BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis 1. Definisi Tuberkulosis Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis (TB), sebagian besar kuman Mycobacterium Tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai basil tahan asam (BTA), kuman Mycobacterium Tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Mycobacterium Tuberculosis ditularkan dari orang perorang melalui jalan pernafasan, infeksi pada penjamu yang rentan terjadi bila terhirup basilus ini. Jumlah basilus yang dikeluarkan orang yang terinfeksi tidak banyak, diperlukan kontak rumah tangga beberapa bulan untuk penularannya. Penularan infeksi berkaitan dengan jumlah kuman pada sputum yang dibatukkan, luasnya penyakit paru dan frekuensi batuk. (Isselbacher, dkk, 1994). Perjalanan penyakit Tuberkulosis menimbulkan reaksi yang bermacammacam dengan proses penyakit yang setempat, pada tempat masuknya dapat diikuti kelainan pada kelenjar regional dan dapat pula
menyebar
ke semua
organ tubuh dengan menimbulkan kerusakan yang progresif. 2. Patofisiologi Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap selama 1 - 2 jam. tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalan suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan.
Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersinkan oleh makrofag keluar dari cabang trakeo-bronkial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Kuman dapat juga masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Bila kuman menetap dijaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang dijaringan paru-paru akan membentuk sarang Tuberkulosis pnemonia kecil, disebut sarang primer ( Soeparman, 1990). Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis dapat meluas dalam jaringan paru sendiri. Selain itu apabila Tuberkulosis dapat masuk kedalam aliran darah maka dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus, hal ini tergantung kepada keadaan penderita dan virulensi. Melalui aliran darah basil Tuberkulosis dapat mencapai alat tubuh lain seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal, dan lain-lain. Dalam alat tubuh tersebut basil Tuberkulosis dapat segera menimbulkan penyakit, tetapi dapat pula menjadi tenang dulu dan setelah beberapa waktu menimbulkan penyakit atau dapat pula tidak pernah menimbulkan penyakit sama sekali. (Rusepno 1985). 3. Etiologi dan penularan penyakit Tuberkulosis Mycobacterium
merupakan
Tuberculosis
penyakit
dan
infeksi
Mycobacterium
yang Bovis
disebabkan (sangat
oleh jarang
disebabkan oleh Mycobacterium Avium). Mycobacterium Tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch dalam tahun 1882. Basil Tuberkulosis dapat hidup dan virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mad pada suhu 60 derajat celcius dalam 15 - 20 menit. Fraksi protein basil Tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat talian asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Selain Mycobacterium Tuberculosis perlu juga dikenal golongan mycobacterium lain yang dapat menyebabkan kelainan yang menyerupai
Tuberkulosis. Golongan ini disebut Mycobacterium Atipie atau disebut juga Unclassified Mycobacterium. A. Golongan fotokromogen, misalnya, Mycobacterium Kansassi yang dapat menyebabkan penyakit didalam dan diluar paru seperti Tuberkulosis. B. Golongan skotokromogen, misalnya Mycobacterium Serofulaceum
yang
dapat menyebabkan adenitis servikalis pada anak. C. Golongan non fotokremagen, misalnya Mycobacterium Fortoitum yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti Tuberkulosis. D. Golongam rapid grower, misalnya Mycobacterium Fortuitum yang dapat menyebabkan abses. Mycobacterium Smegmantes merupakan saprofit pada smegma (Rusepno, 1985) Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang daya tahannya luar biasa, dan infeksi terjadi melalui penderita Tuberkulosis yang menular. Penderita Tuberkulosis yang menular adalah penderita dengan basil-basil Tuberkulosis didalam dahaknya, dan bila mengadakan exspirasi paksa berupa batuk-batuk, bersin, tertawa keras, akan menghembus keluar percikan-percikan dahak halus (droplet nuclei), yang berukuran kurang dari 5 mikron dan yang akan melayang-layang diudara. Droplet nuclei ini mengandung basil Tuberkulosis. Bilamana hinggap di saluran pernafasan yang agak besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera keluar oleh gerakan cilia selaput lendir saluran pernafasan ini. Tetapi apabila berhasil masuk kedalam alveolus ataupun menempel pada mukosa bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basil-basil Tuberkulosis akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak setempat, maka berhasil suatu infeksi Tuberkulosis. Ada beberapa faktor yang mendapatkan pengaruh transmisi ini. Pertamatama ialah jumlah basil dan virulensinya, semakin banyak basil didalam dahak seorang penderita makin besarlah bahaya penularan. Dengan demikian, para penderita dengan dahak yang sudah positif pada pemeriksaan langsung dengan mikroskop (untuk ini minimal harus ada 100.000 basil dalam I ml sputum).
Cara batuk memegang peranan penting. Kalau batuk ditahan, hanya akan dikeluarkan sedikit basil. Faktor lain ialah cahaya matahari dan ventilasi, karena basil Tuberkulosis tidak tahan cahaya matahari, kemungkinan menular dibawah terik matahari sangai kecil. Ventilasi yang baik yaitu dengan adanya pertukaran udara dari dalam rumah dengan udara segar dari luar, akan dapat mengurangi bahaya penularan bagi penghuni-penghuni lain yang serumah. Dengan demikian, bahaya penularan terbesar terdapat diperumahan-perumahan yang berpenghuni padat dengan ventilasi yang jelek serta cahaya matahari kurang / tidak dapat masuk. (Danusantoso, 2000). 4. Diagnosa dan Manifestasi Klinik Pada stadium dini beberapa orang menunjukkan gejala yang tidak khas seperti kelelahan, lemah, hilang nafsu makan, berat badan menurun berkeringat pada waktu malam dan demam ringan. Selama infeksi berjalan aktif kembali penderita membatukkan sputum yang penuh mukus-mukus nanah, batuk darah dan mengalami sakit dada (Mangku, sitopoe). Untuk menegakkan diagnosis Tuberkulosis anamnesa adanya penularan, gambaran klinik dari penyakit dan pemeriksaan sinar-X sebaiknya dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu. diperhatikan sarana bantu untuk menegakkan diagnosis pasti yaitu tes kulit Tuberculin, menemukan dan membiakkan kuman, senates serologi. Jenis - jenis pemeriksaan untuk mendiagnosis Tuberkulosis : a. Pemeriksaan Radiografik Manifestasi dini dari Tuberkulosis paru-paru biasanya adanya suatu kompleks kelenjar getah bening parenkim pada orang dewasa segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah timbul lesu yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat. b. Tes kulit Tuberculin Dilakukan suntikan intradennal dengan OT (Old Tuberkulin) atau PPD (Purified Protein Derifat). Tes kulit Tuberkulin ini dikenal dengan nama Tes Mantoux. Pada orang yang terinfeksi kuman. Tuberkulosa reaksi kulit lambat yang khas akan terjadi dalam waktu 24 jam. Reaksi ini mula - mula berbentuk sebagai daerah yang mengeras kemerahan dan seringkali diikuti dengan
nekrosis sentral. Reaksi ini tetap bertahan dalam waktu paling sedikit 48 jam dan akan semakin panjang apabila terjadi nekrosis. Reaksi kulit dibaea 48 sampai 72 jam sesudah suntikan dengan bahan antigenik dilakukan. Penafsiran dari tes kulit adalah sebagai berikut: 1. Reaksi positif berarti : a) Infeksi yang aktif sedang berlangsung b) Infeksi lama sudah berhenti c) Pernah mendapat Vaksinasi BCG. d) Reaksi yang lemah merupakan reaksi yang tidak spesifik. 2. Reaksi negatif berarti : a) Tidak ada infeksi b) Fase prealergik infeksi yang baru terjadi c) Infeksi lama yang sudah berhenti berjalan kereaksi negatif d) Fase akhir dari alergi Pemeriksaan Bakteriologik c. Pemeriksaan bakteriologik Yang paling penting untuk Tuberkulosis adalah pemeriksaan sputum. Cara mendiagnosis adalah dengan isolasi dari kuman Mycobacterium Tuberculosis. Mycobacteria tumbuh lambat dan membutuhkan suatu media yang kompleks untuk dapat tumbuh. Mycobacteria akan tumbuh dalam waktu 2 minggu. Koloni yang sudah dewasa akan berwarna krem dan bentuknya seperti kembang kol. d. Tes serologi Tes serologi yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
Tuberkulosis
adalah tes Hemaglutinasi dari Middlebrook-Dubos. Untuk melaksanakan tes ini, sel darah merah tipe O disensitisasi dengan OT dan ditanamkan pada serum penderita. Jika terdapat antibodi maka sel darah merah akan mengalami aglutinasi. 5. Pengobatan a. Terapi obat Pengobatan Tuberkulosis terutama adalah pemberian obat anti mikroba dalam jangka waktu lama obat - obat ini juga dapat digunakan untuk
mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. Agar pengobatan berjalan efektif obat yang diberikan harus mampu mengganggu fungsi vital kuman Tuberkulosis tanpa membahayakan pasien. Penderita Tuberkulosis dengan gejala klinis harus mendapat meminum dua obat untuk mencegah timbulnya strain yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat-obat pilihan adalah isoniazid dengan etambutol atau rifampisin. TABEL 1 TABEL OBAT DAN EFEK SAMPING Nama obat
Efek samping
Isoniazid
Neuritis perifer, Hipersensitifitas, Hepatitis
Rifampizin
Peningkatan enzim-enzim hati, gangguan saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah, diare)
Etambutol
Neuritis optika, kram pada kulit
(Sumber: Sylvia A. Price, 1995) Meskipun antibiotika dan obat lain banyak menolong pengawasan Tuberkulosis namun tidak segera menyembuhkannya dengan segera, oleh sebab itu diit tetap sangat diperlukan dalam perawatan. Diit harus cukup tinggi protein untuk membantu penyembuhan dan cukup tinggi energi (kalori) untuk mengembalikan kehilangan berat badan. (Noor, Zuheid, 1999). Bila nafsu makan sangat rendah cobalah makan makanan dalam porsi sedikit sepanjang hari tetapi frekuensinya sering daripada makan tiga kali sehari dalam jumlah besar dan beristirahat sebanyak mungkin juga diperlukan. (Mangku, Sitepoe, 1996). b. Terapi Diit Macam diit
: Diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP)
Bentuk
: Makanan Biasa
Tujuan
: Memberikan
makanan
secukupnya
untuk
memenuhi
kebutuhan Energi dan Protein yang meningkat guna mencegah dan pengurangi kerusakan jaringan tubuh. Syarat diit: 1). Tinggi Kalori sesuai keadan tubuh untuk mencapai berat badan ideal
2). Tinggi Protein 75-100 gr sehari untuk menggantikan sel- sel yang rusak 3). Cukup mineral dan vitamin a) Mineral Ferum untuk menggantikan Fe yang hilang pada pendarahan dan Kalsium dibutuhkan untuk meningkatkan penyembuhan luka. b) Suplemen Vitamin C, K dan B kornpleks (pada pengobatan dengan Isoniazid ditambah dengan vitamin B6). 4). Makanan mudah cerna 5). Makanan yang boleh diberikan : a) Sumber protein hewani : ayam, daging, ikan, telur, susu, keju. b) Sumber protein nabati : kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tahu, tempe. 6). Makanan yang tidak boleh diberikan : Makanan yang terlalu manis dan gurih yang dapat mengurangi nafsu makan seperti : gula-gula, dodol, cake, tart dan sebagainya. (Soesirah. S, 1990) 6. Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis Terapi pencegahan Tuberkulosis dengan obat anti mikroba merupakan sarana yang efektif untuk mengontrol penyakit, Hal ini merupakan tindakan preventif yang ditujukan baik bagi mereka yang sudah terinfeksi maupun masyarakat pada umumnya. Karena itu, Penduduk yang mempunyai resiko tinggi terkena Tuberkulosis harus dapat diidentifikasi dan untuk menentukan prioritas dalam menerima pengobatan harus dipertimbangkan antara resiko dari terapi dan keuntungan yang dapat diterima oleh individu tersebut.
B. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Kualitas menunjukan adanya semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh termasuk energi dan protein. Sedangkan kuantitas menunjukkan kuantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya bila asupan makanan memenuhi kebutuhan tubuh secara kualitas atau kuantitas. (Sediaoetama, 1996).
Setiap orang perlu energi dan zat gizi sesuai berat badan, tinggi badan, usia dan aktifitas serta ditambah dengan kondisi fisiologisnya seperti dalam keadaan hamil, menyusui dan sakit. Besaran energi dan zat gizi yang dibutuhkan seseorang agar dapat hidup normal secara aktif dan sehat Angka Kecukupan Gizi (AKG). Perbandingan antara besaran energi dan zat gizi yang dikonsumsi dengan AKG akan menghasilkan suatu nilai, biasanya dalam bentuk persen, disebut Tingkat Kecukupan. (Syarief, 1992).
C. Status Gizi Menurut Robinson dan Weighiei (1992) status gizi didefinisikan sebagai berikut : status gizi adalah keadaan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Sedangkan menurut Habicht (1989) memberi definisi status gizi adalah tanda tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh keadaan keseimbangan antara gizi disatu pihak dan pengeluaran organisme dipihak lain, yang terlihat melalui variabel tertentu. Variabel itu selanjutnya disebut indikator, misalnya tinggi badan dan sebagainya. Sumber lain mengatakan status gizi (Nutrition Status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi : a. Faktor langsung Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa status gizi secara langsung ditentukan oleh asupan makanan dan khususnya penyakit infeksi. b. Faktor tidak langsung Banyak faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi diantaranya adalah faktor ekonomi, pertanian, budaya, pendidikan, dan pekerjaan, kebersihan lingkungan serta fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Penilaian Status gizi Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dikerjakan dengan pemeriksaan klinis, antropometri, uji biokimia dan uji biofisika. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung pada prinsipnya adalah bahwa malnutrisi dapat mempengaruhi morbiditas maupun mortalitas beberapa jenis penyakit pada berbagai golongan umur, sehingga angka statistik yang diperoleh dari berbagai jenis penyakit dapat menggambarkan keadaan status gizi golongan tersebut, misalnya tuberkulosis, mortalitas ibu dan bayi lahir, angka harapan hidup dan lain-1ain.
Cara penentuan status gizi yang lain adalah dengan menggunakan rumus. Cara ini digunakan misalnya kalau baku yang ada tidak dapat dipakal misalnya baku WHO-NGHS hanya berlaku sampai usia 18 tahun, sehingga untuk menentukan status gizi orang dewasa diatas 18 tahun digunakan rumus. Langkahnya ialah dengan melakukan pengukuran antropometri yang meliputi berat badan dan tinggi badan, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus lain dikategorikan berdasarkan klasifikasi yang ada. Cara ini dikenal rumus Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu : BB (kg) IMT = ———— TB2 m Untuk klasifikasi dipakai batas ambang sebagai berikut.: TABEL 2 BATAS AMBANG IMT UNTUK ORANG INDONESIA Kategori Kurus
Keterangan
IMT
Kekurangan BB tingkat berat <17,0 Kekurangan BB tingkat ringan 17,0- 18,5
Normal
18.5-2.5,0
Gemuk
Kelebihan BB tingkat ringan 25,0- 27,0 Kelebihan BB tingkat berat
> 27,0
Sumber : 13 pesan dasar gizi seimbang
D. Asupan Energi dan Protein Di Indonesia baik energi maupun protein sebagian besar diberikan oleh bahan makanan pokok, dalam hal ini adalah beras. Karena beras memberikan 70-80% energi maupun protein. Jadi bila konsumsi beras tidak mencukupi, maka akan terjadi defisiensi energi maupun protein. Kenyataan di Indonesia makanan pokok sebagian besar penduduk kerap kali sebagian atau seluruhnya terdiri dan jenis-jenis makanan nabati yang mengandung protein tak Iengkap. Karena itu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan nilai gizi makanan, dengan cara menambahkan makanan hasil produksi setempat yang
dapat mengisi kekurangan asam amino essensial yang terdapat pada makanan yang dimakan sebelumnya. Dalam menentukan berapa besar asupan protein yang seharusnya, pertamatama perlu ditetapkan nilai kecukupan minimalnya. Selanjutnya dianjurkan konsumsi protein yang lebih besar dari nilai minimal ini. Untuk menghasilkan diit yang dapat memenuhi kebutuhan tubuh sebagian protein disarankan berasal dari protein, hewani (susu, telur, keju, ikan, daging) yang terbaik sebagai sumber asam amino essensial (Merye. Beck, 1995). Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses kehidupan. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak dapat digantikan oleh zat- zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara selsel dan jaringan tubuh. Fungsi protein yang lain adalah sebagai pengatur pergerakan penunjang mekanisme tubuh, pertahanan tubuh dan media perambatan impuls syaraf. Selain itu protein juga berfungsi sebagai komponen penyusun struktur tubuh. Apabila terjadi kekurangan protein dalam jangka waktu lama dapat mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh lerhadap penyakit, (Almatsier, 2001) Untuk kebutuhan seseorang terhadap energi tergantung kepada BMR dan kegiatannya. BMR dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, suhu lingkungan, penyakit dan komposisi tubuh. Setiap kelebihan energi yang tidak diperlukan untuk metabolisme akan disimpan menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adipose (Merye. Beck, 1995).
E. Kerangka Teori
Penyakit Penyerta
Status Gizi
Tingkat Kecukupan - Energi - Protein
Lingkungan
F. Kerangka Konsep Tingkat Kecukupan Energi Status Gizi Tingkat Kecukupan Protein
G. Hipotesis 1. Ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi penderita Tuberkulosis 2. Ada hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi penderita Tuberkulosis