BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Akad a. Pengertian Akad Akad ( )ال َع ْقدadalah perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian
ijab
(pernyataan
melakukan
ikatan)
dan
qabul
(pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan.1 Menurut istilah akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syarak yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.2 Ijab dan qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Dari pengertian tersebut, akad terjadi antara dua pihak dengan sukarela, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik.
1
M Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (fiqih muamalah) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.101. 2 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2000), hlm. 65.
9
38
Unsur-unsur
akad
adalah
sesuatu
yang
merupakan
pembentukan adanya akad termasuk sighat akad. Yang dimaksud dengan sighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan qabul yang merupakan rukun-rukun akad dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara:3 1) Sighat akad secara lisan, adalah cara alami untuk menyatakan keinginan bagi seseorang adalah kata-kata. Maka, akad dipandang telah terjadi apabila ijab dan qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak bersangkutan. Bahasa apa pun, asal dapat dipahami pihak-pihak yang bersangkutan, dapat digunakan. 2) Sighat akad dengan tulisan, adalah cara kedua setelah lisan untuk menyatakan sesuatu keinginan. Maka, jika dua pihak yang akan melakukan akad tidak ada di satu tempat, akad itu dapat dilakukan melalui yang dibawa seseorang utusan atau melalui pos. 3) Sighat akad dengan isyarat, adalah apabila seseorang tidak mungkin menyatakan ijab qabul dengan perkataan karena bisu, akad dapat terjadi dengan isyarat. Namun dengan syarat ia pun tidak dapat menulis
sebab keinginan seseorang yang
dinyatakan dengan tulisan lebih dapat meyakinkan daripada yang dinyatakan dengan isyarat.
3
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam)... hlm.68-70.
37
4) Sighat akad dengan perbuatan, cara ini adalah cara lain selain cara lisan, tulisan dan isyarat. Misalnya seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu, kemudian penjual menyerahkan barang yang dibelinya. Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barang (jual beli dengan mu’athah). Yang penting dalam cara mu’athah untuk dapat menumbuhkan akad itu, jangan sampai terjadi semacam tipuan, kecohan dan sebagainya. Segala sesuatunya harus dapat diketahui dengan jelas.
b. Rukun dan Syarat Akad Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:4 1) ‘Aqid (orang yang berakad) 2) Ma’qud ‘alaih (benda-benda yang diakadkan) 3) Maudhu’ al’aqd (tujuan atau maksud pokok mengadakan akad) 4) Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Shighat al-’Aqd ialah: a) Shighat al-‘aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
Misalnya,
seseorang
berkata,
“Aku
serahkan barang ini”, kalimat tersebut masih kurang
4
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah... hlm. 46.
38
jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan, apakah benda
tersebut
diserahkan
sebagai
pemberian,
penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau sebagai pemberian”. b) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafadz, misalnya seseorang berkata, “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, tetapi yang mengucapkan qabul berkata, “Aku terima barang ini sebagai pemberian”. Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan qabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh agama Islam karena bertentangan dengan ishlah di antara manusia. c) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihakpihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah harus saling ridha. Sedangkan syarat umum suatu akad ialah:5 1) Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf),
5
M. Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam... hlm. 105.
37
apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya. 2) Objek akad itu, diakui oleh syara’. Objek akad ini harus memenuhi syarat yaitu berbentuk harta, dimiliki seseorang, bernilai harta menurut syara’. 3) Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’. 4) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum. Syarat-syarat khusus, umpamanya: syarat jual beli berbeda dengan syarat sewa-menyewa dan gadai. 5) Akad itu bermanfaat. Misalnya seorang suami mengadakan akad dengan istrinya, bahwa suami akan memberi upah kepada istrinya dalam urusan rumah tangga. Akad semacam ini batal, karena seorang istri memang berkewajiban mengurus rumah. 6) Ijab tetap utuh sampai terjadinya qabul. 7) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.
38
c. Macam-Macam Akad Menurut ulama fikih, akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi menjadi dua yaitu: 1) Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian, segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada kedua belah pihak. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, membagi lagi akad sahih ini menjadi dua macam: a) Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. b) Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki
kekuasaan
untuk
melangsungkan
dan
melaksanakannya. 2) Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Kemudian Mazhab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sahih itu kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan akad yang fasid.
37
a) Suatu akad dapat dikatakan batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara’. Misalnya objek akad (jual beli) itu tidak jelas seperti menjual ikan dalam empang (lautan). b) Suatu akad dikatakan fasid, apabila suatu akad yang pada dasarnya dibenarkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas. Seperti menjual mobil tidak disebutkan mereknya, tahunnya dan sebagianya.
d. Berakhirnya Suatu Akad Suatu akad dapat berakhir, apabila terjadi hal-hal seperti berikut:6 1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu. 2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat. 3) Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila: a) Akad itu fasid b) Berlaku khiyar syarat, khiyar aib c) Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad d) Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna
6
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam... h. 112.
38
4) Wafat salah satu pihak yang berakad.
2. Jual Beli a. Pengertian Jual Beli Jual beli (al-bay’) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.7 Adapun jual beli secara istilah, yang dimaksud dengan jual beli adalah:8 1) Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. 2)
ضة ِب ْاذ ِن َشرْ عِ ي ُ َت ْم ِل ْي َ ْن َما ِليَّة ِب ُم َع َاو ِ ك َعي
“Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan jalan aturan syara’.” 3)
ب َو ْقبُوْ ٍل َعلَى ْال َوجْ ِه ٍ ف بِا ِ ْي َجا َ َُمقَابَالَةٌ َما ٍل قَابِلَي ِْن لِلت ِ ُّصر ْال َمأْ ُدوْ ِن فِ ْي ِه
“Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasyaruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara’.” 4)
ص ٍ ُمقَابَلَةٌ َم ِ ْال َعلَى َوجْ ٍه َم ْخصُو
“Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).” 5)
7
ض ٍ اض أَوْ نَ ْق ُل ِم ْل ٍ ُمبَا َدلَةٌ َم ٍ ْك َب َعر ِ ال ِب َما ٍل َعلَى َس ِب ْي ِل التَ َر َعلَى ْال َوجْ ِه ْالمأْ ُدوْ ِن فِ ْي ِه
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 23. 8 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 67-68.
37
“Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.”
6) ت ِ س ُمبَا َدلَ ِة ْال َما ِل بِ ْال َما ِل لِيُفِ ْي َد تَبَا ُد ُل ْال ِم ْل ِكيَّا ٍ َع ْق ٌديَقُوْ ُم َعلَى أَ َسا
َعلَى ال َّد َو ِام
“Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.”
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang dengan barang, uang dengan barang yang mempunyai nilai dengan pemindahan kepemilikan benda tersebut yang dilakukan secara sukarela diantara kedua belah pihak dan sesuai dengan aturan hukum Islam. Sesuai dengan ketentuan hukum Islam maksudnya adalah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Apabila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak hukum Islam.
b. Dasar Hukum Jual Beli Jual beli sebagai sarana tolong menolong antar sesama umat manusia yang mempunyai landasan kuat dalam Al-Qur’an, AsSunnah dan juga ijma’ 1) Al-Qur’an di antaranya9: Surat Al-Baqarah ayat 275: 9
Qomarul Huda, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53.
38
ُ َالَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّربَا ََل يَقُو ُمونَ إِ ََّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي َيتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيط َان ِمن َّ ْال َمسِّ َٰ َذلِكَ بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا َوأَ َح َّل َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا َّللا َو َم ْن عَا َد ِ َّ فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَ َٰى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى ﴾٥٧٢:ار هُ ْم فِيهَا َخالِ ُدونَ ﴿البقرة َ ِفَأُو َٰلَئ ِ َّك أَصْ َحابُ الن “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”10(Al-Baqarah: 275) Pada ayat ini orang-orang diperintahkan Allah swt. untuk memelihara dan berlindung dari siksa api neraka dengan berusaha melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah untuk melaksanakan jual beli dan meninggalkan riba.
Disamping ayat tersebut Allah juga berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
ًيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِ ََّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرة َّ اض ِم ْن ُك ْم ۚ َو ََل تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم ۚ إِ َّن َّللاَ َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما ٍ ع َْن تَ َر “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan berniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (An-Nisa’: 29)
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. Ke-V (Surabaya: Mahkota, 2001), hlm. 48.
37
2) As-Sunnah :
ُ َس ِمع: قَا َل: ع َْن اَ ِب ْي ِه,ح ْال َم َدنِ ِّي ْت َ ع َْن دَا ُودَبن ِ ِ صال ْ قَا َل َرسُوْ ُل َّللا َعلَ ْي ِه َو َسلّم إن َم: ي يَقُوْ ُل االبَ ْي ُع ع َْن َ اَبِ َس ِع ْي ِد ْالخدر اض ٍ تَ َر
“Dari Daud bin Sholih Midaniy, dari ayahnya berkata: saya mendengar dari ayah sa’id khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda:“jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka.11 Dari sabda Rasullullah SAW di atas dapat dikatakan bahwa jual beli yang sah adalah jual beli yang dilandasi dengan rasa suka sama suka dan tidak ada unsur keterpaksaan. 3) Ijma’ Para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual
beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya. Sehingga dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.12 4) Qiyas Semua syariat Allah Swt yang berlaku mengandung hikmah dan kerahasiaan yang tidak diragukan lagi oleh 11
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, tt), hlm. 733. Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 73. 12
38
siapapun. Adapun salah satu hikmah dibalik pensyariatan bai’ adalah sebagai media atau sarana bagi umat manusia dalam memenuhi setiap kebutuhannya. Semua itu tidak akan terealisasi tanpa adanya peranan orang lain dengan cara tukar menukar (barter) harta dan kebutuhan hidup lainnya dengan orang lain, dan saling memberi juga menerima antar sesama manusia sehingga hajat hidupnya terpenuhi.13 Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap
orang
harus
mengetahui
apa
saja
yang
dapat
mengakibatkan suatu perdagangan atau jual beli itu sah secara hukum. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Allah SWT mengharamkan adanya riba dan usaha yang paling baik adalah usaha yang dihasilkan dari tangannya sendiri, tentunya dari usaha yang halal pula. Dari beberapa ayat-ayat Al-Qur'an, sabda Rasul dan Ijma’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum jual beli itu mubah (boleh). Akan tetapi hukum jual beli bisa berubah dalam situasi tertentu. Menurut Imam Asy-Syatibi (ahli Fiqih Mazhab Maliki) dalam Buku Nasroen Haroen, hukum jual beli bisa menjadi wajib ketika situasi tertentu, beliau mencontohkan dengan situasi ketika terjadi praktek penimbunan barang sehingga stok 13
Ath-Thayyar dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab (Yogyakarta: Maktabah al Hanif, 2009), hlm. 5.
37
hilang dari pasar dan harga melonjak naik, ketika hal ini terjadi maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk menjual barang-barang dengan harga pasar sebelum terjadi kenaikan harga, dan pedagang wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.14
c. Rukun dan Syarat Jual Beli Jual beli yang sesuai dengan Syariat Islam harus memenuhi rukun dan syarat dari jual beli sementara rukun dan syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi agar jual beli itu dipandang sah. Karena jual beli merupakan suatu akad, maka harus dipenuhi rukun dan syaratnya. 1. Rukun jual beli menurut jumhur ulama’ adalah:15 a) Bai’ (penjual) b) Mustari (pembeli) c) Shighat (ijab dan qabul) d) Ma’qud a’laih (benda atau barang) 2. Adapun syarat jual beli adalah sebagai berikut: a) Syarat orang yang berakad Adapun syarat-syarat bagi orang yang berakad adalah sebagai berikut:
14
Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah... hlm. 114. Herry Sutanto dan Khaerul Umam, Manajemen Pemasaran Bank Syariah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 218. 15
38
1) Berakal yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya, dan apabila salah satu pihak tidak berakal, maka jual beli yang diadakan tidak sah. 2) Baligh atau dewasa. Dewasa dalam hukum islam adalah telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan), dengan demikian jual beli yang dilakukan oleh anak kecil adalah tidak sah. 3) Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan (ridha), bukan karena dipaksa.16 b) Syarat Ijab Qabul Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (alittifaq). Secara
terminologi
fiqh,
akad
didefinisikan
dengan:17
ُ ع يَثب ُت أِث َرهُ فِي ٍ ارْ تِبَاطُ إِ ْي َجا ٍ ْب بِقبُوْ ٍل َعلَى َوجْ ٍه َم ْشرُو َم َحلِّ ِه
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.”
Akad artinya persetujuan antara si penjual dan si pembeli. Umpamanya, “Aku menjual barangku dengan 16 17
Mustafa Kamal dkk., Fiqih Islam (Jakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm. 356. Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah..., hlm. 97.
37
harga sekian,” kata si penjual. “Aku beli barangmu dengan harga sekian,” sahut si pembeli. Perkataan penjual dinamakan ijab, sedangkan perkatan pembeli dinamakan qabul. Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab qabul dilakukan. Hal ini karena ijab qabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak.18 Dengan demikian ijab dan qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan (kerelaan) dalam berakad diantara dua oarang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Syarat sah ijab qabul yaitu: 1) Antara sighat ijab dan qabul harus bersambung. Ciricirinya antara lain: a) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya. b) Ada kesepakatan ijab dan qabul pada barang yang saling mereka relakan berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika sekiranya kedua belah pihak tidak sepakat, jual beli (akad) dinyatakan tidak sah. Seperti jika penjual mengatakan: “Aku 18
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2; Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 26.
38
jual kepadamu baju ini seharga lima pound,” dan pembeli mengatakan: “Saya terima barang tersebut dengan harga empat pound”, maka jual beli dinyatakan tidak sah. Karena ijab dan qabul berbeda. c) Tidak dita’likkan. Misalnya, “Jika bapakku telah mati, barang ini akan kujual kepadamu”, dan lainlainnya. d) Tidak dibatasi waktunya. Misalnya, “Aku jual barang ini kepadamu untuk satu bulan ini saja”, dan lain-lainnya. Jual beli seperti ini tidak sah sebab suatu barang yang sudah dijual menjadi hak milik bagi si pembeli untuk selama-lamanya, dan si penjual tidak berkuasa lagi atas barang itu. 2) Dinyatakan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah pihak
yang
melakukan
jual
beli
hadir
dan
membicarakan topik yang sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum mengucapkan qabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas lain yang tidak terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia ucapkan qabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqh, jual beli ini tidak sah,
37
sekalipun mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus dijawab langsung dengan qabul.19 c) Syarat Barang (ma’qud ‘alaih) yang Dijual Belikan Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad adalah: 1) Objek jual beli merupakan barang yang suci dan bermanfaat. Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud ‘alaih harus suci, tidak najis dan mutanajis (terkena najis). Dengan kata lain, ma’qud ‘alaih yang dapat dijadikan akad adalah segala sesutau yang suci, yakni yang dapat dimanfaatkan menurut syara’. Oleh karena itu, anjing, bangkai, darah, dan lain-lain tidak boleh diperjualbelikan. Ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat di atas. Oleh karena itu, mereka membolehkan penjualan bulu binatang, kulit bangkai untuk dimanfaatkan. Ma’qud ‘alaih yang mereka larang untuk dijadikan akad adalah yang jelas dilarang syara’, seperti anjing, khamar, bangkai, dan lain-lain.20 2) Benda harus ada Tidak boleh akad atas barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada seperti jual beli yang belum
19 20
Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah... hlm. 116. Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah... hlm. 61.
38
nampak atau jual beli anak hewan yang masih dalam kandungan.21 3) Bisa
diserahterimakan.
Objek
jual
beli
dapat
diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan. 4) Barang itu milik sendiri dan dalam kekuasaan aqid. Pemilikan di sini dimaksudkan adalah barang yang akan diperjualbelikan adalah milik orang yang melakukan akad atau orang yang menguasakan kepadanya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan jika seseorang menjual sesuatu yang bukan miliknya atau orang yang menguasakannya. 5) Harus diketahui dengan jelas. Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus mengetahui keberadaan barang yang dijadikan obyek jual
beli,
baik
dalam
keadaannya maupun jenisnya.
21
Syafi’i, Fiqih Syaf’i (Jakarta: Karya Indah, 1989), hlm. 78
bentuknya,
wujudnya
37
6) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung. d) Syarat Nilai Tukar (Harga Barang) Nilai tukar barang adalah termasuk unsur terpenting, atau biasa disebut dengan uang. Para ulama Fiqih mengemukakan syarat dari nilai tukar (harga barang) yaitu: 1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. 2) Dapat diserahkan pada waktu akad (transaksi), apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya pun harus jelas waktunya.22 3) Jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti dengan yang lain, namun jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak dapat diganti waktu itu, menurut ulama Hanafiyah akadnya batal.23
22 23
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah... hlm.124-125. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah... hlm.90.
38
d. Macam-macam Jual Beli Macam-macam jual beli dapat ditinjau dari beberapa aspek diantaranya : 1. Dari aspek objek transaksinya jual beli dibedakan menjadi empat macam: a) Bai’ Al-muqayadlah atau Bai’ Al’ain bil’ain, yakni jual beli barang dengan barang yang lazim disebut jual beli barter, seperti menjual hewan dengan gandum. b) Al-Bai’ Al-Muthlaq atau Bai’ Al’ain bil’dain, yakni jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual berang dengan tsaman secara mutlak, seperti dirham rupiah atau dolar. c) Ash-Sharf atau Bai’ Al’dain bil’dain yakni menjualbelikan tsaman (alat pembayaran) dengan tsaman lainnya, seperti dinar, dirham, dolar atau alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum. d) As-Salam atau Bai’ Al’dain bil’ain. Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain (tanggungan) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai tsaman, bisa ’ain dan bisa jadi berupa dain namun
37
harus diserahkan sebelum keduannya berpisah. Oleh karena itu tsaman dalam akad salam berlaku sebagai ain.24 2. Sedangkan jika dilihat dari penentuan harganya, akad jual beli dapat dikategorikan menjadi empat macam, yakni: a) Bai’ al Murabahah yakni jual beli mabik dengan ra’s al mal (harga pokok) ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati dalam aka b) Bai’ al Tauliyah yakni jual beli mabik dengan harga asal (ra’s al mal) tanpa ada tambahan harga atau pengurangan. c) Bai’ al Wadhi’ah yakni jual beli barang dengan harga asal dengan pengurangan sejumlah harga atau diskon. d) Bai’ al Musawamah yakni jual beli barang dengan tsaman yang disepakati kedua pihak, kerena pihak penjual cenderung merahasiakan harga asalnya.25 3. Jual beli yang dilarang terbagi menjadi dua: pertama, jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal), yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.26
24
Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 141. 25 Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual... hlm. 142. 26 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fiqih Muamalah (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 71-72.
38
a) Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang termasuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut : 1) Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjual belikan. 2) Jual beli yang belum jelas. 3) Jual beli bersyarat. 4) Jual beli yang menimbulkan kemudaratan. 5) Jual beli yang dilarang karena dianiaya. b) Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait antara lain : 1) Jual beli dari orang yang masih dalam tawar-menawar. 2) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/ pasar. 3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. 4) Jual beli barang rampasan atau curian. 4. Selain itu juga terdapat macam-macam jual beli lainnya, diantaranya: a) Jual beli Istishna’ adalah akad jual beli antara pemesan (mustashni’) dengan penerima pesanan (shani’) atas sejuah barang dngan spesifikasi tertentu (mashnu’), untuk barang–
37
barang industri ataupun properti. Spesifikasi dan harga barang pesanan haruslah sudah disepakati pada awal akad, sedangkan
pembayaran
dilakukan
sesuai
dengan
kesepakatan. Apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. b) Jual beli jizaf yaitu jual beli sesuatu tanpa harus ditimbang, ditakar ataupun dihitung. Akan tetapi jual beli dilakukan dengan cara menaksir jumlah obyek transaksi setelah melihat dan menyaksikannya secara cermat.27
3. Sewa Menyewa (Ijarah) a. Pengertian Sewa Menyewa (Ijarah) Menurut bahasa, ijarah adalah ( بَ ْي ُع ْال َم ْنفَ َع ِةmenjual manfaat). Sedangkan menurut istilah definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih28, adalah: 1) Ulama Hanafiyah
ض ٍ َْع ْق ٌد َعلَى ْال َمنَافِ ِع ِب َعو
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.” 2) Ulama Asy-Syafi’iyah
ض ٍ َْع ْق ٌد َعلَى َم ْنفَ َع ٍة َم ْقصُوْ َد ٍة َم ْعلُوْ َم ٍة ُمبَا َح ٍة قَابِلَ ٍة لِ ْلبَ ْذ ِل َو ْا ِإلبَا َح ِة بِ َعو َم ْعلُوْ ٍم 27 28
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah... hlm. 147. Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah... hlm. 121-122.
38
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.” 3) Ulama Malikiyah dan Hambaliyah
ُ تَ ْملِ ْي ض َ َك َمنَافِ ِع َش ْي ٍء ُمب ٍ ْاح ٍة ُم َّدةً َم ْعلُوْ َمةً بِ َعو
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Jadi ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya
bukan
bendanya.
Namun
ada
pula
yang
mengartikannya sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia. Dan dalam legalitas hukumnya akad ijarah ini tidak diperdebatan di kalangan para ulama.
b. Rukun dan Syarat Ijarah Menurut Jumhur Ulama’, rukun ijarah ada 4 (empat)29, yaitu: 1) Aqid (orang yang berakad) 2) Shighat akad (ijab qabul) 3) Ujrah (upah) 4) Manfaat Sebuah akad sewa dinyatakan sah jika memenuhi syarat-syarat berikut30:
29 30
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah... hlm. 125. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid iv, pengantar Hasan Al-Banna, hlm. 205.
37
1) Orang yang menyewakan dan orang yang menyewa, syaratnya: baligh, berakal dan atas kehendak sendiri. 2) Barang atau benda yang disewakan, syaratnya31: a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa menyewa dan upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya. b) Hendaklah benda-benda yang menjadi objek sewamenyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya. c) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’, bukan hal yang dilarang. d) Barang yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad. Ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan hadist telah terang-terangan membolehkan akad sewa-menyewa. Karena pada dasarnya setiap umat manusia akan saling membutuhkan satu sama lain. Namun, sejalan dengan itu ada beberapa persoalan
tentang
sewa-menyewa
yang
menimbulkan
perbedaan pendapat diantara para ulama, salah satunya yaitu menyewa pohon untuk mengambil buahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa manfaat yang disewakan itu hendaklah 31
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 170
38
jangan sampai mengandung lenyapnya sesuatu berupa zat, tetapi hanya harus semata-mata karena manfaatnya. Ulama yang demikian tidak membolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya, bagitu juga menyewa binatang untuk mengambil bulu dan sebagainya. Sedangkan ulama yang membolehkan berpendapat bahwa sewa-menyewa pohon karena buahnya dapat dianalogikan seperti menyewa seorang perempuan untuk menyusui anak. Berdasarkan surat at-thalaq ayat 6 sudah jelas bahwa AlQur’an membolehkan menyewa perempuan untuk menyusui anak, dengan faedah mengambil manfaat susunya berarti mengambil sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat. 3) Manfaat dari barang yang disewakan, syaratnya: benar-benar berharga dan manfaat itu tidak menghilangkan zat barang yang disewakan. 4) Akad (ijab qabul), syaratnya: menggunakan lafal sewa menyewa,
mudah
dimengerti
kedua
belah
bersambung antara ijab dan qabul. c. Macam-macam Ijarah Ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:32
32
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 85.
pihak
dan
37
1) Ijarah ‘ala al-manafi’, yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam Ijarah ini tidak dibolehkan menjadikan obyeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara’. 2) Ijarah ‘ala al-‘amaal, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. d. Pengembalian Sewaan (Ijarah) Jika
ijarah
telah
berakhir,
penyewa
berkewajiban
mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap, ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong. Jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya. Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.33
33
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 123.
38
B. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu ini dimaksudkan untuk menggali informasi tentang ruang penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini diharapkan tidak tumpang tindih dan tidak terjadi penelitian ulang dengan penelitian terdahulu. Selain itu penelitian terdahulu dapat menjadikan referensi bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini sehingga terjadi penelitian yang saling terkait satu sama lain. Penelitian terdahulu juga dapat dijadikan sebagai acuan oleh peneliti. Dalam penelusuran awal sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji tentang tinjaun hukum Islam terhadap sistem kontrak pohon cengkih. Dari referensi yang peneliti telusuri sudah banyak peneliti atau peneliti sebelumnya yang meneliti tentang jual beli tetapi dengan objek, masalah dan tempat penelitian yang berbeda. Seperti halnya yang telah peneliti temui dalam referensi diantaranya yaitu: 1. Skripsi Agus Muh. As. Ali Ismiyanto, tentang praktek jual beli kacang tanah dengan sistem tebasan di desa Wonomartani kecamatan Ngemplak kabupaten Sleman Yogyakarta studi dari perspektif hukum Islam.34 Dalam praktek jual beli tersebut terdapat unsur gharar ditinjau dari segi obyeknya, adanya ketidakjelasan barang yang akan diperjual belikan.
34
Agus Muh. As. Ali Ismiyanto, “Praktek Jual Beli Kacang Tanah Dengan Sistem Tebasan di Desa Wonomartani Kecamatan Ngemplak Kebupaten Sleman Yogyakarta Studi Dari Perspektif Hukum Islam”, Skripsi, Fakultas Syariah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2001
37
2. Siti Maizah dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa Menyewa Tanah Untuk Produksi Batu Bata di Desa Botomulyo kecamatan Cepiring kabupaten Kendal.penelitian ini membahas bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik sewa, dimana dalam jangka waktu ditentukan si penyewa mengambil tanah sewa sesuka hatinya, artinya volume tanah tidak ditentukan. Dalam penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa praktik sewa menyewa yang dilakukan oleh masyarakat di desa Botomulyo kecamatan Cepiring kabupaten Kendal adalah tidak sah, sehingga masyarakat yang melakukan praktik sewa tanah adalah haram hukumnya.35 3. Skripsi oleh Siti Qomariyah dengan judul Transaksi Jual Beli Kopi Menggunakan Sampel di Ngarip Ulu Tanggamus Lampung dalam Perspektif Hukum Islam, yang menerangkan dalam jual beli tersebut penjual menawarkan kopinya dengan menggunakan sampel yang akan melahirkan kesepakatan dengan pembeli kopi. Dalam transaksi ini dimungkinkan adanya ketidakpastian pada perjanjian yakni objek sampel berbeda dengan objek lainnya.36 4. Anna Dwi Cahyani dengan skripsi yang berjudul Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistem Tebasan di Desa Sidapurna kecamatan Dukuh Turi Tegal, dari penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa faktor-
35
Siti Maizah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa Menyewa Tanah Untuk Produksi Batu Bata di Desa Botomulyo Kcematan Cepiring Kendal”, Skripsi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007 36 Siti Qomariyah, “Transaksi Jual Beli Kopi Menggunakan Sampel di Ngarip Ulu Tanggamus Lampung dalam Perspektif Hukum Islam”, Skripsi, Fakultas Syariah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007
38
faktor yang menyebabkan jual beli bawang merah dengan sistem tebasan masih berlangsung di desa Sidapurna adalah transaksi lebih mudah, tidak berbelit-belit, lebih efektif, hemat biaya, dan yang paling diminati dari sistem ini adalah pembayarannya dilakukan di awal transaksi.37 5. Bagas Nor Rachman skripsi dengan judul Sewa Menyewa Tanah untuk Produksi Batu Bata Pandangan Fikih Lingkungan dan Perundang-undangan, dalam penelitian ini membahas bagaimana pandangan fikih terhadap praktik sewa menyewa tanah untuk produksi batu bata. Praktik di lapangan menggambarkan pengerukan tanah yang dapat mengganggu ekosistem lingkungan yang ada, penelitian ini juga mengungkapkan seberapa jauh hukum yuridis berperan dalam praktik sewa yang dapat membantu memberi solusi secara adil jika dikemudian hari terjadi wanprestasi.38 Sedangkan dalam bahasan skripsi ini berjudul “Tinjauan Ekonomi Syariah Terhadap Jual Beli Dengan Sistem Kontrak Pohon Cengkih Di Desa Kambangan Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah”, ditekankan pada jual beli hasil dari pohon cengkih yang penjualan dan pembeliannya secara tahunan. Dengan kesepakatan apabila telah selesai batas waktunya, pohon cengkih tersebut akan kembali kepada pemiliknya.
37
Anna Dwi Cahyani, “Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistem Tebasan di Desa Sidapurna kecamatan Dukuh Turi Tegal”, Skripsi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010 38 Bagas Nor Rachman, “Sewa Menyewa Tanah untuk Produksi Batu Bata Pandangan Fikih Lingkungan dan Perundang-undangan (Studi Kasus di Dusun Kalinegoro Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang)”, Skripsi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2012