BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Dakwaan a) Pengertian Surat Dakwaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:43). Surat Dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilanyang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan teah didakwakan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan
untuk
dibuktikan apakah benar perbuatan yang dakwaan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggung jawabkan untuk perbuatan itu (A. Soetomo, 1989). Berdasarkan definisi yang diuraikan diatas, terdapat perbedaan satu sama lain namun di balik perbedaannyatersebut terkandung persamaan di dalam intinya. Inti persamaan diatas berkisar pada hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa surat dakwaan merupakan suatu akte. Sebagai suatu akte tentunya surat dakwaan harus mencantumkan anggal tanggal pembuatannya dan tanda tangan pembuatnya. Suatu akte yang tidak mencantukan tanggal dan tanda tangan pembuatnya tidak memiliki kekuatan sebagai akte, meskipun mungkin secara umumdapat dikatakan sebagai surat. 2. Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu mengandung element yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. 3. Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, haruslah dilakukan secara cermat, jelas, dan lengkap,sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan. 4. Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di siding pengadilan. b) Fungsi Surat Dakwaan Surat dakwaan merupakan surat atau akte yang sangat penting kedudukannya dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dilihat dari fungsi yang sedemikian penting, maka surat dakwaan meduduki posisi yang sentral dalam proses penyelesaian perkara di siding pengadilan. Sebagai suatu akta, maka surat dakwaan mempunyai fungsi yang sangat dominan di dalam proses pidana. Fungsi-fungsi surat dakwaan tersebut yakni : a) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatsi ruang lingkup pemeriksaan siding, hal ini berarti : (1) Dalam pemeriksaan sidang, pemeriksaan itu dibatasi oleh fakta-fakta perbuatan yang didakwakan oeh
penuntut umum dalam surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksan siding tersebut. (2) Hakim/Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya harus semata-mata didasarkan pada hasil pemeriksaan dan penilain terhadap fakta-fakta yang didakwakan dalam surat dakwaan. (3) Keseluruhan isi dakwaan yang terbukti di persidangan merupakan
dasar
pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan putusan. (4) Tindak pidana apa yang dinyatakan terbukti di persidangan harus dapat dicari dan ditemukan kembali dalam surat dakwaan. b) Fungsi surat dakwan bagi penuntut umum, hakim dan terdakwa/penasihat hukum. (1) Fungsi surat dakwaan bagi penuntut umum Bagi penuntut umum surat dakwaan merupakan dasar pelimpahan perkara, karena dengan pelimpahan perkara tersebut penuntut umum meminta agar perkara tersebut di periksa dan di putus dalam sidang pengadilan, atas dakwaan yang dilampirkan dalam pelimpahan perkara tersebut. (2) Fungsi surat dakwaan bagi hakim Surat dakwaan bagi hakim merupakan dasar pemeriksaan, membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan tentang bersalah tidaknya terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
(3) Fungsi surat dakwaan bagi terdakwa atau penasihat hukum Bagi terdakwa/penasihat hukum surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan dan oleh karena itulah surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap. Surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat tersebut, akan merugikan hak pembelaan
terdakwa
dan
oleh
karenanya
dapat
dinyatakan batal demi hukum (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:94-95). c) Syarat-Syarat Surat Dakwaan Syarat surat dakwaan dapat dilihat dalam Pasal 143 KUHAP, yang mencantumkan dua syarat untuk memenuhi sebuah surat dakwaan yaitu (Yahya Harahap,2002:391): a) Syarat Formil Syarat formil yang diatur didalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP memuat hal-hal yang berhubungan dengan : (1) Surat dakwaan diberi tanggal dan di tandatangani oleh penuntut umum/jaksa. (2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b) Syarat Materiil Syarat materiil yang diatur didalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP memuat dua unsur yang tidak boleh di lalaikan yaitu : (1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang di dakwakan
(2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delecti dan locus delicti) d) Bentuk Surat Dakwaan Di dalam KUHAP tidak menetapkan bagaimana bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum. Mengenai bentuk-bentuk surat dakwaan adalah merupakan produk yang timbul dari ilmu pengetahuan hukum dan praktek peradilan. Bentuk-bentuk surat dakwaan tersebut adalah sebagai berikut : a) Dakwaan Tunggal/Biasa Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan “tunggal”. Surat dakwaan hanya berisi satu saja dakwaan. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta
tindak
mengandung
fakta
“penyertaan”
(mededaderschap) atau factor concursus maupun faktor “alternatif” atau factor “subsidair”. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal (Yahya Harahap,2002:398). Hal ini berarti
bahwa
mempunyai
penyusunan
sifat
sederhana
surat
dakwaan
yaitu
sederhana
tunggal dalam
perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan penerapan hukumnya. b) Dakwaan Alternatif Surat dakwaan ini didakwakan beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara tindak pidana yang didakwakan. Dakwaan ini digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak
pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak atau ciri yang sama atau hampir bersamaan dan bila belum didapat keputusan tentang tidak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetap hanya satu dakwaan yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. c) Dakwaan Subsidair Susunan dakwaan subsidair ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang parallel atau satu jurusan yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat ringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan ini terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana teringan. Pembuktian dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan terbawah. d) Dakwaan Kumulatif
Bentuk surat dakwaan ini terdapat beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu tehadap yang lain dan
didakwakan
secara
serempak.
Dalam
hal
ini
didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dari kesemua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Tindak pidana yang didakwakan masing-masing berdiri sendiri, tetapi didakwakan secara serempak asal saja pelaku dari tindak pidana itu adalah sama. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masingmasing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. e) Dakwaan Kombinasi atau Gabungan Dakwaan kombinasi adalah merupakan kombinasi dari dakwaan yang berbentuk alternatif dengan dakwaan subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan alternatif, dan sebagainya. Dakwaan ini harus diperhatikan secara teliti mengenai bentuk-bentuk dari kumulasinya, dan jangan sampai upaya untuk mencegah terdakwa lepas dari dakwaan.
Timbulnya
bentuk
ini
seiring
dengan
perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk atau jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum a) Pengertian Penuntut Umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13 menegaskan bahwa: a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan
putusan
pengadilan
yang
telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ( Pasal 1 butir 6a KUHAP ). b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk
melakukan
penuntutan
dan
melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13 KUHAP ). b) Wewenang Penuntut umum Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang di dakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadialan yang berwenang mengadili. Penuntut Umum mempunyai wewenang : a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c) Memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d) Membuat surat dakwaan ( letter of accuasation ); e) Melimpahkan perkara ke pengadilan; f) Menyampaikan
pemberitahuan
kepada
terdakwa
tentangketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentukan; g) Melakukan penuntutan ( to carry out accusation ); h) Menutup perkara demi kepentingan hukum; i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j) Melaksanakan penetapan hakim; c) Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Penuntutan a) Penuntutan
adalah
tindakan
Penuntut
Umum
untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalah hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan; b) Penuntut Umum adalah Jaksa yang di beri wewenang oleh Undang-Undang
untuk
melakukan
penuntutan
dan
melaksanakan penetapan hakim; c) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memporeleh kekuatan hukum yang tetap;
d) Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi rumusan tindak pidana yang
didakwakan
terhadap
terdakwa
berdasarkan
kesimpulan yang ditarik dari hasil penyelidikan dan merupakan dasar pemeriksaan didepan siding pengadilan; e) Suarat Tuntutan adalah Naskah atau Surat yang berisi uraian Penutut Umum mengenai hasil pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan tentang pembuktian berdasarkan surat dakwaan, disertai tuntutan pidana terhadap terdakwa, apabila terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dan apabila dinilai terdakwa tidak terbukti bersalah dituntut untuk dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hokum; f) Tuntutan pidana adalah permintaan Penuntut Umum kepada Pengadilan ( Hakim ) mengenai jenis dan berat / ringannya pidana ( hukuman ) yang dijatuhkan terhadap terdakwa. (HMA Kuffal, 2010:201-202). 3. Pencemaran Nama Baik a) Pengertian Pencemaran Nama Baik Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau
nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah melakukan penghinaan (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24). Di Indonesia, Pasal-Pasal penghinaan ini masih dipertahankan. Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam Undang-Undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah. (Brian
Prastyo,
“Penghinaan
dan
Pencemaran
Nama
Baik”,
http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2008 /04/18/penghinaan-dan-pencemarannama-baik/#more-8 diakses pada hari Rabu tanggal 02 Desember 2015, pukul 19.25 wib). Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan kita publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan kita tersebut sehingga kita bisa mempertanggung jawabkannya. Selain Pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 2008 tentang pencemaran nama baik, dalam kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. b) Bentuk Pencemaran Nama Baik Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Dalam
pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai berikut : a. Penghinaan materiil Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum. b. Penghinaan formil Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah
dengan
cara-cara
kasar
dan
tidak
objektif.
Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup. Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310 ayat [2] KUHP). Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu: (1) Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP) Menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). (2) Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar. (3) Fitnah (Pasal 311 KUHP) Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar. (4) Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP) Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “sundel”, dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya. (5) Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) Dalam
buku
yang
berjudul Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri; b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri (R. Sugandhi, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal 337). (6) Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP) Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya. Oleh karenanya, delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari saksi korban pencemaran nama baik. Dengan kata lain tulisan atau lisan bisa dikatakan mencemarkan nama baik diukur dari bagaimana korban merasa hal tersebut menyerang nama baiknya. Walaupun dalam pembuktiannya nanti hakimlah yang memutuskan. Tindak pidana atas nama baik yan dimaksud melalui lisan yang secara sengaja disiarkan (disebar) atau dipertunjukkan untuk menyerang reputasi atau kehormatan orang lain (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24).
4. Tinjauan tentang Putusan Hakim. a) Kajian tentang Hakim Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia( Bambang Poernomo,1988:30). Menurut ketentuan KUHAP Pasal 1 butir (8) yang dimaksud dengan pengertian hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang yang mengadili. Sedangkan menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam linkungan peradilan umum ,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer ,lingkungan peradilan Tata Usaha Negara ,dan hakim pada pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan tersebut. Dan pada Pasal 19 hakim adalah pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UndangUndang. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa seorang hakim harus memiliki
integritas
dan
,jujur,adil,profesional,
dan
kepribadian
yang
berpengalaman di
tidak
tercela
bidang hukum.
Kebebasan peradilan dan kebebasan hakim merupakan syarat mutlak bagi suatu Negara hukum. Peradilan yang bebas dapat memberikan suatu keadilan tanpa dipengarui oleh kekuatan dan kekuaaan dari pihak manapun dalam bentuk apapun. Kebebasan hakim juga mutlak diperlukan terutama untuk menjamin keobyektifan hukum dalam putusannya,kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan adanya suatu hak-hak istimewa dari para hakim untuk daapat berbuat sebebas-
bebasnya terhadap suatu perkara yang diperiksa karena hakim harus terikat dan tunduk pada hakim . b) Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan Putusan yang dijatuhkan hakim terhdap suatu perkara ,harus benarbenar menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing .Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsurunsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim( Lilik Mulyadi ,2007:193). a) Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan oada fakta –fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan ( Rusli Muhammad,2007 212-220) Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang
bersifat
yuridis
ini
diantaranya
yaitu
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf): (1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan,
dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syaratsyarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). (2) Tuntutan Pidana Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh
Jaksa Penuntut
Umum untuk
dijatuhkan oleh
pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh
Jaksa
Penuntut
Umum
sebelum
sampai
pada
tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut. (3) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia
alami
sendiri
dengan
menyebut
alasan
dari
pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan
mengangkat
sumpah.
Keterangan
saksi
yang
disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. (4) Keterangan Terdakwa Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e, keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. (5) Barang-barang Bukti Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan
menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. b) Pertimbangan Non Yuridis Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa, Memperhatikan ada atua tidaknya perdamaian ,kesalahan, peran korban, Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, Faktor kebdayaan,yaitu sebagi hasil karya cipta dn rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. c) Pertimbangan yang Memberatkan dan Meringankan Seorang
hakim
mempertimbangkan
dalam apakah
menjatuhkan terdakwa
putusan
benar-benar
harus
melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu hakim juga harus mempertimbangkan
juga
hal-hal
yang
memberatkan
dan
meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi
oleh
banyak
hal
yang
dapat
dipakai
sebagai
pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya.
Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. (1) Pertimbangan yang Memberatkan (a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya” Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan
pada
pengulangan
jenis-jenis
tindak
pidana
(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana). (b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan Dalam hal ini yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana yaitu meresahkan masyarakat. (2) Hal-hal yang Meringankan
Menurut
KUHP
alasan-alasan
yang
dapat
meringankan pidana adalah: (a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3)); (b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2)); (c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut: (1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; (2) Pada
kejahatannya
tersebut
tidak
ada
motif
yang
berhubungan dengan latar belakang publik; (3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyealan atas perbuatannya. c) Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana Mengenai jenis putusan hakim ,ada 2 (dua) jenis putusan hakim dalam hukum pidana yang dikenal selama ini, yaitu putusan sela dan putusan akhir. a) Putusan Sela Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat didalam suatu dakwaan. Dalam hal ini berkaitan dengan suatu peristiwa apabila terdakwa atau penasihat hukum mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.
Upaya-upaya hukum dalam hukum acara pidana dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: a. Upaya Hukum Biasa, yang terdiri dari: 1. Pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi; 2. Pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. b. Upaya Hukum Luar Biasa, yang terdiri dari: 1.
Pemeriksaan
tingkat
kasasi
demi
kepentingan
umum,
dimana permohonannya diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya; 2. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri. b) Putusan Akhir Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112). Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: (1) Putusan Bebas (vrijspraak) Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap terdakwa di persidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Putusan bebas ini dijelaskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena: (a)Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh pasal 184 KUHAP, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain; (b)Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi Hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa; (c)Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti (2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag van allerecht vervolging) Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan
Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa
perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) (Ahmad Rifai, 2010: 113). Putusan Pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat Pengadilan
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dasar hukum jenis putusan ini terdapat dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan. (3) Putusan Pemidanaan Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum, maka terhadap terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas : (1)
Pidana Pokok
: Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana
Kurungan, dan Denda; (2)
Pidana Tambahan : Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman Putusan Pengadilan.
5. Tinjauan tentang Eksepsi a) Pengertian Eksepsi Eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada halhal
yang
menyangkut
syarat-syarat
atau
formalitas
gugatan
yang
mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara (M.Yahya Harahap, 2002:418). Berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP pengajuan keberatan adalah hak dari terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada siding pertama yaitu setelah Penuntut Umum membacakan surat dakwaan. Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP. b)
Jenis-Jenis Eksepsi Eksepsi di bagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1) Eksepsi Kewenangan Mengadili (exception of incompetency) adalah pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili. Kewenangan mengadili sendiri terdapat dua jenis yaitu tidak berwenang secara absolut yang didasarkan pada faktor perbedaan lingkungan peradilan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan juga tidak berwenang secara relatif yang didasarkan pada faktor daerah atau wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama. 2) Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur dalam ini terjadi karena tindak pidana yang didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam bahasa latinnya ne bis in idem atau terjadi karena penuntutan yang diajukan telah melampau tenggang
waktu atau daluarsa (soal daluarsa dalam KUHP diatur dalam Pasal 78 – 82) atau terjadi karena terdakwa telah meninggal dunia. 3) Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima, hal ini diajukan bila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil. Apabila tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di pengadilan negeri lain. Apabila orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru (salah orang) dalam artian yang seharusnya diajukan adalah orang lain (dalam hal ini pelaku tindak pidana yang sebenarnya), Apabila bentuk dakwaan yang diajukan tidak tepat dalam hal ini berarti Penuntut Umum keliru dalam merumuskan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 4) Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum, dalam hal ini dakwaan tidak memunhi syarat yang diminta dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP sehingga dianggap kabur, membingungkan, sekaligus menyesatkan yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Ada beberapa sebab yang menyebabkan dakwaan batal demi hukum diantaranya adalah Dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan dimana berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP meminta Jaksa Penuntut Umum untuk membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan tanda tangan, Dakwaan tidak memuat secara lengkap identitas terdakwa yang terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Dakwaan tidak menyebut tempat dan waktu kejadian dimana tindak pidana tersebut terjadi (Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP). Dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai uraian tindak pidana yang didakwakan dalam artian semua unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat, lengkap, dan jelas mengenai cara tindak pidana dilakukan secara utuh.
B. Kerangka Pemikiran Proses Persidangan Perkara Pencemaran Nama Baik Nomor : 276/Pid.B/2013/Pn.Mtr
Penuntut Umum
Hakim
Terdakwa
Surat Dakwaan Kabur / Obscuur Libel
Putusan Sela
Eksepsi
Gambar 1. Kerangka pemikiran Keterangan Kerangka pemikiran tersebut penulis buat untuk menjelasan alur berpikir penulis dalam menyusun Penelitian Hukum ini. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas Proses Persidangan Tindak Pidana Pecemaran Nama Baik Nomor : 276/Pid.B/2013/Pn.Mtr . Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara, Penuntut Umum merupakan pejabat yang berwenang untuk membuat suatu Surat Dakwaan. Mengingat bahwa Surat Dakwaan ini akan menjadi dasar dari Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan hukumannya. Hakim dalam menjatuhkan putusan beracuan pada dakwaan dari Penuntut Umum.
Berdasarkan penjelasan mengenai hal tersebut maka Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan dilakukan secara tidak jelas karena tidak mencantumkan pasal tindak pidananya dan mengakibtkan dakwaan Penuntut Umum dinyatakan oleh Hakim Kabur/Obscuur Libel. Dikarenakan putusan ini merupakan putusan sela yang belum mencangkup pokok perkara maka Hakim memutus Surat DakwaanBatal Demi Hukum dan Terdakwaa bebas dari segala tuntutan.