BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jambu Biji Jambu biji termasuk dalam family Myrtaceae, kelas Dycotyledoneae, dengan nama botani Psidium guajava, L. Tanaman ini sering disebut jambu biji, jambu siki, dan jambu klutuk (Rismunandar, 1981). Tanaman ini adalah tanaman tropis yang berasal dari Brazil, lalu disebarkan ke Indonesia melalui Thailand (Wikipedia, 2011). Jambu biji merupakan tumbuhan semak atau pohon berukuran kecil yang banyak cabangnya. Permukaan kulit batangnya licin, keras, terkelupas, dan warnanya coklat muda. Pohonnya dapat mencapai tinggi 5-7 m dengan garis tengah batang 10-25 cm, bunganya putih dan besar, kulit buahnya mengkilat. Keanekaragamannya terdapat pada bentuk, besar, dan warna daging buahnya (Anonim, 1980). Wilson (1980) menyatakan bahwa tanaman jambu biji tumbuh baik pada daerah tropika dan subtropika, hingga mencapai tinggi 10 m. Ukuran diameter buah jambu biji adalah 3-8 cm. Menurut Coppack, Brown (1983), umur buah berbunga sampai masak kurang lebih 110 hari. Buah jambu biji, pada waktu muda kulitnya berwarna hijau pekat dan mendekati tahap masak, buahnya berubah warna menjadi hijau muda sampai kekuning-kuningan. Kulit buah ada yang licin dan ada yang berbintik kasar dengan sedikit berlapis lilin. Warna daging buahnya bervariasi, ada yang putih, kuning, dan merah. Sedangkan bentuk buahnya ada yang bulat dan ada pula yang lonjong. Pemanenan buah jambu biji yang masak dilakukan dalam periode dua sampai tiga bulan. Parimin (2007) menyatakan bahwa jambu batu/biji memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Ada beberapa macam jambu biji yang dikenal di Indonesia, antara lain: 1. Jambu Pasarminggu Jambu Pasarminggu memiliki dua varian: berdaging buah putih dan merah. Yang berdaging putih, dikenal sebagai jambu 'susu putih', lebih digemari karena rasanya manis, daging buahnya agak tebal, dan teksturnya lembut. Yang berdaging buah merah kurang disukai karena buahnya cepat membusuk dan rasanya kurang manis. Kulit buahnya tipis berwarna hijau kekuningan bila masak. Bentuk buahnya agak lonjong dengan bagian ujung membulat, sedangkan bagian pangkal meruncing. Jambu Pasarminggu merupakan ras lokal. 2. Jambu Getas Merah Jambu Getas Merah adalah varian jambu biji yang berdaging hijau sampai kekuningkuningan dan berisi merah muda. Jambu ini beda dengan jambu Pasarminggu, jambu ini bentuknya agak melonjong dan rasanya kurang manis, tetapi jambu ini memiliki khasiat yang baik karena mengandung tanin, quersetin, glikosida quersetin, flavonoid, minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat, asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin, dan vitamin yang lebih banyak. Kelebihannya lagi jambu getas merah ini tidak mengenal musim, dan selalu berbuah setiap saat dan kebanyakan dikembangbiakkan dengan pencangkokan. Jambu ini sudah banyak dibudidayakan di daerah Kendal, asalnya dari Getasblawong Pageruyung Kendal.
3.
Jambu Australia Jambu Australia diintroduksi dari Australia. Kekhasannya adalah daunnya berwarna merah keunguan. Walaupun buahnya dapat dimakan, biasanya orang menanam di pekarangan lebih sebagai tanaman hias. Buahnya manis bila sudah masak, tetapi tawar bila belum matang. 4. Jambu sukun Kata "sukun" berarti "tidak berbiji". Jambu varietas unggul ini memang tidak memiliki biji, kalaupun ada hanya 2-3 biji. Daging buahnya putih kekuningan dengan rasa manis agak asam. Teksturnya agak keras, renyah, dan beraroma wangi. Bentuk buahnya mirip apel, dengan ukuran panjang antara 4-5 cm. Kulit buahnya bila matang berwarna hijau keputihan. Jambu sukun dapat berproduksi terus menerus sepanjang tahun, meskipun relatif sedikit. Namun demikian, jenis jambu ini relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit. 5. Jambu Bangkok Jambu Bangkok merupakan sebutan untuk jambu biji dengan buah yang besar. Beberapa memang diintroduksi dari Thailand. Salah satunya adalah 'jambu sari'. Bentuk buahnya bulat sempurna dengan garis tengah sekitar 10cm. Ukuran buah mentahnya lebih besar daripada ketika matang. Tressler (1953) menyatakan bahwa juice jambu biji mempunyai flavor dan aroma yang disukai, dan sering digunakan untuk pembuatan jelly, marmalade, “punch”, dan produk lainnya serta minuman. Menurut Luh, Kean (1975), jambu biji merupakan salah satu buah yang penting dari famili Myrtaceae, banyak digunakan untuk “puree”, juice, nectar, dan minuman. Parimin (2007) menyatakan bahwa daun jambu biji dikenal sebagai bahan obat tradisional untuk batuk dan diare. Jus jambu biji "bangkok" juga dianggap berkhasiat untuk membantu penyembuhan penderita demam berdarah dengue. Produksi jambu biji pada tahun 1999 sebesar 139517 ton, sedangkan 40483 ton sisanya diimpor dari beberapa negara produsen lain. Negara tujuan ekspor jambu biji antara lain Hongkong, Taiwan, Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Belanda, Tokelau, Malaysia, Thailand, dan Swiss. Ekspor jambu biji pada tahun 2001 sebesar 14370 ton dengan nilai ekspor sebesar US $ 8354. Jambu biji merupakan buah klimakterik dan mempunyai aroma yang khas dan dimakan dalam bentuk segar atau dimasak.
Gambar 1. Buah Jambu Biji Getas Merah Sumber: (Artika, 2010)
6
2.2 Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Jambu Biji Menurut Rismunandar (1981), kadar vitamin C pada jambu biji sebesar 44-389 mg dan kadar vitamin A antara 1900-4890 mikrogram setiap 100 g daging buah. Jambu biji mengandung kalsium dan phosphor yang tinggi (Berry, 1979). Wilson (1980) menyatakan bahwa jambu biji juga mengandung vitamin A yang tinggi. Pada jambu biji yang berdaging buah merah mengandung karoten 3.1 mg per 100 gram daging buah, sedangkan pada jambu biji berdaging buah putih tidak terdeteksi adanya karoten (pada panjang gelombang 450 nm). Jambu biji berdaging buah merah mengandung asam panthotenat sedikit lebih tinggi (0.17 mg/100 g) daripada yang berdaging buah putih (0.13 mg/100 g). Menurut Asenjo et al. (1948), kandungan tiamin rata-rata jambu biji adalah 0.059 mg/100 g daging buah. Kandungan tiamin (vitamin B1) jambu biji yang berdaging buah merah (0.05 mg/100 g buah) lebih tinggi daripada kandungan tiamin jambu biji yang berdaging putih (0.03 mg/100 g buah) (Cordoba, 1961). Menurut Ulrich (1948), kandungan asam utama dari jambu biji adalah asam sitrat dan sedikit asam malat. Seshadri, Vasishit (1964) menyatakan bahwa selama proses pematangan jambu biji terjadi peningkatan jumlah glukosa, arabinosa, dan maltosa yang terdapat dalam daging buah. Kandungan polifenol tertinggi terdapat pada buah yang masih mentah, dan menurun jika buah semakin matang (Wilson, 1980). Chan, Kwok (1975) menyatakan bahwa dengan digunakannya metode kromatografi gas, dapat diketahui bahwa kandungan jambu biji terdiri dari 3.43% fruktosa, 2.08% D-glukosa, 0.31% sukrosa dengan total gula sebesar 5.82%. Komponen flavor jambu biji terdiri dari 12 macam hidrokarbon, 14 macam alkohol, 19 macam karbonil, dan benzotiazol (Wilson, 1980). Parimin (2007) menyatakan bahwa biji jambu biji kering mengandung 14% minyak atsiri, 15% protein, dan 13% tepung. Jambu biji mengandung vitamin C yang cukup tinggi. Kandungan vitamin C jambu biji dua kali lebih banyak dari jeruk manis yang hanya 49 mg per 100 g. Bila dilihat dari jenisnya, jambu merah getas memiliki warna merah dan rasa buah lebih manis dan segar. Di samping itu, jambu jenis ini dipercaya dapat menambah trombosit darah sehingga sering dijadikan obat demam berdarah. Selain itu, jambu biji telah terbukti mengobati diare, disentri, demam berdarah, gusi bengkak, sariawan, jantung, dan diabetes.
2.3 Vitamin C Bredbenner et al. (2009) menyatakan bahwa manusia merupakan salah satu dari beberapa organisme yang tidak dapat membuat dan menyuplai vitamin C. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin C manusia harus disuplai dari makanan yang dikonsumsi. Vitamin sangatlah penting, yang merupakan bahan organik dan dibutuhkan dalam jumlah kecil pada makanan. Vitamin bukan merupakan sumber energi, namun sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan jaringan tubuh. Vitamin C merupakan jenis vitamin yang dapat larut dalam air. Vitamin yang larut dalam air diserap dalam usus kecil dan dilepaskan secara langsung ke dalam darah. Vitamin C juga dikenal sebagai ascorbic acid, dan merupakan jenis vitamin yang paling tidak stabil. Vitamin C dapat dengan mudah hilang pada proses pengolahan dan pemasakan. Proses pemasakan dapat menurunkan kadar vitamin C sampai 40%. Vitamin C sangat tidak stabil apabila kontak dengan besi, tembaga, dan oksigen. Sari buah adalah makanan yang bagus untuk melindungi vitamin C karena kadar keasamannya dapat menurunkan kerusakan vitamin C (Bredbenner et al., 2009). 7
Kebutuhan harian vitamin C pada pria dewasa adalah 90 mg/hari, sedangkan wanita dewasa membutuhkan 75 mg/hari. Selain berfungsi sebagai antioksidan, berdasarkan hasil penelitian vitamin C juga dapat dimanfaatkan untuk mencegah kanker dan penyakit jantung (Bredbenner et al., 2009).
2.4 Maltodekstrin Bahan pengisi adalah bahan-bahan yang ditambahkan untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan. Kandungan total padatan berpengaruh pada lama proses pengeringan kabut dan rendemen. Maltodekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam, berwarna putih sampai bening. Maltodekstrin dapat digunakan pada makanan karena maltodekstrin memiliki beberapa sifat penting antara lain maltodekstrin mengalami proses dispersi yang cepat, memiliki daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, dan mampu menghambat kristalisasi. Selain itu, maltodekstrin memiliki nilai DE (dextroseequaivalency) yang tinggi, sehingga kelarutan maltodekstrin akan sangat baik dan lebih meningkat, DE yang rendah berhubungan dengan meningkatnya viskositas dan kadar air. Karena daya larut yang baik pada air dingin dan tidak higroskopis, maka maltodekstrin secara umum digunakan pada pengeringan kabut untuk tujuan penambahan flavor, pengganti lemak, dan penambah massa (You, 2008). Struktur molekul maltodekstrin berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap didalam struktur spiral helix, dengan demikian penambahan maltodekstrin akan dapat menekan kehilangan komponen volatile selama proses pengolahan. Maltodekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, maltodekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama proses penyaringan spray dryer (Gustavo, Barbosa-Canovas, 1999). Gugus hidroksil dalam air, akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul air sekitarnya, jika air dihilangkan maka akan terjadi pengkristalan, karena gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan ikatan gugus hidroksil yang lain sesama monomer. Oleh karena itu, semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan, semakin cepat terjadi pengkristalan dan penguapan kadar air bahan akan semakin rendah (Gustavo, Barbosa-Canovas, 1999). Dekstrinisasi adalah proses untuk mendapatkan dekstrin dan merupakan cara tertua untuk memodifikasi pati. Molekul-molekul pati yang besar dan tidak dapat larut dalam air dingin dihidrolisis hingga menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Dalam hal ini ukuran molekul dikurangi sampai tingkat dimana molekul tersebut menjadi dapat larut dalam air dingin. Karena melibatkan panas, maka dekstrinisasi sering disebut pula “pyroconversions”. Perubahan-perubahan yang terjadi pada polimer-polimer D-glukosa pati selama “pyroconversions” sangat kompleks. Pada penelitian terdahulu untuk pengeringan tepung jambu biji oleh Soelistyo (1988), konsentrasi optimal maltodekstrin yang digunakan dalam pembuatan minuman bubuk jambu biji sebesar 3%, dengan menggunakan suhu pengeringan kabut 160o C.
2.5 Tepung Instan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), instan berarti langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan, seperti kopi, susu bubuk. Sedangkan menurut Prasetiyo (2003), disebut instan karena dapat dengan cepat disajikan dan dinikmati, yaitu cukup menyeduhnya dengan air. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tepung dapat diartikan sebagai barang yang lumat 8
atau berbutir-butir halus seperti tepung, abu, atau bubuk. Anonim (2011) menyatakan bahwa tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung pemakaiannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Muchtadi et al. (1995) menyatakan bahwa produk yang berbentuk bubuk mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih awet untuk disimpan karena kadar airnya rendah, praktis dalam penggunaan serta memudahkan dalam pengemasan dan pengangkutan.
2.6 Tepung Jambu Biji Tepung jambu biji didapatkan melalui dua tahapan, yaitu tahapan/proses pembuatan sari buah dan dilanjutkan dengan proses pengeringan. Tepung jambu biji dapat digunakan sebagai alternatif minuman instan. Badan Standardisasi Nasional Indonesia belum mengeluarkan standar nasional tepung minuman rasa jambu, oleh karena itu sebagai acuan, pada Lampiran 7 terdapat syarat mutu tepung minuman rasa jeruk. Pada penelitian Soelistyo (1988) mengenai pembuatan tepung jambu biji dengan menggunakan pengering kabut, suhu pengeringan yang digunakan adalah 160o C dengan penambahan dekstrin pada empat taraf yaitu 3, 7, 11, dan 15%. Perendaman dalam natrium bisulfit selama 15 menit, dengan tingkat konsentrasi tiga taraf yaitu 0.1, 0.2, dan 0.3 persen. Serta penambahan tepung gula sebanyak dua taraf yaitu 60 dan 75 persen. Secara umun, dari perlakuan yang ada, hasil terbaik adalah A3B1C2 (perendaman natrium bisulfit 0.3%, dekstrin 3%, dan tepung gula 75%). Perlakuan A3B1C2 memberikan hasil antara lain: rendemen sebesar 9.28%, densitas kamba 0.83 g/ml, kadar air 2.33%, vitamin C 456.24 mg/100 g, dan kelarutan sebesar 83.76%. Perendaman natrium bisulfit dengan konsentrasi lebih tinggi memberikan hasil yang lebih tinggi pula pada semua perlakuan, kecuali kadar abu, kelarutan, dan total asam tertitrasi, tidak memberikan pengaruh yang nyata. Penambahan dekstrin meningkatkan rendemen, kadar air, dan densitas kamba. Akan tetapi, menurunkan pH, vitamin C, total asam tertitrasi serta nilai kesukaan aroma, rasa, dan warna. Penambahan tepung gula meningkatkan rendemen, kadar air, kelarutan, derajat keputihan, nilai kesukaan aroma dan rasa. Menurunkan densitas kamba, kadar abu, total asam tertitrasi, vitamin C dan nilai kesukaan warna. Lindawati (1992) dalam penelitiannya mengenai pembuatan minuman bubuk jambu biji, menggunakan suhu pengering kabut sebesar 180o C. Perlakuan penambahan dekstrin adalah pada taraf 6%, 9%, dan 12%. Perbandingan daging buah dan air pengekstrak adalah 1:1. Flavor yang ditambahkan sebanyak 0.4%, gula yang ditambahkan sebanyak 15% sebelum proses pengeringan dalam bentuk gula pasir, dan 25% sesudah proses pengeringan dalam bentuk gula halus. Asam askorbat ditambahkan setelah proses pengeringan sebanyak 300, 450, dan 600 mg/100 g produk sedangkan kondisi tekanan alat pengering kabut pada 4.8 kg/cm2. Semakin banyak jumlah dekstrin yang ditambahkan, kadar air, nilai pH, nilai kesukaan terhadap aroma dan rasa akan menurun. Tetapi sebaliknya, rendemen, derajat putih, nilai kesukaan terhadap warna semakin meningkat. Nilai penerimaan umum tertinggi diberikan pada penambahan 9% dekstrin. Peningkatan jumlah asam askorbat yang ditambahkan mengakibatkan peningkatan kadar asam askorbat, asam tertitrasi total dan nilai kesukaan terhadap rasa, sebaliknya nilai pH semakin menurun. Hasil terbaik adalah pada tingkat penambahan 6-9% dekstrin dan 600 mg asam askorbat/100 gram produk.
9
2.7 Pengeringan Muchtadi et al. (1995) menyatakan bahwa pengeringan merupakan suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan menggunakan energi panas, sehingga tercapai tingkat kadar air kesetimbangan dengan kondisi udara normal. Dengan kadar air yang rendah, maka daya tahan produk dapat ditingkatkan dan produk lebih awet. Nasution (1982) menyatakan bahwa pengeringan merupakan metode untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Pengeringan merupakan metode tertua untuk pengawetan bahan pangan. Hal ini karena dalam keadaan kering mikroba pembusuk tidak dapat tumbuh, dan enzim penyebab perubahan kimia tidak dapat aktif secara normal. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah pengangkutan dan pengepakan. Di samping itu, pengeringan juga menimbulkan beberapa kerugian antara lain terjadinya perubahan warna, tekstur, dan aroma (Winarno et al., 1982). Menurut Achanta, Okos (2000), pengeringan makanan telah diaplikasikan untuk beberapa alasan, antara lain: meningkatkan umur simpan, mengurangi biaya pengemasan, menurunkan beban pengiriman, meningkatkan rasa dan aroma, penambahan nilai jual dengan merubah struktur dari produk asli dan penambahan nilai gizi atau nutrisi. Purnomo, Adiono (1985) menyatakan bahwa pengeringan mempunyai kerugian hilangnya flavor yang mudah menguap dan memucatnya pigmen, perubahan struktur, dan menimbulkan bau gosong pada kondisi tidak terkendali. Ada beberapa peranan udara pada proses pengeringan bahan, antara lain: udara mengambil uap di daerah pengeringan, udara menghantarkan panas ke dalam bahan yang dikeringkan, dan udara merupakan tempat membuang uap yang telah diambil dari tempat pengeringan (Sutijahartini, 1985). Menurut Sutijahartini (1985), kadar air bahan yang diketahui karena proses pengeringan dapat dinyatakan dalam dua macam, yaitu kadar air berdasarkan bahan basah (b.b.) dan kadar air berdasarkan bahan kering (b.k.). Kadar air basis kering adalah jumlah air yang diuapkan per berat bahan setelah pengeringan. Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan sebelum pengeringan dikurangi berat bahan setelah pengeringan atau dinyatakan pada persamaan (1) berikut ini:
(1) Kadar air basis basah dinyatakan sebagai jumlah air yang diuapkan per berat bahan sebelum pengeringan, dengan rumus pada persamaan (2) berikut ini:
(2)
2.8 Spray Dryer Nasution (1982) menyatakan bahwa ada beberapa macam alat pengering yang dapat digunakan, dan ini tergantung dari jenis bahan yang hendak dikeringkan. Penggunaan spray dryer/pengering kabut terutama digunakan untuk produk yang sensitif terhadap panas seperti susu, telur, dan keju (Potter, 1980). Buah-buahan yang berbentuk sari buah, bubur, dan pasta dapat dikeringkan dengan pengering kabut, dan beberapa di antaranya harus diberi perlakuan penambahan pati (Master, 1979). 10
Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa pengeringan kabut biasanya dilakukan terhadap bahan yang berbentuk fluida dengan kadar air tinggi. Fluida diusahakan menjadi droplet dengan cara menyemprotkan fluida yang dimaksud menggunakan sprayer (nozzle) pada tekanan tinggi, kemudian dialirkan ke dalam sebuah ruang yang di dalamnya terdapat hembusan udara panas. Sebagian besar kandungan air di dalam droplet menguap pada kecepatan konstan. Menurut Loesecke (1995), pada pengering kabut (spray dryer), bahan dari bentuk larutan, suspensi, atau sludge, dikabutkan dalam udara panas. Udara mengalirkan panas ke bahan yang telah dikabutkan, dan air yang terkandung di bahan akan menguap, sehingga yang tertinggal adalah padatan sebagai tepung yang terbang di siklon. Metode pengabutan bervariasi tergantung pada bahan yang akan dikeringkan. Pengabut atau yang dinamakan atomizer dapat berbentuk disc, nozzle, dan lain-lain, tergantung tujuan dalam pengeringan. Atomizer dapat diletakkan di bagian atas, tengah, samping, atau di bagian bawah dari drying chamber. Menurut Sutijahartini (1985), bahwa bahan yang berbentuk larutan atau pasta dikeringkan menjadi bentuk butiran halus dengan spray dryer. Larutan atau pasta dikabutkan kedalam aliran udara panas, dan pemindahan panas berlangsung dengan cepat sehingga tetesan langsung kering dan tidak mengadakan kontak dengan tetesan yang tinggal butiran halus dan kering. Butiran bahan kering akan jatuh dan terkumpul pada alas pengering dan dengan alat pengumpul debu butiran-butiran ini dihisap serta dikumpulkan dalam bak penampung bahan kering. Master (1979) menyatakan bahwa waktu kontak antara droplet dengan udara panas dalam ruangan pengering berlangsung sangat singkat hanya beberapa detik, sehingga sedikit sekali kemungkinan terjadinya degradasi karena panas. Sedangkan menurut Kjaergaard (1974), produk mengalami pengeringan tanpa bersinggungan dengan logam panas, suhu produk relatif tetap rendah, walaupun pengeringan dilakukan pada suhu relatif cukup tinggi. Penguapan berlangsung sangat cepat, karena luasnya permukaan bahan. Gambar 2 memperlihatkan skema alat pengering kabut.
Gambar 2. Skema pengering kabut (spray dryer) Sumber: (Anonim, 2011)
Loesecke (1995) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan pada pengering kabut, antara lain: 1. Desain Banyak pengering yang menjamin bahwa campuran antara pergerakan udara yang cepat dengan bahan yang dikeringkan mendorong pengeringan dengan cepat. Pengering kabut adalah salah satu pengering yang dalam kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan pengering tipe lain. Dalam kasus tunnel dryer, pengeringan cepat adalah pencapaian terbaik dengan pergerakan udara 11
2. 3.
4.
5.
6.
melewati tunnel dalam arah yang berbeda menuju produk, atau dengan menambahkan udara panas di jalur akhir pada tunnel dan daerah pengeluaran dingin, udara lembab di atau dekat pusat. Apabila udara dipaksa melewati bahan lebih dari kapasitasnya, pengeringan akan lebih cepat. Isolasi pengering untuk menghambat kehilangan panas dan mengurangi kebocoran udara karena pengeringan cepat. Spray dan tunnel dryer jarang diisolasi bagaimanapun juga. Belum ada yang benar-benar tahu desain terbaik untuk pengeringan, karena belum diketahui kondisi terbaik pengeringan untuk produk, atau apa saja yang terjadi selama pengeringan. Volume aliran udara Total volume aliran udara yang tinggi sangat sesuai untuk pengeringan yang cepat. Suhu tinggi Jika udara yang masuk dipanaskan sampai suhu tertinggi dan dapat dipertahankan dengan aman untuk bahan yang akan dikeringkan selama pengeringan, maka proses pengeringan yang cepat akan terjadi. Bahan yang lembab dan masih mengandung kadar air yang tinggi, akan lebih toleran pada suhu yang lebih tinggi saat pengeringan, ketika bahan tetap dingin karena laju penguapan air. Proporsi sirkulasi udara Jika bagian udara yang seharusnya keluar lewat saluran pengeluaran kembali bercampur dengan udara segar yang datang dan kemudian dipanaskan, maka udara akan berlalu dan bahan akan lebih lembab. Waktu pengeringan lebih lama, akan tetapi ada penghematan energi. Laju pemasukan dari bahan Dalam pengering tunnel, operasi yang ideal menjadi satu dalam udara yang melewati tunnel yang tidak akan dingin, dan kelembaban relatif akan rendah. Kondisi ini dapat dicapai dengan penurunan berat bahan basah yang dimasukkan ke pengering. Banyak pengering yang melebihkan tray, menjamin bahwa dengan cara ini, dapat meningkatkan kapasitas pengeringan. Pemasukan tray dapat menjadi lebih berat dimana aliran udara melewati bahan. Keadaan produk yang dikeringkan Jika kadar air bahan yang akan dikeringkan sulit untuk dihilangkan karena struktur fisik dan kadar gula yang tinggi, pengeringan tidak akan terpengaruh oleh banyaknya panas yang disalurkan.
Pada umumnya alat pengering mempunyai dua zona pengeringan yaitu pengeringan primer dan sekunder. Pada zona pengeringan primer, air menguap dari droplet dengan diikuti oleh penurunan suhu udara pengering yang cukup besar. Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa pada zona sekunder, air menguap dari droplet dalam jumlah yang relatif sedikit sehingga penurunan suhu udara pengering tidak begitu nyata. Master (1979) menyatakan bahwa ada tiga elemen terpenting pada pengering kabut yaitu atomizer, ruang pengering, dan pengumpul partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang akan dikeringkan. Pengeringan kabut terdiri dari empat tahapan proses, yaitu (1) atomisasi bahan, sehingga dapat membentuk kabutan sehalus mungkin, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi dengan udara pengering, (3) penguapan air bahan, dan (4) pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya. Larutan yang akan dikeringkan harus mempunyai konsentrasi yang tinggi. Hal ini menyangkut efisiensi dari alat pengering itu sendiri dan masalah ekonomi yang menyangkut rendemen hasil pengeringan. Konsentrasi yang baik untuk produk buah-buahan adalah 30-35%. Menurut Soekarto, Syarief (1992), suhu udara pengering yang lazim digunakan berkisar antara 148.88 sampai 260o C dan ketika meninggalkan alat pengering suhu telah turun menjadi sekitar 76.67 12
sampai 104.44o C. Produk buah-buahan suhu pengeringan yang umumnya digunakan adalah 135-180o C (Master, 1979). Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa kecepatan aliran udara pengering berkisar antara 0.381 sampai 0.635 m/s, agar droplet dapat bergerak jatuh sementara air di dalamnya menguap dan kemudian setelah kering mengendap di bagian dasar ruang pengering. Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa arah lintasan droplet ketika jatuh di dalam ruang pengering relatif terhadap arah aliran udara pengering menentukan ukuran droplet yang harus disediakan baik melalui spuyer atau piringan berputar. Berdasarkan desain, pengering kabut dapat digolongkan menjadi lima golongan, yaitu: 1. Mendatar dan arah litasan droplet seiring dengan aliran udara 2. Tegak (sederhana) dan arah lintasan droplet ke bawah seiring dengan aliran udara. Golongan ini dibagi lagi menjadi dua yaitu: a. Aliran udara lurus b. Aliran udara berputar tetapi secara keseluruhan arahnya seiring dengan lintasan droplet (ke bawah) 3. Tegak (tidak sederhana) dan arah lintasan droplet ke bawah seiring dengan aliran udara 4. Tegak dan arah aliran droplet ke atas seiring dengan aliran udara 5. Tegak tetapi arah lintasan droplet berlawanan dengan arah aliran udara pengering Indryani (2000) menggunakan alat pengering kabut pada pembuatan tepung agar-agar, dan hasil terbaiknya diperoleh dengan perlakuan suhu inlet dan outlet sebesar 180o C dan 85o C dengan tekanan semprot 3 bar dan suhu inlet dan outlet 190o C dan 90o C dengan tekanan semprot 1.5 bar. Hudin, Winarno (1989) menggunakan alat pengering kabut pada pembuatan sari cakar ayam instan, dan hasil terbaiknya diperoleh dengan perlakuan tepung beras sebagai bahan pengisi pada konsentrasi 15% dengan suhu pengering 190o C. Muchtadi et al. (1995) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pengeringan dengan alat pengering kabut dan pengering drum terhadap aktivitas antitrombotik bawang putih dan bawang merah, menyatakan bahwa pengeringan menurunkan aktivitas antitrombotik bawang. Bubuk bawang yang mempunyai aktivitas antitrombotik tertinggi adalah bubuk bawang putih hasil pengering kabut dengan nilai D50 0.048 mg/ml, diikuti oleh bubuk bawang putih hasil pengering drum, bubuk bawang merah hasil pengering kabut, dan bubuk bawang merah hasil pengering drum, dengan nilai D50 masing-masing 2.56, 3.02, dan 4.60 mg/ml.
13