BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Etika 2.1.1. Definisi Etika Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), “Etika adalah nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”. Menurut Maryani dan Ludigdo (2001), “Etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur prilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”. Menurut Solomon (2000), “Etika adalah (1) karakter individu, termasuk pengertian orang baik, (2) hukum sosial yang mengatur, mengendalikan, membatasi perilaku kita”. Menurut Suseno (1985), “Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral”. “Etika bukan merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia, memang apa yang tertemukan oleh etika mungkin jadi pedoman
seseorang, tetapi tujuan etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu”. (Poedjawiyatna, 2003) “Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok”. (Keraf, 1998) Etika merupakan aturan yang mengikat secara moral hubungan manusia yang dapat dituangkan dalam aturan hukum, pedoman maupun etika profesional. Beberapa ahli filsafat memandang moralitas sebagai hukum benar salah yang terkait dengan nilai dan prilaku manusia, dan etika adalah studi di bidang tersebut.
Etika atau moral sering
dipertukarkan, merupakan bidang ilmu filsafat dan psikologi, yang digunakan pula dalam dunia bisnis dan profesi akuntan. Menurut Suseno (1985) etika normatif terbagi atas 2 yaitu, tolok ukur pertanggungjawaban moral dan menuju kebahagiaan. Tolok ukur pertanggungjawaban moral meliputi etika wahyu, etika peraturan, etika situasi, dan etika relativisme. Sedangkan etika normatif menuju kebahagiaan meliputi egoisme, pengembangan diri, dan utilitarianisme. Di samping itu, Hardjoeno (2002) membagi jenis etika atas 4 kelompok yaitu, etika normatif, etika peraturan, etika situasi dan relativisme. Pengelompokkan etika normatif dan jenis etika tersebut, juga terdapat dalam multidimensional ethics scale (Cohen et al. 1993) yang
mengembangkan atas 4 dimensi yaitu dimensi justice / relativist, dimensi egoism, dimensi utilitarian, dan dimensi contractualism. 2.1.2. Fungsi Etika Fungsi etika sebagai : a. sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. b. etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. c. orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. 2.1.3. Tuntutan Akan Etika Dan Tolok Ukur Etika Menurut Hoesada (1997), tuntutan akan etika dan tolok ukur etika meningkat disebabkan oleh : 1. Pengungkapan etika pada publik, pengumuman dan media massa (pengaruh terbesar, menurut suatu survei). 2. Kepedulian publik meningkat, kewaspadaan publik meningkat, kesadaran publik meningkat, tekanan sosial baik dalam maupun luar negeri (pengaruh besar). 3. Regulasi pemerintah, intervensi pemerintah dan tuntutan pengadilan akan malpraktek (pengaruh besar). 4. Jumlah dan mutu manajer profesional dan terdidik meningkat. 5. Pengharapan baru akan suatu peran sosial suatu profesi. 6. Kesadaran dunia usaha dan para CEO akan etika bisnis meningkat (pengaruh besar). Menurut Hoesada (1997), tuntutan akan etika dan tolok ukur etika menurun disebabkan oleh :
1. Kerusakan sosial, masyarakat yang longgar, materialisme dan hedoisme meningkat, hilangnya atau menurunnya pengaruh agama, kebutuhan akan kecepatan dan kuantitas, bukan kualitas. 2. Persaingan bertambah berat, gaya hidup, stress merebut sukses. 3. Korupsi, hilangnya kepercayaan dan rasa hormat pada pemerintah, etika sebagai sarana politik. 4. Pengetahuan akan tindakan non etikal meningkat dan menjadi terbiasa oleh media massa. Media massa menjadi penyebab meningkatnya kejahatan. 5. Haus harta, sukses diukur dengan materi, egoisme, dan individualisme. 6. Tekanan laba dari investor dan penyandang dana, harus bertahan untuk tetap hidup. 2.1.4. Etika Profesi Suatu profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional (Agoes, 1996). Tanpa etika, profesi akuntansi tidak akan ada fungsi akuntansi sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap etika profesi adalah akuntan publik, penyedia informasi akuntansi dan mahasiswa akuntansi (Suhardjo dan Mardiasmo, 2002). Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik ini mengikat para anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI. Kode Etik adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan kliennya, antara akuntan dengan sejawat,
dan antara profesi dengan masyarakat (Sihwajoeni, 2000). Terdapat dua sasaran pokok dari kode etik yaitu: pertama kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dari kaum profesional. Kedua kode etik juga bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilakuperilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional (Keraf, 1998). Menurut Keraf, prinsip etika profesi adalah (1) tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan, (2) tanggung jawab terhadap dampak kemasyarakatan umum, (3) keadilan, tak melanggar hak orang lain, (4) otonomi berkode etik. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), prinsip etika profesi adalah : 1. Tanggung Jawab Profesi Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan Publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas Integritas mengharuskan seorang anggota untuk antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. 4. Obyektivitas Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. 5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati,
kompetensi
dan
ketekunan,
serta
mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. 6. Kerahasiaan Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai
atau
mengungkapkan
informasi
tersebut
tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Prilaku Profesional Setiap anggota harus berprilaku yang konsisten dengan reputasi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8. Standar Teknis Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Fakta mengatakan bahwa berprilaku profesional diperlukan bagi semua profesi, agar profesi yang telah menjadi pilihan mendapat kepercayaan dari masyarakat (Media Akuntansi 2002). Hunt dan Vitell (1986:5-16) mengatakan bahwa kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya masalah etika dalam profesinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesinya, lingkungan organisasi atau tempat ia bekerja serta pengalaman pribadinya. 2.1.5. Perilaku Etis Krench dan Krutchfield (1983) dalam Maryani dan Ludigdo (2001), mengatakan bahwa sikap adalah keadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan-
perasaan tertentu dalam menanggapi objek yang terbentuk atas dasar pengalaman-pengalaman. Sikap pada diri seseorang akan menjadi corak atau warna pada tingkah laku orang tersebut. Perilaku etis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum, berhubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat dan membahayakan. Perilaku kepribadian merupakan karakteristik individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karakteristik tersebut meliputi sifat, kemampuan, nilai, keterampilan, sikap, dan intelegensi yang muncul dalam pola perilaku seseorang. Dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan perwujudan atau manifestasi karakteristik-karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan (Maryani dan Ludigdo, 2001). Perilaku etis juga didefinisikan sebagai pelaksanaan tindakan fair sesuai hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Steiner dalam Reiss dan Mitra, 1998). Perilaku etis sering disebut sebagai komponen dari kepemimpinan.
Pengembangan etika
merupakan hal yang penting bagi kesuksesan individu sebagai pemimpin suatu organisasi (Morgan dalam Nugrahaningsih, 2005) Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang meliputi : 1. Faktor personal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu 2. Faktor situasional, yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia sehingga dapat mengakibatkan seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan karakteristik kelompok yang diikuti
3. Faktor stimulasi yang mendorong dan meneguhkan perilaku seseorang Menurut Hoesada (1997) dalam jurnal yang berjudul “Etika Bisnis dan Etika Profesi dalam Era Globalisasi” faktor yang mempengaruhi pada keputusan tidak etis adalah (1) kebutuhan keuangan individu, (2) tak ada pedoman, (3) EQ, perilaku dan kebiasaan, (4) lingkungan tidak etis, dan (5) perilaku atasan. Dari survei tersebut, ternyata pedoman etika (butir 2) menduduki tempat urutan kedua terpenting. Pedoman disini adalah hukum, aturan, berupa petunjuk dan pelatihan pengenalan etika. Lingkungan tidak etis (butir 4) terkait pada teori psikologi sosial, dimana anggota mencari konformitas dengan lingkungan dan kepercayaan pada kelompok. Kepercayaan artinya bila ditemukan perbedaan, ia memutuskan dirinya keliru, kelompoknya benar. Etika tidak terlepas dari hukum urutan kebutuhan (needs theory). Mengambil kerangka berpikir Maslow, maka kebutuhan jasmaniah pokok terpenuhi dahulu, agar dapat merasakan urgensi kebutuhan estrem dan aktualisasi
diri
sebagai
profesional.
Para
responden
Kohlberg
menunjukkan menipu, mencuri, berbohong adalah tindakan etis apabila untuk melanjutkan hidup. Kendala yang mempengaruhi adalah, di satu pihak
Kode
Etik
tak
mempersoalkan
urutan
kebutuhan
dalam
penerapannya, di lain pihak kebutuhan jasmani dapat tak terpuaskan dan dapat dikonversi menjadi bentuk estrem lain.
2.2. Emosi 2.2.1. Pengertian Emosi Crow & Crow (1963) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan hidup. Menurut English & English dalam Yusuf (2003) emosi adalah “A complex feeling state accompanied by characteristic motor and glandular activities” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar motoris). Sarwono (1999) mengatakan emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam). Dari definisi tersebut diatas jelas bahwa emosi tidak selalu jelek. Emosi meminjam ungkapan Rakhmat (1994), merupakan bumbu kehidupan; tanpa emosi, hidup ini kering dan gersang. 2.2.2. Fungsi Emosi Berhubungan dengan fungsi emosi, Coleman dan Mammen (1974, dalam Rakhmat, 1994) menyebutkan, setidaknya ada empat fungsi emosi : 1.
2.
Emosi adalah sebagai pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi, kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami, bereaksi, dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energi kita; marah menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan kita untuk lari, dan sebagainya. Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita dapat diketahui dari emosi kita. Jika marah, kita
3.
4.
mengetahui bahwa kita dihambat atau diserang orang lain, sedih berarti kita kehilangan sesuatu yang kita senangi, bahagia berarti memperoleh sesuatu yang kita senangi, atau menghindar dari hal yang dibenci. Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga membawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Ungkapan emosi dapat diketahui secara universal. Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Kita mendambakan kesehatan dan mengetahuinya ketika kita merasa sehat walafiat. Kita mencari keindahan dan mengetahui bahwa kita memperolehnya ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.
2.2.3. Teori-Teori Emosi 2.2.3.1. Teori Emosi Dua- Faktor Schachter-Singer Teori ini dikenal sebagai teori yang paling klasik yang berorientasi pada rangsangan. Reaksi fisiologik dapat saja sama (hati berdebar, tekanan darah naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan dalam darah, dan sebagainya) namun jika rangsangannya menyenangkan seperti diterima di perguruan tinggi favorit-emosi yang ditimbulkan dinamakan senang. Sebaliknya, jika rangsangannya membahayakan (misalnya, melihat ular berbisa), emosi yang dinamakan takut. Para ahli psikologi melihat teori ini lebih sesuai dengan teori kognisi. 2.2.3.2. Teori Emosi James-Lange Dalam teori ini disebutkan bahwa emosi timbul setelah terjadinya reaksi psikologik. Jadi, kita senang karena kita meloncat-loncat setelah melihat pengumuman dan kita takut karena kita lari setelah melihat ular. Selanjutnya menurut teori ini, emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai
respons terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Emosi menurut teori ini terjadi karena adanya perubahan pada sistem vasomotor (otot-otot). Dengan kata lain, James-Lange, seseorang bukan tertawa karena senang, melainkan ia senang karena tertawa. 2.2.3.3. Teori “Emergency” Canon Teori ini dikemukakan oleh Cannon (1929), seorang fisiologi dari Harvard University. Cannon dalam teorinya menyebutkan bahwa emosi (sebagai pengalaman subjektif psikologik) timbul bersama-sama dengan fisiologik (hati berdebar, tekanan darah naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan dalam darah, dan sebagainya). Teori Cannon ini selanjutnya diperkuat oleh Bard, sehingga kemudian lebih dikenal teori Cannon-Bard atau teori “emergency”. Teori ini mengatakan pula bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan oleh organisme dalam situasi emergency (darurat). Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf simpatis dengan cabang-cabang oranial dan sakral daripada susunan saraf otonom. Jadi, kalau saraf-saraf simpatis aktif, saraf otonom nonaktif, dan begitu sebaliknya. 2.2.4. Pengelompokkan Emosi Emosi dapat dikelompokkan menjadi (Yusuf: 2008,117) : 1. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, diantaranya : a. Perasaan Intelektual, yaitu emosi yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk : 1) rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hal karya ilmiah, 2) rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran, 3) rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus dipecahkan. b. Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perseorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini, seperti a) rasa solidaritas, b) persaudaraan, c) simpati, d) kasih sayang dan sebagainya. c. Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya; a) rasa tanggung jawab, b) rasa bersalah apabila melanggar norma, c) rasa tentram dalam mentaati norma. d. Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian. e. Perasaan Ketuhanan. Manusia dianugerahi insting religius (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, manusia dijuluki sebaga Homo Divinans dan Homo Religius, yaitu sebagai makhluk yang berkeTuhanan atau makhluk beragama. 2.2.5.
Emosi dan Rasionalitas Pengambilan keputusan adalah proses mental rasional tanpa emosi. Emosi merupakan hal yang mengganggu dan membahayakan proses rasional. Dalam penelitian keputusan, rasionalitas sebagian besar dipahami sebagai konsistensi formal yaitu sesuai dengan hukum-hukum probabilitas
dan aksioma-aksioma teori utilitas. Jika orang bersikap rasional, mereka akan membuat pilihan yang optimal (Bechara, Damasio, Tranel, & Damasio, 2000). Namun, bukti yang terkumpul bahwa konsepsi ini mungkin palsu. Tanpa keterlibatan emosi, pengambilan keputusan bahkan tidak mungkin atau mungkin jauh dari optimal (Damasio, 1994). Rasionalitas pengambilan keputusan mungkin benar-benar tergantung pada kemampuan orang untuk membentuk emosi yang sesuai (de Sousa, 1987). 2.3. Ethical Judgement Ethical judgement menyangkut penilaian dari tindakan - tindakan etika seperti yang dibuktikan oleh komponen sensitivitas moral yang lebih dapat dibenarkan secara moral (cukup atau hanya atau secara moral benar atau bagus). Pertimbangan moral adalah mengarah pada pembuatan sebuah keputusan mengenai apakah kebenaran yang pasti dari tindakan secara moral, seperti apa yang seharusnya dilakukan. Proses dari tahapan ini meliputi pemikiran perspektif dari pertimbangan profesionalnya dalam sebuah pemecahan yang ideal untuk sebuah dilema etika (Jones,1991). Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgement, moral thinking), merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral dalam pembuatan keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku
moral yang tampak, tetapi harus melihat kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Jones, 1991). 2.4. Manajemen Laba ( Earnings Management ) 2.4.1. Pengertian Manajemen Laba Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan. Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan tampak baik oleh pihak eksternal. Manajemen laba (earnings management) didefinisikan sebagai berikut : 1. Menurut Scott (2000) , manajemen laba adalah suatu tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu
dengan
tujuan
memaksimisasi
kesejahteraan
pihak
manajemen dan atau nilai pasar perusahaan. 2. Healy dan Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga
menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu. 3. Schipper (1989) mengartikan manajemen laba dari sudut pandang fungsi
pelaporan
pada
pihak
eksternal,
sebagai
disclosure
management, dalam pengertian bahwa manajemen melakukan intervensi terhadap proses pelaporan keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi. 2.4.2. Bentuk – Bentuk Manajemen Laba Bentuk-bentuk pengaturan laba yang dikemukakan oleh Scott (2000) yaitu : a. Taking Bath Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya pergantian direksi. Jika teknik ini digunakan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang akan datang diakui pada periode berjalan. Akibatnya, laba pada periode yang akan datang menjadi tinggi meskipun kondisi tidak menguntungkan. b. Income Minimization Pola meminimumkan laba mungkin dilakukan karena motif politik atau motif meminimumkan pajak. Cara ini dilakukan pada saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan
yang diambil dapat berupa penghapusan (write off ) atas barangbarang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset, dan pengembangan yang cepat. c. Income Maximization Memaksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, selain itu tindakan ini juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. d. Income Smoothing Perusahaan umumnya lebih memilih untuk melaporkan trend pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang meningkat atau menurun secara drastis. e. Timing Revenue dan Expense Recognation Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timing suatu transaksi, misalnya pengakuan premature atas pendapatan. 2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu Dalam melakukan penelitian ini, peneliti berpedoman dari tinjauan teori-teori,
jurnal-jurnal
nasional
kecerdasan emosi dan perilaku etis.
maupun
internasional
mengenai
Peneliti juga menelaah beberapa
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan Kecerdasan Emosi dan Etika seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Nama Peneliti
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Penelitian
Frey
2000
The impact of moral intensity on decision making in a business context
Suatu keputusan akan lebih rendah intensitas moralnya jika keputusan tersebut memiliki konsekuensi negatif jika kebanyakan orang setuju bahwa suatu keputusan itu beretika
Maryani dan Ludigdo
2001
Survei atas faktorfaktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan
Religiusitas adalah faktor yang berpengaruh dominan terhadap perilaku etis akuntan, kecerdasan emosional juga berpengaruh terhadap sikap etis akuntan.
May dan Pauli
2002
The role of moral intensity in ethical decision making
Dimensi dari itensitas moral berhubungan dengan pengakuan isu moral, evaluasi moral (utilitarian, deontological, keadilan prosedural dan keadilan distributif) dan intensi moral.
Lindawati
2003
The moral Moral development reasoning of public merupakan
accountants in the development of a code of ethics
komponen penting yang mempengaruhi moral reasoning seorang akuntan publik.
Rubiyo
2003
Analisis multidimensional terhadap pertimbangan etika bagi praktisi pajak
Unsur-unsur kejujuran, keadilan, moralitas, secara budaya, tradisi dan struktur Multidimensional Ethics Scale (MES) yang lainnya mendukung terhadap dimensi etika sesuai model Cohen et.al yaitu filosofi moral equity, relativisme, kontraktualisme, egoisme, dan utilitarianisme
Tikollah, Triyuwono dan Ludigdo
2006
Pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi
Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi, tetapi secara parsial hanya kecerdasan intelektual yang berpengaruh signifikan serta berpengaruh dominan terhadap sikap etis mahasiswa
akuntasi. Rissyo dan Nurna Aziza
2006
Pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat pemahaman akuntansi, dan kepercayaan diri
Hasil penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pengaruh kecerdasan emosional yang terdiri dari pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial dalam penelitian ini yang memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi.
Frey (2000) melakukan penelitian yang menginvestigasi pengaruh intensitas moral dalam pembuatan keputusan pada para manajer bisnis di New Zealand. Dua skenario digunakan untuk menciptakan manipulasi pada keenam komponen intensitas moral (tinggi atau rendah). Pada penelitiannya dilakukan manipulasi terhadap tiga komponen dari enam elemen intensitas moral, dan menghasilkan fakta bahwa tidak terdapat interaksi yang besar diantara komponen-komponen intensitas moral atau variasi lintas skenario. Suatu keputusan akan lebih rendah intensitas moralnya jika keputusan tersebut memiliki konsekuensi negatif jika kebanyakan orang setuju bahwa suatu keputusan itu beretika.
Penelitian yang dilakukan Maryani dan Ludigdo (2001) bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan serta faktor yang dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku tidak etis akuntan. Hasil yang diperoleh dari kuesioner tertutup menunjukkan bahwa terdapat sepuluh faktor yang dianggap oleh sebagian besar akuntan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Sepuluh faktor tersebut adalah religiusitas, pendidikan, organisasional, emotional quotient, lingkungan keluarga, pengalaman hidup, imbalan yang diterima, hukum, dan posisi atau kedudukan. Sedangkan hasil yang diperoleh dari kuesioner terbuka menunjukkan bahwa terdapat 24 faktor tambahan yang juga dianggap berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etis akuntan dimana faktor religiusitas tetap merupakan faktor yang dominan. May dan Pauli (2002) melakukan riset pada sembilan kelas bisnis di Universitas Midwestern. Setiap partisipan diberikan skenario dan menjawab setiap pertanyaan untuk melihat intensitas moral, proses evaluasi moral, dimensi intensitas moral, dan pengakuan moral. Hasilnya diketahui bahwa dimensi dari itensitas moral berhubungan dengan pengakuan isu moral, evaluasi moral (utilitarian, deontological, keadilan prosedural dan keadilan distributif) dan intensi moral. Konsisten dengan kerangka pembuatan keputusan moral ditemukan bahwa: 1) hubungan intensitas moral - evaluasi moral secara parsial dimediasi oleh pengakuan moral untuk keadilan distribusi dan evaluasi utilitarian, 2) hubungan
pengakuan moral-intensi moral sepenuhnya dimediasi oleh keadilan distribusi dan evaluasi utilitarian, serta 3) hubungan intensitas moralintensi moral secara parsial dimediasi oleh kombinasi dari pengakuan moral dari setiap proses evaluasi moral. Lindawati (2003) menguji peran moral reasoning akuntan publik dalam pengembangan kode etik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa moral development merupakan komponen penting yang mempengaruhi moral reasoning seorang akuntan publik. Hasil lainnya menyatakan bahwa derajat profesionalisme seorang akuntan publik ditentukan oleh tingkat perkembangan moralnya (moral development). Rubiyo (2003) menguji keandalan model penelitian MES dalam menguji perilaku etis praktisi pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur faktor MES memperkuat keberadaan filosofi dimensi etis (moral equity, relativisme, kontraktiualisme, egoisme, dan utilitarianisme) dalam konteks praktek pajak serta mempengaruhi pertimbangan etis para praktisi pajak. Tikollah, Triyuwono, dan Ludigdo (2006) menguji pengaruh langsung komponen-komponen (IQ, EQ, dan SQ) terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa akuntansi pada Universitas Negeri Makassar dan mahasiswa jurusan akuntansi pada Universitas Hasannudin.
Hasil penelitiannya
menunjukkan
bahwa
komponen kecerdasan IQ, EQ dan SQ secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Walaupun demikian,
secara parsial hanya IQ yang berpengaruh signifikan dan dominan terhadap sikap etis mahasiswa, sedangkan EQ maupun SQ secara parsial tidak berpengaruh. Rissyo dan Aziza (2006) mengenai pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat pemahaman akuntansi, kepercayaan diri sebagai variabel pemoderasi. Dalam penelitian ini menggunakan tiga alat analisis, yaitu regresi linear berganda; moderating regression analysis; dan independent sample T-Test. Hasil penelitian tesebut menghasilkan kesimpulan bahwa pengaruh kecerdasan emosional yang terdiri dari pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial dalam penelitian ini yang memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Pada penelitian ini, terlihat adanya perbedaan tingkat pengenalan diri dan motivasi antara mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri kuat dengan mahasiswa dengan kepercayaan diri lemah, sedangkan untuk variabel pengendalian diri, empati, dan keterampilan sosial tidak terdapat perbedaan. 2.6. Hipotesis 2.6.1. Multidimensional Ethics Scale MES menyajikan wawasan mengenai filosofi atau dasar pemikiran yang melatarbelakangi pertimbangan etis. Penggunaan skala ini didasarkan pada premis bahwa individu-individu menggunakan lebih dari satu dasar pemikiran dalam membuat pertimbangan-pertimbangan moral (moral judgements), dan bahwa signifikasi dasar-dasar pemikiran ini berbeda-beda
pada situasi yang berbeda. Penggunaan MES ini menuntut adanya investigasi tidak hanya pada apa yang responden percayai, namun juga pada mengapa dia mempercayainya (Reidenbach dan Robin, 1990). Dalam konteks akuntansi, Cohen et.al (1993) telah memodifikasi skala MES Reidenbach dan Robin menjadi 12 item menggambarkan 5 filosofi moral yaitu : (1) moral equity, (2) deontologi, (3) relativisme, (4) egoisme, dan (5) utilitarianisme. Jadi, lima filosofi tersebut mencakup instrumen Cohen, yang terdiri dari 3 konstruk yang dikemukakan oleh Reidenbach dan Robin (1990), ditambah item-item yang berkaitan dengan egoisme dan utilitarianisme. 2.6.1.1. Filosofi Moral Equity Moral equity menyangkut moral yang ada pada diri seseorang, didasarkan pada konsep jujur (fairness) dan adil (justice) secara keseluruhan
dan
sangat
berpengaruh
terhadap
pemikiran
moral
kontemporer (Rest, 1979). Keadilan (justice) mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa persepsi keadilan dan kejujuran mempengaruhi keinginan akuntan terhadap pertimbangan saran apabila menjumpai pelaporan yang agresif bagi kliennya (Larue dan Reckers, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa dimensi moral keadilan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertimbangan
etis (Rubiyo, 2003). Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan : H1 :
Terdapat pengaruh moral keadilan terhadap ethical judgement akuntan
2.6.1.2. Filosofi Deontologi Filosofi ini memfokuskan pada prinsip-prinsip kebenaran dan kesalahan secara universal dengan mempertimbangkan moralitas suatu tindakan ketimbang tugas-tugas individu, kontrak-kontrak tak tertulis atau kewajiban-kewajiban tak tertulis. Adanya fakta bahwa profesi akuntansi tergantung pada kepercayaan masyarakat membuat para akuntan publik mempunyai
suatu
kewajiban
untuk
memperhatikan
kepentingan
masyarakat. Deontologi berkaitan dengan tanggung jawab terhadap sesama. Pada penelitian Rustiana (2006) mengenai persepsi etika auditor dalam situasi dilema etis akuntansi. Dilema etis dalam penelitian tersebut berupa dua kasus etika yang dikembangkan oleh Cohen et al. (1998) dan digunakan oleh Landry et al. (2004). Kasus pertama mengenai pengakuan volume penjualan oleh manajer penjualan sehingga dapat memperoleh bonus. Kasus kedua mengenai manajer kredit yang menyetujui adanya pinjaman kredit tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kasus pertama auditor memiliki persepsi bahwa tindakan manajer tersebut cenderung melanggar aturan yang tidak tertulis dan melanggar kebijakan yang dianjurkan. Bagi auditor yang telah berpengalaman dan terlatih dalam mengaudit klien, tindakan manajer tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya fraud yang dilakukan oleh pihak manajemen.
Manajemen kurang menjalankan etika yang menjadi kewajiban moralnya sebagai pimpinan perusahaan (aspek deontologi). Pada kasus kedua menunjukkan bahwa para auditor berpersepsi bahwa tindakan manajer kredit tersebut cenderung melanggar kebijakan yang dianjurkan. Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan : H2 :
Terdapat pengaruh moral deontologi terhadap ethical judgement akuntan
2.6.1.3. Filosofi Moral Relativisme Filosofi
ini
mendasarkan
pertimbangan-pertimbangan
pada
diterimanya suatu tindakan pada norma-norma kultural atau sosial. Oleh karena itu etika dilatarbelakangi oleh budaya dimana masing-masing budaya memiliki aturan yang berbeda-beda. Relativisme mengukur suatu sikap seseorang yang mengarah ke prinsip moral dan aturan secara universal. Relativists menolak prinsip dan aturan moral secara universal dan merasakan bahwa tindakan moralitas tersebut tergantung pada individu dan situasi yang dilibatkan (Forsyth, 1992). Mereka menyatakan bahwa filosofi moral berdasarkan pada skepticism/ keragu-raguan (Forsyth, 1992). Seseorang yang rendah relativisme-nya menetapkan bahwa moralitas memerlukan tindakan dalam cara-cara yang konsisten dengan prinsip moral (Ziegenfuss,1999). Shaub, et al (1993) menyatakan bahwa seorang individu yang berorientasi lebih relativisme memberi toleransi peraturan moral yang disepakati bersama dan menganggap masalah etika dapat diinterprestasikan dari persepsi yang berbeda. Sebagai konsekuensinya, relativist yang tinggi mungkin sedikit menyalahkan
kepada individu yang terlibat dalam skandal itu, mengenali perilaku mereka yang mungkin telah dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan : H3 :
Terdapat pengaruh moral relativisme terhadap ethical judgement akuntan
2.6.1.4. Filosofi Moral Egoisme Filosofi ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan adalah etis jika tindakan-tindakan tersebut memperhatikan kepentingan terbaik jangka panjang seseorang. Egoisme merupakan tindakan berusaha memaksimumkan kesejahteraan individu. Penerapan filosofi egoisme ini tampak agak ekstrim, ketika mengarah pada kesimpulan bahwa setiap tindakan adalah etis sepanjang meningkatkan kepentingan pelaku itu sendiri. Penelitian terdahulu mengenai pertimbangan etika bagi praktisi pajak menyatakan bahwa agresivitas wajib pajak terutama memfokuskan pada pengaruh pertimbangan ekonomi seperti kepentingan klien dan sanksi yang mungkin timbul (Brandy et al., 1994, Cuccia, 1994; Duncan et.al., 1989) yang mencerminkan sebuah asumsi pertimbangan egois (diri sendiri) mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam membela klien. Penelitian Cruz (2000) di Amerika berbeda latar belakang dengan budaya di Indonesia, dimana pada umumnya di negara itu lebih menonjol individualisme. Tidak selalu filosofi egoisme mendapatkan simpulan bahwa setiap tindakan adalah etis sepanjang meningkatkan kepentingan pelaku itu sendiri. Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan:
H4 :
Terdapat pengaruh moral egoisme terhadap ethical judgement akuntan
2.6.1.5. Filosofi Moral Utilitarianisme Utilitarianisme menilai tindakan-tindakan pada apakah tindakantindakan tersebut efisien dan memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Sama halnya dengan egoisme, utilitarianisme menilai tindakan-tindakan didasarkan pada hasil (atau konsekuensi) suatu tindakan; walaupun demikian berdasar filosofi ini, manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (bukan bagi praktisi secara individu) benarbenar dipertimbangkan. Baik utilitarianisme dan egoisme adalah bertentangan dengan filosofi moral equity, deontologi, dan relativisme, yang menilai tindakan-tindakan berdasar hasil-hasil mereka secara sendirisendiri. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa orientasi utilitarianisme merupakan moralitas suatu tindakan yang diturunkan dari konsekuensinya. Moralitas adalah fungsi dari manfaat yang diperoleh dan biaya yang timbul dari masyarakat. Oleh karena itu, tindakan moral diarahkan untuk memaksimalkan kesejahteraan sebesar-besarnya dan meminimalkan cost (Muthmainnah, 2006). Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan : H5 :
2.6.2.
Terdapat pengaruh judgement akuntan
Emosi
2.6.2.1. Penyesalan
moral
utilitarianisme
terhadap
ethical
Penyesalan merupakan reaksi sadar dan emosi negatif terhadap tindakan masa lalu pribadi dan perilaku. Penyesalan sering dinyatakan dengan istilah “maaf”.
Penyesalan sering merupakan perasaan sedih,
malu, jengkel, depresi, atau rasa bersalah dan tidak akan dilakukan lagi. Penyesalan dapat menggambarkan tidak hanya tidak suka untuk suatu tindakan yang telah dilakukan, tetapi juga yang penting, penyesalan dapat menggambarkan menyesal tidak bertindak. Banyak orang menemukan diri mereka berharap bahwa mereka telah melakukan sesuatu dalam situasi terakhir. Pengaruh penyesalan terhadap pilihan telah diangkat pada area perilaku konsumen (Inmam et al. 1997 ; Simonson 1992; Tsiros & Mittal 2000). Conolly dan Reb (2004) mengungkapkan bahwa penyesalan mempengaruhi pembuatan keputusan dalam area pilihan perawatan medis. Khususnya, orang tua memilih untuk melakukan vaksinasi atau tidak terhadap anaknya karena rasa penyesalan responden diharapkan untuk merasakan apakah dengan vaksinasi atau tidak vaksinasi menyebabkan hasil yang buruk. Pieters dan Zeelenberg (2005) mempergunakan sebuah studi tiga bagian longitudinal dari pemilih dalam pemilihan nasional di Belanda dan mencatat bahwa penyesalan berdampak pada keputusan voting. Coughlan dan Connolly (2008) mengungkapkan bahwa setidaknya dalam beberapa situasi, penyesalan yang diharapkan berhubungan dengan tindakan tidak tepat yang dapat membantu dalam membuat keputusan untuk memilih alternatif etis. Studi ini mempelajari akibat dua masalah
manipulasi manajemen laba. Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan : H6 :
Terdapat pengaruh rasa penyesalan terhadap ethical judgement akuntan
2.6.2.2. Kelegaan Kelegaan adalah perasaan yang dialami ketika seseorang tidak lagi dibebani oleh situasi yang penuh tekanan (Ortony et.al. 1988). Perasaan lega memotivasi individu untuk bertindak dengan cara tertentu, terutama dalam situasi yang melibatkan ketakutan atau kecemasan, seperti dilema etis. Coye (1986) mengungkapkan bahwa para pengambil keputusan mengalami kecemasan karena mereka menimbang alternatif dan hasil potensial dalam dilema etis. Levy dan Dubinsky (1983) mengungkapkan bahwa mengurangi atau menghindari kecemasan dalam membuat pilihan dapat mengarahkan pada perasaan lega. Coughlan dan Conolly (2008) menemukan bahwa setidaknya dalam beberapa situasi, kelegaan yang diharapkan berhubungan dengan tindakan yang tepat yang dapat membantu dalam proses pembuatan keputusan untuk memilih alternatif etis. Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang diajukan : H7 : Terdapat pengaruh rasa kelegaan terhadap ethical judgement akuntan 2.6.2.3. Kepuasan Oliver (1997) mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Oliver (1997) menyatakan
bahwa kepuasan menggambarkan pemenuhan, mungkin sampai ambang efek yang tidak diinginkan. Menurut Robbins (2007) kepuasan kerja adalah suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini yang seharusnya diterima. Viator dalam Kusmaningrum (2011) menemukan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan kerja dan pengorbanan tinggi. Penelitian Coughlan dan Conolly (2008,350) tidak dapat
mendukung
bahwa
emosi
kepuasan
mempengaruhi
dalam
pengambilan keputusan untuk memilih alternatif etis, meskipun mereka mengandaikan bahwa “nilai dari hasil yang diantisipasi jelas memainkan peran yang substansial dalam banyak keputusan, dan peranan kepuasan yang diantisipasi tidak boleh diabaikan”. Berdasarkan penjelasan diatas hipotesis yang diajukan : H8 : Terdapat pengaruh kepuasan terhadap ethical judgement akuntan
2.7. Kerangka Konseptual FILOSOFI MORAL ETIKA
MORALKEADILAN
H1
MORAL DEONTOLOGI H2 MORAL RELATIVISME H3 MORAL EGOISME H4 MORAL UTILITARIANISME
ETHICAL JUDGEMENT
H5
EMOSI H6
PENYESALAN
H7
KELEGAAN
H8 KEPUASAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Jenis Penelitian Ada beberapa jenis penelitian yaitu : a. Penelitian Deskriptif Penelitian
deskriptif
merupakan
penelitian
yang
berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau