BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. 1.
Kerangka Teori
Tinjauan tentang Tindak Pidana Ekonomi a.
Pasal 1 UUTPE, menyatakan: “yang disebut tindak pidana ekonomi adalah: 1)
Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan: a.
“Ordonnantie
Gecontroleerde
Goederen
(“Staatsblad” 1948 Nomor 144),
1948”
sebagaimana
diubah dan ditambah dengan “Staatsblad” 1949 Nomor 160; b.
“Prijsbeheersing-ordonantie
1948”
(“Staatsblad”
1948 Nomor 295); c.
“Undang-Undang penimbunan barang-barang 1951” (Lembaran Negara tahun 1953 Nomor 4);
d.
“Rijeterdonnantie 1948” (“Staatsblad” 1948 Nomor 253);
e.
“Undang-undang darurat kewajiban penggilingan padi” (lembaran Negara tahun 1952 Nomor 33);
f.
“Deviezen Ordonnantie 1940” (“Staatsblad” 1940 Nomor 205).
2)
Tindak-tindak pidana tersebut dalam Pasal 26, 32 dan 33 Undang-Undang Darurat ini;
3)
Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar Undang-Undang menyebut
lain,
pelanggaran
sekadar itu
Undang-Undang
sebagai
tindak
itu
pidana
ekonomi.” Tindak pidana ekonomi dalam UUTPE lebih diartikan sebagai tindak pidana yang termuat dalam UUTPE, yang
diperkenalkan dalam tiga kaidah tindak pidana ekonomi, yaitu: (Loebby Loqman, 2001: 2-4) 1)
Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Pasal 1 sub 1e, yaitu meliputi pelanggaran sesuatu ketentuan berdasarkan yang tersebut dalam ayat itu, dimulai dari huruf a sampai dengan huruf o (sebagian telah dicabut);
2)
Pelanggaran terhadap Pasal 26,
32, dan 33 Undang-
Undang tersebut; 3)
Pelanggaran ketentuan dalam perundang-undangan lain, sepanjang Undang-Undang tersebut menyebutkan sebagai tindak pidana ekonomi.
b.
Tindak pidana ekonomi yang termuat dalam UUTPE tersebut dalam teori dikenal sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti sempit, sedangkan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah seluruh tindak pidana di bidang perekonomian di luar UUTPE, yakni ketentuan dalam perundang-undangan nonhukum pidana di bidang perekonomian yang memuat aturan pidana di dalamnya. Pasal 1 ayat (1) sub a dan sub b Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa “yang dirugikan adalah keuangan atau perekonomian negara, maka dapat dikatakan bahwa mereka yang memperkaya diri dengan merugikan keuangan atau perekonomian negara bukan saja dianggap telah melakukan korupsi, akan tetapi juga telah melakukan tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
c.
Loebby Loqman lebih lanjut menyatakan: (Loebby Loqman, 2001: 75)
UUTPE ternyata telah dilupakan orang, padahal
mengenai banyak hal masih mengacu pada UUTPE. Contoh, pada saat didapati banyak orang menimbun beras, gula, minyak, dan sebagainya, beramai-ramai orang menghujatnnya tanpa
mengetahui dengan jelas terhadap ketentuan apa penimbun itu dapat dituntut.
UUTPE telah memberikan suatu ketentuan
bahwa juga dianggap sebagai tindak pidana ekonomi yaitu terhadap suatu pelanggaran ketentuan peraturan perundangundangan
dimana
perundang-undangan
pemerintah yang
mengeluarkan menyebutnya
peraturan terhadap
pelanggarannya adalah tindak pidana ekonomi, maka terhadap mereka yang melanggar ketentuan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dapat dikenakan UUTPE. d.
Pasal 6 ayat (1) UUTPE menyatakan: “Barang siapa melakukan suatu tindak pidana ekonomi: 1)
Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1 e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu.
2)
Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 2 e dan berdasarkan sub 3 e dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu.
3)
Dalam hal pelanggaran sekadar yang mengenai tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 1e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman denda enam bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu.
4)
Dalam hal pelanggaran yang berdasarkan Pasal 1 sub 3e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan hukum denda setingi-tingginya lima puluh
ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu”. 2.
Tinjauan Tentang Surat Dakwaan a.
Pengertian Surat Dakwaan KUHAP
tidak
memberikan
perumusan
pengertian
mengenai surat dakwaan. (A. Soetomo, 1989: 4) memberikan pengertian surat dakwaan adalah “surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut Umum yang dilampirkan pada waktu pelimpahan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur pasal tertentu dari
undang-undang
yang
tertentu
pula
yang
nantinya
merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan
tersebut”.
(Leden
Marpaung,
1995:
300),
mendefinisikan surat dakwaan adalah dasar dari pemeriksaan perkara
selanjutnya,
baik
pemeriksaan
di
persidangan
Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali (PK). Surat Dakwaan merupakan pembatasan tuntutan, karena seorang terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan
dihukum
untuk
perbuatan-perbuatan
yang
tidak
dicantumkan dalam surat dakwaan. b.
Fungsi Surat Dakwaan Surat dakwaan sebagai dasar sekaligus menentukan batasbatas ruang lingkup pemeriksaan, sehingga dalam pemeriksaan
penyidikan tidak menyimpang dan menyelewengkan wewenang untuk tujuan tertentu. Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi dari surat dakwaan
menurut M. Husein Harun (1994: 95) dapat
dikategorikan sebagai berikut: 1)
Bahwa surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan sidang.
2)
Fungsi surat dakwaan bagi Penuntut Umum, Hakim dan Terdakwa/ Penasihat Hukum a)
Bagi Penuntut Umum, surat dakwaan merupakan dasar
pelimpahan
pelimpahan
perkara,
tersebut,
karena
Penuntut
Umum
dengan dapat
meminta agar perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam sidang pengadilan, atas dakwaan yang dilampirkan dalam pelimpahan perkara tersebut. Tahap selanjutnya, surat dakwaan itu menjadi dasar pembuktian/ pembahasan yuridis, dasar tuntutan pidana, dan akhirnya merupakan dasar upaya hukum. b)
Bagi
Hakim,
membatasi
merupakan
ruang
lingkup
dasar
pemeriksaan,
pemeriksaan,
dasar
pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan tentang bersalah tidaknya Terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan kepadanya. c)
Bagi Terdakwa/Penasihat Hukum, merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan, maka surat dakwaan harus disusun
secara cermat, jelas dan
lengkap. Surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, akan merugikan hak pembelaan Terdakwa dan oleh karenanya dapat dinyatakan batal demi hukum.
c.
Syarat Surat Dakwaan Surat dakwaan harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil surat dakwaan dirumuskan dalam Pasal
143 ayat (2) huruf a KUHAP,
meliputi: 1)
Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas Terdakwa yang meliputi nama lengkap atau nama alias atau nama panggilan, tempat lahir, umur/tanggal lahir;
2)
Surat dakwaan harus memuat status kebangsaan dari seorang terdakwa;
3)
Surat dakwaan harus pula mencantumkan agama seorang terdakwa;
4)
Surat dakwaan mencantumkan pekerjaan terdakwa secara jelas.
Syarat formil ini bertujuan secara konkrit mengindividualisir orang yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara pidana yang bersangkutan, dengan maksud untuk mencegah kekeliruan mengenai subyek/orang/ pelakunya (error in persona) yang diajukan sebagai Terdakwa. (Harun M. Husein,1994:48) Syarat materiil surat dakwaan dirumuskan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b, berisi: 1)
Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;
2)
Uraian secara jelas dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (tempus delictie dan locus delictie). Berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Surat dakwaan
yang tidak memenuhi ketentuan syarat materiil tersebut batal demi hukum. M. Karjadi dan R. Soesilo (1988: 127) memberikan komentar terkait syarat Surat Dakwaan: Sebetulnya bagian tugas
Penuntut Umum yang terpenting adalah apa yang tersebut dalam Pasal ini, yaitu membuat "Surat Dakwaan". Bagaimanakah pada dasarnya pembuatannya itu? Surat Dakwaan itu hanya memuat: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin , kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka, kemudian disusul hal yang terpenting yaitu menyebutkan dengan lengkap urutan secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang dilakukan (unsur-unsur tindak pidana) dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Terutama mengenai penguraian unsurunsur tindak pidana yang didakwakan itu yang harus cermat dan lengkap, sebab apabila kurang lengkap menjadi batal menurut hukum. d.
Bentuk Surat Dakwaan Surat
Dakwaan
bentuknya
ada
bermacam-macam,
tergantung dakwaannya, yaitu surat dakwaan tunggal, alternatif, subsidair, kumulasi, gabungan atau kombinasi. Penulis hanya menguraikan mengenai bentuk surat dakwaan tunggal karena obyek dari penelitian ini berupa surat dakwaan tunggal. Surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal, hanya berisi satu dakwaan. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas, tidak mengandung faktor penyertaan, faktor alternatif, dan faktor subsidair, baik pelakunya maupun tindak pidananya. Tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal, yakni berupa uraian yang jelas dengan memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. (Yahya Harahap, 2000: 399) 3.
Tinjauan tentang Jaksa/Penuntut Umum dan Penuntutan a.
Pengertian Jaksa/Penuntut Umum
Pasal 1 angka 6 KUHAP memberikan pengertian Jaksa atau Penuntut Umum sebagai berikut: 1)
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UndangUndang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2)
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan, bahwa
pengertian "Jaksa" dikaitkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian Penuntut Umum" dikaitkan dengan aspek "fungsi" dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan. b.
Wewenang Jaksa atau Penuntut Umum Pasal 14 KUHAP merupakan dasar hukum wewenang Penuntut Umum sebagai lembaga yang menjalankan "fungsi" penuntutan, berwenang: 1)
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
2)
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
3)
Memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4)
Membuat surat dakwaan;
5)
Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6)
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai surat panggilan, baik kepada Terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7)
Melakukan penuntutan;
8)
Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9)
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10) c.
Melaksanakan penetapan Hakim.
Pengertian Penuntutan Pasal penuntutan
1 angka 7 KUHAP memberikan pengertian adalah:
“Tindakan
Penuntut
Umum
untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan”. d.
Kewenangan Penuntutan Pasal 137 KUHAP menyatakan
Penuntut Umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
Rusli
Muhammad
(2007:
77)
memberikan pengecualian Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan, yaitu: 1)
Apabila kepentingan hukum atau kepentingan umum memang menghendaki agar Penuntut Umum tidak melimpahkan perkaranya kepengadilan untuk diadili.
2)
Apabila terdapat dasar-dasar yang menutup kemungkinan bagi Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelakunya.
3)
Apabila terdapat dasar-dasar yang membuat Penuntut Umum
harus
menangguhkan
penuntutan
terhadap
pelakunya. Penuntut Umum akan menentukan penuntutan tergantung pada hasil penyidikan Penyidik, apakah sudah lengkap atau belum untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 139 KUHAP.
Dalam
praktik tidak sesederhana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, karena sering terjadi petunjuk dari Jaksa tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh Penyidik disebabkan antara lain petunjuk Jaksa tersebut ditafsirkan secara keliru oleh Penyidik, atau petunjuknya sendiri itu tidak jelas atau mungkin juga petunjuk tersebut sudah demikian jelas dan memang telah dimengerti oleh Penyidik, tetapi untuk dilaksanakan tidak mungkin atau sulit. Misalnya, petunjuk dari Jaksa menghendaki saksi tertentu diperiksa karena demikian pentingnya, tetapi saksi dimaksud tidak dapat ditemukan oleh Penyidik. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya mondar mandir berkas perkara dari Penuntut Umum kembali lagi ke Penyidik untuk dilengkapi dan lagi-lagi dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, dapat terjadi. Untuk menghindari hal tersebut, Kantor kejaksaan menyediakan kamar untuk mengkonsultasikan masalah berkas perkara antara Penyidik dan Penuntut Umum. (A. Soetomo 1990: 39) e.
Bentuk Penuntutan Rusli Muhammad (2007: 80) membagi bentuk penuntutan ke dalam penuntutan perkara dengan cara biasa, penuntutan dengan cara singkat, penuntutan dengan cara cepat, dengan kriteria tergantung pada berat ringannya suatu perkara yang terjadi, yaitu:
1)
Penuntutan dengan cara biasa, jika ancaman pidananya di atas satu tahun, ditandai dengan adanya berkas perkara yang lengkap dan rumit, yang memuat berbagai berita acara yang telah disusun oleh penyidik. Ciri utama penuntutan ini yakni selalu disertai dengan surat dakwaan yang disusun secara cermat dan lengkap oleh Penuntutan Umum dan Penuntut Umum yang menyerahkan sendiri berkas
perkara
tersebut
yang
kehadirannya
juga
diharuskan di sidang pengadilan. 2)
Penuntutan dengan cara singkat, jika perkaranya diancam lebih ringan, yakni tidak lebih dari satu tahun penjara, berkas perkaranya biasannya tidak rumit, tetapi Jaksa tetap membuat dan mengajukan surat dakwaan yang disusun secara
sederhana.
mengantarkan
Penuntutan
berkas
perkara
Umum ke
langsung
pengadilan
yang
kemudian didaftarkan dalam buku register oleh panitera pengadilan. 3)
Penuntutan dengan cara cepat, terjadi pada perkara yang ringan atau perkara lalu lintas yang ancaman pidananya tidak lebih dari tiga bulan. Penuntutan perkara ini tidak dilakukan oleh Penuntut Umum, tetapi diwakili oleh Penyidik Polri. Pada penuntutan ini tidak dibuat surat dakwaan, tetapi hanya berupa catatan kejahatan atau pelanggaran diserahkan
yang ke
dilakukan,
pengadilan
catatan
sebagai
inilah
yang
pengganti
surat
dakwaan. f.
Dasar Penuntutan Surat dakwaan merupakan dasar dari penuntutan oleh Penuntut Umum, karena menjadi dasar pembuktian atau pembahasan yuridis, dasar tuntutan pidana, dan akhirnya merupakan dasar upaya hukum.
4.
Tinjauan
tentang
Pertimbangan
Hakim
dalam
Putusan
Pengadilan Putusan Hakim (vonnis) sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan. Para pencari keadilan (the seeker of justice) tentu saja berharap bahwa putusan seorang Hakim benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat (sense of justice). Antara Undang-Undang dengan Hakim/pengadilan, terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka menyelesaikan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum. (HM. Soerya Respationo, “Putusan Hakim: menuju rasionalitas hukum refleksif dalam penegakan hukum”, Yustisia, Volume 86 Tahun 2013: 101) Menurut Mertokusumo dalam HM. Soerya Respationo (HM. Soerya Respationo, “Putusan Hakim: menuju rasionalitas hukum refleksif dalam penegakan hukum”, Yustisia Volume 86 Tahun 2013: 101-2), ada beberapa istilah yang berkaitan dengan penemuan hukum, yaitu: a.
Pelaksanaan Hukum;
b.
Penerapan Hukum;
c.
Pembentukan Hukum; atau
d.
Penciptaan Hukum. Pelaksanaan Hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa
adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum
berarti
menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkret. Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya peraturan tertulis saja sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, kewajiban Hakimlah untuk menciptakannya.
Namun, untuk mewujudkan putusan Hakim yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ternyata tidak mudah. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan justru bermasalah dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusannya, ada dua kategori untuk melihatnya, yaitu kategori pertama dari aspek pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis, yang uraian penjelasan Rusli Muhammad (2007: 212-220), antara lain sebagai berikut: a.
Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan, diantaranya dakwaan Jaksa Penuntut Umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang bukti, pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana, dan sebagainya, yang penjelasannya sebagai berikut: 1)
Dakwaan Penuntut Umum Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana, karena berdasarkan dakwaan pemeriksaan di persidangan dilakukan, yang berisi identitas Terdakwa, uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan Hakim adalah dakwaan yang telah di bacakan di depan sidang pengadilan. Pada umumnya keseluruhan dakwaan Penuntut Umum ditulis kembali dalam putusan Hakim.
2)
Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa menurut KUHAP Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui, atau alami sendiri.
Praktiknya,
keterangan
Terdakwa
sering
dinyatakan dalam bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan Penuntut Umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan Terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum, Hakim, maupun Penasihat Hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menggunakan istilah “keterangan Terdakwa”
bukan
“pengakuan
Terdakwa”,
seperti
digunakan di dalam HIR. Istilah “keterangan Terdakwa” dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian, keterangan Terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penyangkalan atau penolakan sebagaimana sering terjadi dalam praktik, boleh juga dinilai sebagai alat bukti. Berbagai
putusan
pengadilan
yang
telah
diperhatikan, ternyata keterangan terdakwa menjadi bahan pertimbangan Hakim dan ini wajar dimasukkan ke dalam pertimbangan karena demikian itulah kehendak undangundang. 3)
Keterangan Saksi Salah satu komponen yang harus diperhatikan Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dan harus
disampaikan
di
dalam
mengangkat
sumpah.
sidang
pengadilan
Keterangan
saksi
dengan
tampaknya
menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh Hakim dalam putusannya. Pertimbangan utama bagi Hakim adalah hal yang wajar karena dari keterangan saksi itulah akan terungkap perbuatan pidana yang pernah terjadi dan memperjelas siapa pelakunya. Dengan kata lain, melalui keterangan saksi inilah akan memberi gambaran terbuti atau tidaknya dakwaan
Jaksa
Penuntut
Umum
sehingga
dengan
keterangan saksi, Hakim mempunyai gambaran akan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 4)
Barang-Barang Bukti Barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh Penuntut Umum di depan sidang pengadilan. Barang-barang bukti yang dimaksud tidak termasuk alat bukti sebab undangundang menetapkan lima macam alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa. Meskipun bukan sebagai alat bukti apabila Penuntut Umum menyebutkan barang bukti itu di dalam surat dakwaannya dan kemudian mengajukan barang bukti itu kepada Hakim. Hakim Ketua dalam pemeriksaan harus memperlihatkannya, baik kepada Terdakwa maupun saksi, bahkan kalau perlu Hakim membuktikannya
dengan
membacakan
atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada Terdakwa atau saksi dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya tentang hal itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (3) KUHAP.
M. Yahya Harahap dalam Tengku Erwinsyahbana (“Analisis Yuridis Putusan Lepas dari Segala Tuntutuan Hukum
atas
Tindak
Pidana
Perusakan
Ekosistem
Mangrove di Kabupaten Langkat (Putusan P.N. Stabat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb)” Yustisia, Volume 80 Mei-Agustus 2010, 41-2) menyatakan bahwa jika ditinjau dari perspektif yuridis, pembuktian harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi manusia. Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Ketentuan
Pasal
183
ini
memperlihatkan bahwa dalam pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan Hakim. Kedua syarat ini harus ada dalam setiap pembuktian dan dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut, memungkinkan Hakim menjatuhkan pidana kepada seorang Terdakwa, sebaliknya jika kedua hal itu tidak terpenuhi, berarti Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa. Masalah keyakinan Hakim tersebut, yang uraian penjelasan Djoko Prakoso (1988:47-48), antara lain sebagai berikut : Dalam perkara pidana, untuk menjatuhkan hukuman diperlukan keyakinan Hakim, tidaklah mungkin dapat diberikan kekuatan bukti yang sempurna terhadap suatu alat bukti, karena Hakim dapat memberi kekuatan bukti
yang kurang nilainya kepada suatu alat bukti sesuai dengan keinginannya, ataupun tidak memberi kekuatan bukti sama sekali jika ia tidak yakin. Namun demikian, menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Hakim harus berpegang pada lima macam alat bukti yang sah yaitu : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa. Dengan ketiga alat bukti sempurna, dikemukakan bukti langsung, artinya dengan alat-alat bukti tersebut dapat dibuktikan secara langsung telah dilakukannya suatu kejahatan dan bahwa terdakwalah yang dapat dipersalahkan melakukan kejahatan tersebut, tetapi hal tersebut secara tidak langsung dapat juga dibuktikan dengan petunjuk-petunjuk sebagai alat bukti, dari petunjuk-petunjuk mana Hakim dapat menyimpulkan kesalahan Terdakwa. Dalam hal terlihat, bahwa Hakim menarik kesimpulan tersebut secara langsung, karena petunjuk-petunjuk tersebut merupakan bukti-bukti yang tidak langsung. Alat-alat tersebut secara terpisah ataupun disatukan bersama-sama,
dapat
digunakan
untuk
menetapkan
keyakinan Hakim, asal dapat disesuaikan satu sama lain. Dengan demikian, bukti yang sah yang terdiri dari macam yang berbeda disatukan satu sama lain, ataupun dengan alat-alat bukti yang sah menurut macam yang sama. Tiga dari lima macam alat bukti dapat dipergunakan secara tersendiri atau digabungkan, jadi dapatlah bukti yang sah disusun atas dasar hanya keterangan-keterangan saja, kesaksian dengan surat-surat, hanya petunjukpetunjuk saja, atau bersama-sama dengan kesaksian dan surat, atau hanya surat saja, tetapi tidak boleh hanya atas dasar pengakuan saja sesuai Pasal 189 ayat (4) KUHAP,
yang berbunyi : “Keterangan Terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Konsep keyakinan Hakim ini dapat terbentuk didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Berpedoman pada konsep keyakinan Hakim tersebut maka dapat dikatakan bahwa apabila Hakim bersikap aktif dalam sidang pembuktian, hal ini harus dilihat dari perspektif kepentingan tugasnya, yaitu dalam rangka membentuk suatu keyakinan dan bukan didasarkan pada
perspektif
kepentingan
untuk
membuktikan
kesalahan Terdakwa. Adapun keyakinan Hakim yang akan terbentuk hanya terdiri dari dua jenis, yaitu keyakinan bahwa Terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya Terdakwa terbukti bersalah. (Tengku Erwinsyahbana, “Analisis Yuridis Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
atas
Tindak
Pidana
Perusakan
Ekosistem
Mangrove di Kabupaten Langkat (Putusan P.N. Stabat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb)” Yustisia, Volume 80 Mei-Agustus 2010: 42) Jenis dan rupa barang bukti yang dipertimbangkan oleh Hakim cukup bervariasi, yakni sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan Terdakwa, misalnya, pada kejahatan pembunuhan barang buktinya adalah berupa pisau, kayu, dan baju yang digunakan terdakwa atau korban. Pada kejahatan perzinahan atau perkosaan barang buktinya, misalnya, seperti celana dalam. Pada kejahatan narkotika, misalnya amplop yang berisikan ganja, video porno, atau film porno. Dan untuk kejahatan benda
(pencurian) barang buktinya, misalnya, kalung emas, arloji, TV, sepeda motor, dan lain-lain. 5)
Pasal-Pasal Peraturan Hukum Pidana Salah satu hal yang sering terungkap di dalam proses persidangan adalah pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula terlihat dan terungkap dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh Terdakwa. Pasal-pasal tersebut, kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh Hakim. Dalam praktik persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini Penuntut Umum dan Hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Jika ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbukti menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana itu. Berdasarkan Pasal 197 KUHAP, maka salah satu yang harus dimuat di dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan. Berdasarkan ketentuan inilah
sehingga
setiap
putusan
pengadilan
selalu
mempertimbangkan pasal-pasal atau peraturan hukum yang menjadi dasar pemidanaan itu. Ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 50 menyatakan:
Ayat (1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Ayat (2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. Pasal 53 menyatakan: Ayat (1) Dalam
memeriksa
dan
memutus
perkara,
Hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Ayat (2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. b.
Pertimbangan yang bersifat non yuridis Keadaan-keadaan yang digolongkan sebagai pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga terdakwa, serta faktor agama. Berikut ini keadaan tersebut akan diuraikan satu persatu. 1)
Latar Belakang Perbuatan Terdakwa Latar belakang perbuatan terdakwa disini adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. Keadaan ekonomi misalnya, merupakan contoh yang sering menjadi latar belakang kejahatan. Kemiskinan, kekurangan, atau kesengsaraan adalah suatu keadaan ekonomi yang sangat keras
mendorong terdakwa melakukan perbuatannya. Orang miskin sukar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sementara
tuntutan
Akhirnya, bagi
hidup
senantiasa
mendesaknya.
yang lemah iman dengan mudah
menentukan pilihan berbuat pidana. Tekanan-tekanan
keadaan
ekonomi
tidak
saja
mendorong bagi orang miskin berbuat kejahatan, tetapi juga bagi mereka yang kaya. Sistem dan pertumbuhan ekonomi saat ini banyak menawarkan produk-produk mewah dan mutakhir membuat nafsu ingin memiliki bagi golongan kaya. Dalam usaha memiliki itulah kadang dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, misalnya,
korupsi,
pemanipulasian,
penyelundupan,
penyuapan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. Kemudian, pada saat nafsu ingin memiliki itu terpenuhi, dilanjutkan dengan mencari hiburan untuk kesenangankesenangan hidupnya dan hiburan yang paling menggoda dan sering dilakukan adalah pelacuran dan narkotik. Disharmonis hubungan sosial Terdakwa, baik dalam lingkungan keluarganya maupun orang lain (korban kejahatan),
juga
merupakan
suatu
keadaan
yang
mendorong Terdakwa melakukan kejahatan. Pertengkaran yang berkepanjangan antara suami isteri tidak hanya sekadar berakhir dengan perceraian, tetapi kadang kala diakhiri dengan tindak pidana, misalnya, Terdakwa membunuh isteri atau suaminya. Disharmonis hubungan sosial
dalam
keluarga
berakibat
fatal
pula
bagi
perkembangan anak keturunan. Tidak jarang dijumpai banyak anak yang gagal dan jiwanya mengalami frustasi terus-menerus, bahkan menjadi nakal dan jahat akibat dari keadaan hubungan yang tidak harmonis itu.
Apabila memerhatikan putusan pengadilan yang ada selama ini, kecenderungan putusan tersebut tidak atau mengabaikan kondisi latar belakang perbuatan Terdakwa. Kalau ada yang mempertimbangkannya, dapat diduga presentasenya sangat kecil, yang mestinya dalam rangka pembinaan kepada si pelaku kejahatan hal-hal tersebut perlu mendapat perhatian oleh Hakim. 2)
Akibat Perbuatan Terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Perbuatan pidana pembunuhan, misalnya, akibat yang terjadi adalah matinya orang lain. Selain itu, berakibat buruk pula pada keluarga korban apabila yang menjadi korban itu tulang punggung dalam kehidupan keluarganya. Demikian pula pada bentuk kejahatan lain, misalnya, perkosaan, narkotika, dan kejahatan terhadap benda, kesemuanya mempunyai akibat buruk, tidak saja kepada korbannya, tetapi juga kepada masyarakat luas. Akibatakibat itu, misalnya, pada kejahatan pemerkosaan adalah merusak kegadisan seseorang. Bahkan, akibat perbuatan terdakwa atas kejahatan yang dilakukannya dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam. Akibat-akibat perbuatan Terdakwa di atas dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan dan dilihat. Akibat yang demikian itu tidak selamannya jadi pertimbangan oleh Hakim, tetapi seharusnya perlu mendapat perhatian.
3)
Kondisi diri Terdakwa Kondisi diri terdakwa disini adalah keadaan fisik ataupun psikis Terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya.
Keadaan fisik dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan, misalnya, dalam keadaan marah, mempunyai perasaan dendam, mendapatkan ancaman atau tekanan dari orang lain, dan pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat, yakni apakah sebagai pejabat, tokoh masyarakat, ataukah sebagai gelandangan, dan sebagainya. Sudah dapat diduga bahwa sebelum Terdakwa melakukan suatu kejahatan tertentu, pasti didahului atau memiliki suatu kondisi diri, seperti yang dimaksudkan di atas. Mungkin terdakwa ketika itu kondisi dirinya dalam keadaan marah, dendam, terancam keselamatan dirinya, atau mungkin karena pikirannya sedang kacau atau tidak normal. Dilihat dari segi status sosialnya, barangkali Terdakwa ketika itu mempunyai status sosial tinggi atau justru sebaliknya status sosialnya rendah. Seperti halnya dengan akibat-akibat yang timbul pada kondisi diri Terdakwa tampaknya juga tidak selamanya menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam putusannya.
Sangat
disayangkan
jika
kondisi
ini
terabaikan oleh Hakim. Mestinya hal tersebut mendapat perhatian dan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan agar putusan yang dijatuhkan terkesan lebih adil. 4)
Keadaan sosial ekonomi Terdakwa Dalam KUHP ataupun KUHAP tidak ada satu aturan pun yang dengan jelas memerintahkan bahwa keadaan sosial ekonomi Terdakwa harus dipertimbangkan di dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Berbeda dengan konsep KUHP baru disebutkan bahwa dalam pemidanaan Hakim mempertimbangan: pembuat,
motif, dan tujuan dilakukannya tindak pidana; cara melakukan tindak pidana; sikap batin pembuatnya; riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat; pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat; serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan konsep KUHP itu, berarti salah satu yang harus dipertimbangkan Hakim adalah keadaan sosial ekonomi pembuat, misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya.
ketentuan
ini
memang belum
mengikat
pengadilan sebab masih bersifat konsep. Meskipun begitu, kondisi
sosial
ekonomi
tersebut
dapat
dijadikan
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan sepanjang hal tersebut merupakan fakta dan terungkap di muka persidangan. 5)
Faktor agama Terdakwa Setiap putusan pengadilan senantiasa diawali dengan kalimat
"DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA". Kalimat ini selain berfungsi sebagai kepala putusan, juga yang lebih penting merupakan suatu ikrar dari Hakim bahwa apa yang diungkapkan dalam putusannya itu semata-mata untuk keadilan yang berdasarkan ketuhanan. Kata "Ketuhanan" menunjukkan
suatu
pemahaman
yang
berdimensi
keagamaan. Apabila para Hakim membuat putusan berdasarkan Ketuhanan, berarti pula ia harus terikat oleh ajaran-ajaran agama. Keterikatan para Hakim terhadap ajaran agama tidak cukup jika hanya meletakkan kata "Ketuhanan" pada kepala putusan, tetapi harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, baik tindakan para Hakim itu sendiri maupun dan terutama tindakan para pembuat kejahatan.
Jika demikian halnya, adalah wajar dan sepatutnya, bahkan
pula
seharusnya
ajaran
agama
menjadi
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusannya. Sebelum mengungkapkan lebih lanjut gambaran pertimbangan Hakim berkaitan dengan faktor agama, perlu
dijelaskan
terlebih
dahulu
mengapa
penulis
menggolongkan faktor agama ini sebagai pertimbangan yang bersifat non yuridis. Digolongkannya faktor agama dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis disebabkan tidak adanya satu ketentuan dalam KUHAP ataupun ketentuan formal lainnya yang menyebutkan bahwa faktor agama harus dipertimbangkan dalam putusan. Namun, perlu pula dicatat bahwa meskipun faktor agama dimasukkan sebagai pertimbangan yang bersifat non yuridis, tidak berarti penulis memisahkan agama dengan hukum, dan tidak pula berarti penulis menilai agama bukan persoalan hukum karena tidak adanya ketentuan formal itulah yang menyebabkan faktor agama untuk sementara
digolongkan
sebagai
pertimbangan
yang
bersifat non yuridis. Keseluruhan dari pertimbangan tersebut di atas, baik pertimbangan yuridis maupun pertimbangan nonyuridis secara definitif tidak ditemukan di dalam berbagai peraturan hukum acara. KUHAP sekalipun menyebutkan adanya
pertimbangan,
penyebutannya
hanya
garis
besarnya, seperti dinyatakan dalam: a)
Pasal 197 ayat (1) sub d bahwa "Putusan pemidanaan memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa". b)
Pasal 197 ayat (1) huruf f bahwa “Putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa”. Meskipun
hanya
disebutkan
demikian,
yang
dimaksudkan fakta dan keadaan dalam Pasal 197 tersebut kemungkinan bisa saja berupa fakta yuridis ataupun non yuridis sehingga hal mana menjadi pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis.
5.
Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan Negeri a.
Pengertian Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 KUHAP merumuskan pengertian putusan pengadilan adalah: “pernyataan Hakim yang diucapkan dalam
sidang
pengadilan
terbuka,
yang
dapat
berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. M.Yahya Harahap (2012: 347) memberikan pengertian putusan sebagai berikut: “Putusan merupakan hasil mufakat musyawarah Hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan”. Pendapat yang berbeda atau tidak dijadikan putusan, tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa di persidangan oleh Penuntut Umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu, dalam menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil, mandiri, profesional, dan bertanggung jawab serta harus independen, tidak terpengaruh oleh pihak manapun. b.
Bentuk Putusan Hakim Pasal 191 KUHAP dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP merupakan dasar hukum dari bentuk putusan Hakim yang meliputi putusan bebas dari segala tuduhan hukum (Vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van Recht Vervolging), dan putusan yang mengandung pemidanaan, yang penjelasannya sebagai berikut: 1)
Putusan bebas dari segala tuduhan hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Jika
pengadilan
pemeriksaan
di
berpendapat sidang,
bahwa
kesalahan
dari
Terdakwa
hasil atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas”.
Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang dipersyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi (Rusli Muhammad, 2007:201), yaitu karena: a)
Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana disebut Pasal 184 KUHAP.
Misalnya, hanya ada satu saksi, tanpa diteguhkan dengan bukti lain. b)
Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, Hakim tidak
mempunyai
keyakinan
atas
kesalahan
Terdakwa. Misalnya, terdapat dua keterangan saksi, tetapi Hakim tidak yakin akan kesalahan Terdakwa. c)
Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti: Pasal 183 KUHAP tersebut berbunyi bahwa “Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan Terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 2)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Putusan lepas ini, Lilik Mulyadi (2007:151) menanggapi bahwa apa yang didakwakan Penuntut Umum kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi Terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana, melainkan merupakan ruang lingkup hukum perdata. Sebagai contoh berikut ini: seseorang (terdakwa) bertindak sebagai “perantara” dalam "transaksi" jual beli rumah (tanah). Pihak penjual dan pembeli tidak pernah berhubungan satu sama lain. Perantara menyanggupi mengurus dan menyelesaikan transaksi jual beli rumah ini mulai dari masalah harga, pembayaran, sampai pembuatan
akta notaris jual belinya. Jual beli terjadi antara pembeli dan “perantara” tersebut, uang pembelian diserahkan oleh pembeli kepada "perantara" ini. Pembuatan akta jual beli rumah dihadapan Notaris PPAT tidak pernah terlaksana. Pembeli berusaha meminta kembali uangnya kepada perantara ini, tetapi ditolak dengan alasan uang tersebut adalah uang pembayaran utangnya si pembeli kepada si perantara tersebut. Fakta yuridis ini, menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan Nomor 441 K/Pid/1992 tanggal 28 April 1994, bukan termasuk tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), melainkan hubungan keperdataan
dalam
hubungannya
dengan
masalah
“wanprestasi” yang seharusnya diajukan melalui gugatan perdata oleh pembeli kepada perantara tersebut sehingga Terdakwa harus “dilepaskan dari segala tuntutan hukum” karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana. Leden Marpaung (1995: 411) memberikan alasan bahwa Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan: a)
Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana.
b)
Terdapat
keadaan-keadaan
istimewa
yang
menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Lilik
Mulyadi
(2007:152) berpendapat
bahwa
putusan bebas dan putusan lepas, sama-sama terdakwa tidak menjalankan hukuman atau tidak dipidana. Selain itu, baik putusan bebas maupun putusan lepas apabila telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dan pendapat MARI, serta Putusan
MARI Nomor: 670/PID/1984 tanggal 27 Mei 1985 maka diberikan dan dicantumkan dalam putusan hakim dengan amar yang berbunyi: “memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.” Penerapan putusan lepas lebih rumit, sementara KUHAP hanya memberikan pengaturan syaratnya: a)
Perbuatan
yang didakwakan kepada
terdakwa
terbukti Dapat menggariskan
ditafsirkan hakim
agar
secara
gramatikal
mempertimbangkan
seluruh unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, artinya seperti dalam putusan perkara pemidanaan maupun putusan bebas, seluruh unsur-unsur tindak pidananya harus diuraikan secara jelas dimana letak keterbuktiannya, dimana perbedaannya jika dalam putusan pemidanaan dan bebas keterbuktiannya harus secara sah dan meyakinkan tetapi dalam putusan lepas syarat keterbuktiannya tidak ada tambahan “secara sah dan meyakinkan”. b)
Tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana Merupakan norma pembeda dengan bentuk putusan lainnya yakni perbuatan yang terbukti tersebut bukan merupakan tindak pidana, artinya ada hal-hal yang dapat menyebabkan perbuatan tersebut hilang
ketindak
pidanaannya.
(Guse
Prayudi,
“Konstruksi Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”
http://guseprayudi.
blogspot.com/
2010/11/konstruksi-putusan-lepas-dari-segala.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2015 pukul 17.15 WIB)
3)
Putusan yang mengandung pemidanaan, jika perkara yang didakwakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yaitu: "Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Pada hakikatnya, putusan pemidanaan menurut Lilik Mulyadi (2007: 148) merupakan putusan Hakim yang berisikan suatu perintah
kepada terdakwa, untuk
menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim telah yakin berdasarkan alat bukti yang sah dan fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan, tepatnya lagi hakim tidak melanggar Pasal 183 KUHAP, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Rusli Muhammad (2007:206) menyampaikan bahwa putusan yang mengandung pemidanaan, demikian pula jenis
putusan
pengadilan
lainnya
hanya
sah
dan
mempunyai
kekuatan
hukum
jika diucapkan pada
persidangan
terbuka
untuk
umum,
sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 195 KUHAP, yang berbunyi: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.
Menurut sistem KUHAP yang dimaksud dengan “semua putusan pengadilan” dalam Pasal 195 itu adalah putusan-putusan, seperti yang dimaksud dalam: a)
Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yakni putusan bebas;
b)
Pasal 191ayat (2) KUHAP, yakni putusan lepas dari segala tuntutan hukum; dan
c)
Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yakni putusan pemidanaan. Putusan-putusan
seperti
itulah
yang
menurut
ketentuan Pasal 195 KUHAP harus diucapkan di sidang terbuka untuk umum agar putusan-putusan tersebut dapat dipandang sebagai putusan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum. Sebaliknya, jika putusan tersebut tidak diucapkan di sidang terbuka untuk umum, dengan sendirinya putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum sehingga menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. c.
Tata Cara Pengambilan Putusan Pengambilan putusan harus diambil melalui musyawarah berdasarkan Pasal 182 ayat (3) KUHAP, bahwa Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi,
penasihat
hukum,
Penuntut
Umum,
dan
hadirin
meninggalkan ruang sidang. Mekanisme pengaturan permusyawarahan yang dilakukan oleh majelis hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa: “musyawarah dilakukan majelis Hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”, pola mekanismenya berdasarkan Pasal 182 ayat (5) KUHAP, yaitu “musyarawah yang diawali dengan Hakim Ketua Majelis
mengajukan pertanyaan yang dimulai dari hakim yang termuda sampai
Hakim
yang
tertua,
sedangkan
yang
terakhir
mengemukakan pendapatnya, yaitu Ketua Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.” Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa: pada asasnya keputusan
dalam
musyawarah
majelis
merupakan
hasil
permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1)
putusan diambil dengan suara terbanyak;
2)
jika ketentuan tersebut tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
6.
Tinjauan Tentang Upaya Hukum a.
Pengertian Upaya Hukum Pasal 9 angka 12 KUHAP, merumuskan pengertian upaya hukum sebagai berikut: “Upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
b.
Macam-macam Upaya Hukum 1)
Upaya hukum biasa a)
Perlawanan biasa (verzet) Pengertian upaya hukum perlawanan (verzet), secara lugas tidak didapatkan dalam ketentuan pasalpasal KUHAP, untuk mendapatkan pemahaman mengenai upaya hukum verzet tersebut dapat dipakai pedoman, yakni ketentuan Bab I, Pasal 1, angka 12 KUHAP, yakni mengenai upaya hukum. Upaya
hukum verzet tersebut merupakan upaya hukum yang disediakan oleh KUHAP yang merupakan hak bagi terdakwa untuk mempergunakannya apabila Terdakwa tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Pasal 214 ayat (1) KUHAP merupakan dasar hukum dalam pengajuan upaya hukum verzet tersebut, yakni bermula dari perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa atau wakilnya. Dengan adanya perlawanan ini maka putusan Hakim semula menjadi gugur sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 214 ayat (6) KUHAP. Pengajuan verzet oleh Terdakwa terkait dengan putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan putusan tersebut berupa pidana perampasan kemerdekaan
(penjara
atau
kurungan),
maka
Terdakwa dapat mengajukan upaya hukum verzet.
b)
Banding (Revisie) Pengertian yuridis mengenai “banding” tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan termasuk KUHAP. Beberapa pendapat mengenai pengertian upaya hukum banding, seperti: (1)
Van Bemmelem (dalam Rusli Muhammad 2007:248), bahwa banding merupakan: “een toesting van vonnis in eeste aanleg op zijn justheid, voor zover het wordt bestreden” atau “Suatu pengujian atas ketepatan dari putusan pengadilan tingkat pertama, yang disangkal kebenarannya”.
(2)
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan (1986: 50) menyatakan pengertian banding sebenarnya adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk “menolak putusan” pengadilan, dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum dari putusan pengadilan tingkat pertama.
(3)
Rusli Muhammad (2007: 248) menyatakan bahwa banding adalah sarana bagi terpidana (terdakwa) atau Jaksa Penuntut Umum untuk minta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan tersebut jauh dari keadilan atau karena adanya kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan putusan, dengan tujuan
untuk menguji
kembali pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri sehingga putusan yang nyata-nyata telah keliru dilakukan dapat diperbaiki
terhadap
putusan
yang
telah
mencerminkan keadilan dan kebenaran tetap dipertahankan. (4)
Yahya Harahap dalam Rusli Muhammad (2007:
248)
Undang-Undang
menyatakan
bahwa
memberikan
tujuan
kesempatan
kepada Terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya banding adalah untuk: (a)
Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama;
(b)
Mencegah
kesewenangan
dan
penyalahgunaan jabatan; (c)
Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Pasal 233 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP beserta penjelasannya sebagai dasar hukum dalam upaya hukum banding, yang pada intinya berbunyi: “Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh Terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum dalam jangka waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan dilarang
kepada
menerima
terdakwa, permintaan
dan
Panitera
banding
yang
diajukan setelah tenggang waktu yang dijatuhkan berakhir”, dalam pedoman pelaksaaan KUHAP dijelaskan antara lain sebagai berikut : Dalam hal perkara-perkara apa saja Penuntut Umum dapat mengajukan banding, harus dikaitkan dengan bunyi pasal 67 KUHAP, yang menyatakan bahwa “Penuntut Umum berhak minta banding terhadap
putusan
pengadilan
tingkat
pertama,
kecuali: (1) (2)
Putusan bebas; Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
masalah
kurang
tepatnya
penerapan hukum; (3)
Putusan pengadilan dalam acara pemeriksaan cepat. Terhadap pengecualian permintaan banding,
yaitu “lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum tersebut”, kemungkinan akan menimbulkan permasalahan bilamana hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 191 ayat (2), yakni mengenai salah satu putusan dalam acara pemeriksaan biasa yang menyatakan bahwa, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut tidak
merupakan
suatu
tindak
pidana,
maka
terdakwa diputus “lepas dari segala tuntutan hukum”. Sehubungan dengan itu, kemungkinan dalam praktik akan diartikan bahwa terhadap “putusan lepas dari segala tuntutan hukum” dapat dilakukan banding mengingat KUHAP tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan “kurang tepatnya penerapan hukum”. Permintaan banding oleh Penuntut Umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu selalu didasarkan atas alasan bahwa Hakim telah keliru atau kurang tepat dalam penerapan hukum, sebab apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu telah tepat, sudah barang tentu Penuntut Umum akan menerima putusan tersebut. Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau
tidak
tepatnya
penerapan
hukum
justru
merupakan alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (perhatikan Pasal 253 ayat (1) KUHAP) dan memperhatikan pula ketentuan materi Pasal 244 yang menyatakan antara lain bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak
boleh dimajukan permohonan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa “terhadap semua putusan lepas dasi segala
tuntutan
permintaan
hukum
banding,
tidak
dapat
melainkan
diajukan
hanya
boleh
dimohonkan kasasi”. Berdasarkan Pasal 233 ayat (1) dan (2), permintaan banding terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum haruslah dianggap sebagai yang tidak memenuhi syarat seperti dimaksud dalam Pasal 67 dan harus ditolak oleh panitera pengadilan negeri dengan membuat akte penolakan banding, dengan ketentuan supaya Panitera memberitahukan kepada
Penuntut
mengajukan
Umum
akan
permohonan
haknya
kasasi.
untuk
(Pedoman
Pelaksanaan KUHAP Bab V angka 1.1) c)
Kasasi (Cassatie) Kasasi menurut Rusli Muhammad (2007: 267) merupakan hak, oleh karena itu tergantung kepada mereka untuk mempergunakan hak tersebut, jika penuntut umum menerima putusan yang dijatuhkan, mereka dapat mengesampingkan hak itu. Akan tetapi, apabila mereka merasa keberatan akan keputusan mereka
yang dapat
dijatuhkan
pengadilan
mempergunakan
hak
tinggi, untuk
mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pasal 253 ayat (1) KUHAP merupakan alasan untuk ajukan kasasi, yang berbunyi: "Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: (1)
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
(2)
apakah
benar
cara
dilaksanakan menurut
mengadili
tidak
ketentuan Undang-
Undang; (3)
apakah benar peradilan telah melampaui batas wewenangnya."
2)
Upaya Hukum Luar Biasa Upaya hukum luar biasa dicantumkan dalam Bab XVIII KUHAP. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Putusan pengadilan yang dimohon banding atau kasasi belum merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua putusan baik oleh pihak Terdakwa maupun oleh Penuntut Umum. (M. Yahya Harahap, 2012: 607) Menurut KUHAP, upaya hukum luar biasa meliputi peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Dasar hukum mengenai upaya hukum peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah inkracht terdapat pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “Terhadap
putusan
pengadilan
yang
sudah
berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya
dapat
mengajukan
permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung."
B.
Kerangka Pemikiran
TINDAK PIDANA EKONOMI
DAKWAAN
DAKWAAN TUNGGAL
TUNTUTAN
PEMBUKTIAN
KETERANGAN SAKSI, KETERANGAN AHLI, KETERANGAN TERDAKWA
DI PERSIDANGAN
BARANG BUKTI
PERTIMBANGAN HAKIM
PUTUSAN PN PURWOREJO
UPAYA HUKUM
PUTUSAN LEPAS
KASASI
JAKSA PENUNTUT UMUM
Keterangan:
Telah terjadi tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh terdakwa, Hari Utomo bin Wignyo Susanto. Yang bersangkutan didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf b Jo Pasal 1 angka 3e Undang-undang nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dengan tuntutan agar Majelis Hakim menyatakan terdakwa
terbukti bersalah melakukan tindak pidana ekonomi serta menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 bulan. Berdasarkan dakwaan tersebut, dilakukan pemeriksaan di persidangan oleh Majelis Hakim, dengan pemeriksaan terhadap alatalat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, alat bukti surat dan barang bukti. Dari pemeriksaan tersebut, setelah Majelis Hakim menghubungkan dan menyesuaikan satu dengan yang lain bukti-bukti tersebut, dan telah pula dinilai cukup kebenarannya, maka diperoleh adanya fakta-fakta hukum. Bahwa dengan adanya fakta hukum yang terungkap di persidangan tersebut, Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah telah dapat dinyatakan terdakwa bersalah atau tidak bersalah melakukan perbuatan seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa. Selanjutnya, Majelis Hakim dengan beberapa pertimbangannya telah memutuskan bahwa tindakan terdakwa mengenakan biaya penjualan pupuk bersubsidi di atas HET bukan merupakan tindak pidana karena didasari dari kesepakatan anggota kelompok tani yang tidak dilarang hukum, maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle recht vervolging). Atas putusan Majelis Hakim tersebut, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Penuntut Umum berdasarkan KUHAP adalah melakukan upaya hukum banding atau kasasi.