7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Seks Pada Anak 1-5 Tahun. 1. Pendidikan seks a. Pengertian Menurut Sarwono (2006) secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Zainun, 2009). Pendidikan seksual adalah suatu kegiatan pendidikan yang berusaha untuk memberikan pengetahuan agar mereka dapat mengubah perilaku seksualnya ke arah yang lebih bertanggungjawab. Pendidikan seksual seharusnya diberikan oleh orangtua sejak dini ketika anak mulai bertanya tentang perbedaan kelamin. Pendidikan seksual diberikan sesuai dengan kebutuhan dan umur serta daya tangkap anak (Sumiati, 2009). Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampakdampak negatif yang tidak di harapkan, seperti kehamilan yang tidak di rencanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa (Sarwono, 2007). Berdasarkan beberapa pengertian tentang pendidikan seks menurut para ahli, peneliti menyimpulkan pendidikan seks adalah suatu informasi tentang seks untuk memberikan sebuah pengetahuan tentang apa itu seks secara keseluruhan mulai dari perbedaan jenis kelamin, pengenalan fungsi
8
organ tubuh yang digunakan untuk menambah wawasan bagi orang yang membutuhkan pendidikan seks. b. Perkembangan psikoseksual pada anak usia 1-5 tahun Pada anak usia dini, genital menjadi area tubuh yang menarik dan sensitif. Anak mengetahui perbedaan jenis kelamin dan menjadi ingin tahu tentang perbedaan tersebut (Wong, 2009). Kepuasan pada anak terletak pada rangsangan autoerotik, yaitu meraba-raba, merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, suka pada lain jenis. Anak laki-lai cenderung suka ibunya dari pada ayahnya, demikian sebaliknya anak perempuan senang pada ayahnya (Hidayat, 2007). Keinginan untuk memiliki penis (penis envy) terlihat pada anak perempuan.
Oedipus kompleks (ingin menikahi orangtua yang jenis
kelaminnya berbeda dan menjauh dari orangtua yang jenis kelaminnya sama) terlihat pada anak laki-laki dan perempuan. Masturbasi umumnya terjadi (Videbeck, 2008). Sering kali anak sangat penasaran dengan pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan perbedaan alat kelamin laki-laki dan perempuan. Orangtua harus bijak dalam memberi penjelasan hal ini sesuai dengan kemampuan perkembangan kognitifnya agar anak mendapatkan pemahaman yang benar. Selain itu, untuk memahami identitas gender, anak sering meniru ibu atau bapaknya, misalnya dengan menggunakan pakaian ayah dan ibunya (Supartini, 2004). Pada
masa ini, anak merasa senang dan bangga jika dapat
menunjukan kelaminnya kepada orang lain. Mereka suka lari telanjang dirumah, dan kadang tidak mau diberi pakaian. Mereka merasa bahwa tubuhnya, termasuk alat kelaminnya, adalah baik (Suparno, 2010).
9
c. Cara memberikan penjelasan pendidikan seks kepada anak usia 1-5 tahun menurut Nawita (2013) : a) Mengenalkan perbedaan lawan jenis Jelaskan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan jenis kelamin. Hal ini yang menyebabkan beberapa hal menjadi berbeda, seperti cara berpakaian, gaya rambut, cara buang air kecil. Terangkan juga bahwa anak laki-laki jika sudah besar akan menjadi ayah dan anak perempuan akan menjadi ibu. Tugas utama ayah adalah mencari nafkah, walaupun harus tetap memperhatikan keluarga. Adapun tugas utama ibu adalah mengatur rumah tangga dan keluarga. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang ibu membantu ayah dalam mencukupi kebutuhan. Dengan demikian, anak bisa memahami peran jenis kelamin dengan baik dan benar. b) Memperkenalkan organ seks Memperkenalkan organ seks kepada anak dapat dilakukan pada saat memandikan anak. Perkenalkan anak secara singkat organ tubuh yang dimiliki anak, seperti rambut, kepala, tangan, kaki, perut, serta alat kelamin anak (penis/vagina). Orangtua juga harus menerangkan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya. c) Menghindari anak dari kemungkinan pelecehan seksual Orang tua harus menerangkan pada anak bahwa alat kelamin tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan. Orangtua juga harus menerangkan jika ada yang menyentuh alat kelaminnya tanpa diketahui orangtua, maka anak harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orangtuanya. Orangtua juga harus menumbuhkan rasa malu pada anak, misalnya ketika keluar kamar mandi hendaknya mengenakan pakaian atau handuk penutup. d) Informasikan tentang asal-usul anak Orangtua juga harus menerangkan tentang bagaimana asal-usul anak. Misalnya, anak akan bertanya dari mana ia berasal atau pertanyaan
10
yang umum seperti asal-usul bayi. Orangtua bisa menerangkan bahwa anak berasal dari perut ibu, misalkan sambil menunjuk perut ibu yang sedang hamil. Sejalan dengan usia, terangkan bahwa seorang anak berasal dari sel telur ibu yang dibuahi oleh sperma yang berasal dari bapak. Orangtua harus mengingatkan bahwa pembuahan boleh atau bisa dilakukan setelah wanita dan pria menikah. e) Persiapan menghadapi masa pubertas Orangtua juga harus menjelaskan kepada anak bertambahnya
usia,
anak
akan
mengalami
bahwa seiring perubahan
dan
perkembangan. Anak perempuan apabila sudah memasuki masa pubertas akan mengalami menstruasi/haid dan payudara akan mulai tumbuh. Sedangkan anak laki-laki apabila sudah memasuki masa pubertas akan mengalami mimpi basah, bentuk tubuh, dan suara yang memberat. Orangtua juga harus menjelaskan kepada anak dengan singkat dan jelas agar anak lebih mudah mengerti. d. Faktor – Faktor yang mempengaruhi pendidikan seks Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi dari pendidikan seks antara lain pengetahuan, sikap, peran orangtua, peran guru, dan akses informasi (Kurniawan, 2008): 1) Pengetahuan a) Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
obyek
tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
11
Pengetahuan digunakan sebagai langkah awal untuk pencegahan adanya hal-hal yang negatif bagi anak terutama tentang seks. Menurut Green (2000) peningkatan pengetahuan tentang seks memerlukan peran serta dari orangtua sebagai faktor reinforcing. Pengetahuan orangtua terutama ibu dalam pendidikan seks usia dini dapat mendorong ibu untuk menghindari kemungkinan hal-hal negatif tentang seks. Contohnya dengan mengenalkan peran seksual pada saat yang tepat, agar kepribadian anak berkembang dengan sempurna. Pengetahuan tersebut dapat membantu ibu memberikan jawaban yang memuaskan untuk anak sesuai dengan tahap usia anak, serta mengarahkan tingkah laku anak sesuai dengan norma yang berlaku (Alwisol, 2009). b) Tingkat Pengetahuan Menurut
Notoatmojo
(2010)
ada
enam
tingkatan
dalam
pengetahuan, yaitu: (1) Tahu (know) Tahu adalah tingkatan paling rendah. Tahu diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Untuk mengukur tingkatan kognitif ini dipergunakan kata kerja menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan sebagainya. (2) Memahami (comprehention) Memahami adalah kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan
secara
benar
tentang
objek
yang
diketahuinya. Pada tingkatan ini, individu yang bersangkutan harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap materi atau substansi yang dipelajari.
12
(3) Aplikasi (application) Aplikasi adalah kemampuan mengumpulkan materi yang dipelajari beberapa hukum-hukum, rumus, metode, dan sebagainya pada kondisi nyata. (4) Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen dalam struktur organisasi tersebut, yang terkait satu sama lain. (5) Sintesis (synthesis) Sintesis atau formulasi menunjukan kepada kemampuan untuk melatakan atau menghubungkan bagian-bagian kedalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. (6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi adalah kemampuan melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu objek atau materi. Evaluasi ini dilaksanakan pada kriteria yang telah ada atau kriteria yang disusun yang bersangkutan. c) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Menurut Notoatmojo (2010), ada tiga faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu: (1) Umur Umur adalah lamanya hidup yang dihitung sejak lahir hingga penelitian ini dilakukan. Umur merupakan periode penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan baru. Pada masa ini merupakan usia produktif masa bermasalah. Masa ketegangan emosi, masa keterampilan, sosial, masa komitmen, masa cara hidup, masa kreaktif. Pada dewasa ini ditandai oleh adanya perubahan “fisik dan mental”, semakin bertambah
umur
seseorang
makin
mempengaruhi tingkat pengetahuannya.
muda
maka
akan
13
(2) Pendidikan Pendidikan
proses
menumbuh
kembangkan
kemampuan dan perilaku manusia melalui
seluruh
pengajaran,
sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk mudah menerima ide dan teknologi baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka
akan
bertambah
pengalaman
yang
mempengaruhi wawasan dan pengetahuan. Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan alat untuk mengubah pengetahuan (pengertian, pendapat, konsep-konsep) sikap dan pengetahuan serta menambah tingkah laku atau kebiasaan baru. (3) Pekerjaan Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
dimana
semua
bidang
pekerjaan
umumnya
diperlukan adanya hubungan sosial antara satu dengan yang lainnya, setiap orang harus dapat bergaul dengan teman sejawat walaupun dengan atasan sehingga orang yang hubungan sosialnya luas maka akan lebih tinggi pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang kurang hubungan sosial dengan orang lain. d) Pengukuran Pengetahuan Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2010). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan adalah tingginya pengetahuan responden tentang kesehatan,
atau
besarnya
persentase
kelompok
responden
14
(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan dapat dikategorikan menjadi baik dengan nilai benar antara 76%-100%, dikategorikan cukup dengan nilai benar antara 56%-75% dan kategori kurang dengan nilai benar ≤ 55%. e) Sumber – sumber pengetahuan Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat sumber
dan sebagainya. Menurut Notoatmodjo (2010)
pengetahuan
dapat
berupa
pemimpin-pemimpin
masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya. 2) Sikap a) Pengertian Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Kondisi kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap juga merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek
(Notoatmodjo, 2010). Sikap terhadap pendidikan seks bersifat sosial dalam arti kita menyesuaikan dengan orang lain dan sikap
15
menuntut
perilaku
sehingga
dapat
sesuai
dengan
yang
dieskpresikan. Sebuah model sikap yang secara luas diterima menyarankan
bahwa
sikap
dibentuk
dari
tiga
komponen
(Notoatmodjo, 2010) yang pertama bagian emosi yang melibatkan evaluasi atau perasaan terhadap objek. Misalnya kita berpendapat memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi. Kedua bagian keyakinan contohnya kita yakin dengan memberikan pendidikan seks yang benar kita telah menanamkan moral, etika agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi. Ketiga A behavioral atau perilaku, sebagai contoh kita selalu memberikan pendidikan seks secara tepat. b) Tingkatan Sikap Menurut Notoatmodjo (2010) sikap mempunyai 4 tingkatan dari yang terendah hingga yang tertinggi yaitu : (1) Menerima (receiving) Menerima
diartikan
memperhatikan
bahwa
orang
(subjek) mau
dan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya
sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah. (2) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut. (3) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
16
(4) Bertanggung jawab (responsible) Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya. c) Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2010) : (1) Pengalaman pribadi Apa yang telah dan sedang dialami seseorang akan ikut membantu dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. (2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformasi atau searah dengan orang lain yang dianggap penting. (3) Pengaruh kebudayaan. Seseorang hidup dan dibesarkan dari suatu kebudayaan, dengan demikian kebudayaan yang diikutinya mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap orang tersebut. (4) Media massa. Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga terbentuklah arah sikap yang tertentu. (5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama. Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap. (6) Pengaruh faktor emosional. Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
17
(7) Pendidikan Kurangnya pengetahuan seseorang akan mudah terpengaruh dalam bersikap. (8) Pengaruh faktor emosional. Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. (9) Faktor sosial dan ekonomi Keadaan sosial ekonomi akan menimbulkan gaya hidup yang berbeda-beda. (10) Kesiapan fisik (status kesehatan) Pada umumnya fisik yang kuat terdapat jiwa sehat. (11) Kesiapan psikologis / jiwa Interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi diantaraindividu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara psikologis disekelilingnya. d) Pengukuran sikap Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah pengungkapan (assesmant) atau pengukuran
(measurement)
sikap. Sikap merupakan respon
evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif.
Sikap
mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap yang arahnya positif sebaliknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya negatif. Suatu skala berwujud
kumpulan pernyataan-pernyataan sikap yang
18
ditulis, disusun, dan dianalisis sedemikian rupa sehingga respons seseorang terhadap pernyataan tersebut dapat diberi angka dan kemudian dapat diinterprestasikan. Skala sikap tidak terdiri dari hanya satu stimulus atau pernyataan saja melainkan selalu berisi banyak item (multiple item measure). Oleh karena itu skala sikap harus dirancang dengan hatihati. Stimulusnya harus ditulis dan dipilih berdasarkan metode kontruksi yang benar dan skor terhadap respon seseorang harus diberikan dengan cara-cara yang tepat. Sebagai suatu instrument pengukuran psikologis, skala sikap dituntut untuk memenuhi kualitas dasar alat ukur yang standar. Kualitas dasar itu antara lain adalah validitas, reliabilitas, dan berbagai karakteristik praktis lain yang menyangkut
masalah administrasi
dan penyajiannya.
Pernyataan sikap (attitude statements) adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap (Azwar, 2010). Pengkategorian sikap dapat dilakukan dengan membaginya dalam dua kategori yaitu sikap negatif dengan nilai ≤ mean dan sikap positif dengan nilai > mean. 3) Peran orangtua Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak (Yusuf, 2002). Menurut UU No.2 tahun 1989 Bab IV pasal 10 ayat 4 (Yusuf, 2002) pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur luar sekolah yang diselanggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Semakin besar peran orangtua terhadap pemberian pendidikan seks pada anak semakin baik untuk pengetahuan anak tentang seks. 4) Peran guru Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain
19
lingkungan rumah adalah sekolahnya, karena belum tentu anak-anak juga mendapat pelajaran seks dari orang tuanya. Bila para guru menghadapi anak yang terlalu kritis, ingin bertanya segala macam hingga kewalahan, tak perlu ragu mengatakan bahwa kita belum tahu, dan akan berusaha mencari tahu lebih lanjut. Disamping mengajarkan pendidikan seks, sekolah juga harus memberikan dengan pendidikan moral. Misalnya, setelah mengetahui berbagai fungsi tubuhnya, terutama fungsi reproduksi, ajarkan agar anak tidak suka mengumbar bagian-bagian tertentu tubuhnya. Misalnya, ajarkan anak untuk berganti pakaian di kamar mandi atau di kamar tidurnya. Jadi, tidak boleh berlari-lari sambil telanjang. 5) Akses informasi Tidak adanya pengetahuan yang cukup tentang pendidikan seks dari orangtua ketika anak bertanya tentang seks akan membuat anak cenderung mencari tahu melalui VCD, buku, foto, majalah, internet, dan sumber-sumber lain yang belum tentu cocok untuk anak pada usia 1-5 tahun. Sumber informasi yang didapat dapat memberikan pengertian yang salah dan menyesatkan. Buku, majalah, film, dan internet yang mereka akses cenderung bermuatan pornografi, bukan tentang pendidikan seks. Adanya akses informasi yang benar diharapkan dari
orangtua
ataupun anak mampu memperoleh
pendidikan seks yang benar, karena media berpotensi besar dalam mengubah pengetahuan dan sikap dalam pendidikan seks. e. Tujuan Pendidikan Seks Pada Anak Tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap dapat dijabarkan antara lain (Admin, 2008) : 1) Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik,. mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual
20
2) Mengurangi
ketakutan
dan
kecemasan
sehubungan
dengan
perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab). 3) Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dan semua penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab). 4) Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga. 5) Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual. 6) Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental. 7) Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan. 8) Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya
sebagai istri atau suami, orang tua, anggota
masyarakat. f. Metode memberikan pendidikan seks Didalam menyampaikan pendidikan kesehatan atau pendidikan seks ada 2 metode yang digunakan yaitu metode didaktif yaitu metode atau cara penyampaian materi dengan satu arah seperti siaran Radio, TV, tulisan di media cetak; dan metode sokratif yaitu metode atau cara penyampaian materi dengan dua arah /two way trafic method seperti diskusi, forum, seminar, simposium, latihan lapangan, demonstrasi, role play (Machfoedz, 2005).
21
2. Pendidikan Kesehatan a. Pengertian pendidikan kesehatan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang, lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2007). Menurut Machfoedz, (2005), pendidikan kesehatan adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang ada hubungannya dengan kesehatan perseorangan, kelompok, dan masyarakat. b. Tujuan Pendidikan kesehatan Menurut WHO (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan. Secara umum tujuan dari pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan. Perubahan perilaku yang terjadi yaitu perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan kearah yang lebih baik (Machfoedz, 2005). Perubahan tersebut dikelompokkan menjadi 3, yaitu : segi kognitif yang berorientasi pada kemampuan berfikir (mengingat dan problem solving), afektif (attitude) yang berorientasi pada perasaan emosi, sistem nilai dan sikap hati dan psikomotor yang berorientasi pada ketrampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh (action) yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. c. Sasaran Pendidikan Kesehatan Untuk dapat mencapai hasil yang efektif, menurut Notoatmodjo (2007), sasaran pendidikan kesehatan dapat dipilih menjadi 2, yaitu: sasaran primer, sasaran sekunder, dan sasaran tersier. Sasaran primer biasanya disesuaikan dengan permasalahan kesehatan yang terjadi, seperti kepala
22
keluarga untuk masalah kesehatan umum, remaja putri dan wanita usia subur untuk masalah kesehatan reproduksi, ibu hamil dan menyusui untuk masalah kesehatan ibu dan anak dan anak sekolah untuk kesehatan remaja. Sasaran sekunder seperti para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. Tujuan memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok ini yaitu diharapkan mereka mampu memberikan informasi dari mulut ke mulut, memberikan contoh perilaku sehat,
kepada masyarakat di sekitarnya
(Notoadmodjo,2007). Sasaran tersier meliputi para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah. Kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan kelompok ini akan mempunyai dampak terhadap perilaku tokoh masyarakat (sasaran sekunder) dan masyarakat umum (sasaran primer) (Notoatmodjo, 2007). d. Dampak Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan akan membawa dampak pada perubahan individu, kelompok dan masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar. Perubahan tersebut mencakup antara lain, pengetahuan, sikap, dan keterampilan melalui proses pendidikan kesehatan (Machfoedz, 2005). e. Proses pendidikan kesehatan Proses kegiatan pendidikan kesehatan terdapat tiga persoalan pokok, yaitu persoalan masuknya (input), proses dan persoalan keluaran (out put). Masukan (input) dalam pendidikan kesehatan menyangkut sasaran belajar yaitu individu, kelompok dan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Proses (process) adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan dan perilaku pada diri subjek belajar. Proses pendidikan kesehatan terjadi timbal balik berbagai faktor antara lain adalah pengajar, teknik belajar, dan materi atau bahan belajar. Sedangkan keluaran (out put) merupakan kemampuan sebagai hasil perubahan yaitu perilaku sehat dari sasaran didik melalui pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2007)
23
f. Metode Pendidikan Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2007), metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan dipilih berdasarkan tujuan pendidikan kesehatan. Kemampuan perawat sebagai tenaga pengajar, kemampuan individu, besarnya kelompok, waktu pelaksanaan pendidikan kesehatan dan ketersediaan fasilitas pendukung. Metode Pendidikan kesehatan dapat bersifat pendidikan individual. Metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk membina perilaku baru / membina seseorang yang ini digunakan untuk membina perilaku baru / membina seseorang yang dimulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku / inovasi. 1) Metode promosi individual (perorangan), metode ini bersifat individual digunakan untuk membina perilaku baru, atau membina seseorang yang telah memulai tertarik pada suatu perubahanperilaku. Bentuk pendekatanya: Bimbingan dan Penyuluhan (guidance and counceling) 2) Metode promosi kelompok, metode promosi kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran. Untuk kelompok besar metodenya menggunakan ceramah dan
seminar.
Sedangkan
untuk
kelompok
kecil
metodenya
menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat (Brain stroming), memainkan peran dengan anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peran. 3) Metode pendidikan massa, metode ini menyampaikan peran- peran kesehatan yang ditunjukkan untuk masyarakat umum. Metodenya menggunakan ceramah umum, pidato atau diskusi melalui media elektronik, simulasi (dialog antara pasien dengan dokter/petugas kesehatan tentang suatu penyakit.
24
B. Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi pendidikan seks - Pengetahuan - Sikap - Peran orangtua - Peran guru - Akses informasi
Pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun
Pendidikan kesehatan tentang pendidikan seksual pada anak usia 1-5 tahun.
Faktor pendukung: lingkungan fisik, fasilitas – fasilitas, sarana prasarana kesehatan. -
Faktor pendorong :
Sikap petugas kesehatan dan tokoh masyarakat
Gambar 2.1 Skema hubungan pendidikan kesehatan, sikap dan pengetahuan Modifikasi Teori Notoatmodjo (2010).
C. Kerangka Konsep Sebelum/pretest
sesudah/postest
Pengetahuan ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun
Pendidikan kesehatan
Pengetahuan ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun Sikap ibu tentang pendidiakan seks pada anak usai 1-5 tahun
Sikap ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
25
D. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas atau independent variable merupakan variabel resiko atau sebab dan mempengaruhi variabel lain (Notoatmodjo, 2010). Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun. 2. Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat atau dependent variable merupakan variabel akibat atau efek dan dipengaruhi oleh variabel bebas (Notoatmodjo, 2010). Variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun.
E. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Ada perbedaan tentang pengetahuan ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun di play group B&B Semarang setelah diberikan pendidikan kesehatan 2. Ada perbedaan tentang sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 1-5 tahun di play group B&B Semarang setelah diberikan pendidikan kesehatan.