5
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1. Definisi E-Learning Terdapat berbagai definisi mengenai e-learning. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut : 1.
E-learning adalah proses belajar yang difasilitasi dan didukung melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (Martin Jenkins dan Janet Hanson, Generic Center, 2003).
2.
E-learning didefinisikan sebagai konten instruksional atau pengalaman pembelajaran yang diberikan atau dimungkinkan oleh teknologi elektronik (The Commision on Technology and Adult Learning, 2001).
3.
E-learning merupakan pemberian pembelajaran, pelatihan, maupun program edukasi menggunakan sarana elektronik. E-learning melibatkan penggunaan komputer atau alat elektronik (misalnya mobile phone) dalam
cara-cara
tertentu
untuk
menyediakan
materi
pelatihan,
edukasional, maupun pembelajaran (Derek Stockley, 2003). 4.
E-learning adalah proses pembelajaran yang efektif yang diciptakan dengan mengkombinasikan konten yang diberikan secara digital dengan layanan dan dukungan untuk pembelajaran. Dalam definisi ini terkandung beberapa kata penting yaitu : • Efektif – terdapat berbagai tipe pembelajaran, tetapi beberapa di
antaranya tidak efektif. Dalam hal ini, tidak berguna membuat atau mengaplikasikan definisi pada sesuai yang gagal. • Mengkombinasikan – kombinasilah yang membuat perbedaan, bukan
masing-masing bagian, meskipun tiap bagian sendiri sangat valid. • Konten yang diberikan secara digital – material berbasis kertas tidak
termasuk e-learning, meskipun merupakan medium yang valid untuk pembelajaran. • Dukungan – program berbasis CD-ROM, walaupun secara teoritis
dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, tetapi seringkali tidak didukung oleh tutor (meskipun sebenarnya dapat).
6
(Vaughan Waller dan Jim Wilson, ODLQC (Open and Distance Learning Quality Council), 2001) 5.
E-learning adalah segala bentuk pelatihan korporat yang menggunakan teknologi berbasis Internet dalam penyampaian, manajemen, dan pengukuran (Josh Bersin, 2005).
6.
E-learning merupakan berbagai situasi edukasional yang dengan signifikan menggunakan sarana TIK. E-learning menyajikan pengalaman pengajaran dan pembelajaran yang terencana, yang diorganisasikan oleh suatu institusi pendidikan tinggi, yang mendukung proses pembelajaran dalam urutan yang sekuensial dan tersistematisasi, yang harus dicapai oleh pelajar dengan kecepatannya sendiri. Penyampaian dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi baru, terutama melalui Internet (pembelajaran/edukasi online), yang merepresentasikan media distribusi dan cara komunikasi dari aktor-aktor yang terlibat. Sistem edukasi online meniru dan mengadaptasi komponen edukasi tradisional (tatap muka) : perencanaan, konten dan metodologi yang spesifik, interaksi, dukungan, dan evaluasi (Olimpius Istrate, 2004).
Jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, khususnya melalui Departemen Pendidikan Nasional, definisi mengenai e-learning sendiri tidak dinyatakan secara langsung. Hal yang mempunyai hubungan dengan e-learning diatur dalam Keputusan Menteri yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh. Dua Keputusan Menteri tersebut di antaranya adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2564/U/1991 tentang Pendidikan Tinggi Jarak Jauh dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh.
Walaupun demikian, jika dikaitkan dengan beberapa definisi e-learning yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam Keputusan Menteri tersebut dapat diambil beberapa poin yang dapat mendukung gambaran definisi e-learning di Indonesia, yaitu :
7
1.
Adanya proses pembelajaran dengan metode pembelajaran interaktif dengan bentuk interaksi seperti tatap muka, telekonferensi, surat menyurat elektronik, maupun bentuk-bentuk interaksi jarak jauh yang sinkronus dan asinkronus lainnya.
2.
Adanya penggunaan berbagai media komunikasi dalam pembelajaran.
3.
Adanya penekanan pada konsep belajar mandiri dengan dukungan bantuan belajar dan fasilitasi pembelajaran.
4.
Adanya sumber daya operasional dan manajerial yang mendukung keseluruhan proses yang terkait dengan pembelajaran.
Dalam hal ini, gambaran yang diberikan dalam Keputusan Menteri sejalan dengan beberapa definisi mengenai e-learning yang telah dituliskan sebelumnya.
Terkait dengan definisi e-learning, Rautenbach (2007), mengutip dari World Wide Learn, Inc. (2006), membagi e-learning dalam 10 tipe yaitu : (1)purely online (no face-to-face meetings), (2)blended learning (online combined with face-to-face meetings), (3)synchronous, (4)asynchronous, (5)instructor led groups, (6)self study, (7)self-study with a subject matter expert, (8)web-based, (9)computer-based (CD-ROM) dan (10)video/audio learning. Di samping itu, Rautenbach (2007) juga mengutip dari Siemens (2004) mengenai kategori elearning seperti digambarkan pada Gambar II.1.
Dalam penelitian ini, e-learning didefinisikan sebagai proses penyampaian materi kuliah yang meliputi penempatan materi dan interaksi antara dosen dan mahasiswa melalui Internet, yang difasilitasi oleh suatu learning management system (LMS) yang berbasis Web.
8
Gambar II.1. Kategori E-Learning (Rautenbach (2007))
II.2. Penilaian Kesiapan E-Learning Dalam hal penilaian kesiapan untuk e-learning (e-learning readiness assessment), terdapat berbagai literatur yang menyediakan berbagai pertanyaan, tuntunan, strategi, model dan instrumen penilaian. Pada tinjauan pustaka ini akan dijelaskan secara singkat mengenai penilaian kesiapan e-learning dari Chapnick, Rosenberg, Rautenbach, dan Sadik.
Chapnick (2000) memberikan sebuah model kesiapan e-learning (e-learning readiness model) yang ditujukan untuk menjawab 3 buah pertanyaan, yaitu (1)‘Dapatkah kita melakukan ini?’, (2)‘Jika dapat, bagaimana kita akan melakukannya?’, dan (3)‘Apakah hasilnya (outcome) dan bagaimana kita dapat mengukur hasil tersebut?’. Untuk itu, Chapnick mengelompokkan berbagai jenis faktor yang dianggap mempengaruhi kesiapan e-learning dalam 8 kategori, yang diharapkan memungkinkan praktisi untuk menggunakan proses yang sama untuk menilai berbagai stakeholder di dalam sistem.
9
Kategori-kategori tersebut adalah : 1.
Kesiapan Psikologis (Psychological Readiness) : Keadaan pikiran (state of mind) seseorang yang berdampak pada hasil (outcome) inisiatif elearning.
2.
Kesiapan Sosiologis (Sociological Readiness) : Aspek interpersonal lingkungan tempat kita mengimplementasikan program e-learning.
3.
Kesiapan Kemampuan Teknologi (Technological Skill Readiness) : Kompetensi teknis yang dapat diobservasi dan diukur.
4.
Kesiapan Peralatan (Equipment Readiness) : Pertanyaan mengenai kepemilikan peralatan yang memadai.
5.
Kesiapan Konten (Content Readiness) : Materi dan tujuan instruksi.
6.
Kesiapan Finansial (Financial Readiness) : Besar anggaran dan proses alokasi.
7.
Kesiapan Sumber Daya Manusia (Human Resource Readiness) : Ketersediaan dan disain sistem pendukung manusia (human support system).
8.
Kesiapan Lingkungan (Environmental Readiness) : Kekuatan-kekuatan skala besar (misalkan hukum dan peraturan, kondisi politis organisasi) yang beroperasi pada stakeholders, baik di dalam maupun di luar organisasi.
Untuk
mengimplementasikan
modelnya,
Chapnick
memberikan
tuntunan
mengenai proses-proses yang harus dilalui dalam menilai organisasi yang mengimplementasikan e-learning. Dengan dijalankannya proses-proses tersebut, diharapkan organisasi akan bisa mendapatkan dokumen kebutuhan tingkat tinggi (high-level requirements document) yang meliputi hal-hal sebagai berikut : 1.
Sasaran (sasaran makro organisasi dan sasaran mikro populasi pembelajar yang dituju (target learner)).
2.
Sebuah daftar keuntungan dan tantangan potensial dalam adopsi elearning.
3.
Sebuah daftar konfigurasi e-learning yang memungkinkan.
4.
Sebuah skor kesiapan e-learning.
10
Khusus dalam menghasilkan skor kesiapan e-learning, Chapnick menyiapkan sebuah instrumen berisi 8 kategori kesiapan yang dijabarkan dalam 66 pertanyaan dengan pilihan jawaban yang sudah ditetapkan. Tiap pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan memiliki skor yang kemudian dijumlahkan untuk mengetahui nilai kesiapan. Untuk menjawab tiap pertanyaan, pengguna instrumen sudah harus melakukan terlebih dahulu proses-proses yang dijelaskan dalam tuntunan dari Chapnick. Dengan kata lain, pengguna instrumen harus melakukan penelitian lain terkait kategori-kategori yang dijelaskan Chapnick sehingga dapat memilih respon yang paling tepat sesuai keadaan di organisasinya.
Sementara Chapnick berusaha menyoroti kesiapan e-learning dari berbagai sisi sesuai jenis stakeholders yang ada, Rosenberg (2000) juga membuat sebuah instrumen yang berisi 20 pertanyaan strategis kunci yang harus dijawab untuk mengetahui kesiapan organisasi untuk e-learning. Pertanyaan-pertanyaan pada instrumen Rosenberg dikelompokkan dalam 7 area pemahaman yaitu : 1. Kesiapan bisnis. 2. Sifat pembelajaran dan e-learning yang berubah. 3. Nilai disain informasi dan instruksional. 4. Manajemen perubahan. 5. Menciptakan kembali (reinventing) organisasi training. 6. Industri e-learning. 7. Komitmen personal.
Dalam penjelasannya mengenai penggunaan instrumen, Rosenberg menyatakan bahwa walaupun pertanyaan yang terdapat dalam survei merepresentasikan isu-isu strategis terpenting yang dihadapi organisasi saat bertransisi ke e-learning, sangatlah mungkin terdapat pertanyaan-pertanyaan maupun isu-isu yang spesifik pada organisasi yang layak untuk mendapat perhatian. Oleh karena itu Rosenberg memperbolehkan pengguna instrumennya untuk menambahkan pertanyaanpertanyaan yang diperlukan.
11
Pada instrumen surveinya, Rosenberg meminta respon untuk tiap pertanyaan dalam skala 6 poin (0 sampai 5). Untuk membantu responden memberikan respon, pada tiap pertanyaan diberikan 3 buah pernyataan interpretasi sehingga responden diharapkan dapat memilih poin dengan benar.
Untuk menginterpretasikan hasil, Rosenberg membagi respon dalam 3 kategori, yaitu respon 0 atau 1, respon 2 atau 3, dan respon 4 atau 5. Pertanyaan-pertanyaan yang menghasilkan respon 0 atau 1 menunjukkan adanya ‘penghenti pertunjukan’ (show-stopper). Respon ini dianggap mengindikasikan penolakan atas perubahan dan/atau kurangnya kesiapan atau kapabilitas organisasi dalam hal orang, infrastruktur atau organisasi secara keseluruhan. Untuk itu penekanan harus dilakukan pada manajemen perubahan, karena strategi e-learning tidak akan berhasil apabila poin masih tetap pada kisaran 0 atau 1. Selanjutnya, pertanyaanpertanyaan yang menghasilkan respon 2 atau 3 mengindikasikan bahwa ada kemajuan yang sedang terjadi, tetapi diperlukan usaha lebih lagi pada area-area tersebut untuk menghindari adanya gangguan pada momentum yang ada. Yang terakhir,
pertanyaan-pertanyaan
yang
menghasilkan
respon
4
atau
5,
mengindikasikan adanya kemajuan yang tinggi. Area-area yang menghasilkan respon ini harus digunakan untuk meningkatkan area lain dalam strategi.
Dalam Rautenbach (2007), untuk menentukan kesiapan organisasi akan e-learning dibuat sebuah model yang terdiri dari 4 dimensi. Dimensi-dimensi tersebut adalah sumber daya manusia (human resources), teknologi (technology), pedagogis (pedagogical), dan organisasi (organizational). Di dalam tiap dimensi terdapat kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh program e-learning di suatu organisasi. Untuk tiap kriteria, disusun bukti-bukti yang harus didapatkan untuk mendukung kriteria yang bersangkutan, serta pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan untuk tiap pihak yang berkepentingan. Rautenbach membagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam 3 kelompok, yaitu learner, educator/facilitator, dan manager. Dalam tiap kriterianya, Rautenbach juga memasukkan unsur akuntabilitas, sehingga dengan model yang disampaikannya, organisasi dapat menemukan siapa yang harus bertanggung jawab atas kriteria tersebut, siapa yang
12
menjadi target kriteria, siapa yang harus mengimplementasikan kriteria tersebut, dan siapa yang menjadi spesialis atau dimana sumber pengetahuan (knowledge) dari kriteria tersebut. Yang menarik dari model Rautenbach adalah, ia mengklaim bahwa modelnya dapat digunakan dalam 3 tahap implementasi e-learning, yaitu (1) sebelum e-learning dimulai sebagai bagian dari fase perencanaan, (2) selama eksekusi program e-learning untuk mendiagnosis masalah yang ada, dan (3) setelah program e-learning dijalankan sebagai evaluasi. Untuk menilai kesiapan, Rautenbach menyarankan untuk menggabungkan hasil dari survei untuk tiap pihak yang berkepentingan dengan bukti yang didapat. Hal ini diperlukan untuk memverifikasi hasil survei. Jika hasil survei tidak sejalan dengan bukti yang didapat, berarti kemungkinan besar responden survei mengisi survei secara kurang tepat. Semakin tinggi persentase-persentase yang didapat pada tiap dimensi, berarti organisasi semakin siap untuk e-learning.
Dalam kaitan dengan kesiapan staf akademik untuk e-learning, Sadik (2007) mengembangkan sebuah instrumen pengukuran. Instrumen tersebut ditujukan untuk menentukan seberapa siap staf akademik untuk mendayagunakan strategi dan teknologi e-learning dalam pengajaran, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi e-learning oleh staf pada saat ini dan di masa mendatang.
Pada instrumen yang berupa survei, pertanyaan dibagi dalam 3 kategori yaitu kompetensi, pengalaman, dan sikap (attitude). Kategori Kompetensi dibagi dalam 2 faktor penentu yaitu kompetensi teknis dan kompetensi pedagogis. Kategori Pengalaman dibagi dalam 3 faktor yaitu frekuensi penggunaan, training yang diterima, dan pengalaman sebelumnya. Sedangkan kategori Sikap terbagi dalam 4 faktor yaitu kecemasan, kepercayaan diri, kesukaan (liking), dan tingkat pentingnya (importance) e-learning. Hasil dari survei kemudian dianalisis secara statistik untuk melihat kesiapan staf akademik dalam mendayagunakan e-learning.