruksi yang mudah dijangkau orang. Diameter batang harus lebih besar dari 1/500 panjang batang.
2.4.4 Perencanaan Batang Tekan
Terdapat dua macam batang tekan, yaitu (Oentoeng, 1999): 1)
Batang tekan yang merupakan batang dari suatu rangka batang. Batang ini dibebani gaya tekan aksial searah panjang batangnya. Umumnya dalam suatu rangka batang, batang-batang tepi atas merupakan batang tekan.
2)
Kolom merupakan batang tekan tegak yang bekerja untuk menahan balok-balok loteng, rangka atap, lintasan crane dalam bangunan pabrik dan sebagainya yang untuk seterusnya akan melimpahkan semua beban tersebut ke pondasi.
Bab II – Tinjauan Pustaka
37
Keruntuhan batang tekan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu (Oentoeng, 1999): 1) Keruntuhan yang diakibatkan tegangan lelehnya dilampaui. Hal semacam ini terjadi pada batang tekan yang pendek. 2) Keruntuhan yang diakibatkan oleh terjadinya tekuk. Hal semacam ini terjadi pada batang tekan yang langsing.
Pada keruntuhan akibat tekuk ini, asalkan tegangan pada seluruh penampang masih dalam keadaan elastis, gaya tekuknya dapat dihitung berdasarkan rumus Euler:
2 E I Pcr Lk Dimana Lk adalah panjang tekuk, dimana besar panjang tekuk sangat bergantung kepada kondisi tumpuan di kedua ujung batang tekan tersebut. Panjang Tekuk Lk : LK c Lba tan g
dimana, c = Faktor panjang tekuk efektif, yang nilainya dapat dilihat pada gambar berikut:
Bab II – Tinjauan Pustaka
38
Gambar 2.25 Faktor panjang tekuk efektif (c) (Sumber: Hadi)
2.4.5 Kelangsingan Batang Tekan Kelangsingan batang tekan ini tergantung dari jari-jari kelembaban (i) dan panjang tekuk (Lk), yaitu berdasarkan persamaan berikut:
LK imin
dimana : LK
= Panjang tekuk batang tekan
imin
= Jari-jari girasi minimum, yaitu i min
Imin
= Momen inersia minimum penampang profil baja
A
=
I min A
Luas penampang profil
2.4.6 Stabilitas Batang Tekan Batang tekan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga terjamin stabilitasnya (tidak ada bahaya tekuk). Hal ini harus diperlihatkan dengan menggunakan persamaan:
Bab II – Tinjauan Pustaka
39
N A
dimana : N = Gaya tekan pada batang A =
Luas penampang batang
= Tegangan dasar (tegangan izin)
= Faktor tekuk, nilainya tergantung dari kelangsingan () dan jenis bajanya.
Hubungan Faktor Tekuk ω dengan Angka Kelangsingan Batang λ untuk Baja Bj./St. 37 (Fe 360) dapat dihitung menurut RSNI T – 03 – 2005 sebagai berikut: E 0,7 yield
g
s
dan
g
untuk λs ≤ 0,183,
maka ω = 1,0
untuk 0,183 < λs < 1, maka
untuk λs ≥ 1,0,
1,41 1,593 s
maka ω = 2,381 λs2
2.4.7 Desain Kekuatan Batang Tekan Desain kekuatan batang tekan dilakukan melakukan perhitungan tegangan tekuk yang terjadi, sebagai berikut (Hadi) :
Stekan Abruto
dimana Stekan = Gaya batang tarik Abruto = Penampang kotor profil baja yang digunakan ω
= Tegangan izin (dasar) material baja = Faktor tekuk
Bab II – Tinjauan Pustaka
40
Persyaratan angka kelangsingan batang tarik menurut RSNI T – 03 – 2005 Syarat angka kelangsingan batang tekan λmax = 200
2.4.8 Sambungan Struktur Pada konstruksi baja dipakai beberapa macam alat sambung, yaitu (Oentoeng, 1999): a. Sambungan paku keling b. Sambungan baut (bolt) c. Sambungan Hight Strength Bolt (Baut mutu tinggi) d. Sambungan las
Kalau dibandingkan keempat sarana penyambung ini maka las merupakan sarana penyambung yang menghasilkan sambungan yang kaku. Sedangkan paku keling menghasilkan sambungan yang lebih kaku jika dibandingkan dengan baut, tetapi kurang jika dibandingkan dengan las.
2.4.8.1 Pembebanan pada Sambungan Baut/Paku Keling Pada dasarnya pembebanan pada alat penyambung baut atau paku keling dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu: a. Gaya sambungan bekerja sejajar sumbu baut b. Gaya sambungan bekerja tegak lurus sumbu baut c. Gaya sambungan kombinasi (sejajar+tegak lurus) sumbu baut. Gmabar skematis dari masing-masing dapat dilihat sebagai berikut : Pembebanan Sejajar Sumbu Baut (Gaya P sejajar Sumbu Baut) P
Sumbu Baut
Bab II – Tinjauan Pustaka
41
Pembebanan Tegak lurus Sumbu Baut (Gaya P tegak lurus sumbu baut)
Sumbu Baut
Pembebanan Kombinasi Sejajar dan Tegak lurus Sumbu Bout e
P
M=Pxe
Akibat P : Gaya P tegak lurus Sb. Baut Tegangan Geser
M : Gaya T sejajar sumbu Bout Tegangan Normal σ Tegangan kombinasi :
i 2 3 2 2.4.8.2 Metoda Kerja Baut Geser Untuk Potongan Tunggal Satu Potongan Geser
Bab II – Tinjauan Pustaka
42
Untuk Potongan Ganda Dua Potongan Geser
Untuk Potongan – n Lebih dari 2 (dua) irisan penampang yang memikul gaya sambungan
2.4.9 Desain Kekuatan Sambungan (a) Tegangan Geser
P Ag
dimana: P
= Gaya geser pada satu bout
Ag
=
n
= Jumlah bidang geser
d
= Diameter baut
Luas bidang geser
=
n
.d 2 4
(b) Tegangan Tumpu
Sumbu Baut
t
P t At
dimana :
Bab II – Tinjauan Pustaka
43
At = t
Luas bidang tumpu = d x t
= Tebal yang terkecil antara t1 dan t2 untuk baut satu irisan Tebal yang terkecil antara (t1+t2) dan t3 untuk baut dua irisan
(c) Tegangan Normal
Pbaut Abaut
Pbout = gaya normal yang bekerja pada satu baut About = luas effektif penampang baut
(d) Tegangan Kombinasi Normal dan Geser Untuk baut yang dibebani dengan tegangan normal dan geser secara bersamaan perlu diperiksa apakah tegangan idiil σi memenuhi:
i 2 3 2
2.4.10 Tegangan izin baut / paku keling Tegangan izin pada baut/keling sangat dipengaruhi oleh mutu bahan, cara pemasangan (pas dan longgar) dan jarak tepi. Persyaratan jarak pemasangan antar bout dan jarak tepi dapat dilihat pada RSNI T – 03 – 2005 a) Untuk pemasangan longgar maka dipergunakan baut longgar Tegangan Normal Izin : b 0,70 Tegangan Geser Izin : b 0,60 Tegangan Tumpu Izin : tumpu 1,50 b) Untuk pemasangan pas maka dipergunakan baut pas Tegangan Normal Izin : b 0,80 Tegangan Geser Izin : b 0,80 Tegangan Tumpu Izin : tumpu 2,0
Bab II – Tinjauan Pustaka
44
2.4.11 Sambungan Las 2.4.11.1 Keuntungan Sambungan Las Mengingat bahan las minimal mempunyai kekuatan yang sama dengan atau bahkan lebih besar daripada bahan profil yang akan disambungkan, maka pada dasarnya tidak ada pembatasan dalam menggunakan sambungan las pada konstruksi baja. Konstruksi baja yang menggunakan sambungan las dapat memberikan kontinuitas dalam sistem konstruksi. Keuntungan sambungan las pada kontruksi baja, antara lain (Hadi): (a) Penghematan penggunaan material baja, karena tidak ada pengurangan luas penampang. (b) Adanya kontinuitas penampang profil, ukuran profil dapat diperkecil. (c) Waktu yang diperlukan untuk melakukan detailing sambungan dan fabrikasi akan berkurang, sehingga pada akhirnya dapat menghemat biaya dalam detailing konstruksi. (d)
Pelat penyambung dapat ditiadakan.
(e)
Memungkinkan dibuatnya suatu konstruksi yang estetis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya pengerjaan las (Hadi): (a) Biaya yang ekonomis akan dicapai apabila sambungan benar-benar didesain dengan perhitungan las (tidak melakukan las pada sambungan yang direncanakan dengan bout/paku keling) (b) Sambungan las hendaknya direncanakan dengan kaku dan kontinu, sehingga diperoleh sistem konstruksi yang efisien dan lebih jauh juga akan didapat efisiensi dalam ukuran balok yang diperlukan. (c) Pekerjaan las sebaiknya dikerjakan di bengkel baja dalam posisi mendatar (profil baja dan pelat sambungan) (d) Hendaknya dihindari pengerjaan las secara vertikal dan pada overhead, karena dapat menaikkan biaya pengerjaan sambungan las tersebut.
Bab II – Tinjauan Pustaka
45
Pada prinsipnya ada dua jenis las yang biasa digunakan, yaitu las tumpul dan las sudut.
2.4.11.2 Las Tumpul dan Las Sudut Dalam sambungan dengan las, pada dasarnya perlu dipenuhi bahwa bahan las yang digunakan minimum sama dengan kekuatan profil baja yang akan disambung. Pada umumnya ada dua jenis sambungan las, yaitu: (a) Las Tumpul (b) Las Sudut
Bahan Las
Las Tumpul
Las Sudut
Gambar 2.26 Jenis sambungan las (Sumber: Hadi)
2.4.11.3 Desain Kekuatan Las Tumpul Mengingat bahan las yang digunakan minimum sama dengan kekuatan profil baja yang akan disambung, maka desain kekuatan tumpul biasanya diambil sama dengan kekuatan profil yang sisambungkan. Oleh karena itu, dengan syarat bahwa pengerjaan las tumpul, maka secara praktis tidak perlu dihitung asalkan pelat penyambung telah didesain kuat (Hadi). Sebagai contoh, apabila digunakan bahan baja dengan mutu St. 37 / Bj. 37, maka :
1600 kg / cm 2
dan
Bab II – Tinjauan Pustaka
0,60 960 kg / cm 2 46
2.4.11.4 Desain Kekuatan Las Sudut Kekuatan las sudut bergantung kepada arah gaya yang bekerja pada bidang retaknya (bidang las). Kekuatan las sudut didasarkan pada tebal efektif tersebut. Bentuk las sudut dapat berbentuk cekung ataupun cembung, tetapi bentuk yang paling umum adalah berbentuk datar atau sedikit cembung dengan sudut 45o dan sama kaki. Kekuatan suatu las sudut tergantung pada arah gaya yang bekerja pada las, yaitu dapat dibebani gaya sejajar dan tegak lurus (melintang) pada arah memanjang las. Pada kedua jenis pembebanan pada las, sambungan las akan putus karena geser, biasa juga disebut dengan las geser atau shear weld. Pada pembebanan yang sejajar dengan arah memanjang las, biasanya bidang putus membentuk sudut 45o. Sedangkan pada pembebanan melintang arah memanjang selat, bidang putus membentuk sudut 67½o (Hadi).
(a) Pembebanan sejajar dengan panjang las : gaya yang bekerja dipindahkan dari kaki las yang satu ke kaki las yang lainnya, sejajar dengan arah panjang las. Luas bidang las yang bekerja: Alas= tebal x panjang = t x L Apabila tegangan geser yang diizinkan dipikul oleh las adalah , maka kekuatan las tersebut adalah P = x A las
Bab II – Tinjauan Pustaka
47
(b) Pembebanan tegak lurus (melintang) dengan panjang las: percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa putusnya las terjadi pada bidang geser yang membentuk sudut 67½ o. A las = t’ x L
P
. Alas Sin67,5 o
2.5 PEMBEBANAN PADA JEMBATAN Pembebanan pada perencanaan jembatan terdiri dari beban primer dan beban sekunder .
2.5.1 Beban Primer
2.5.1.1 Beban Mati
Bab II – Tinjauan Pustaka
48
Tabel 2.3 Berat bahan nominal Serviceability dan Ultimate Berat Sendiri Nominal Serviceability ( KN/m3 ) 24
Bahan Jembatan Beton Massa ( cor )
Berat Sendiri Biasa Ultimate ( kn/m3 )
Berat Sendiri Terkurangi U.L.S ( KN/m3 )
31,2
18
Beton Bertulang ( cor )
25
32,5
18,8
Beton Bertulang atau
25
30
21,3
Baja
77
34,7
69,3
Kayu, Kayu Lunak
7,8
10,9
5,5
Kayu, kayu Keras
11
15,4
7,7
Pratekan ( Pracetak )
Sumber : Bridge Management System, 1992
Untuk beban mati tambahan adalah berat semua elemen bukan structural yang dapat bervariasi selama umur jembatan misalnya :
Perawatan permukaan khusus
Pelapisan ulang dianggap menyimpang dan dianggap 50 mm aspal beton Perhitungan beratnya : T x d x Bj aspal Dimana : t d
= Tebal perkerasan = Lebar efektif jalan
Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton
Tanda – tanda dan perlengkapan jalan
2.5.1.2 Beban Hidup Beban hidup pada jembatan yang harus di tinjau ada dua macam, yaitu beban ‘T’’ yang merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban ‘’D’’ yang merupakan beban jalur untuk gelagar (Supriyadi, 2000).
2.5.1.3 Lantai Kendaraan dan Jalur Lalulintas Jalur lalu lintas mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter. Lebar jalur minimum ini harus digunakan untuk menentukan beban ‘’D’’
Bab II – Tinjauan Pustaka
49
perjalur. Jumlah jalur
lalintas untuk lantai kendaraan
yang di gunakan untuk
menentukan beban ‘’D’’ per jalur di tentukan menurut Tabel 2.4, jumlah jalur jembatan ini di gunakan dalam menentukan beban ‘’D’’ pada perhitungan reaksi perletakan. Table 2.4 Lajur Lalulintas Rencana Jenis Jembatan
Lebar Jalan Kendaraan
Jumlah Lajur Lalu Lintas
Jembatan ( m )
Rencana
~5
1
5.50 ~ 8.25
2
11,25 ~ 15.0
4
10.0 ~ 12.9
3
11.25 ~ 15.0
4
15.1 ~ 18.75
5
18.8 ~ 22.5
6
Lajur Tunggal Dua arah, tanpa median
Jalan Kendaraan majemuk
Sumber : Bridge Management System . 1992
2.5.1.4 Beban ‘’D’’ Beban ‘’D’’ atau beban jalur adalah susunan beban pada setiap jalur lalulintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar ‘’q’’ ton per meter panjang per jalur, dan beban garis ‘’p’’ ton per jalur lalulintas tersebut.
Beban garis p = 12 ton
1 Jalur p
Beban terbagi rata q tm
Gambar 2.27 Distribusi beban ‘’ D’’ yang bekerja pada jembatan (Sumber: Supriyadi, 2000)
Dimana :
Bab II – Tinjauan Pustaka
50
L ≤ 30 m; q = 9.0 kpa L ≥ 30 m ; q = 8.0 ( 0.5 + 15/L )kpa Ketentuan penggunaan beban ‘’ D’’ dalam arah melintang jembatan adalah : a.
Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5,50 m sedang lebar selebihnya dibebani hanya separuh beban ‘’D’’( 50%)
b.
Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau lebih kecil dari 5,50 meter, beban’’D’’ sepenuhnya ( 100%) harus dibebankan pada seluruh lebar jembatan. ½P ½q P
5,5 m
q
½P 5,5 m ½q
Gambar 2.28 Ketentuan Penggunaan Beban ‘’D’’ (Sumber: Supriyadi)
Dalam menentukan beban hidup ( beban terbagi rata dan beban garis ) perlu diperhatikan ketentuan bahwa : -
panjang bentang ( L ) untuk muatan terbagi rata sesuai dengan ketentuan dalam perumusan koefesien kejut.
-
Beban hidup per meter lebar jembatan menjadi : Beban terbagi merata = q ton / meter / 2,75 m Beban garis = p ton / 2,75 m
Bab II – Tinjauan Pustaka
p = 49.0 kN/m
51
Angka pembagi 2,75 meter di atas selalu tetap dan tidak tergantung pada lebar jalur lalulintas, dan beban ‘’D’’ tersebut harus di tempatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pengaruh yang terbesar.: b 100 % load intensity b less than 5,5 m
b 5,5 m 50 % 100 % load intensity
5,5 m
b lebih besar dari 5,5 m Gambar 2.29 Penyebaran Pembebanan pada arah melintang ( Dept. PU, 1992 )
2.5.1.5 Beban ‘’T’’ Beban ‘’T’’ adalah beban yang merupakan kendaraan truk yang mempunyai beban roda ganda ( dual wheel load ) sebesar 8 ton dengan ukuran – ukuran serta kedudukan sebagai berikut :
Bab II – Tinjauan Pustaka
52
90
400
Ms
30
1.00
Ms
30
30
Ms
275 m
0,125 Ms
0,125 Ms
275 m
Gambar 2.30 Beban truk’’T’’
Dimana , Ms = Muatan rencana sumbu
Hanya satu truk harus di tempatkan dalam tiap lajur lalulintas rencana untuk panjang penuh dari jembatan. Truk’’T’’ harus di tempatkan di tengah jalur lalulintas. Jumlah maksimum lajur lalulintas rencana di berikan dalam tabel 2.4. lajur – jalur ini di tempatkan di mana saja antar kerb. Table 2.5 Klasifikasi menurut kelas jalan Fungsi
Arteri
Kolektor
I
Muatan Sumbu Terberat MST ( ton ) >10
II
10
III A
8
Kelas
III A III B
8
2.5.1.6 Beban pada Trotoar, Kerb dan Sandaran
Bab II – Tinjauan Pustaka
53
Kontruksi trotoar harus di perhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500 kg/m2. dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup pada trotoir, di perhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoar.
Tabel 2.6 Jumlah median anggapan untuk menghitung reaksi perletakan
Jumlah Jalur
Jumlah Median
Jumlah Jalur
Jumlah Median
Lalu lintas
Anggapan
Lalu lintas
Anggapan
n=4
1
n=8
3
n=5
1
n=9
3
n=6
1
n = 10
3
n=7
1
Sumber: Supriyadi, 2000
Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaran harus di perhitungkan untuk dapat menahan satu beban horizontal kearah melintang jembatan sebesar 500 kg/m’ yang bekerja pada puncak yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm. Tiang – tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus di perhitungkan untuk dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m’, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas lantai trotoir (Supriyadi, 2000).
2.5.1.7 Beban kejut Untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh getaran-getaran dan pengaruhpengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat beban garis ‘’p’’ harus di kalikan dengan koefesien kejut yang akan memberikan hasil maksimum. Koefesien kejut ditentukan dengan rumus (Supriyadi, 2000) : K = 1 + 20 / ( 50 + L ) Dimana :
K = Koefesien kejut L = panjang bentang dalam meter
Bab II – Tinjauan Pustaka
54
2.5.1.8 Gaya akibat tekanan tanah Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus di rencanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai rumus-rumus yang ada. Beban kendaraan di belakang bangunan penahan tanah di perhitungkan senilai dengan muatan tanah setinggi 60 cm (Supriyadi, 2000).
2.5.2 Beban sekunder
2.5.2.1 Beban angin Pengaruh beban angin sebesar 150 kg/m2 pada jembatan ditinjau berdasarkan bekerjanya beban angin horizontal terbagi rata pada bidang vertical jembatan. Bidang vertical beban hidup ditetapkan sebagai suatu permukaan bidang vertical yag mempunyai tinggi menerus sebesar 2 ( dua ) meter diatas lantai kendaraan. Dalam menghitung jumlah luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena angin dapat digunakan ketentuan sebagai berikut (Supriyadi, 2000) : a. Kendaraan tanpa beban hidup Kendaraan jembatan rangka diambil sebesar 30% luas bidang sisi jembatan yang langsung terkena angina sebesar 15 % luas sisinya. b. Kendaraan dengan beban hidup Beban hidup di ambil sebesar 100% luas bidang sisi yang langsung terkena angin c. Jembatan menerus diatas lebih dari 2 perletakan Untuk perletakan tetap perhitungkan beban angin dalam arah longitudinal jembatan yang terjadi bersamaan dengan beban angin yang sama besar dalam arah lateral jembatan, dengan beban angin masing-masing sebesar 40% terhadap luas bidang menurut keadaaan ( a dan b )
Bab II – Tinjauan Pustaka
55
Tabel 2.7 Tekanan angin merata pada bangunan atas Perbandingan Lebar / tinggi
Tekanan Angin kpa
Bangunan atas padat
JenisKeadaan Batas
b/d ≤ 1.0
S.L.S
Pantai dalam Batas 5 km dari pantai 1.13
Luar Pantai lebih dari 5 km terhadap pantai 0.79
U.L.S
1.85
1.36
S.L.S
1.46 - 0.32 b/d
1.01 – 0.23 b/d
U.L.S
2.38 – 0.53 b/d
1.75 – 0.39 b/d
S.L.S
0.88 – 0.038 b/d
0.61 – 0.02 b/d
U.L.S
1.43 – 0.06 b/d
1.05 – 0.04 b/d
S.L.S
0.68
0.47
U.L.S
1.10
0.81
Bangunan Atas Rangka
S.L.S
0.65
0.45
( seluruh b/d )
U.L.S
1.06
0.78
1.0 ≤ b/d ≤ 2.0
2 ≤ b/d ≤ 6.0
b/d ≥ 6.0
U.L..S = Ultimate limit state ( keadaan batas ultimate ) S.L.S = Serviceabiliy limit state ( keadaan batas layanan ) b = lebar bangunan atas antara permukaan luar tembok pengaman d = tinggi bangunan atas ( termasuk tembok pengaman padat ) Sumber : Bridge Managemen System. 1992
Tabel 2.8 beban garis merata ( akibat angin pada beban hidup ) Beban Garis Merata kN/m Keadaan Batas
Pantai
Luar pantai
( dalam batas 5 km dari pantai )
( lebih dari 5 km terhadap sungai )
S.L.S
1.30
0.90
U.L.S
2.12
1.56
Sumber : Bridge Managemen System. 1992
2.5.2.2 Gaya akibat perbedaan suhu Pada umumnya pengaruh perbedaan suhu tersebut dapat di hitung dengan mengambil perbedaan suhu :
Bangunan Baja - Perbedaan suhu maksimum – minimum = 30 oC
Bab II – Tinjauan Pustaka
56
- Perbedaan suhu antara bagian-bagian jembatan = 15 oC
Bangunan Beton - Perbedaan suhu maksimum-minimum = 15 oC - Perbedaan suhu antara bagian-bagian jembatan < 10 oC, tergantung dimensi penampang. Untuk perhitungan tegangan-tegangan dan pergerakan pada jembatan bagian –
bagian jembatan atau perletakan akibat perbedaan suhu dapat di ambil nilai modulus elastis young ( E ) dan koefesien muai panjang (ε ) sesuai tabel berikut. Tabel 2.9 Modulus elastisitas Young ( E ) dan koefesien panjang (ε ) Jenis Bahan
E ( kg/cm3)
Ε per derajat Celcius
Baja
2,1 x 106
12 x 10-6
Beton
2-4 x 105*)
10 x 10-6
- Sejajar serat
1,0 x 105*
5 x 10-6
- Tegak lurus serat
1,0 x 104*
50 x 10-6
Kayu :
* tergantung mutu bahan Sumber: Supriyadi, 2000
2.5.2.3 Gaya rem Pengaruh gaya-gaya dalam arah memanjang jembatan akibat gaya rem harus di tinjau. Pengaruh ini di perhitungkan senilai dengan pengaruh gaya rem sebesar 5% dari beban ‘’D’’ tanpa koefesien kejut yang memenuhi semua jalur lalulintas yang ada, dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut di anggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter di atas permukaan lantai kendaraan
Bab II – Tinjauan Pustaka
57
Table 2.10 Gaya Rem
Panjang Struktur ( m )
Gaya Rem Service ability ( kN )
L ≤ 80
250
80 ≤ L ≤ 180
2.5 L + 50
L ≥ 180
500
Catatan : Gaya rem Ultimite adalah 2.0 Gaya rem Service ability Sumber : Bridge Managemen System, 1992
2.5.2.4 Gaya akibat gempa bumi Jembatan – jembatan yang akan di bangun pada daerah-daerah dimana di perkirakan terjadi pengaruh-pengaruh gempa bumi, dihitung senilai dengan pengaruh suatu gaya horizontal pada kontruksi yang ditinjau dan perlu di tinjau pula gaya- gaya lain yang berpengaruhi seperti gaya gesek pada perletakan, tekanan hodro-dinamik akibat gempa, tekanan tanah akibat gempa dan gaya angkat apabila pondasi yang di rencanakan merupakan pondasi terapung atau pondasi langsung. Parameter Desain : faktor reduksi kekuatan atau faktor modifikasi respon ( R ) yang menggambarkan kuat lebihbdan duktilitas yang dimiliki system struktur rangka tertentu. Besara R tergantung kepada perilaku struktur rangka yang bersangkutan dalam berdeformasi Inelastik dan penyerapan energi gempa ( lihat Table 3.0 ) Beban gempa rencana ditentukan dari rumus sebagai berikut : V
Cv I 2.5Ca I Wt tetapi V tidak perlu lebih besar dari pada V Vmax Wt RT R
Dimana : V
= Gaya geser dasar rencana total ( Newton )
Vmax
= Gaya geser dasar rencana maksimum ( Newton )
R
= Faktor modifikasi respons
T
= Waktu getar dasar struktur ( detik )
Wt
= Berat nominal total dari struktur yang langsung mengalami getaran, nilainya di ambil dari beban mati dan beban mati tambahan.
Bab II – Tinjauan Pustaka
58
I
= Faktor kepentingan struktur
Ca dan Cv = Koefesien yang ditentukan dalam Tata Cara Perencanaan Struktur Tahan gempa. Selain itu diatur kombinasi beban akibat gempa dengan memperhatikan faktor amplikasi, o merupakan faktor kuat cadang struktur, dan besarnya ditentukan menurut system struktur. 1,2 D lL oEh 0,9 D oEh dengan L 0.5bilaL 5kpadanL 0,1bila 5kpa dimana : D
= Pengaruh beban mati yang disebabkan oleh berat elemen struktur dan beban tetap pada struktur
L
= pengaruh beban hidup akibat pengguna gedung dan peralatan bergerak
Eh
= pengaruh dan komponen horizontal gaya gempa
o = faktor kuat cadang struktur
Table 2.11 Nilai besaran R dan o untuk system rangka pemikul momen Sistem Rangka Pemikul momen Khusus ( SRPMK )
R4
o *
8,5
2,8
Kemampuan Rotasi Inelastis Balok - Kolom ≥ 0,03 radian
Terbatas ( SRPMT )
6
2,8
≥ 0,02 radian
4,5
2,8
≥ 0,01 radian
Biasa ( SPRMB )
Catatan : ( *) Nilai R dan o akan disesuaikan lebih lanjut menurut Tata cara Perencanaan Struktur Tahan Gempa yang berlaku
Tabel 2.12 Nilai R dan o untuk Sistem Struktur Rangka Bresing ( Bracing ) Sistem Rangka Bresing Khusus ( SRPMK )
R4
o *
6,4
2,2
Mekanisme leleh bresing
Terbatas ( SRPMT )
7
2,8
link
2.5.2.5 Gaya akibat gesekan pada tumpuan-tumpuan bergerak
Bab II – Tinjauan Pustaka
59
Jembatan harus pula di tinjau terhadap gaya yang timbul akibat gesekan pada tumpuan bergerak, karena adanya pemuaian dan penyusutan dari jembatan akibat perbedaan suhu atau akibat – akibat lain. Gaya gesek yang timbul hanya di tinjau akibat beban mati saja, sedang besarnya di tentukan berdasarkan koefesien gesek pada tumpuan yang bersangkutan dengan nilai sebagai berikut (Supriyadi, 2000): a. Tumpuan rol baja Dengan satu atau dua rol…………………………………………………0,01 Dengan tiga atau lebihl rol………………………………………………..0,05 b. Tumpuan Gesekan Antara baja dengan campuran tembaga keras …………………....……..0,15 Antara baja dengan baja atau besi tuang …………………………....……0,25 Antara karet dengan baja atau beton ………………....…………….0,15-0,18
Tumpuan – tumpuan khusus harus disesuaikan dengan persyaratan spesifikasi dari pabrik material yang bersangkutan atau didasarkan atas hasil percobaan dan mendapatkan persetujuan pihak yang berwenang.
2.5.2.6 Gaya akibat aliran air dan tumbukan benda – benda hanyutan Semua pilar dan bagian-bagian lain dari banguan jembatan yang mengalami gaya - gaya aliran air, harus di perhitungkan dapat menahan tegangan-tegangan maksimum akibat gaya-gaya tersebut. Gaya tekanan aliran adalah hasil perkalian tekanan air dengan luas bidang pengaruh pada suatu pilar, yang di hitung dengan rumus (Supriyadi, 2000): Ah
= K x Va
Dimana : Ah
= Tekanan aliran air ( ton/m2)
Va
= Kecepatan aliran air yang di hitung berdasarkan analisa hidrologi ( m/detik ), bila tidak ditentukan lain maka : Va = 3 m/detik
Bab II – Tinjauan Pustaka
60
K
= Koefesien aliran yang tergantung bentuk pilar dan dapat di ambil menurut tabel dibawah ini : Tabel 2.13 Koefisien aliran Bentuk depan pilar
k
Persegi tidak disarankan
0,075
Bersudut ≤ 30 derajat
0,025
Bundar
0,035
Tegangan- tegangan akibat tumbukan benda-benda hanyutan ( kayu,batu, dan lain-lain pada aliaran sungai ) pada bangunan bawah harus di perhitungkan dan besarnya di tetapkan berdasarkan hasil penyelidikan setempat.
2.5.2.7 Beban pejalan kaki Intensitas beban pejalan kaki untuk jembatan jalan raya tergantung pada luas beban yang di pikul oleh unsur yang di rencana. Bagaimanapun, lantai dan gelagar yang langsung memikul pejalan kaki harus di rencanakan untuk 5 kpa. Intensitas beban untuk elemen lain diberikan dalam Tabel dibawah.
Table 2.14 Intensitas Beban Pejalan kaki untuk Trotoar jembatan jalan Raya Luas terpikul oleh unsur – m2
Intensitas beban pejalan kaki nominal kpa
A ≤ 10 m2
5
10 m2 ≤ A ≤ 100 m2
5.33 –A / 30
A ≥ 100 m2
2
2.6 PELAT BETON SATU ARAH Sistem lantai paling sederhana adalah balok dan pelat satu arah. Beban P yang bekerja di A ditahan oleh jalur dari pelat ke titik B dan C pada balok. Selanjutnya balok menyalurkan beban itu ke kolom (titik D, E, F dan G). Seringkali kolom semacam itu mempunyai balok-balok dalam dua arah seperti yang ditunjukkan oleh denah di bawah. Dalam hyal ini, beban pada lantai disalurkan ke balok anak untuk diteruskan ke balok induk (girder) yang menumpu pada kolom. Pada perancangan,
Bab II – Tinjauan Pustaka
61
lantai dirancang terlebih dahulu, kemudian balok anak, dan akhirnya balok induk (Pariatmono, 2002).
Gambar 2.31 Struktur plat lantai satu arah (Sumber: Pariatmono, 2002)
Gambar 2.32 Denah balok di tengah panel plat satu arah (Sumber: Pariatmono, 2002)
Bab II – Tinjauan Pustaka
62
Gambar 2.33 Denah balok di sepertiga panel plat satu arah (Sumber: Pariatmono, 2002)
Plat satu arah umumnya mempunyai perbandingan panjang dan lebar melebihi 1,5. Plat satu arah dapat diasumsikan sebagai rangkaian plat-plat selebar 1 meter yang terlepas satu sama lain. Plat ini membentang dengan panjang yang sama dengan lebar plat sebenarnya. Tebal plat dipilih untuk menghindar dari masalah lendutan. Lihat tabel berikut (Pariatmono, 2002).
Bab II – Tinjauan Pustaka
63
Tabel 2.15 Tebal minimum balok atau plat satu arah dari beton bertulang tanpa perhitungan lendutan
Distribusi gaya-gaya dalam pelat satu arah (menahan dalam satu arah), sebenarnya dapat dianggap sebagai gelagar di atas beberapa tumpuan. Untuk struktur
Bab II – Tinjauan Pustaka
64
statis tak tentu, misalnyagelagar di atas beberapa tumpuan, cara menentukannya menggunakan persamaa keseimbangan dengan satu persamaan perubahan bentuk. Selain itu, pada SKNI mengijinkan untuk menentukan distribusi gaya dengan menggunakan
koefisien
momen
yang
dapat
dilakukan
dengan
mudah.
Penggunaannya akan dikaitkan dengan beberapa syarat-syarat di bawah ini (W. C. Vis, 1994): a. Jumlah bentang paling sedikit harus dua b. Panjang bentang bersebelahan yang paling besar di bagian sebelah kiri dan kanan tumpuan, tidak boleh 1,2 kali lipat lebih besar dari panjang bentang bersebelahan yang paling pendek. c. Beban harus merupakan beban terbagi rata (distribusi) d. Beban hidup harus tiga kali lebih kecil dari beban mati e. Penggunaan koefisien momen, untuk bentang dapat berdasarkan: 1. Untuk momen lapangan : bentang bersih ln di antara tumpuan 2. Untuk momen tumpuan : bentang bersih rata-rata ln pada sebelah kiri dan kanan tumpuan.
Bab II – Tinjauan Pustaka
65