BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sapi Bali Sapi bali (Bos sondaicus) telah mengalami proses domestikasi yang terjadi sebelum 3.500
SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup di beberapa lokasi di Pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon serta Bali yang menjadi pusat gen sapi bali. Kekhasan fisik sapi bali berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk dan kaki-kakinya ramping. Secara fisik, sapi bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri yakni warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih “pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. Kepala agak pendek dengan dahi datar. Badan padat dengan dada yang dalam. Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir Sapi Bali jantan dan betina tidak memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983 dan Yupardhi, 2014). Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1% . Bulu sapi bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau. Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam (Yupardhi, 2014; Bamualim dan Wirdahayati, 2002).
Sapi bali termasuk jenis yang disukai oleh para peternak karena berfungsi dwiguna, yakni sebagai sapi pekerja dan juga sapi pedaging, serta mempunyai banyak keunggulan antara lain kesuburannya (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi), mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan dapat bertahan hidup di lahan kritis, selain itu juga mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan, persentase karkas yang tinggi, harga jual yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat. Di Pulau Bali, sapi bali digunakan untuk pariwisata upacara keagamaan seperti acara ”gerumbungan” atau lomba adu sapi dan upacara ”Pitra Yadnya” atau sarana pengantar roh ke surga khususnya sapi Bali yang berwarna putih (Yupardhi, 2014). Khusus untuk sapi bali di Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu penyakit jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal Fever) juga dapat menghasilkan vaksin untuk penyakit jembrana. Selain itu kandungan lemak karkas rendah serta keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Dari berbagai kelebihan tersebut, sapi bali juga memiliki kelemahan walaupun hanya sedikit, diantaranya dapat terserang virus Jembrana yang menyebar melalui media “lalat” dan juga rentan terhadap Malignant Catarrhal Fever ,jika berdekatan dengan domba (Suweta, 1982). Bentuk tubuh sapi bali menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Secara umum ukuran badan sapi bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat dengan urat daging yang kompak, kepala agak pendek, telinga berdiri dan dahi datar. Bulu sapi bali umumnya pendek, halus dan licin. Sapi bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari sapi bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25-30 cm dengan jarak anata kedua ujung tanduk 45-65 cm (Pane, 1990). Ukuran tubuh sapi bali termasuk dalam kategori sedang dimana sapi Bali betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Ukuran tubuh sapi bali juga sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan di daerah pengembangan. Sebagai gambaran umum ukuran tubuh yang dilaporkan dari empat lokasi berbeda (Bali, NTT, NTB dan Sulawesi selatan) diperoleh rataan tinggi gumba antara 122-126 cm (jantan) dan 105-114 cm (betina); panjang badan 125-142 cm (jantan) dan 117-118 cm (betina); lingkar dada 180-185 cm (jantan) dan 158-160 cm (betina). Rataan ukuran tubuh lainnya tinggi panggul 122 cm, lebar dada 44 cm, dalam dada 66 cm, lebar panggul 37 cm (Pane, 1990).
Berat lahir sapi bali untuk anak betina sebesar 15,1 kg dan 16,8 kg untuk anak jantan (Subandriyo et al., 1979) dengan kisaran 12-17 kg (Talib et al., 2003), di Malaysia sebesar 16,7 kg (Devendra et al., 1973) dan Australia sebesar 16-17 kg. Sedangkan berat lahir sapi bali pada pemeliharaan dengan mono kultur padi, pola tanam padi-palawija dan “tegalan” masing-masing sebesar 13,6, 16,8 dan 17,3 kg (Darmaja, 1980). Berat sapih berkisar antara 64,4-97 kg (Talib et al., 2003), untuk sapih jantan sebesar 75-87,6 kg dan betina sebesar 72-77,9 kg (Darmesta dan Darmadja, 1976); 74,4 kg di Malaysia (Devendra et al., 1973); 82,8 kg pada pemeliharaan lahan sawah, 84,9 kg dengan pola tanam padi – palawija, 87,2 kg pada “tegalan” (Darmadja, 1980). Berat pada umur setahun berkisar antara 99,2-129,7 kg (Talib et al., 2003) pada sapi betina sebesar 121-133 kg dan jantan sebesar 133-146 kg. Berat dewasanya berkisar antara 211-303 kg untuk ternak betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Sedangkan pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32-0,37 kg dan 0,28-0,33 kg masing-masing jantan dan betina (Subandriyo et al., 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23-0,27 kg (Nitis, 1976); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25-0,42 kg (Nitis, 1976); pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978). Sapi bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% dan lemak 13-14% (Sukanten, 1991). 2.2
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah tempat untuk menimbun sampah dan
merupakan bentuk akhir perlakuan sampah yang selanjutnya diolah menjadi kompos dan didaur ulang untuk menekan polusi. TPA dapat berbentuk tempat pemerosesan sampah yang membawa sampah ke tempat produksi ataupun tempat yang digunakan oleh produsen. Dahulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan yang akan nanti didaur ulang. TPA seperti ini ditemui di sejumlah negara seperti Indonesia, Malaysia, India dan China. Sejumlah dampak negatif dapat ditimbulkan dari keberadaan TPA. Dampak tersebut bisa beragam: musibah fatal kerusakan infrastruktur (misalnya kerusakan ke akses jalan oleh kendaraan berat); pencemaran lingkungan setempat (seperti pencemaran air tanah oleh kebocoran dan pencemaran tanah sisa
selama pemakaian TPA, begitupun setelah penutupan TPA); pelepasan gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah kaca yang berkali-kali lebih potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat); melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang dioperasikan secara salah; dan gangguan sederhana (misalnya debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara) (Anonim, 2014). Dalam penanganan masalah sampah, pemerintah Kota Denpasar memanfaatkan Tempat pembuangan Akhir (TPA) sampah di Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan seluas 40 Ha. Dari data tahun 2012, sampah yang dihasilkan oleh Kota Denpasar mencapai 800 ton perhari, jumlah timbunan sampah Kota Denpasar adalah sebanyak 1.151.341 m³, sebagian besar adalah sampah domestik yang mencapai 71.14 %. Namun volume sampah yang telah tertangani baru sebanyak 17.270 m³, sehingga banyaknya sampah yang belum terlayani adalah 1.134.071 m³ atau 98.5 %. Mengatasi hal tersebut pemerintah kota bekerjasama dengan masyarakat menerapkan sistem swakelola guna mengatasi masalah penumpukan sampah di TPA tersebut (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, 2014). Suatu jumlah yang sangat besar, yang apabila tidak dikelola dengan baik dan benar sangat berpotensi sebagai bahan pencemar/polutan. Namun demikian dibalik potensi yang besar ini bila dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, khususnya sapi potong maka akan diperoleh keuntungan ganda (multiplier effect) yakni disatu sisi dapat mengurangi terjadinya pencemaran/polusi disisi lain dapat dipakai sebagai pakan sapi potong. Dari pengamatan di lapangan, selain para pemulung, warga sekitar TPA juga memanfaatkan lahan itu untuk memelihara ternak sapi. Saat ini banyak orang yang memelihara dan melakukan upaya penggemukan sapi di areal TPA Suwung. Ribuan sapi terlihat dibiarkan tanpa dikandangkan mencari makan di sela-sela tumpukan sampah. Pemilik sapi-sapi itu, yakni warga yang dekat lokasi TPA dan juga dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Denpasar Selatan antara lain Sesetan, Pegok, Sidakarya, Pemogan, Suwung Kauh, serta Panjer. Kegiatan ini sudah dilakoni warga sejak lama. Di TPA Suwung terdapat ribuan sapi yang hidup dan berkembangbiak di lokasi TPA tersebut dan sudah berlangsung lama dengan memakan segala macam yang mereka temukan. Jadi setiap truk sampah datang untuk menurunkan sampah, maka akan langsung dikerumuni oleh sapi dan pemulung (Anonim, 2014).
Kegiatan penggembalaan sapi di TPA seperti ini sebenarnya hendaklah dihindari karena banyak dampak negatif yang akan dihasilkan. Selain membahayakan sapi terkait terkena penyakit sapi, juga akan menimbulkan risiko bahaya sendiri bagi manusia jika daging sapi itu dikonsumsi. Sangat besar peluang sapi-sapi tersebut untuk terkontaminasi zat-zat berbahaya. Bahkan dikhawatirkan akan mempengaruhi daging sapi yang berdampak membahayakan bagi manusia yang mengkonsumsi daging sapi tersebut. Meskipun sapi dapat memenuhi pasokan makan dan terjadi efek penggemukan, namun dampak negatifnya lebih banyak dari positifnya. Sapi bisa terkontaminasi pestisida atau B3 (bahan berbahaya dan beracun) sehingga menghasilkan daging sapi yang tidak berkualitas. Penggemukan sapi di TPA sebenarnya mungkin saja dilakukan dengan menggunakan bahan sampah sebagai pakan ternak sapi. Namun terntunya harus ada upaya sortir selektif dari tingkat hulu, misalkan hanya sampah yang berasal dari pasar ataupun rumah makan. Itupun sudah terpisahkan khusus hanya jenis sampah organik saja (Tirta, 2014). Sampah yang diangkut ke TPA biasanya dibawa dari Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) yang berada di berbagai tempat. TPS ini menampung sampah dari lingkungan rumah tangga, pasar dan kawasan hunian lain. Sampah jenis ini umumnya bercampur baur satu jenis dengan jenis yang lain. Sampah rumah tangga berupa sampah dapur umumnya masih mendominasi persentase jenis sampah yang terbuang. Jenis sampah inilah yang akan dimakan sapi. Namun demikian sampah ini masih bercampur dengan jenis sampah lain yang nantinya akan diambil oleh para pemulung. Akan tetapi dalam prakteknya percampuran berbagai jenis sampah akan mengakibatkan penyebaran berbagai jenis B3 yang banyak terjadi dalam sampah. Banyak sampah yang dibuang masyarakat begitu saja meliputi obat-obatan kedaluwarsa, bekas insektisida, baterai, plastik dari banyak jenis, styrofoam, dan lain sebagainya. Sampah jenis ini relatif mengandung banyak B3 dan tentunya walaupun tidak dimakan oleh sapi namun proses kontaminasi tetap sangat tinggi (Tirta, 2014).
2.3
Fungsi Hati Hati adalah kelenjar tubuh yang memiliki peranan penting dalam metabolisme tubuh.
Hati terletak di dalam rongga perut dan merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh kita. Hati dilindungi oleh selaput tipis pada bagian luar yang disebut kapsula hepatis. Di dalam hati terdapat kelenjar empedu dan pembuluh darah yang dipersatukan oleh selaput tipis yang disebut
Kapsula Gilson. Sel-sel hati bersatu membentuk lobula terdapat kurang lebih 100 ribu lobula. Masing-masing lobula ini mempunyai panjang diameter antara 0,8 - 2 mm. Antara lobula satu dengan yang lain dipisahkan oleh ruangan – ruangan yang disebut lakuna. Di dalam hati juga terdapat sel-sel histiosit yang berfungsi untuk merombak sel darah merah yang telah tua (Kariadi, 2010). Hati adalah kelenjar tubuh yang juga berfungsi sebagai alat ekskresi, yaitu untuk mengubah zat buangan dan bahan racun untuk dikeluarkan ke dalam empedu dan urin. Selain itu, hati juga berfungsi sebagai berikut ini : 1. Penawarkan Racun Tanpa hati, manusia akan mati terbunuh oleh racun yang masuk ke dalam tubuh. Racunracun tersebut dapat berasal dari zat – zat kimia yang dikonsumsi, asam laktat, dan zat amonia. Salah satu proses metabolisme di dalam tubuh akan memberikan hasil samping berupa asam laktat yang dapat merugikan tubuh. Penumpukan asam laktat ditandai dengan rasa pegal pada otot. Hati akan mengubah asam laktat ini menjadi glikogen yaitu sejenis karbohidrat yang dapat digunakan sebagai sumber energi yang disimpan di dalam otot. Pada proses metabolisme protein akan dihasilkan produk sampingan berupa zat amonia. Zat ini bersifat racun dan membahayakan tubuh. Tetapi kemudian hati mengubahnya menjadi urea dan dikeluarkannya bersama dengan air kencing (Sukanten, 1991). 2. Tempat Pembentukan dan Pembongkaran Sel Darah Merah Hati akan dilewati darah kurang lebih 1,4 liter setiap menit. Pada saat darah melewati hati tersebut maka akan mengalami “pencucian”, sekitar 3 juta sel darah merah mati setiap detik dan ini akan dilebur dan hasil peleburannya akan disimpan untuk didaur ulang sebagai bahan baku dalam membuat sel darah merah baru serta sebagai bahan baku zat empedu (Sukanten, 1991). 3. Tempat Pembentukan dan Pembongkaran Protein Protein larut dalam plasma darah, sekitar 50 gram protein per hari dihasilkan oleh hati (Sukanten, 1991). 4. Mengubah Glukosa Menjadi Glikogen Dengan adanya fungsi hati ini maka kadar gula dalam darah dapat diatur karena kadar gula darah yang tidak tepat akan berakibat fatal bagi tubuh . Pada saat gula darah dalam
tubuh naik maka hati mengubahnya ke bentuk glikogen, dan sebaliknya pada saat gula darah turun, glikogen diubah menjadi glukosa (Sukanten, 1991). 5. Menghasilkan Zat yang Melarutkan Lemak Hati menghasilkan sekitar 0,5 – 1 liter zat empedu setiap hari. Zat inilah yang dapat melarutkan lemak. Telah dijelaskan di depan bahwa sel darah yang mati akan didaur ulang sebagai bahan baku untuk membuat sel darah merah dan zat empedu. Zat empedu ini memiliki pigmen warna merah yang disebut dengan bilirubin dan hijau yang disebut dengan biliverdin. Orang yang mengalami kelainan pada hati, kadang-kadang akan menampakkan kulit dan mata yang berwarna kuning, yang disebut dengan penyakit kuning (jaundice). Ini disebabkan karena pigmen warna empedu keluar berlebihan dan membanjiri peredaran darah (Sukanten, 1991). 6. Untuk Menyimpan Vitamin Hati menyimpan beberapa vitamin yang masuk ke dalam tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Pada saat tertentu ketika tubuh memerlukan maka akan dikeluarkannya. Jenis-jenis vitamin tersebut antara lain vitamin A, D, E, B12 (Sukanten, 1991) 2.4
Fasciola hepatica Fasciola hepatica atau disebut juga Cacing hati merupakan anggota dari Trematoda
(Platyhelminthes). Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan lebar 1 - 1,5 cm (Meriana, 2014). Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak. Cacing ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Cacing ini bersifat hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri atau silang, jumlah telur yang dihasilkan sekitar 500.000 butir. Hati seekor sapi dapat mengandung 200 ekor cacing atau lebih. Karena jumlah telurnya sangat banyak, maka akan keluar dari tubuh ternak melalui saluran empedu atau usus bercampur kotoran. Jika ternak tersebut mengeluarkan kotoran, maka telurnya juga akan keluar, jika berada di tempat yang basah, maka akan menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Larva tersebut akan berenang, apabila bertemu dengan siput Lymnea auricularis akan menempel pada mantel siput (Darmesta, 1976).
Di dalam tubuh siput, silia sudah tidak berguna lagi dan berubah menjadi sporokista. Sporokista dapat menghasilkan larva lain secara partenogenesis yang disebut redia yang juga mengalami partenogensis membentuk serkaria. Setelah terbentuk serkaria, maka akan meninggalkan tubuh siput dan akan berenang sehingga dapat menempel pada rumput sekitar kolam/sawah dan pada tanah yang “becek”/lembab. Apabila keadaan lingkungan tidak baik, misalnya kering maka kulitnya akan menebal dan akan berubah menjadi metaserkaria. Pada saat ternak makan rumput yang mengandung metaserkaria, maka sista akan menetas di usus ternak dan akan menerobos ke dalam hati ternak dan berkembang menjadi cacing muda, demikian seterusnya (Darmesta, 1976 dan Meriana, 2014). Tanda-tanda klinis fasciolosis selalu erat terkait dengan dosis infeksi (jumlah metaserkaria ditelan). Menurut Wijffels (1994) pada domba, sebagai host definitif paling umum, presentasi klinis dibagi menjadi 4 jenis yakni, Akut Tipe I Fasciolosis: dosis infeksi lebih dari 5000 metaserkaria ditelan. Domba tiba-tiba mati tanpa tanda-tanda klinis sebelumnya. Asites, perdarahan perut, ikterus, pucat membran, kelemahan dapat diamati pada domba. Tipe II Fasciolosis akut: Dosis infeksi adalah 1000-5000 metaserkaria tertelan. Seperti di atas, domba mati tapi sebentar pucat menunjukkan, hilangnya kondisi dan ascites. Subakut Fasciolosis: Dosis infeksi adalah 800-1000 metaserkaria tertelan Fasciolosis kronis: Dosis infeksi adalah 200-800 metaserkaria tertelan. Tanpa gejala atau pengembangan secara bertahap dari rahang botol dan ascites (edema perut), kekurusan, penurunan berat badan. Dalam darah, anemia, hipoalbuminemia, dan eosinofilia dapat diamati di semua jenis fasciolosis. Ketinggian aktivitas enzim hati, seperti glutamat dehidrogenase (GLDH), gammaglutamil transferase (GGT), dan laktat dehidrogenase (LDH), yang terdeteksi di fasciolosis subakut atau kronis 12-15 minggu setelah menelan metaserkaria. Diagnosa dapat dilakukan melalui pemeriksaan feses, biopsi hati, USG, pemeriksaan anti bodi dan antigen juga bisa digunakan. Pada hewan, diagnosa intravital didasarkan terutama pada pemeriksaan feses dan metode imunologi. Namun, tanda – tanda klinis, biokimia dan hematologi profil, musim, kondisi iklim, situasi epidemiologi, dan pemeriksaan siput harus dipertimbangkan. Selain itu, telurnya baru terdeteksi dalam feses 8-12 minggu pasca-infeksi. Terlepas dari kenyataan bahwa, pemeriksaan feses masih satu-satunya alat diagnostik yang digunakan di beberapa negara.. Sedangkan diagnosis coprological dari fasciolosis mungkin 8-12 minggu pasca-infeksi (WPI) F. hepatica-antibodi spesifik diakui dengan menggunakan ELISA atau Western blot sejak 2-4
minggu pasca-infeksi. Oleh karena itu, metode ini memberikan deteksi dini terhadap infeksi (Darmesta, 1976).
2.5
Komponen Penyusun Serum Darah
2.5.1 Protein Darah Di dalam darah, serum (blood serum) adalah komponen yang bukan berupa sel darah, juga bukan faktor koagulasi. Serum adalah plasma darah tanpa fibrinogen sehingga akan tetap cair. Serum terdiri atas semua protein (yang tidak digunakan untuk pembekuan darah) termasuk cairan elektrolit, antibodi, antigen, hormon, dan semua substansi exogenous. Rumusan umum yaitu: serum = plasma - fibrinogen - protein faktor koagulasi. Protein darah merupakan salah satu dari tiga jenis protein di dalam tubuh yang terbentuk dari asam amino berupa larutan koloidal di dalam plasma darah. Protein darah tidak mengandung fibrin (bukan merupakan fibrous protein) sehingga dapat terlarut. Total serum protein dalam darah sekitar 7,2 - 8 g/dl, atau sekitar 7% dari volume darah keseluruhan dengan berbagai kegunaan antara lain, sirkulasi molekul lipida, hormon, vitamin dan zat besi, enzim, komponen komplemen, protease inhibitor dan kinin precursor, serta regulasi aktivitas, fungsional non seluler dalam sistem kekebalan. Total serum protein dapat melonjak karena infeksi kronis (termasuk tuberkolosis, disfungsi hati, gejala hipersensitivitas, Sarcoidosis, dehidrasi (diabetic acidosis, chronic diarrhea), Respiratory distress, Hemolisis, Cryoglobulinemia, Alcoholism, leukemia, defisiensi nutrisi, penyakit hati seperti sirosis dan Fascioliasis, diare, serta kehamilan (dilution of protein due to extra fluid held in the vascular system) (Ariyanti 2010). Terdapat dua jenis protein yang utama di dalam serum, yaitu albumin dan globulin. Albumin dibuat di dalam hati, merupakan protein yang paling menonjol dan bermuatan negatif yang terkuat guna mengikat molekul kecil untuk diedarkan melalui darah. Albumin juga berguna untuk menjaga tekanan osmosis darah. Beberapa jenis globulin diproduksi di dalam hati, sementara yang lain diproduksi di dalam sistem kekebalan. Semua jenis serum protein yang lain diproduksi di dalam hati. Arti kata globulin menunjukkan sekelompok protein heterogen dengan berat molekul tertentu yang cukup tinggi, dengan kecepatan terlarut, dan laju migrasi elektroforetik yang lebih rendah daripada albumin. Imbangan normal protein di dalam darah sekitar 6 hingga 7,9 g/dl (Ariyanti 2010).
2.5.2 Albumin Serum albumin, sering disebut albumin merupakan protein dengan jumlah terbanyak di dalam tubuh. Albumin sangat penting demi memelihara tekanan osmosis untuk distribusi fluida tubuh antara intravascular compartment dan jaringan tubuh. Albumin dapat meningkatkan tekanan osmotik yang penting untuk mempertahankan cairan vaskular. Albumin adalah protein darah yang diproduksi oleh hati dan berperan dalam mempertahankan volume darah normal. Tingkat albumin yang rendah terkait dengan sirosis hati. Tingkat normal adalah 3.2-5.0 g/dL. Tingkat albumin (albumin level) adalah kadar albumin (protein yang dibuat di liver) dalam darah yang ditentukan dari pemeriksaaan sampel darah. Tingkat albumin di bawah normal biasanya terkait dengan masalah gastrointestinal (Ariyanti 2010). Penurunan albumin serum dapat menyebabkan cairan berpindah dari dalam pembuluh darah menuju jaringan sehingga terjadi edema. Edema adalah kondisi dimana meningkatnya volume cairan dari luar sel (ekstraseluler) dan di luar pembuluh darah (ekstravaskular) disertai dengan penimbunan di jaringan serosa. Albumin juga berfungsi sebagai pengusung plasma dengan secara tidak langsung mengikat beberapa hormon steroid hydrophobic dan protein pengusung bagi hemin dan asam lemak dalam sirkulasinya. Reaksi dari serum albumin berguna untuk meluruhkan beberapa substansi dari sirkulasi darah melalui jaringan hati, antara lain bilirubin, tiroksin, taurolithocholic acid, chenodeoxycholic acid, digitoksin dan juga heme peptida dari cytochrome C. 60% dari protein di dalam plasma darah, jumlah serum yang melebihi batas normal dapat membahayakan manusia. Prealbumin ditengarai sebagai pengusung hormon tiroksin dari dalam darah menuju ke otak (Ariyanti 2010). Konsentrasi protein total serum pada hewan tersusun oleh albumin, sebesar 35-50%. Rataan konsentrasi albumin tertinggi pada penelitian yang dilakukan pada sapi brahman (3,16±0,31 g/dL) diikuti sapi ongole (3,10±0,42 g/dL), simmental (2,85±0,89 g/dL), limousin (2,78±0,27 g/dL) dan FH (2,62±0,33 g/dL). Apabila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan (Tabel 1), rerata konsentrasi albumin pada sapi FH 8% lebih rendah, limousin 2,5% lebih rendah, brahman 10,8% lebih tinggi, ongole 8,8% lebih tinggi dan simmental sama dengan referensi standar. Rerata konsentrasi albumin pada sub spesies Bos indicus berbeda nyata (P<0,001) bila dibandingkan dengan sub spesies Bos taurus maupun FH (Kaneko et al., 1989) Menurut Jackson (2007), secara fisiologis tidak ada faktor yang dapat meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan konsentrasi albumin umumnya disebabkan oleh naik-turunnya
volume darah. Penurunan konsentrasi albumin dalam darah tidah hanya disebabkan oleh penurunan sistesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ke ekstravaskuler dan asupan protein (Ballmer 2001). Konsentrasi albumin dapat mengalami penurunan pada dehidrasi kronis, penyakit hipotiroid, malnutrisi (defisiensi protein), polidipsi, gejala kerusakan ginjal, protein loosing enterophaty, terbakar, kegagalan fungsi hati, ketidak cukupan hormon anabolik (hormon pertumbuhan), sirosis hati, gagal ginjal akut, malnutrisi berat, preeklampsia, gangguan ginjal, malignansi tertentu, kolitis ulseratif, enteropati kehilangan protein, dan malabsorbsi (Kaslow, 2010).
2.5.3 Globulin Serum globulin adalah istilah umum yang digunakan untuk protein yang tidak larut, baik di dalam air maupun di dalam larutan garam konsentrasi tinggi, tetapi larut dalam larutan garam konsentrasi sedang, mempunyai imbangan 35% dari protein plasma, berguna untuk sirkulasi ion, hormon dan asam lemak dalam sistem kekebalan. Beberapa jenis globulin mengikat hemoglobin, beberapa yang lain mengusung zat besi, berfungsi untuk melawan infeksi, dan bertindak sebagai faktor koagulasi. Globulin terdiri atas lakto globulin, tiroglobulin, serum globulin, terbagi - bagi menurut laju migrasi elektroforesik (Kaslow, 2010). Menurut Harrow et al (1962), Globulin merupakan salah satu golongan protein yang tidak larut dalam air, mudah terkoagulasi oleh panas, mudah larut dalam larutan garam dan membentuk endapan dengan konsentrasi garam yang tinggi. Globulin disusun oleh dua komponen yaitu legumin dan vicilin. Globulin mencakup enam puluh protein yang berbeda, seperti, gamma globulin (antibodi) dan glikoprotein (senyawa protein-karbohidrat), faktor pembekuan dan operator / protein transport (lipoprotein). Globulin membantu melawan infeksi, meningkatkan proses pembekuan darah dan berfungsi juga sebagai protein pembawa hormon. Protein elektroforesis (SPEP) membantu protein yang berbeda yang terpisah sesuai dengan ukuran dan biaya, dan membantu menentukan profil spesifik globulin.
Tabel 2.1 : Kandungan Protein Serum Darah dan Kegunaannya Protein darah
Kadar normal level
%
Kegunaan
Serum albumin
3.5-5.0 g/dl
60%
Immunoglobulin 1.0-1.5 g/dl Fibrinogen 0.2-0.45 g/dl alfa-1 fetoprotein Protein wewenang Sumber : Kaslow (2010)
18% 4% <1%
memelihara tekanan osmosis dan pengusung molekul lain membentuk sistem kekebalan tubuh koagulasi darah mengatur ekspresi genetik
Terdapat kelompok utama dari globulin yakni gamma, β,
α-2
dan αlpha-1 globulin.
Untuk menentukan tingkat kelebihan atau defisit globulin, kelompok normal harus dideteksi. Para gamma globulin membentuk bagian terbesar dari globulin, oleh karena itu, tingkat globulin rendah langsung menunjukkan defisiensi antibodi. Limfosit Mature B dikenal sebagai sel plasma memproduksi antibodi, sedangkan hati memproduksi sebagian besar protein lain dalam pecahan αlpha dan βeta. Tes yang dikenal sebagai “serum globulin elektroforesis” membantu mengukur jumlah globulin dalam darah (Ballmer, 2001).
2.6
Perubahan Metabolisme Protein Serum Albumin dan Globulin Akibat Kerusakan Hati Imbangan albumin:globulin (A:G) adalah perbandingan albumin dengan globulin, yang
merupakan konstituen utama protein yang ditemukan dalam darah. Imbangan yang abnormal terlihat ketika kadar albumin atau globulin meningkat atau menurun. Imbangan abnormal terlihat pada berbagai gangguan, termasuk penyakit ginjal dan hati. Imbangan albumin : globulin merupakan perhitungan terhadap distribusi fraksi dua protein yang penting, yaitu albumin dan globulin. Nilai rujukan albumin : globulin adalah > 1.0. Nilai imbangan yang tinggi dinyatakan tidak signifikan, sedangkan imbangan yang rendah ditemukan pada penyakit hati dan ginjal. Perhitungan elektroforesis merupakan perhitungan yang lebih akurat dan sudah menggantikan cara perhitungan imbangan albumin : globulin (Kaslow, 2010). Penurunan kadar albumin terjadi pada penderita sirosis hati, gagal ginjal akut, luka bakar yang parah, malnutrisi berat, preeklampsia, gangguan ginjal, malignansi tertentu, kolitis ulseratif, enteropati kehilangan protein, malabsorbsi. Perubahan fungsi secara biokimia adalah sama apapun jenis patologik kelainan ini. Terdapat kerusakan yang terpisah dan bervariasi bagi fungsi hati. Kadar bilirubin total plasma mungkin normal atau sedikit meningkat dan sering terdapat
kelebihan urobilinogen di dalam urin tetapi tidak bilirubin. Kadar albumin plasma menurun secara progresif, karena sel hati yang sehat telah diganti dan terdapat peningkatan Ɣ-globulin (gamma globulin). Biasanya ditemukan pola elektroforesa yang khas, karena kelebihan imunoglobulin yang terdapat mempunyai mobilitas yang tinggi dan terdapat fungsi βƔ. Transaminase plasma mungkin hanya meningkat secara moderat kecuali bila sitolisa menghebat. Biasanya fosfatase alkali dan Ɣ-glutamiltransferase plasma sedikit meningkat. Terdapat kelemahan dini bagi clearance bromsulftalein. Kolesterol plasma cenderung rendah disertai pengurangan esterifikasi. Biasanya terdapat koproporfirinuria tipe I. Sering terdapat kelemahan tolenransi glukosa. Biasanya urea plasma rendah tetapi jika ada dehidrasi berat bisa ditemukan kadar normal atau yang sedikit meningkat. Konsentrasi semua protein plasma menurun, terutama faktor pembekuan, kecuali Ɣ-globulin. Hipoglikemia bisa berat serta konsentrasi piruvat dan laktat darah tinggi disertai asidosis (Ballmer, 2001). Tabel 2.2 Konsentrasi Protein Total, Albumin, Globulin dan Imbangan A:G Berdasarkan Bangsa Parameter Bangsa
Protein Total (g/dL)
Albumin (g/dL) Globulin (g/dL) Imbangan A:G
FH (n=16)
9,36a±1,08
2,62a±0,33
6,74a±1,07
0,40a±0,08
Limousin (n=62)
8,51b±0,68
2,78ab±0,27
5,70b±0,99
0,52b±0,16
Simmental (n=63)
8,42b±0,57
2,85b±0,29
5,57b±0,64
0,52b±0,10
Brahman (n=12)
8,13bc±0,43
3,16c±0,32
4,97c±0,42
0,63c±0,11
Ongole (n=7)
7,84c±0,82
3,10c±0,42
4,74c±0,42
0,64c±0,05
5,7-8,1*
2,1-3,6*
2,9-4,9*
0,84-0,94**
Referensi standar
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,001) *) = Referensi standar pada sapi potong (bukan bibit) (Radostits et al. 2007) **) = Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)
1.7
Feses Sapi
Feses atau yang lebih dikenal dengan tinja adalah produk buangan atau absorbsi pakan yang dimakan dan masuk saluran pencernaan hewan yang dikeluarkan melalui anus. Terdiri atas air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris, selulosa, bakteri dan bahan patologis. Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi normal 3 kali per-hari sampai 3 kali per-minggu. Bau khas pada feses disebabkan oleh aktifitas bakteri. Bakteri menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, dan thiol (senyawa yang mengandung belerang) dan juga gas hidrogen sulfida (Wikipedia, 2014). Pada sapi, feses memiliki warna yang bervariasi dari kehijauan hingga kehitaman, tergantung makanan yang dimakan seperti jerami, konsentrat, rumput maupun lainnya. Setelah terpapar udara, warna dari kotoran sapi cenderung menjadi gelap. Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya (Aimirawati, 2013). Feses sapi memiliki kandungan serat yang tinggi serta berbagai kandungan unsur hara makro yang tinggi pula antara lain nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) dan kalsium (Ca) tergantung dari pakan yang dikonsumsinya. Selain serat, feses sapi memiliki kadar air yang tinggi, oleh sebab itu pada feses juga terkandung berbagai bakteri, telur cacing maupun parasit lainnya (Risnandar, 2012).
1.8
Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses Cacingan merupakan salah satu penyakit yang paling sering diderita hampir merata pada
semua ternak ruminansia. Salah satunya pada ternak sapi bali yang dipelihara dengan cara tradisional dan terjadi infeksi lebih banyak pada musim hujan, dimana dapat terlihat dari kenaikan jumlah telur cacing yang ada di dalam feses. Penyakit cacing khususnya cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dapat menghambat produktivitas karena penyakit ini menyebabkan penurunan bobot badan sebesar ± 38% dan angka kematian sampai ±17% terutama pada ternak muda. Kematian umumnya terjadi karena ternak banyak kehilangan darah (Beriajaya dan Suhardono, 1997). Cacing Fasciola hepatica mempunyai siklus hidup yang tidak mampu tumbuh langsung tanpa inang perantara dan melangsungkan keturunannya dengan cara bertelur. Telur tersebut akan keluar dari tubuh ternak bersama feses. Telur cacing dalam feses akan menetas menjadi larva 1, larva 2 dan larva 3 yang disebut juga larva infektif dan siap untuk kembali menginfeksi ternak yang memakannya dalam waktu satu minggu (Soulsby, 1982).
Pada saat ternak mengeluarkan feses, pemeriksaan terhadap telur cacing dapat dilakukan, sehingga dengan memeriksa feses akan mudah diketahui ternak tersebut terinfeksi cacing atau tidak. Telur Fasciola hepatica dalam feses dapat diamati dengan cara pengendapan maupun pengapungan. Pemeriksaan telur cacing dengan cara pengapungan merupakan metoda yang paling praktis dan mudah dikerjakan, yaitu dengan cara melarutkan feses dalam larutan garam jenuh yang mempunyai berat jenis (BJ) 1,2. Metode pengapungan dapat dilakukan dengan cara kualitatif maupun kuantitatif (Kosasih, 1999).