BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis 1. Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Kesehatan reproduksi juga berarti bahwa orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah, termasuk hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan, kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat (Nugroho, 2012). 2. Menstruasi a. Pengertian Menstruasi adalah perdarahan uterus yang terjadi secara siklik dan dialami oleh sebagian besar wanita usia reproduktif
6
7
(Norwitz, Schorge, 2008). Menarke adalah menstruasi pertama yang berlangsung sekitar umur 10-11 tahun (Manuaba, 2008). Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi dari satu folikel dominan, yang terjadi pada pertengahan siklus. Kurang lebih 14 hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid (Anwar, Baziad, dan Prabowo, 2011). b. Siklus Menstruasi Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama ± 7 hari. Lama perdarahannya sekitar 3-5 hari, dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang hilang sekitar 30-40 cc. Puncaknya hari ke-2 atau 3 dengan jumlah pemakaian pembalut sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari (Manuaba, 2008). c. Aspek Endokrin Dalam Siklus Haid Haid merupakan hasil kerja sama yang sangat rapi dan baku dari sumbu Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium (sumbu H-H-O). Pada awal siklus sekresi gonadotropin meningkat perlahan, dengan follicle stimulating hormone (FSH) lebih dominan dibanding luteinizing hormone (LH). Pada awal siklus terjadi pembentukan estrogen dari androgen oleh FSH dibantu enzim aromatase di sel granulosa. Pada hari 5-7 siklus kadar estrogen dan inhibin B cukup tinggi dan menekan sekresi FSH yang mengakibatkan hanya satu
8
folikel yang dominan yang terus tumbuh, sedangkan folikel yang lain mengalami atresia. Pada akhir masa folikuler siklus sekresi LH lebih dominan dari FSH. Sekitar 36-48 jam dari awal lonjakan LH, oosit keluar dari folikel yang dikenal sebagai ovulasi. Pascaovulasi sekresi progesteron meningkat menyebabkan kadar LH dan FSH menurun. Pada fase luteal, kadar progesteron dan estrogen meningkat, mencapai puncak pada 7 hari pascaovulasi. Kurang lebih 14 hari pascaovulasi progesteron dan estrogen cukup rendah, sekresi gonadotropin meningkat dan memasuki siklus baru (Anwar, Baziad dan Prabowo, 2011). d. Gangguan Menstruasi Menurut Anwar, Baziad dan Prabowo (2011), gangguan haid atau disebut juga dengan perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering menyebabkan seorang perempuan datang berobat ke dokter atau tempat pertolongan pertama. 3. Menometroragia a. Pengertian Menurut
Benson
(2008),
menometroragia
adalah
perdarahan yang terjadi pada interval yang tidak teratur. Biasanya jumlah dan lama perdarahan bervariasi. Penyebab menometroragia sama dengan penyebab metroragia. Sedangkan menurut Manuaba (2008), menometroragia adalah perdarahan saat menstruasi yang berlangsung terus/panjang dan berdarah banyak.
9
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa menometroragia adalah perdarahan yang terjadi diluar masa siklus haid dengan interval yang tidak teratur dan jumlah perdarahan yang banyak. b. Etiologi Menurut Wiknjosastro (2009), menometroragia dapat disebabkan kelainan organik pada alat genital atau oleh kelainan fungsional. 1. Sebab-sebab organik Perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium disebabkan oleh kelainan pada : a. Serviks uteri, seperti polipsus servisis uteri, erosion porsionis uteri, ulkus pada porsio uteri, karsinoma servisis uteri. b. Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus imminens, abortus sedang berlangsung, abortus inkompletus, mola hidatidosa, koriokarsinoma, subinvolusio uteri, karsinoma korporis uteri, sarcoma uteri, mioma uteri. c. Tuba falopii, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor tuba d. Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium 2. Sebab-sebab fungsional
10
Perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik dinamakan perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium, yakni endometrium atrofik, hiperplastik, proliferative, dan sekretoris, dengan endometrium jenis nonsekresi merupakan bagian terbesar. Dengan demikian dapat dibedakan perdarahan yang anovulatoar dan yang ovulatoar. a. Perdarahan ovulatoar Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika perdarahan lama dan tidak teratur siklus haid tidak lagi dikenali, maka kadang bentuk kurva suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa ada sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologinya : 1. Korpus luteum persistens, dijumpai perdarahan kadangkadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan antar keduanya. 2. Insufisiensi
korpus
luteum
dapat
menyebabkan
premenstrual spotting, menoragia atau polimenorea.
11
3. Apopleksia uteri, pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam uterus. 4. Kelainan
darah,
seperti
anemia,
purpura
trombositopenik, dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah. b. Perdarahan anovulatoar Perdarahan
anovulatoar
biasanya
dijumpai
pada
penderita-penderita dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor-tumor ovarium. Sedangkan pada masa pubertas sesudah
menarche,
disebabkan
oleh
perdarahan gangguan
yang
proses
tidak maturasi
normal pada
hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. c. Patofisiologi Estrogen mengalami peningkatan pada siklus anovulatoar. Endometrium mengalami proliferasi berlebih tetapi tidak diikuti dengan pembentukan jaringan penyangga yang baik karena kadar progesteron yang rendah. Endometrium menjadi tebal tapi rapuh. Jaringan endometrium lepas tidak bersamaan dan tidak ada kolaps jaringan sehingga terjadi perdarahan yang tidak teratur (Anwar, Baziad dan Prabowo, 2011).
12
Gangguan fungsional hipotalamus - hipofisis Estrogen diproduksi terus-menerus Peningkatan estrogen Korpus luteum tidak terbentuk
Progesteron rendah
Penurunan sekresi estrogen Proliferasi endometrium berlebihan Endometrium tebal namun rapuh Menometroragia Bagan 2.1 Patofisiologi Menometroragia (Anwar, Baziad dan Prabowo, 2011) d. Faktor resiko Menurut Wiknjosastro (2009), perdarahan disfungsional dapat terjadi setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang wanita. Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus. Pada wanita pada masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan dengan lancar. Selain itu stress yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik didalam maupun diluar pekerjaan, kejadian-kejadian yang mengganggu
keseimbangan
emosional
seperti
kecelakaan,
kematian dalam keluarga, pemberian obat penenang terlalu lama, dan lain-lain dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar.
13
e. Keluhan subjektif Menurut menometroragia
Manuaba akan
(2008),
datang
pasien
dengan
pada
keluhan
kasus
mengalami
perdarahan yang banyak saat menstruasi yang berlangsung terus/panjang. f. Tanda klinis/Laboratoris Pada usia reproduksi pemeriksaan suhu basal badan, sitologi vagina, atau analisa hormonal (FSH, LH, estradiol, prolaktin,
dan
progesteron)
dapat
dilakukan.
Pada
usia
perimenopause, antara masa pramenopause dan pascamenopause (usia 40-50 tahun) perlu dilakukan analisa hormonal, yaitu pemeriksaan hormon FSH, LH, estradiol, dan prolaktin. Kadar FSH lebih dari 35 mIU/ml menunjukkan pasien memasuki masa perimenopause. Kadar estradiol yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penebalan endometrium (Baziad, 2008). g. Diagnosis Pembuatan anamnesis yang cermat penting untuk diagnosis. Perlu ditanyakan bagaimana mulainya perdarahan, didahului
oleh
siklus
yang
pendek
atau
apakah oleh
oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak atau sedikitsedikit, sakit atau tidak), lama perdarahan. Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk kearah kemungkinan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit
14
menahun. Pada pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainan-kelainan organik, yang menyebabkan perdarahan abnormal
(polip,
ulkus,
tumor,
kehamilan
terganggu)
(Wiknjosastro, 2009). Menurut Anwar, Baziad, dan Prabowo (2011), keluhan terlambat haid, mual, nyeri, dan mulas sebaiknya ditanyakan. Palpasi bimanual perlu untuk melihat pembesaran uterus, dan USG untuk memastikan adanya iatrogenik
seperti
gangguan kehamilan. Penyebab
pemakaian
obat
hormon,
kontrasepsi,
kortikosteroid dan obat herbal juga harus dievaluasi. Bahan obat tersebut akan mengganggu kadar estrogen dan faktor pembekuan darah sehingga berpotensi menjadi perdarahan. h. Prognosis Pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus menstruasi menjadi ovulatoar. Namun pada wanita dewasa terutama dalam masa pramenopause dengan menometroragia, mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas (Wiknjosastro, 2009). i. Penatalaksanaan Penanganan pertama kasus menometroragia ditentukan pada kondisi hemodinamik. Bila keadaan hemodinamik tidak stabil segera masuk rumah sakit untuk perawatan perbaikan keadaan
15
umum. Pada keadaan akut, dimana Hb <8 gr% maka pasien harus dirawat dan diberikan transfusi darah (Anwar, Baziad dan Prabowo, 2011; Baziad, 2008). Penatalaksanaan penghentian perdarahan dapat dilakukan dengan terapi hormon dan nonhormon. Penanganan dengan medikamentosa nonhormon dapat digunakan untuk perdarahan uterus abnormal adalah sebagai berikut (Anwar, Baziad, dan Prabowo, 2011) : 1) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) Terdapat 5 kelompok NSAID berdasarkan susunan kimianya, yaitu : a. Salisilat (aspirin) b. Analog asam indoleastetik (indometasin) c. Derivat asam aril proponik (ibuprofen) d. Fenamat (asam mefenamat) e. Coxibs (celecoxib) Asam mefenamat diberikan dengan dosis 250-500 mg 2-4 kali sehari. Ibuprofen diberikan dengan dosis 600-1200 mg per hari. NSAID dapat memperbaiki hemostasis endometrium dan mampu menurunkan jumlah darah haid 20-50%. Efek samping secara umum dapat menimbulkan keluhan gastrointestinal dan kontraindikasi pada perempuan dengan ulkus peptikum.
16
2) Antifibrinolisis Pada perempuan dengan keluhan perdarahan uterus abnormal ditemukan kadar activator plasminogen
pada
endometrium lebih tinggi dari normal. Penghambat activator plasminogen atau obat antifibrinolisis dapat digunakan untuk pengobatan perdarahan uterus abnormal. Asam traneksamat bekerja menghambat plasminogen secara reversible dan bila diberikan saat haid mampu menurunkan jumlah perdarahan 4050%. Efek sampingnya adalah keluhan gastrointestinal dan tromboemboli. Sedangkan terapi hormon untuk menghentikan perdarahan dikelompokkan menjadi 3 kelompok usia, yaitu : 1) Usia Remaja Pada usia remaja terjadi siklus haid anovulatorik. Tanpa pengobatan, ovulasi akan terjadi spontan selama perdarahan yang terjadi tidak berbahaya, atau tidak mengganggu pasien. Pengobatan hanya diberikan bila gangguan yang terjadi sudah 6 bulan, atau 2 tahun setelah menarche belum juga dijumpai siklus haid yang berovulasi. Pada keadaan yang tidak akut dapat diberikan antiprostalglandin, antiinflamasi nonsteroid, atau asam traneksamat. Pada keadaan akut diberikan sediaan estrogen-progesteron kombinasi (pil kontrasepsi kombinasi) selama 3 hari. Pengobatan berhasil bila perdarahan berkurang
17
atau berhenti. 3-4 hari setelah pengobatan akan terjadi perdarahan lucut. Setelah perdarahan teratasi, selanjutnya adalah pengaturan siklus dengan pemberian progesteron dari hari ke 16-25, selama 3 bulan (Baziad, 2008). 2) Usia Reproduksi Pada usia reproduksi, setelah dipastikan bahwa perdarahan dari uterus dan bukan karena gangguan kehamilan maka dapat dilakukan dilatasi dan kuretase yang kemudian diperiksakan patologi-anatominya. Jika hasilnya perdarahan yang dialami karena penyebab hormonal maka dapat diberikan terapi hormonal estrogen-progesteron kombinasi atau pil kontrasepsi kombinasi yang diberikan sepanjang siklus menstruasi dapat juga diberikan tablet progesteron MPA dosis 10 mg / hari selama 14 hari kemudian pengobatan dihentikan 14 hari berikutnya, diulang selama 3 bulan (Anwar, Baziad dan Prabowo, 2011; Baziad, 2008; Wiknjosastro, 2007). 3) Usia perimenopause Pada keadaan tidak akut, maka dilakukan dilatasi dan kuretase untuk mengetahui ada tidaknya keganasan pada endometrium. Jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menggambarkan suatu hiperplasia kistik, atau hiperplasia adenomatosa maka diberikan MPA dosis 3x10 mg/hari selama 6 bulan. Kemudian dilakukan dilatasi dan kurestase ulang
18
setelah pasien mendapatkan haid normal
atau setelah
pengobatan terjadi lagi perdarahan yang abnormal (Baziad, 2008). Persiapan tindakan kuretase a. Persiapan pasien Persiapan tindakan dilakukan dengan melakukan konseling dan persetujuan tindakan medis (Saifuddin, 2014). Melakukan pemeriksaan umum meliputi : tekanan darah, nadi, keadaan jantung, dan paru-paru (Mochtar, 2013). b. Persiapan alat Persiapan alat meliputi : 2 spekulum, sonde uterus, dilatator hegar berbagai ukuran, sendok kuret berbagai ukuran, cunam abortus, pinset, klem, kain steril dan 2 sarung tangan steril. Alat-alat tersebut dalam keadaan yang steril dan diletakkan dalam bak alat (Mochtar, 2013). c. Persiapan alat pelindung diri (APD) penolong Persiapan APD bagi penolong dan asisten meliputi : menggunakan baju tindakan, pelindung kaki (alas kaki terbuat dari karet), kaca mata pelindung, masker, dan sarung tangan steril (Saifuddin, 2010). d. Persiapan obat yang akan digunakan Persiapan obat yang digunakan meliputi analgetika (petidin 1-2 mg/kg berat badan), sedativa (diazepam 10 mg), atropine sulfas
19
0,25 mg, oksigen serta regulator, larutan antiseptik (povidon iodin 10%). Uterotonika (oksitosin 10 IU) (Saifuddin, 2014). Tindakan kuretase : a. Pasien dibaringkan dengan posisi litotomi (Mochtar, 2013). b. Bagian bawah perut dan lipatan paha dibersihkan. c. Pemberian sedativa dan analgetika dapat diberikan secara IV atau IM. d. Memberikan cairan antiseptik pada vagina dan serviks. e. Memberikan oksitosin 10 IU atau metergin 0,2 mg untuk mencegah perforasi uterus dan meningkatkan kontraksi uterus. f. Melakukan pemeriksaan bimanual bertujuan mengetahui bukaan serviks, besar, arah, dan resiko terjadi perforasi. g. Serviks dilakukan penjepitan diarah jam 11.00 dan 13.00 menggunakan tenakulum atau dapat digantikan dengan menggunakan cunam ovum. Lignokain 0,5 % 1 ml diberikan jika penjepitan dilakukan menggunakan tenakulum. h. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan dilatator sampai dapat dilalui oleh sendok kuret. Sendok kuret dimasukkan melalui kanalis servikalis. i. Kedalaman uterus diketahui dengan melakukan pemeriksaan menggunakan sonde uterus. j. Dinding
uterus
dibersihkan
dengan
pengerokan
secara
sistematis sampai bersih dengan tanda seperti menyentuh
20
bagian bersabut. Pemeriksaan bimanual dilakukan kembali untuk mengetahui besar dan konsistensi uterus. k. Pemeriksaan hasil kuretase. Perawatan pascatindakan dilatasi dan kuretase, yaitu : 1. Pemberian analgetika (paracetamol 500 mg) untuk mengurangi nyeri jika diperlukan. 2. Anjurkan untuk segera mobilisasi. 3. Memberikan antibiotik profilaksis (amoxcillin 500 mg). 4. Memberikan edukasi Keluarga Berencana (KB). 5. Melakukan observasi meliputi : skala nyeri, jumlah perdarahan pervaginam, dan tanda-tanda infeksi. (Saifuddin, 2014). Hasil dilatasi dan kuretase dibagi menjadi 2, yaitu : a. Bila tidak ditemukan lagi hiperplasia, pasien mendapat pengobatan progesteron tablet, dilanjutkan dengan tablet MPA 3x10 mg 2 kali seminggu selama 6 bulan (Baziad, 2008). b. Bila hasil dilatasi dan kuretase ulang tidak menunjukkan adanya perubahan terhadap pengobatan dengan progesteron maupun analog GnRH, sebaiknya pasien dianjurkan untuk histerektomi (Baziad, 2008). Menurut
Baziad
(2008),
Penatalaksanaan
menometroragia dengan terapi hormon sebagai berikut :
21
Penatalaksanaan menometroragia terapi hormon
Usia Remaja
Usia Perimenopause
Usia Reproduksi
Penghentian perdarahan -Pil kontrasepsi kombinasi
Dilatasi & Kuretase PA Penyebab hormonal -MPA/pil kombinasi
Pengaturan Siklus -MPA
Dilatasi & Kuretase dan USG Hiperplasia endometrium -MPA Dilatasi & Kuretase ulang
Tidak ada hiperplasia endometrium, terapi lanjut
Ada hiperplasia endometrium, sarankan histerektomi
Bagan 2.2 Penatalaksanaan Menometroragia (Baziad, 2008) 4. Anemia a. Pengertian Anemia adalah penurunan kapasitas darah dalam membawa oksigen akibat penurunan produksi sel darah merah dan atau penurunan kadar hemoglobin. Anemia sering didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin dalam darah sampai dibawah rentang normal (Fraser, 2009).
22
b. Etiologi Penyebab anemia adalah kurang asupan Fe, gangguan gastrointestinal mual, muntah, diare, infeksi oleh cacing dan malaria (Manuaba, 2007). c. Derajat Anemia Menurut Manuaba (2010), hasil pemeriksaan Hb dapat digolongkan sebagai berikut : 1) Hb >11
gr%
: tidak anemia
2) Hb 9-10
gr%
: anemia ringan
3) Hb 7-8
gr%
: anemia sedang
4) Hb <7
gr%
: anemia berat
d. Klasifikasi Anemia Menurut Manuaba (2010), berdasarkan etiologinya anemia dapat digolongkan menjadi: 1) Anemia defisiensi besi (kekurangan zat besi) 2) Anemia megaloblastik (kekurangan asam folat dan vitamin B12) 3) Anemia hemolitik (pemecahan sel-sel darah lebih cepat dari pembentukan) 4) Anemia hipoplastik (gangguan pembentukan sel-sel darah)
23
e. Penatalaksanaan 1. Seorang bidan
hendaknya
memberikan
penkes
tentang
pemenuhan kebutuhan asupan zat besi dan kebutuhan istirahat (Robson, 2011) 2. Kolaborasi dengan dokter SpOG untuk : a) pemberian terapi preparat Fe : Fero sulfat, Fero gluconat atau Na-fero bisitrat secara oral untuk mengembalikan simpanan zat besi ibu (Manuaba, 2007). Pemberian preparat Fe 60mg/hari dapat menaikan kadar Hb sebanyak 1 gr% perbulan (Saifuddin, 2009). b) Jika ada indikasi kehilangan darah saat operasi dan kadar Hb ibu kurang dari 9,0 gr%, maka transfusi darah dengan pack cell dapat diberikan (Prawirohardjo, 2014 dan Fraser, 2009). B. Teori Manajemen Kebidanan 1. Pengertian Manajemen kebidanan merupakan suatu metode atau bentuk pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam memberi asuhan kebidanan.
Langkah-langkah
dalam
manajemen
kebidanan
menggambarkan alur pola berpikir dan bertindak bidan dalam pengambilan keputusan klinis untuk mengatasi masalah (Yulifah, 2013).
24
2. Pelaksanaan Manajemen Kebidanan Pada kasus Menometroragia berdasarkan 7 langkah varney. a. Langkah I Pengumpulan/Penyajian Data Dasar Secara Lengkap Data atau fakta yang dikumpulkan terdiri dari data subjektif dan objektif, yaitu : 1. Anamnesa 1) Identitas a. Umur Umur sangat dibutuhkan untuk menentukan klien termasuk dalam faktor resiko dari kasus menometroragia atau tidak yakni usia pubertas dan usia pramenopause (Wiknjosastro, 2009). 2) Keluhan utama Pada kasus menometroragia, pasien datang dengan keluhan perdarahan yang banyak saat menstruasi yang berlangsung terus/panjang (Manuaba, 2008). Pada kasus anemia biasanya mengeluh merasa lemah, pucat, cepat lelah dan nafsu makan kurang (Manuaba, 2007; Saifuddin, 2009). 3) Riwayat menstruasi Apakah
didahului
oleh
siklus
memanjang,
oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak/sedikit), lama perdarahan (Anwar, Baziad dan Prabowo, 2011). 4) Riwayat obstetri
25
Kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu perlu ditanyakan guna mengetahui apakah pasien seksual aktif atau masih virgin sehingga dapat dibedakan dalam penatalaksanaannya (Manuaba, 2008). 5) Riwayat kesehatan Perlu diperhatikan adanya penyakit metabolik, penyakit endokrin, dan penyakit menahun yang dicurigai sebagai penyebab dari perdarahan (Wiknjosastro, 2009). 6) Riwayat sosial Stress yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar pekerjaan, kejadian-kejadian yang
mengganggu
keseimbangan
emosional
seperti
kecelakaan, kematian dalam keluarga, pemberian obat penenang terlalu lama, dan lain-lain, dapat menyebabkan menometroragia (Wiknjosastro, 2009). 2. Data subjektif Data yang dikaji pada kasus menometroragia, yaitu : a. Keadaan umum Pengkajian
pada
menometroragia
terdiri
dari
pemeriksaan umum seperti pemeriksaan status kesadaran dan keadaan umum klien untuk mengetahui apakah klien dalam keadaan stabil atau tidak (Anwar, Baziad dan
26
Prabowo, 2011). Ibu dengan anemia terlihat lemah dan pucat (Saifuddin, 2009). b. Pemeriksaan fisik Data
fokus
pemeriksaan
fisik
pada
kasus
menometroragia, yaitu : 1) Inspeksi : dilakukan pemeriksaan pada mata untuk melihat
apakah
konjungtiva
terlihat
pucat
yang
menunjukkan adanya komplikasi anemia pada kasus menometroragia. Inspeksi genetalia bagian luar juga diperlukan untuk memastikan sumber perdarahannya. 2) Pemeriksaan
dalam
(vagina
toucher)
:
untuk
mengetahui bagaimana vaginanya, serviknya, uterusnya dan ada/tidaknya kelainan pada adneksanya. 3) Pemeriksaan inspekulo : mencari sumber perdarahannya dan
menetapkan
terdapatnya/tidak
kelainan
pada
serviks. 3. Pemeriksaan penunjang Pada kasus menometroragia dan anemia pemeriksaan penunjang
yang
perlu
dilakukan
adalah
pemeriksaan
laboratorium (pemeriksaan darah lengkap) dan USG. Selain itu, untuk mengkaji masalah struktur dan keganasan, dapat dilaksanakan pap smear-biopsi, pemeriksaan patologi-anatomi, histeroskopi serta pemeriksaan hormonal. Pada wanita usia
27
reproduksi juga diperlukan pemeriksaan suhu basal badan (SBB) untuk mengetahui ada tidaknya ovulasi (Manuaba, 2008; Wiknjosastro, 2009). b. Langkah II Interpretasi Data Dasar 1) Diagnosa kebidanan Diagnosa kebidanan yang dapat ditegakkan pada kasus pasien dengan ganguan reproduksi menometroragia disertai anemia sedang adalah dengan dasar data subjektif dan data objektif. a. Data subjektif : berasal dari keluhan subjektif klien pada kasus menometroragia, yakni perdarahan diluar siklus menstruasi yang berlangsung terus/panjang dan berdarah banyak (Manuaba, 2008). Pada kasus anemia biasanya mengeluh merasa lemah, pucat, cepat lelah dan nafsu makan kurang (Manuaba, 2007; Saifuddin, 2009). b. Data objektif : berasal dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang klien. 2) Masalah Masalah yang muncul pada pasien dengan menometroragia disertai anemia sedang berkaitan dengan kekhawatiran pasien terhadap keadaan yang dialami. Hal ini muncul karena kurangnya pengetahuan pasien tentang menometroragia dan anemia (Manuaba, 2008).
28
3) Kebutuhan Kebutuhan pasien dengan menometroragia disertai anemia sedang adalah dukungan moril serta informasikan tentang kasus dan penatalaksanaan menometroragia serta anemia. c. Langkah III Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial dan Antisipasi Penanganan Diagnosis potensial pada kasus menometroragia disertai anemia sedang adalah anemia berat. Antisipasi yang dapat dilakukan bidan menghadapi kasus menometroragia disertai anemia sedang adalah mengobservasi keadaan umum, vital sign, serta perdarahan pervaginam pada pasien, dan memberikan tambahan nutrisi suportif (Manuaba, 2008). d. Langkah IV Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Tindakan yang perlu segera dilakukan oleh bidan dalam penanganan kasus menometroragia disertai anemia sedang adalah melakukan konsultasi dengan dokter spesialis obstetri ginekologi untuk pemeriksaan penunjang (ginekologi) (Manuaba, 2008). e. Langkah V Perencanaan Asuhan Yang Menyeluruh Rencana asuhan kebidanan secara umum yang dilakukan pada kasus menometroragia disertai anemia sedang adalah: 1) Informasikan pada klien dan keluarga tentang keadaan yang dialami klien. 2) Observasi keadaan umum dan vital sign setiap 8 jam.
29
3) Observasi perdarahan setiap 24 jam. 4) Lanjutkan konsultasi atau kolaborasi dengan dokter spesialis (obstetri ginekologi dan atau haematologi) (Manuaba, 2008) : a. Pemeriksaan USG untuk mengetahui perubahan pada endometrium. b. Pemberian terapi dan tindakan dengan pertimbangan aktivitas seksual dan penyebabnya. c. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk melihat apakah pasien mengalami kelainan jantung. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk proses pembiusan saat akan dilakukan tindakan dilatasi dan kuretase. 5) Informasikan pada klien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan kepada klien serta anjurkan ibu dan walinya untuk mengisi informed consent terkait tindakan yang akan ditempuh pasien. f. Langkah VI Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman Implementasi pada kasus menometroragia disertai anemia sedang mengacu pada rencana tindakan yang sudah disetujui oleh pasien.
30
g. Langkah VII Evaluasi Evaluasi atau hasil yang diharapkan dari asuhan pada pasien gangguan sistem reproduksi dengan menometroragia disertai anemia sedang adalah: 1) Pasien mendapatkan asuhan yang menyeluruh sesuai dengan kebutuhannya. 2) Pasien mendapatkan terapi dan tindakan untuk mengatasi menometroragia serta anemianya. 3) Perdarahan yang dialami pasien dapat berhenti dan tidak terjadi perdarahan berulang atau pada pasien pubertas siklus menstruasi
dapat
kembali
normal
(Manuaba,
2008;
Wiknjosastro, 2009). 3. Follow up data perkembangan pasien Menurut KepMenKes RI No: 938/MenKes/SK/VIII/2007 adalah sebagai berikut : S : Subjektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien pada kasus menometroragia disertai anemia sedang melalui anamnesis sebagai langkah I Varney. Data subjektif yang dapat mendukung diagnosis menometroragia disertai anemia sedang didapatkan dari hasil wawancara dengan pasien mengenai keluhan perdarahan ataupun keluhan lain yang dirasakan.
31
O : Objektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium dan tes diagnostik lain yang diperlukan dalam pemeriksaan kasus menometroragia disertai anemia sedang dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney. Pada kasus menometroragia disertai anemia sedang, data objektif yang didapatkan bisa melalui pemeriksaan fisik pasien, vital sign, pemeriksaan khusus seperti inspeksi untuk mengetahui perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan penunjang pun diperlukan untuk membantu menegakan diagnosis dan penanganan yang sesuai. A : Assesment Menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi dan masalah kebidanan serta kebutuhan pada kasus menometroragia disertai anemia sedang, sebagai langkah II Varney. Diagnosis kebidanan pada data perkembangan yang dapat ditegakan dari kasus menometroragia disertai anemia sedang adalah Ny.P P1A0 umur 38 tahun dengan menometroragia disertai anemia sedang. Masalah yang sedang dialami ibu adalah kecemasan akan kondisi dirinya karena mengalami perdarahan, kebutuhan yang diperlukan ibu adalah informasikan mengenai kondisi ibu dan beri dukungan moril ibu untuk menghadapi kondisinya.
32
P : Plan Menggambarkan perencanaan dan pelaksanaan asuhan yang meliputi : tindakan antisipasi, tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi follow up dari rujukan sebagai langkah III, IV, V, VI, dan VII Varney. Pada kasus ibu dengan menometroragia disertai anemia sedang hal yang perlu direncanakan, dilakukan dan dievaluasi pasca tindakan kuretase meliputi : melakukan observasi vital sign dan jumlah perdarahan, memberikan support mental pada ibu dan keluarga, menganjurkan ibu untuk mobilisasi, memberikan konseling program Keluarga Berencana (KB) (Saifuddin, 2014). Berdasarkan tahap pelaksanaan tersebut, evaluasi dan hasil diperoleh vital sign dan keadaan umum ibu baik, perdarahan dalam batas normal, hasil pemeriksaan laboratorium yang baik, tidak timbul cemas pada ibu, ibu mendapatkan perawatan pasca kuretase dengan baik dan tidak timbul komplikasi pasca tindakan kuretase.