Bab II. Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai tanah wakaf khususnya mengenai masalah pendaftaran dan pengelolaan tanah wakaf dilakukan oleh : 1. Desi Kurniati menyatakan bahwa masalah terjadi karena pengetahuan hukum dari pihak wakif dan nadzir tentang tata cara dan pendaftaran masih kurang serta pengelolaan tanah wakaf yang benar tidak diterapkan. Bahwa pengaturan penggantian harta benda wakaf dapat dilaksanakan dengan cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. (Kurniati, D. Tesis, 2005). 2. Koniyah
menyatakan
penjualan
harta
benda
wakaf
(tanah)
seringkali
dilaksanakan karena tidak ada bukti tertulis/akta otentik yang membuktikan bahwa tanah tersebut adalah benar tanah wakaf. Hal ini disebabkan karena perwakafan dilaksanakan secara lisan.( Koniyah, Tesis, 2001). 3. Abdullah Goffar menyimpulkan bahwa pada kenyataannya proses penunjukkan dan pengangkatan nadzhir tanah wakaf belum tertata dengan baik dan masih berpedoman pada kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Implementasi tanggung jawab
nadzhir
dalam
pendayagunaan
tanah
wakaf
belum
berjalan.
Pendayagunaan tanah wakaf dalam kegiatan ekonomis produktif dengan pendekatan empiris dan pragmatis masih menemui kendala karena belum banyak ahli hukum Islam yang mensosialisikan sehingga dapat dipahami pada kenyataannya nadzhir dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab belum menggunakan pendekatan inovatif.(Goffar, Abdullah : Tesis, 2001). Lebih lanjut diuraikan pula bahwa dalam pengelolaan tanah wakaf sebagian besar nadzhir belum dilengkapi tatanan dan program kerja sebagai arahan dan pedoman dalam rangka mengelola tanah wakaf. (Goffar, Abdullah : Tesis, 2001).
6
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
II.2. Pengertian Wakaf II.2.1. Makna wakaf secara bahasa Wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai, yang berarti menahan sesuatu (Al –Kabisi, Abid Abdullah : 2004). Selanjutnya menurut para ahli fiqih untuk menyatakan terminologi wakaf menggunakan dua kata : habas dan wakaf. Karena itu sering digunakan kata seperti habasa atau ahbasa atau awqafa untuk menyatakan kata kerjanya. Sedangkan wakaf dan habas adalah kata benda dan jamaknya adalah awqaf, ahbas dan mahbus yang artinya adalah mencegah atau melarang. (Qahaf, Mundzir : 2005). Kata al waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian dan merupakan sinonim dari habasayahbisunhabsan yang menurut bahasa adalah juga berarti menahan. Menurut kamus bahasa Indonesia wakaf ialah memperuntukkan sesuatu bagi kepentingan umum sebagai derma atau kepentingan yang berhubungan dengan agama. (Pustaka, Balai : 1988).
II.2.2. Definisi wakaf dalam Islam Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara hukum. Mereka mendefnisikan wakaf dengan definisi yang beragam sesuai dengan perbedaan mazhab (school) yang mereka anut baik dari segi kelaziman dan ketidaklaziman, syarat pendekatan di dalam masalah posisi wakaf maupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan. (Al-Kabisi : 2004). Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada para imam mazhab seperti Hanafy, Maliky, Syafie dan Hambaly. 1. Menurut Hanafy wakaf adalah menahan benda orang yang berwakaf (wakif) dan mensedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. 2. Menurut Maliky wakaf adalah menjadikan manfaat harta sang wakif baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif). 7
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
3. Menurut Syafei wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan barang tersebut terlepas dari milik orang yang mewakafkan serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang dibolehkan oleh agama. 4. Menurut Hanbaly wakaf adalah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya diperuntukkan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Berdasarkan beberapa pengertian di atas wakaf yang dikemukan tersebut terlihat jelas bahwa mereka memiliki substansi pemahaman yang serupa yakni bahwa wakaf adalah menahan harta atau menjadikan harta bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan agama.
II.2.3. Definisi wakaf dalam perundang-undangan Barat Sekalipun tidak mengenal istilah wakaf dan habas, orang-orang Barat mempunyai wakaf dengan beberapa sebutan. Dalam kamus New Palgrave Dictionary of Money and Finance dinyatakan bahwa yang membedakan antara persekutuan wakaf (charity trust) dan yayasan (foundation) yang tidak berorientasi pada keuntungan. (non profite corporation) adalah tidak adanya hak hukum bagi siapa pun atas keuntungan yayasan. Adapula yang menyebutkan istilah endowment yaitu setiap harta benda yang diberikan kepada yayasan social. Pemberian harta ini adakalanya untuk digunakan sesuai keperluan yayasan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. (Qahar, Mundzi : 2004). Sedangkan kata foundation dalam kamus Stroud Judical, yang berarti adanya harta yang dititipkan atau dimiliki oleh badan hokum dan hasilnya dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Dalam kamus Oxford kata foundation artinya harta yang dikhususkan organisasi selamanya. Dalam sistem Anglo Amerika dikenal suatu bentuk pengelolaan dengan istilah the trust. Institut Hukum di Amerika menjelaskan bahwa the trust adalah hubungan yang 8
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
berkaitan dengan sejumlah kekayaan (harta benda), di mana hubungan kepercayaan menetapkan serangkaian aturan bagi pihak pemberi modal yang mengarah pada pengelolaan kekayaan oleh pihak lain. Sedangkan, hubungan kepercayaan tersebut dibangun atas dasar keinginan untuk merealisasikan hubungan itu sendiri. (Al Kabisi, 2004). Jika merunut lebih jauh ke belakang peraturan perundang-undangan Barat lembaga wakaf telah disinyalir dalam undang-undang Inggris tentang kegiatan sosial kemasyarakatan pada tahun 1601, dimana wakaf bisa diketahui dari definisi yang disebut sebagai kegiatan sosial. (Qahar, Mundzi : 2004).
II.2.4. Wakaf dalam perundang-undangan Indonesia. II.2.4.1. Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam di Indonesia Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas bahwa selama berabad-abad yang lalu hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum yang dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri yakni Al Quran dan al Hadist. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu akan sangat tergantung kepada komposisi besar kecilnya komunitas umat Islam dan seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaranajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan bermasyarakat itu. Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar bukan hanya dari para ulama saja namun juga dukungan penguasa politik yakni raja-raja dan sultan-sultan.
9
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Adapun di pulau Jawa ada di Jogjakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon. Semua kerajaan dan kesultanan tersebut telah memberikan tempat yang penting bagi hukum Islam. Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, jika di tempat tersebut tidak ada kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat karena daerah ini dalam pengaruh kekuasaan VOC. Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian. Pada umumnya mereka beragama Islam, mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuan tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka itu di kampung halamannya masing-masing agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Kemudian mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru. Pada abad ke 18, pemerintah kolonial Belanda mencatat ada 7 (tujuh) masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan museum Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu maka Belanda melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer. Kompilasi ini tidak hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya yang diambil dari buku-buku fikih beraliran Syafii, tetapi menampung juga berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi dan diberlakukan di tanah Jawa.
10
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren. Di Jawa, kita menyaksikan adanya benturan-benturan antara hukum Islam dan dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktek. Benturan antara hukum Islam dan Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni walaupun di Minangakabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu. Fenomena tersebut tidak hanya ditemui di Jawa dan Minangkabau saja, benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Namun proses menuju harmonisasi secara damai mulai terusik ketika ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi, kemudian mereka menyebutnya hukum adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya. Hasil telaah akademis ini mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak lepas dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak, sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapatlah kiranya dimengerti jika pemerintah Hindia Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sinilah lahir ketentuan pasal 113 jo pasal 163 Indische Staatsregeling yang tegas-tegas menyebutkan berlaku tiga jenis hukum yakni hukum Belanda untuk orang Belanda dan hukum Adat bagi golongan Timur Asing (Cina dan India) dan bagi bumiputera berlaku hukum Adat suku mereka masing-masing. Hukum Islam tidak lagi dianggap sebagai hukum terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat bukan Islam. Inilah yang disebut oleh Professor Hazairin atau Snouck H. sebagai teori
11
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
contrario reseptcio. Belakangan teori ini menjadi perdebatan sengit di kalangan ahliahli hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia sampai jauh hari kemudian. II.2.4.2. Wakaf lembaga Islam yang masuk dalam hukum Nasional Lembaga wakaf sebenarnya sudah sering dilaksanakan oleh masyarakat di Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan, hal ini tentu dapat dipahami karena adanya keterkaitan sejarah masuknya ajaran Islam ke Indonesia sejak abad ke 11 serta banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Indonesia seperti kerajaan Pasai, Demak, Mataram Islam dsb. Sekalipun pelaksanaan wakaf adalah bersumber dari ajaran Islam, namun wakaf seolah-olah merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa perwakafan adalah masalah hukum adat Indonesia. (Azhar Bashir, 1977). Sejak dahulu praktek wakaf ini telah diatur dalam hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Menurut Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam ketentuan pelaksanaan dan pengaturan mengenai wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kurun waktu : 1. Periode sebelum kemerdekaan. 2. Periode sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. 3. Periode setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. I.Periode sebelum kemerdekaan Adapun peraturan perundangan tentang wakaf sejak jaman kolonial Belanda dimuat dalam : 1. Surat Edaran Sekretaris Governemen Pertaman tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435, termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6195 tentang Toezich op den bouw van Muhammadaansche bedehuizen. 2. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 4 Januari 1931 Nomor 1361/A, yang dimuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/A Toezich van de regeering op Muhammadaansche bedehuizen, vrijdagdiensten en wakafs. 3. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1934 Nomor 13990, yang isinya 12
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
memberikan wewenang kepada Bupati untuk menyelesaikan perkara jika terjadi perselisihan atau sengketa tentang tanah-tanah wakaf. 4. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A yang dimuat dalam Bijblad 1935 Nomor 13480. II.Periode setelah kemerdekan sebelum PP No. 28 Tahun 1977 Peraturan-peraturan tentang wakaf tanah yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda sejak Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 masih terus diberlakukan berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 : “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.” Untuk menyesuaikan dengan kondisi kemerdekaan maka negara Republik Indonesia telah dikeluarkan beberapa petunjuk tentang wakaf, yaitu petunjuk dari Departemen Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-Petunjuk Mengenai Wakaf. (Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2007 : 5). Untuk selanjutnya perwakafan ini menjadi wewenang bagian D (ibadah sosial), Jawatan Urusan Agama. Pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan Surat Edaran Nomor 5/D/1959 tentang prosedur Perwakafan Tanah.. Ketentuan lain yang mengatur tentang wakaf ditemukan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada pasal 49 yang berbunyi : 1.
Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2.
Untuk keperluan peribadatan dan keperluan lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai la ngsung oleh negara dengan hak pakai.
3.
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
13
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
III. Periode setelah berlakunya PP Nomor 28 Tahun 1977. Berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat 3 UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Sebagai pertimbangan dikeluarkannya PP nomor 28 Tahun 1977 tersebut dinyatakan sebagai berikut : 1. Bahwa wakaf adalah lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 2. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan caracara perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan. 3. ... dan seterusnya. Pada tanggal 27 Oktober 2004 telah diundang oleh pemerintah
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, tidaklah diragukan lagi bahwa kaidah-kaidah hukum Islam mengenai wakaf telah ditransformasikan ke dalam hukum positif atau nasional. Sehingga ketika hukum positif itu telah disahkan maka yang berlaku adalah hukum nasional kita tanpa menyebutkan lagi sumber hukumnya. II.4.3.Tata Cara Sertipikasi Tanah Wakaf Calon wakif yang hendak mewakafkan tanah harus datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf (Pasal 9 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977 jis). Untuk mewakafkan tanah miliknya Calon Wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada Nadzir yang telah diserahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf dan dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk tertulis menurut bentuk W.1. Bagi mereka yang tidak mampu menyatakan kehendaknya secara lisan. Dapat menyatakan dengan isyarat. Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama (Pasal 9 {3}) PP 28 Tahun 1977. Bentuk dan isi ikrar wakaf telah ditentukan dalam peraturan Direktorat Jenderal 14
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78. Calon Wakif yang tidak dapat datang dihadapan PPAIW, membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan dibacakan kepada Nadzir dihadapan PPAIW, yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi-saksi (Pasal 5 ayat (2) PP 28 Tahun 1977, jis Pasal 2 Permenag No. 1 Tahun 1978). Dalam penjelasan Pasal 9 PP No. 28 Tahun 1977 dijelaskan bahwa pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan untuk keperluan penyelesaian sengketa dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertipikat/kitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan isi ikrar wakaf perlu diseragamkan (penjelasan Pasal 9 PP 28/77). Pasal 9 PP. 20 Tahun 1977 menentukan bahwa pelaksanaan ikrar dan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dianggap syah, jika dihadiri dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, sehat akalnya dan oleh hukum tidak terlarang untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 4 Permenag No. 1 Tahun 1978). Segera setelah ada ikrar wakaf PPAIW, membuat Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.2. rangkap 3 (tiga) dan salinannya menurut bentuk W.2.a. rangkap 4 (empat). Tanah yang hendak diwakafkan baik seluruhnya ataupun sebagian harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik, dan harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa. Pasal 9 ayat 5 PP No. 28 Tahun 1977 menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar seperti yang dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) suratsurat berikut: (a) Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya. (b) Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa. (c) Surat 15
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
keterangan pendaftaran tanah. (d) Izin dari Bupat /Walikota cq. Kepala Pertanahan setempat (Pasal 9 ayat {5}). Setelah akta ikrar wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota cq. Kepala Kantor Pertanahan setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan (Pasal 10 PP No. 28 Tahun 1977). Permohonan harus disampaikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 bulan sejak dibuatnya akta ikrar wakaf (Pasal 3 Permendagri No. 6 Tahun 1977). Bupati/Walikota cq. Kepala Kantor Pertanahan setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1), mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya. Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuat sertifikatnya. Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya, maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada orang yang mau mendaftarkannya, maka Kepala Kelurahan/Desa tempat tanah tersebut harus mendaftarkannya kepada KUA setempat. Pendaftaran harus disertai: (a) Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Kelurahan/Desa tentang perwakafan tanah tersebut. (b) Dua orang yang menyaksikan ikrar wakaf atau saksisaksi istifadhah (yang mengetahui atau mendengar tentang perwakafan). Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf harus: (a) Meneliti keadaan tanah wakaf; (b) Meneliti dan mengesahkan Nadzir; (c) Meneliti saksi-saksi; (d) Menerima penyaksian tanah wakaf; (e) Membuat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf; (f) Membuat salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf; (g) Menyampaikan Akta Pengganti Ikrar Wakaf lembar kedua kepada Bupati/Walikota cq. Kepala Kantor Pertanahan setempat sebagai lampiran permohonan pendaftaran; (h) Mengirimkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf lembar ketiga kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf; (i) Menyampaikan salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf lembar pertama kepada Wakif atau ahli warisnya. Biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf, untuk penyelesaian administrasi perwakafan tanah di KUA Kecamatan termasuk formulir tidak dikenakan, kecuali bea meterai menurut ketentuan yang berlaku. Untuk penyelesaian pendaftaran dan perwakafan tanah di Kantor Kantor 16
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Pertanahan setempat tidak dikenakan biaya, kecuali biaya pengukuran dan biaya meterai menurut ketentuan yang berlaku. II.3. Jenis Wakaf & Syarat Harta Wakaf Menurut Monzer Kahf jenis wakaf ada 3 berdasarkan kepentingannya yaitu 1. Reliogous waqh atau wakaf untuk ibadah. 2. Philantropic waqh atau wakaf untuk kepentingan social kemasyarakatan. 3. Posterity waqh atau family waqh atau wakaf untuk kepentingan keluarga. Sedangkan dalam beberapa literatur pembagian wakaf dapat ditinjau menurut : 1. Bentuk manajemennya
wakaf yang dikelola oleh wakif sendiri
wakaf yang dikelola oleh orang lain yang ditunjuk.
wakaf yang hilang dokumennya sehingga hakim menunjuk seseorang untuk mengelola harta wakaf tersebut.
Wakaf yang dikelola oleh pemerintah.
2. Wakaf berdasarkan keadaan wakif
wakaf orang-orang kaya.
Wakaf tanah pemerintah berdasarkan keputusan penguasa atau hakim.
Wakaf yang dilakukan atas dasar wasiat.
3. Wakaf berdasarkan substansi ekonominya
wakaf langsung
wakaf produktif
4. Wakaf berdasarkan bentuk hukumnya
wakaf umum
wakaf khusus atau wakaf keluarga
wakaf gabungan
5. Wakaf berdasarkan tujuannya yaitu :
wakaf air minum
wakaf sumur dan sumber mat air di jalan-jalan yang biasa dilalui lalu lintas jamaah.
Wakaf jalan dan jembatan untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
Wakaf khusus untuk bantuan fakir miskin dan orang-orang bepergian.
Wakaf sekolah dan universitas serta kegiatan ilmiah lainnya. 17
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Wakaf asrama pelajar dan mahasiswa
Wakaf pelayanan kesehatan.
Wakaf pelestarian lingkungan hidup.
Syarat bagi seorang wakif yang akan melaksanakan wakaf yang harus dipenuhi adalah : 1. Berakal 2. Dewasa 3. Tidak dalam tanggungan, boros dan bodoh. 4. Atas kemauan sendiri 5. Merdeka Sedangkan syarat yang harus dipenuhi terhadap harta wakaf adalah : 1. Harta wakaf itu memiliki nilai (harga) 2. Harta wakaf itu jelas bentuknya 3. Harta wakaf merupakan hak milik dari wakif 4. Harta wakaf dapat berupa benda tetap seperti tanah dan bangunan maupun benda tidak tetap/bergerak. II.4. Tugas dan peran nadzir & perubahan penggunaan tanah wakaf. II.4.1. Tugas dan peran nadzir Setelah tanah diwakafkan maka masih banyak harus dilaksanakan oleh seorang nadzhir dan tugas pertama yang harus dilaksanakan adalah melindungi tanah wakaf tersebut. “The first duty of muttawali (nadzhir) is to preserve the property of waqh ...” (Kahf, Monzher). Kemudian barulah dilanjutkan dengan tugas-tugas lainnya “... then to maximize the revenues of the beneficiaries.” Kehadiran nadzir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakf sangatlah penting. Pengangkatan nadzhir bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus sehingga wakaf tersebut tidak sia-sia. Sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf, mempunyai
kedudukan penting dalam perwakafan.
Sedemikian pentingnya
18
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
kedudukan nadzir dalam perwakafan sehingga berfungsi tidaknya harta benda wakaf tergantung dari nadzhir itu sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menegaskan kewajiban nadzhir mengurus dan mengawasi harta wakaf dan hasilhasilnya dan untuk membuat laporan secara berkala atas semua kekayaan wakaf ke Kantor Urusan Agama setempat. Hal ini jelas bahwa tugas aspek administrasi dan aspek manajemen tanah wakaf sebenarnya telah ditentukan oleh pemerintah kepada nadzhir. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kedudukan nadzir sangat penting karena di tangan merekalah berhasil tidaknya pemanfaatan tanah wakaf, sebab tanggung jawab kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada para penerima wakaf tersebut. Menurut Eri Sudewo persyaratan minimal lembaga nadzhir harus mempunyai tiga syarat yaitu : 1. Syarat moral
paham tentang hukum wakaf, ZIS baik dalam tinjauan syariah maupun perundang-undangan Republik Indonesia.
Jujur, amanah, adil dan ihsan sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan penyaluran manfaat harta wakaf.
Tahan godaan terutama menyangkut perkembangan usaha.
Pilihan sungguh-sungguh dan suka tantangan.
Cerdas emosi dan spiritual.
2. Syarat manajemen
Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.
Visioner
Cerdas secara intelektual, social dan pemberdayaan
Profesional dalam bidang pengelolaan harta.
3. Syarat bisnis
Mempunyai keinginan
Mempunyai pengalaman atau dan siap untuk dimagangkan.
Punya ketajaman melihat peluang bisnis sebagaimana layaknya entrepreuner.
19
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
II.4.2. Perubahan/peenggantian penggunaan tanah wakaf Permasalahan dalam pengelolaan tanah wakaf seringkali dihadapi oleh nadzir adalah tuntutan untuk mengembangkan harta wakaf tanpa harus mengabaikan fungsi dan tujuan wakaf sendiri. Berdasarkan hal itulah maka ketentuan perubahan penggunaan dan status tanah wakaf dalam rangka pengelolaan tanah wakaf harus diperhatikan. Meskipun ada beberapa pendapat menurut para ahli hukum Islam (Hambaly, Maliki dan Hanafy) yang memperbolehkan adanya perubahan penggunaan dan status tanah wakaf namun supaya tidak terjadi benturan atau masalah serius maka perubahan penggunaan dan status tanah wakaf dalam hokum nasional tidak boleh dilaksanakan secara pragmatis atas pertimbangan ekonomi dan kepentingan tertentu semata. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Peraturan Pelaksana Wakaf, aturan mengenai perubahan penggunaan dengan cara tukar menukar (ruislag) dan status tanah wakaf dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan. 1. Memperoleh ijin tertulis dari Menteri Agama atas pertimbangan dari Badan Wakaf Indonesia 2. Tanah pengganti mempunyai bukti sertipikat dan mempunyai nilai yang sepadan. Lebih jauh dijelaskan dalam pasal 49 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 izin dari Menteri hanya diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 2. harta benda wakaf tidak dapat digunakan sesuai dengan ikrar wakaf 3. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagmaan secara langsung dan mendesak Selain dari pertimbangan di atas izin pertukaran harta benda wakaf berdasarkan ayat 49 pasal 3, hanya dapat diberikan jika : 1. harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. nilai dan manfaat harta benda sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. 20
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
II.4.3. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Manusia dan pembangunan adalah dua hal yang akan selalu berhubungan, tiada kegiatan atau pembangunan yang tidak membutuhkan tanah sebaliknya tanah tiada akan bermanfaat jika tidak ada kegiatan yang diusahakan oleh manusia. Kebutuhan akan tanah setiap saat selalu bertambah seiring dengan laju pertumbuhan manusia itu sendiri, serta jenis kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Sementara itu di sisi lain kenyataan bahwa luas tanah tidak bertambah yang berakibat pada semakin mahal harga tanah. Di pihak pemerintah permasalahan muncul pada saat pemerintah akan melaksanakan proyek pembangunan namun menghadapi kendala pada keterbatasan lahan yang akan digunakan untuk pembangunan. Tuntutan pembangunan untuk kepentingan umum senantiasa terkendala masalah keterbatasan lahan. Untuk itu perlu suatu solusi yang inovatif untuk mengatasi hal ini. Salah satu fasilitas umum yang cukup besar membutuhkan lahan yang luas adalah TPU (tempat pemakaman umum). Pengadaan tanah untuk tempat pemakaman menghadapi kendala karena pihak pemerintah sendiri tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk membeli lahan baru. Semakin menyempitnya luas lahan TPU di kota besar dalam suatu jangka waktu tertentu akan menimbulkan masalah seperti penanganan pemakaman bagi warga kota, kesesuaian dengan tata ruang kota dan konflik-konflik kepentingan lainnya terutama masalah penguasaan dan kepemilikan tanah itu sendiri. Salah satu penyebab semakin membesarnya kebutuhan luas lahan TPU dipengaruhi jumlah kematian warga penduduk di suatu wilayah. Tidak ragu lagi jika semakin tinggi jumlah kematian suatu kota atau daerah maka semakin besar pula kebutuhan akan lahan TPU tersebut. Di samping itu faktor lainnya adalah kepadatan penduduk. Meskipun tingkat harapan hidup manusia dewasa ini menunjukkan kecenderungan semakin tinggi namun angka kematian juga relatif besar. Di satu sisi permintaan lahan untuk kegiatan pembangunan bagi manusia yang masih hidup terus meningkat namun
21
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
di lain pihak kebutuhan lahan untuk pemakaman juga harus tetap diperhatikan. Prinsip keseimbangan dalam masalah ini harus diperhatikan. Definisi pengadaan tanah sendiri adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Ketentuan mengenai pengadaan tanah telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 juncto Nomor 65 Tahun 2006. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 ayat 1 bahwa kriteria atau cakupan pengadaan tanah untuk kepentingan umum : 1. Dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 2. Dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pada penelitian ini akan diurai mengenai masalah kebutuhan lahan untuk tempat pemakaman umum di DKI Jakarta serta solusi alternatif pengadaan tanah untuk TPU dengan memanfaatkan mekanisme wakaf tanah menurut Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Peneliti akan membahas dari sisi pemerintah sebagai pihak penyelenggara kebijakan publik, swasta sebagai mitra penyelenggara pelaksana kebijakan publik dan masyarakat umum. Penelitian mengarah kepada aspek pendaftaran dan pengelolaan tanah wakaf agar dapat dikelola dengan efektif dan efisien.
22
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/