BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Motivasi
Motivasi adalah sebuah alasan untuk berperilaku. Sebuah motif adalah energi
kuat yang mengaktifkan perilaku dan memberikan tujuan serta arah untuk perilaku
tersebut (Del I. Hawkins 2013). Motivasi adalah apa yang membuat orang
bergerak, kekuatan pendorong untuk semua perilaku manusia (Mittal 2004). Beerli dan Mart mengemukakan (dalam Patricia Oom do Valle 2006) bahwa motivasi adalah kebutuhan yang mendorong individu untuk bertindak dengan cara tertentu untuk mencapai kepuasan yang diinginkan. Dengan definisi-definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah sebuah kekuatan penggerak bagi seseorang dalam melakukan segala sesuatu untuk mencapai keinginannya. Seseorang berperilaku karena memiliki sebuah alasan tertentu. Contohnya, seorang turis yang pergi ke luar negeri untuk membeli sebuah barang yang diinginkannya, dimana barang tersebut hanya ada di negara tujuan tersebut, maka ia memiliki alasan kenapa ia berbelanja hingga ke luar negeri dikarenakan ia ingin membeli produk tersebut. Penting adanya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal (Prabu 2005). 2.1.1 Teori Hirarki Maslow Teori kebutuhan Maslow merupakan salah satu dari teori motivasi yang mana adalah sebuah teori makro yang dirancang untuk menjelaskan sebagian besar perilaku manusia dalam istilah umum.
Gambaran teori Hierarki Kebutuhan Maslow, atas dasar sebagai
berikut menurut Hasibuan (dalam Prabu 2005):
a. Manusia adalah makhuk sosial yang berkeinginan. Ia selalu menginginkan sesuatu yang lebih banyak. Keinginan ini akan
terus-menerus dirasakanan, dan hanya akan berhenti bila akhir
hayatnya tiba.
b. Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivator bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang akan menjadi motivator. Artinya seseorang memiliki motivasi untuk melakukan sesuatu ketika kebutuhan/hal tersebut belum terpenuhi. c. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu jenjang/hierarki, yakni dimulai dari tingkat kebutuhan yang terendah yaitu physicological hingga kebutuhan paling tinggi yaitu self-actualization.
Gambar 2.1: Hirarki Maslow. Sumber: (Del I. Hawkins 2013) 1. Physiological. Makan, air, tidur, dan sampai batas seks adalah motivasi fisiologis (Del I. Hawkins 2013). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan
dasar yang dibutuhkan oleh manusia seperti kebutuhan akan makanan,
minum, tidur, bernapas, buang air besar/kecil hingga kebutuhan manusia
akan seks. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka manusia tidak
membutuhkan kebutuhan tingkat atas lainnya.
2. Safety. mencari keselamatan fisik dan aman, stabilitas, lingkungan yang akrab, dan sebagainya adalah manifestasi dari kebutuhan akan rasa aman
(Del I. Hawkins 2013). Kebutuhan akan rasa aman ini dibutuhkan oleh
setiap manusia untuk melindungi dirinya dari keadaan bahaya. Kebutuhan
ini seperti kebutuhan akan dirinya sendiri, keluarganya dan kerabatnya , kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan akan moralitas serta kebutuhan akan harta.
3. Belongingness. Motif ini tercermin dalam keinginan untuk cinta, persahabatan, persatuan, dan penerimaan kelompok (Del I. Hawkins 2013). Setiap manusia membutuhkan rasa mencintai dan dicintai baik oleh keluarga, teman maupun pasangan hidup, kemudian manusia pun membutuhkan rasa memiliki yang dapat didapatkan dalam sebuah persahabatan dan rasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini membuat mereka merasakan sebuah kehangatan dalam hidup. 4. Esteem. Keinginan untuk status, keunggulan, harga diri, dan gengsi adalah contoh kebutuhan harga diri. Kebutuhan ini berhubungan dengan perasaan individu dari kegunaan dan prestasi (Del I. Hawkins 2013). Kebutuhan ini dibutuhkan manusia untuk memenuhi keinginannya yang tinggi dan mempertahankan harga dirinya, seperti kebutuhan akan prestasi dan diperhatikan orang lain. Contohnya seorang pengusaha sukses ingin memiliki sebuah sebuah tas mewah koleksi Damien Hirst dengan harga setengah milyar untuk memenuhi kebutuhannya agar terlihat statusnya bahwa ia adalah seorang yang kaya raya dan diperhatikan oleh orang banyak. 5. Self-Actualization. Melibatkan keinginan untuk pemenuhan diri, untuk menjadikan semuanya adalah mampu menjadi. (Del I. Hawkins 2013). Kebutuhan ini untuk menjadikan seseorang menjadi yang terbaik sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Seseorang akan membuat sebuah
kreatifitas
menjadikan
dirinya
mampu
berkreasi,
mampu
memecahkan masalah dalam kehidupan serta mudah menerima fakta yang
ada. Hal tersebut membuat seseorang merasa bahwa dirinya adalah orang yang hebat atau mampu dalam segala hal.
2.1.2
untuk
Proses Motivasi Motivasi berkenaan kepada sebuah proses yang memimpin orang
untuk berperilaku seperti yang mereka lakukan (Solomon 2004). Menurut Schiffman dan Kanuk (dalam Suhartanto 2008) proses motivasi dapat digambarkan sebagai berikut.
Pembelajaran terdahulu Kebutuhan, keinginan, dan hasrat yang tidak terpenuhi
Ketegangan
Dorongan
Perilaku
Tujuan atau kebutuhan yang terpenuhi
Proses kognitif
Pengurangan ketegangan
Gambar 2.2: Proses Motivasi. Sumber: Schifman dan Kanuk (dalam Suhartanto 2008) Ketika suatu kebutuhan, keinginan dan hasrat yang belum terpenuhi timbul, seseorang akan merasakan adanya ketegangan (tension) dalam dirinya yang mendorong mereka berusaha untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan tersebut. Tensi atau ketegangan tersebut dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan cara memenuhi dan mengkonsumsi kebutuhan dan
keinginan yang orang tersebut miliki. Ketika keinginan dan kebutuhan
tersebut telah terpenuhi atau telah dikonsumsi, maka adanya pengurangan
ketegangan.
2.2 Pemasaran Pariwisata Menurut Rosenbaum dan Tombak (dalam Malin Sundstrom 2011)
mengemukakan bahwa pariwisata dan perjalanan adalah fenomena global dan memiliki dampak besar pada pengembangan masyarakat pada banyak tingkatan.
Kent et al, Turner dan Reisinger mengemukakan (dalam Malin Sundstrom 2011) permintaan wisata didorong oleh berbagai motif dan salah satu dari mereka adalah belanja, yang mewakili bagian yang signifikan dari pendapatan industri tersebut, serta dari sektor ritel secara keseluruhan. Menurut Macintosh (dalam Yoeti 2006) pariwisata adalah sejumlah gejala dan hubungan yang timbul, mulai dari interaksi antara wisatawan di suatu pihak, perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan kepada wisatawan dan pemerintah serta masyarakat yang bertindak sebagai tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan tersebut. Menurut Oka A. Yoeti (dalam Muljadi 2009) mengemukakan bahwa pemasaran pariwisata (tourism marketing) adalah seluruh kegiatan untuk mempertemukan permintaan (demand) dan penawaran (supply), sehingga pembeli mendapat kepuasan dan penjual mendapat keuntungan maksimal dengan risiko seminimal mungkin. Pemasaran pariwisata adalah upaya mengidentifikasikan kebutuhan dan keinginan wisatawan, serta menawarkan produk wisata yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan dengan maksud agar usaha pariwisata dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada wisatawan (Muljadi 2009). Berdasarkan definisi-definisi
di
atas, penulis
mendefinisikan bahwa
pemasaran wisata adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pariwisata dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan dengan cara menawarkan produk yang diinginkan oleh wisatawan, sehingga dapat memberi kepuasan kepada
wisatawan dan usaha pariwisata mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Ada tiga aspek penting dari produk pariwisata yang perlu mendapat perhatian
dari para pengelola atau pemasar dalam bidang kepariwisataan, yaitu: (Muljadi
2009)
a. Attraction, yakni segala sesuatu baik itu berupa daya tarik wisata alam dan
budaya yang menarik bagi wisatawan untuk datang ke suatu daerah tujuan wisata.
b. Accessibility atau aksesibilitas, artinya kemudahan untuk mencapai daerah tujuan wisata yang dimaksud melalui berbagai media tranportasi berupa udara, laut, atau darat. c. Aminities, maksudnya berbagai fasilitas yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi para wisatawan selama melakukan perjalanan wisata di suatu daerah tujuan wisata. Dengan adanya berbagai macam wisata yang menarik baik itu wisata alam yang indah, wisata kuliner dengan cita rasa tinggi, wisata budaya, wisata bersejarah, serta aksesibilitas yang mudah dijangkau dan adanya berbagai fasilitas yang mendukung kenyamanan bagi para wisatawan selama berwisata, maka dapat membuat wisatawan tertarik berkunjung ke negara tersebut, karena kenyamanan yang akan ia dapatkan selama berwisata. 2.3 Motivasi Turis Berbelanja Menurut Babin et al. (dalam Fathonah 2009) motivasi berbelanja dikategorikan dalam dua aspek yaitu aspek hedonic dan utilitarian. Motivasi belanja secara hedonik lebih mengarah pada rekreasi, kesenangan, intrinsik, dan stimulasi yang berorientasi motivasi. Motif belanja hedonik adalah kebutuhan setiap individu dimana ia merasa senang dan bahagia (Subagio 2011). Jadi motif belanja hedonik lebih mementingkan kepada mencari kesenangan dalam berbelanja untuk memuaskan diri sendiri.
Menurut Hirschman dan Holbrook (dalam Malin Sundstrom 2011), dalam
penelitian konsumen, konsumsi hedonistic telah menjadi salah satu teori alat
untuk menyelidiki mengapa dan bagaimana orang belanja. Menurut Arnold dan
Reynolds (dalam Kim 2006) dengan menggunakan studi kualitatif kuantitatif,
mereka menyelidiki mengenai hedonik, alasan mengapa orang pergi berbelanja, dan menemukan enam kategori dari motivasi belanja, yaitu: 1. Adventure motivation - berbelanja dipandang sebagai sebuah petualangan.
Petualangan berbelanja mengacu pada belanja untuk kegembiraan, petualangan, dan stimulasi. Itu juga mengacu kepada mengalami lingkungan yang berbeda yang merangsang indra. 2. Social shopping – tujuan utama pebelanja (shopper) dalam belanja adalah untuk bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang lain. Belanja sosial menekankan kepada manfaat belanja dengan teman dan keluarga. 3. Gratification shopping - berbelanja digunakan sebagai hadiah. Kepuasan berbelanja mengacu pada belanja sebagai suatu cara untuk menciptakan perasaan positif, untuk merasa lebih baik atau memberikan hadiah istimewa untuk diri sendiri. Dengan arti bahwa dengan berbelanja dapat memberikan hadiah kepada diri sendiri berupa kesenangan dan kepuasan. 4. Idea shopping - berbelanja dilakukan untuk mengetahui informasi terbaru mengenai tren baru, fashion dan produk. Dengan pergi berbelanja, maka orang yang belanja (shopper) dapa mengetahui dengan sendirinya fashion apa yang sedang tren saat ini. 5. Role shopping - shopper mencerminkan kenikmatan yang dirasakan saat berbelanja untuk orang lain dan menemukan hadiah sempurna. Jadi shopper merasakan sebuah kenikmatan yang dirasakan ketika pergi berbelanja dengan orang lain. 6. Value shopping - tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menemukan harga yang murah sekali. Jadi nilai belanja mengacu pada sukacita berburu barang murah, menemukan diskon, dan mencari barang obral.
Menurut Genuend et al (dalam Malin Sundstrom 2011), motif belanja utilitarian adalah evaluasi atas dasar keputusan pembelian yang rasional dan
kebutuhan fungsional dari pelanggan. Babin et al., (dalam Kim 2006) aspek utiliarian dari perilaku konsumen diarahkan ke arah memuaskan kebutuhan
fungsional atau ekonomi, Hirschman & Holbrook (dalam Kim 2006) dan belanja dibandingkan dengan tugas dan nilai yang berbobot pada keberhasilan atau penyelesaian.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motif belanja utilitarian adalah
kebutuhan seseorang yang menggunakan sisi rasionalnya ketika berbelanja. Mereka mementingkan akan keefektifan dan keefisienan dalam berbelanja yang mana berbeda dengan motif hedonik. Mengadaptasi item dari skala yang dikembangkan oleh Babin et al.,& Kim ditemukan dua dimensi dari motivasi utilitarian, diantaranya: (Kim 2006) 1. Efisiensi (efficiency). Efisiensi mengacu pada kebutuhan konsumen untuk menghemat waktu dan sumber daya. 2. Prestasi (achievement). Mengacu pada tujuan dimana berhasil belanja dalam mencari produk tertentu yang telah direncanakan di awal perjalanan. Maka dapat disimpulkan dari dua dimensi tersebut, seseorang berbelanja dengan cara menghemat waktu akan tetapi semua kebutuhan yang telah direncanakan sejak awal perjalanan terpenuhi. Menurut Babin; Bloch & Richins; Sherry; Fischer & Arnold; Hirschman (dalam Kim 2006), berbeda dengan perspektif utilitarian, belanja dipandang sebagai pengalaman positif di mana konsumen secara emosional tetap bisa menikmati pengalaman yang berhubungan dengan kegiatan belanja tanpa memperhatikan dari apakah atau tidak pembelian itu dibuat. Aspek hedonic dari belanja telah didokumentasikan dan diuji sebagai kegembiraan, gairah, sukacita, perasaan gembira (festive), escapism/keadaan memasuki alam khayal, fantasi, petualangan, dll.
Penelitian yang dilakukan oleh Sundstrom dan Lundberg, menyatakan bahwa ada faktor lain yang memotivasi turis dalam berbelanja, yaitu: (dalam Malin
Sundstrom 2011)
1. Association made with the destination. Hal-hal yang berhubungan dengan
tempat tujuan wisata. Hal ini lebih kepada bagaimana pandangan
wisatawan terhadap tempat/negara yang ia kunjungi untuk melakukan
perjalanan wisata belanja.
2. Experience of the destination. Pengalaman wisatawan berbelanja di tempat
tujuan wisata, diantaranya seperti memiliki perasaan yang sangat gembira (delightful), pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan (fun/not fun), pengalaman yang buruk atau tidak buruk (bad/not bad) dan buruk sekali (terrible) ketika berbelanja.
Satisfaction of the destination merupakan salah satu faktor yang memotivasi turis untuk berbelanja (Patricia Oom do Valle 2006). Dengan pengalaman yang telah dirasakan oleh wisatawan dalam berbelanja, maka dicaritahu apakah mereka puas atu tidak dengan berbelanja di tempat tujuan wisata tersebut. Menurut Baker dan Crompton (dalam Patricia Oom do Valle 2006) mendefinisikan kepuasan sebagai keadaan emosional wisatawan setelah merasakan pengalaman selama perjalanan. Menurut Ross dan Iso-Ahola, Noe dan Uysal, Bramwell, Schofield (dalam Patricia Oom do Valle 2006) kepuasan dapat digunakan sebagai ukuran untuk mengevaluasi produk dan jasa yang ditawarkan di tempat tujuan. Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan yang wisatawan alami dalam spesifikasi tempat tujuan adalah faktor yang menentukan wisatawan meninjau kembali untuk berkunjung (Patricia Oom do Valle 2006). Artinya, ketika wisatawan merasakan sebuah kepuasan atau ketidakpuasan akan tempat tujuan wisata yang telah mereka kunjungi, hal tersebut dijadikan tolak ukur bagi wisatawan untuk datang kembali ke tempat tersebut atau tidak. Jika para turis merasakan kepuasan yang mereka alami setelah berbelanja di tempat tujuan
wisata, maka mereka akan datang kembali ketika mereka ingin pergi berwisata. Akan tetapi jika mereka tidak merasa puas akan pengalaman yang telah mereka
alami ketika berada di tempat tujuan wisata, maka para turis tidak akan kembali lagi untuk berwisata ke tempat tujuan wisata tersebut.
Sehingga ketika wisatawan merasakan puas dengan produk yang ia dapat,
puas dengan pelayanan yang ia dapat di retail, sehingga ia akan merasa puas dengan pengalaman berbelanja yang ia alami di tempat tujuan wisata tersebut. Hal ini dapat membuat para wisatawan tersebut datang lagi ke tempat tujuan wisata
tersebut ketika mereka membutuhkan produk yang sama, mereka akan datang lagi untuk membelinya. Menurut Timotius (dalam Malin Sundstrom 2011) saat ini penelitian pada wisatawan yang belanja telah teridentifikasi dalam dua kategori dari wisatawan berdasarkan dasar dari teori motivasi. Pertama, turis berbelanja (shopping tourist) dan kedua, pembelanja pariwisata (tourism shopper). Kategori pertama (shopping tourist) terdiri dari wisatawan yang berbelanja sebagai alasan utama mereka untuk bepergian. Mereka pergi berwisata dengan tujuan memang untuk berwisata belanja. Kategori kedua (tourism shopper) terdiri dari wisatawan yang memiliki alasan lain untuk bepergian, tetapi terlibat dalam kegiatan belanja selama perjalanan. Ketika seorang turis pergi ke suatu negara untuk keperluan lain sebagai tujuan utama mereka, maka mereka meluangkan waktu atau menggunakan waktu luang mereka untuk pergi berbelanja. Jadi, meskipun tujuan utama mereka pergi berwisata bukan untuk belanja, namun mereka menyisipkan kegiatan belanja dalam perjalanan mereka.