BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1
Kepustakaan yang Relevan Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung
yang relevan. Ada beberapa buku yang dipakai dalam memahamidan mendukung penelitian ini antara lain buku yang berjudul Sosiolinguistik, kode dan alih kode karangan Rahardi (2001), buku Sosiolinguistik perkenalan awaloleh Chaer dan Agustina (2004) dan juga buku Kajian sosiolinguistik ihwal kode dan alih kode oleh Rahardi (2010). Berkaitan dengan judul skripsi ini maka yang akan dibahas yaitu alih kode dan campur kode. Ada beberapa defenisi alih kode dan campur kode yakni sebagai berikut : “Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lainnya” , Suwito dalam Rahardi (2001:20). Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Hymes dalam Rahardi (2001:20) yakni bahwa “Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut penggantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam”. Nababan (1993:32), “Campur kode suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang yang mencampur dua bahasa atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu”.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan demikian hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaan yang dituruti, tindak bahasa demikian kita sebut campur kode. Selanjutnya, Fernando (2014) dalam skripsinya yang berjudul ‘Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Interaksi Belajar Mengajar di SD Negeri 175780 Aeknauli, Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan’
menyatakanbahwa faktor
yang menjadi penentu pada penelitian alih kode dan campur kode pada interaksi belajar mengajar di SD Negeri 175780 Aeknauli, Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan ini, khususnya untuk penelitian alih kode ditentukan karena adanya pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi pembicaraaan baik dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan, sedangkan untuk penelitian peristiwa campur kode menemukan tiga faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu faktor peran, faktor penutur atau pribadi penutur dan faktor bahasa.Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penulis dalam meneliti peristiwa alih kode dan campur kode yang peneliti teliti.
2.2
Teori yang Digunakan Dalam penelitian ini sangat diperlukan teori-teori yang menjadi acuan atau
pun pedoman untuk penyelesaian penelitian ini.Teori yang digunakan tentunya sangat membantu penulis untuk meneliti dan menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat pada penelitian ini. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arahan sehingga dapat menjadi penuntun dalam proses kerja pada peneliti.
Universitas Sumatera Utara
Teori yang digunakan mengacu pada teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Fishman, Thelandler dalam Chaer dan Leoni Agustina dan juga teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Suwito.
2.2.1
Alih kode
a.
Pengertian Alih kode “Alih kode ialah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya
situasi”Appel dalam Chaer dan Agustina (2004:107). Hymes dalam Chaer dan Agustina (2004:107) mengatakan, “Alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gayagaya yang terdapat dalam satu bahasa”. Untuk menganalisis gejala alih kode lebih jelas maka penulis mengacu pada teori Fishman dalam Chaer dan Agustina (2004:108) yaitu, “ Tentang siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. Siapa berbicara yang dimaksud disini yaitu, penutur yang melakukan tindakan pembicaraan dengan bahasa apa maksudnya yaitu, bahasa apa yang dipergunakan oleh penutur tersebut pada saat berbicara kepada lawan tuturnya, kepada siapa disini maksudnya penutur berbicara kepada siapa lawan tuturnya, kapan disini maksudnya pada saat seperti apa pembicaraan antara penutur dan lawan tutur berlangsung, dan yang terakhir yaitu dengan tujuan apa disini maksudnya dengan tujuan apa si penutur beralih kode kepada lawan tutur.
Universitas Sumatera Utara
Hudson dalam Sinaga (2014:11) mengatakan bahwa, “Alih kode (Code Switching) merupakan salah satu penggunaan wujud bahasa oleh seoramg dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan”. b.
Faktor Penyebab Terjadinya Peristiwa Alih Kode Penyebab terjadinya alih kode bukan hanya karena sikap kemultibahasaan
yang dimiliki masyarakat tutur, seperti yang dikemukaakan oleh Chaer dan Agustina (2004:108), ada beberapa faktor yaitu : 1. Penutur Seorang pembicara atau penutur sering kali melakukan alih kode untuk mendapatkan ‘Keuntungan’ atau ‘Manfaat’ dari tindakannya itu. Contoh : Bapak A setelah berbicara dengan Bapak B mengenai usul kenaikan pangkatnya baru tahu bahwa Bapak B itu berasal dari daerah yang sama dengan dia dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama. Maka, dengan maksud agar urusannya cepat beres dia melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerahnya. Andaikata Bapak B ikut terpancing untuk menggunakan bahasa daerah, maka bisa diharapkan urusan menjadi lancar. Tetapi jika Bapak B tidak terpancing dan tetap menggunakan bahasa Indonesia, bahasa resmi untuk urusan dikantor, maka urusan mungkin saja menjadi tidak lancar, karena rasa kesamaan satu masyarakat tutur yang ingin dikondisikannya tidak berhasil, yang menyebabkan tiadanya rasa
Universitas Sumatera Utara
keakraban. Dalam kehidupan nyata sering kita jumpai banyak tamu kantor pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa daerah dengan pejabat yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan berbahasa daerah rasa keakraban pun lebih mudah dijalin dari pada menggunakan bahasa Indonesia.Alih kode untuk memperoleh “keuntungan” ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dala peristiwa tutur itu mengharapkan bantuaan lawan tuturnya. 2.
Lawan tutur Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode,
misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu.Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kalau silawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa. Contoh :Ani seorang penjaga toko sebuah tokoh cendramata, kedatangan tamu seorang turis asing yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Ketika kemudian si turis tampaknya kehabisan kata-kata untuk terus berbicara dalam bahasa Indonesia, maka Ani cepat-cepat beralih kode untuk
Universitas Sumatera Utara
bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali. 3.
Kehadiran Orang Ketiga Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa
yang dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Contoh :Alih kode berikut dari bahasa Batak Toba ke bahasa Indonesia. Latar : Kedai kopi Para pembicara
: Tumoing dan Goldu merupakan suku Batak Toba yang bisa berbahasa Batak Toba dan Riko
merupakan teman
Goldu yang bersuku Jawa yang tidak bisa berbahasa Batak Toba. Topik
: Menawarkan rokok
Sebab alih kode
:Kehadiran Riko dalam peristiwa tutur.
Peristiwa tutur Tumoing
: “Nunga tonu ho, kedan”. (‘Kamu sudah basah, teman’)
Goldu
: “Ndang pola beha i, nah, marisap ma jolo ho”. (‘Tidak apa-apa, ini , merokok dulu kita’)
Universitas Sumatera Utara
Tumoing
: “Nunga leleng ndang marisap be, bah”. (‘Sudah lama aku tidak merokok’)
Goldu
: “ini rokok Riko merokok dulu kita”.
Riko
: “Makasih ya”. Peristiwa di atas merupakan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh Goldu
alih kode yang digunakan berupa alih kode intern yaitu dari bahasa Batak Toba ke bahasa Indonesia.Hal ini dapat kita lihat pada kalimat yang bercetak tebal di atas. Penyebab alih kode di atas yakni kehadiran orang ketiga di mana Riko merupakan suku Jawa dan tidak bisa berbahasa Batak Toba maka ketika Ia berbicara dengan Riko Ia menggunakan bahasa Indonesia. 4.
Perubahan Situasi Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode.Simaklah
contoh berikut yang di angkat dari Soewito dalam Chaer dan Agustina (2004:110) berupa percakapan antara seorang seketaris (S) dengan majikannya (M). S M S M
S M S
: “Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini?” : “O, ya, sudah. Inilah!” : “Terimakasih” : “Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak banyak mencari untung.Lha saiki yen usahanya pengin maju kudu wani ngono”(….’sekarang jika usahanya ingin maju harus berani bertindak demikian..’) : “Panci ngaten, Pak” (‘memang begitu, Pak’) : “Panci ngaten priye?”(‘Memang begitu bagaiman?’) : “Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi” (‘Maksudnya, berapa pun besarnya modal kalau….’)
Universitas Sumatera Utara
M
: “Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu?”(‘Kalau tidak banyak hubungan, dan terlalu banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi.begitu maksudmu?’) S : “Lha inggih ngaten!”(‘Memang begitu, bukan?’) M : “O, ya, apa surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?” S : “Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan denagn kilat khusus” Percakapan itu dimulai dalam bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor, dan yang dibicarakan adalah tentang surat. Jadi, situasinya formal.Namun, begitu yang dibicarakan bukan lagi tentang surat, melainkan tentang pribadi orang yang disurati, sehingga situasi menjadi tidak formal, terjadilah alih kode bahasa Indonesia diganti dengan bahasa jawa. Selanjutnya ketika yang dibicarakan bukan lagi mengenai pribadi si penerima surat, melainkan tentang pengiriman surat, yang artinya situasi kembali menjadi formral, maka terjadi lagi alih kode ke dalam bahasa Indonesia. Dalam kasus ini memang bisa muncul pernyataan, mengapa dalam situasi tidak resmi, pada partisipan itu (sekretaris dan majikannya) tidk mengunakan bahasa Indonesia ragam santai, melainkan menggunakan bahasa Jawa? Kiranya kedua partisipan dalam percakapan di atas memiliki latar bahasa ibu yang sama, yaitu bahasa Jawa. Andaikata kedua partisipan itu memiliki latar belakang bahasa ibu yang berbeda, ada kemungkinan akan digunakan bahasa Indonesia ragam tidak formal. Bagaimana pun untuk situasi tak resmi lebih mudah menggunakan bahasa pertama dari pada bahasa kedua, kalau situasi memang mengizinkan; dan di dalam pertuturan di atas situasi memang mengizinkan dengan tiadanya orang ketiga yang tidak mengerti bahasa Jawa. Andakata dalam peristiwa tutur antara sekretaris dan majikan itu turut hadir partisipan lain yang tidak mengerti bahasa Jawa, maka tentu peralihan kode itu tidak dialihkan ke bahasa Jawa. 5.
Perubahan Topik Pembicaraan Berubahnya topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode.
Pada contoh percakapan antara sekretaris dan majikan di atas sudah dapat dilihat ketika topiknya tentang surat dinas, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia. Tetapi ketika topiknya bergeser pada pribadi orang yang dikirimi surat, terjadilah alih dari bahasa Indonesia kebahasa Jawa. Sebaliknya, ketika topik kembali lagi tentang surat alih kode pun terjadi lagi: dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Dalam kasus pertuturan sekretaris dan majikan di atas tampaknya penyebab alih kode itu, yaitu perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari
Universitas Sumatera Utara
situasi
formal menjadi situasi tidak formal merupakan penyebab ganda. Jadi,
penyebab alih kode dalam kasus percakapan sekretaris dengan majikan di atas adalah berubahnya situasi dari formal ke situasi tidak formal. c.
Jenis- jenis alih kode Soewito dalam Chaer dan Agustina (2004:114) membedakan adanya dua jenis
alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berhubungan langsung antarbahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya, seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya dalam ilustrasi di atas. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam bahasa yang ada verbal repertoire masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
2.2.2 Campur Kode a.
Pengertian Campur Kode Fasold dalam Chaer dan Agustina (2004:115) mengatakan, “Campur kode
yaitu kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode”. “Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa (Speech act atau Discourse) tanpa ada sesuatu yang menuntut pencampuran bahasa itu disebut campur kode”, Nababan (1984:32). Campur kode terjadi karena ketergantungan penutur terhadap pemakaian bahasalebih lanjut, Nababan juga menjelaskan ciri yang menonjol dalam campur
Universitas Sumatera Utara
kode ini adalah kesantaian atau situasi informal.Dalam situasi berbahasa yang formal, peristiwa campur kode kurang mendominasi.Kalaupun terdapat campur kode demikian, itu disebabkan tidak adanya ungkapan yang terdapat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicaraan ingin memamerkan ‘ Keterpelajarannya’ atau ‘Kedudukannya’. Dalam masyarakat bilingual dan multilingual seperti halnya di masyarakat Indonesia
sebagian
besar
mengenal
dan
memahami
dua
bahasa
dalam
berkomunikasi.Kita seringmenjumpai orang mengganti bahasa atau ragam bahasanya sehingga hal ini menjadi suatu kebiasaan dalam berkomunikasi. Dalam campur kode, penggunaan dua bahasa atau lebih, itu ditandai oleh masing-masing bahasa tidak lagi mendukung fungsi tersendiri melainkan mendukung satu fungsi, dan fungsi masing-masing bahasa itu ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Menutur Thelander dalam Chaer dan Agustina (2004:115) mengatakan perbedaan alih kode dan campur kode yaitu, “Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan darisatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode”. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, kalusa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa atau frase campuran (hybrid clauses, hybrid frases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi-fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah peristiwa campur kode, bukan alih kode.Dalam hal ini menurut Theandler selanjutnya mengatakan memang ada kemungkinan perkembangan dari campur kode dan alih kode.Perkembangan ini, misalnya, dapat dilihat kalu klausa berusaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta fungsifungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing-masing. Hudson dalam Sinaga (2014:19) mengatakan campur kode merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode,
Universitas Sumatera Utara
dimana perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi, pada campur kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi. b.
Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode Suwito (1983:39) memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut : 1.
Faktor peran Peran di sini ialah status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta bicara
atau penutur bahasa tersebut, seperti hal pekerjaan, golongan, keturunan, tingkat pendidikan, suku, usia, agama, dan lain sebagainya. 2.
Faktor Ragam Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu
melakukan campur kode yang akan menempatkan hirarki status sosial. Ragam tersebut adalah ragam bahasa lisan, yakni dihasilkan dari alat ucap pembicara atau penutur yang dapat dilihat dari tinggi rendahnya suara atau tekanan, raut muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Ragam bahasa tulis, yakni tata cara penulisan (ejaan) di samping itu juga ada aspek bahasa dan kosa kata. 3.
Faktor Keinginan Untuk Menjelaskan dan Menafsirkan Faktor ini terlihat pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan
hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya.
Universitas Sumatera Utara
Jendra (1991:134-135) menjelaskan bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat dibagi lagi dua bagian pokok, yaitu penutur dan bahasa. 1.
Faktor Penutur Pembicara terkadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasanya
karena pembicara mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara terkadang melakukan campur kode antar bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena kebiasaan atau kesantaian. Contoh : Ok, kita harus stand by. 2.
Faktor bahasa Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkan bahasanya dengan
bahasa lain, sehingga terjadilah campur kode. Umpamanya hal itu di tempuh dengan cara untuk menjelaskan atau mengamati istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-kata dari bahasa daerah maupun bahasa asing, sehingga mudah untuk dipahami. Contoh :Kita harus enjoy dalam bekerja.
C.
Jenis-jenis Campur kode Campur kode dapat dibedakan menjadi dua yaitu; (a), campur kode sementara
dan (2), campur kode permanen.Campur kode sementara terjadi apabila pemakai bahasa sedang menyetir kalimat bahasa B2 ketika sedang ber-B1, atau
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya.Sedangkan campur kode permanen terjadi karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara, misalnya mitra bicara semula sebagai teman akrab tetapi mitra bicaraitu sekarang menjadi atasan, biasanya pembicara mengganti kode bahasa yang dipakainya secara permanen, karena adanya perubahan status sosial dan relasi kepribadian yang ada. Selanjutnya
dalam
http://ilmusastra.blogspot.com/2013/09/makalah-alih-
kode-dan-campur-kode.html?m=1 campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing) dan campur kode ke dalam (inner code-mixing). Campur kode ke luar (outer code-mixing) yaitu, campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing misalnya, bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau bahasa Jepang, dan lain sebagainya. Campur kode ke dalam (inner code-mixing) yaitu, campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya misalnya, bahasa Indonesia ke bahasa Sumbawa atau bahasa Batak ke bahasa Minang dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara