3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oriented Strand Board (OSB) OSB merupakan produk panel kayu struktural yang diproduksi dari perekat thermosetting tahan air biasanya direkat dengan PF (fenol formaldehida), MDI (Methylene di-phenil di-Isocyanate) atau isocyanate, dan partikel kayu yang berbentuk strand. Pembentukan lapik (mats), arah serat masing-masing strand diatur sedemikian rupa sehingga arah serat lapisan permukaan tegak lurus terhadap arah serat lapisan inti sehingga memiliki kekuatan dan karakteristik seperti kayu lapis (Nuryawan et al. 2006). Menurut Marra (1992), ukuran dimensi strand adalah panjang 0,5-3 inchi (1,25-7,5 cm), lebar 0,25-1 inchi (0,625-2,5 cm), dan tebal 0,010-0,025 inchi (0,025-0,0625 cm). ukuran lain untuk strand yang diungkapkan Haygreen et al. (1982) dan Maloney (1993) dalam Nuryawan et al. (2006) Strand merupakan pasahan yang memiliki panjang relatif tetapi datar dengan arah panjang serat sejajar permukaan. Ukuran panjang strand biasanya 3 inchi (75 mm) atau lebih panjang. Berdasarkan hasil penelitian Nishimura et al. (2004) yang menggunakan lima macam ukurn strand maka disimpulkan bahwa strand dengan luasan lebih besar akan memiliki aspect ratio lebih rendah dibandingkan strand dengan luasan kecil. Namun untuk mendapatkan kekuatan yang optimal dimana kekuatan lengkung dan kekakuan yang lebih besar, maka strand kayu yang dibuat harus memiliki aspect ratio paling sedikit tiga (Youngquist 1999). Pada tahun 1949, Armin Elmendorf adalah orang pertama yang mendeskripsikan OSB dan mendapatkan patennya pada tahun 1965. Kayu atau bahan berlignoselulosa yang digunakan sebagai bahan baku OSB harus dikonversi sedemikian rupa membentuk strand-strand (Nuryawan et al. 2006). OSB dan pendahulunya waferboard telah dikembangkan sejak tahun 1960an. Pada awalnya OSB dan waferboard diaplikasikan sebagai pelapis struktural pada bagian permukaan luar rangka sebelum ditempel dinding, atap ataupun lantai (sheating) pada bangunan rumah. Selanjutnya diaplikasikan sebagai elemen
4
bangunan yang memberikan kekuatan geser terhadap beban angin dan gempa (shearwall) (Structural Board Association 2004). Menurut Suchsland (1986) dalam Nuryawan et al. (2006) OSB berbeda dengan produk panel lain. OSB bersama papan wafer dan papan partikel memiliki bahan penyusun partikel dan dibuat dengan menggunakan proses kering. Berat jenis OSB berkisar antara 0,5 hingga 0,8. OSB dan papan wafer tergolong papan parikel hanya saja terbuat dari partikel kayu berukuran lebih besar dan penggunaannya ditunjukkan untuk keperluan struktural. Menurut Structural Board Association (2005), keberadaan OSB ini pada awalnya merujuk pada waferboard yang telah ada sejak tahun 1962, baru kemudian pada tahun 1981 secara komersial muncul OSB dan sekarang ini keberadaannya telah menggantikan waferboard. Spesifikasi sifat-sifat secara kuantitatif OSB berdasarkan standar Canada CSA 0437.0 untuk standar sifat-sifat dasar OSB serta papan partikel berdasarkan standar JIS A 5908 (2003) dalam Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisis mekanis papan partikel dan OSB Sifat Papan Sifat Fisis 1. Kerapatan 2. Kadar Air (%) 3. Pengembangan Tebal (%) 4. Daya Serap Air (%) Sifat Mekanis 1. MOE // Serat (Kg/cm2) 2. MOE ┴ Serat (Kg/cm2) 3. MOR // Serat (Kg/cm2) 4. MOR ┴ Serat (Kg/cm2) 5. Internal Bond (Kg/cm2) 6. Kuat Pegang Sekrup (Kg)
JIS A 5908 (2003) 0.4-0.9 5-13 ≤ 12 ≥ 20000 ≥ 80 ≥ 1.50 ≥ 30
CSA 0437.0 (Grade O-2)*
CSA 0437.0 (Grade O-1)*
≤ 15 -
≤ 15 -
55000 15000 290 124 3.45
45000 13000 234 96 3.45
*Structural Board Asociation (2004)
Menurut Sulthoni (1994) dalam Nuriyatin (2000), kegunaan dan peranan bambu di Indonesia sangat besar sehingga diharapkan dapat berperan sebagai pengganti atau subtitusi kayu. Hal ini didukung pula dengan sifat tanaman bambu yang dapat tumbuh dengan cepat sehingga tingkat produksi lebih banyak
5
dibandingkan kayu, sehingga diharapkan di masa yang akan datang tekanan terhadap kayu menjadi berkurang Dalam mengenal bambu orang sering mengalami kesulitan, karena kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Bagi pakar taksonomi, perbungaan tetap merupakan bagian terpenting untuk membedakan jenis, tetapi karena bambu jarang berbunga kemungkinan lain untuk mengidentifikasi bambu adalah dengan menggunakan ciri morfologi, seperti rebung, pelepah buluh dan sistem percabangannya (Widjaja 2001). Akar rimpang terdapat di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat digunakan untuk membedakan kelompok bambu. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit daripada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjang dan akhirnya menghasilkan buluh. Ada dua macam sistem percabangan akar rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh akar rimpangnya yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh akar rimpangnya yang monopodial). Di Indonesia, jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem perakaran pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga (Widjaja 2001). Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Rebung dapat digunakan untuk membedakan jenis karena menunjukkan ciri khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya hitam, tetapi ada juga yang coklat atau putih, dan beberapa bulu dapat menyebabkan kulit menjadi sangat gatal sedangkan yang lain tidak. Pada beberapa jenis bambu rebungnya tertutup oleh bulu coklat seperti beludru (misalnya Dendrocalamus asper) (Widjaja 2001). Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Beberapa jenis memiliki ruas panjang, misalnya Schizostachyum lima, dan yang lain memiliki ruas pendek, misalnya Bambusa vulgaris dan B. blumeana. Selain berbeda dalam panjang ruasnya, beberapa jenis tertentu mempunyai diameter buluh yang berbeda. Jenis D. asper memiliki diameter buluh terbesar, yang diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001).
6
2.2.1 Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex. Heyne) Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult f.) Backer ex Heyne) disebut juga Giant Bamboo (Inggris), Awi Bitung (Sunda), Buluh Batung (Batak). Tersebar di wilayah Sumatra, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Seram dan Irian Barat. Di Jawa, Bambu Betung dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Bambu Betung dapat tumbuh pada banyak jenis tanah, namun akan lebih baik pada tanah berat dengan drainase yang baik (Dransfield & Widjaja 1995). Buluh bambu betung tingginya mencapai 30 m dengan ujung melengkung, diameter 8-15 cm, ruas panjangnya 30-40 cm, dinding tebalnya mencapai 1 cm. buluh muda bagian bawah tertutup bulu coklat lebat dan berbeludru (Widjaja 2001). Pada tahap awal, pertumbuhan rebungnya terlihat pendek, terbungkus dalam pelepah batang yang rapat dan bermiang dengan warna miang coklat sampai kehitaman. Rebung tumbuh cepat menjadi batang bambu selama musim hujan. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum, seludung buluh membuka dan diikuti dengan tumbuhnya primodia tunas lateral sebagai bakal cabang. Percabangan tumbuh mulai dari 1/3 buku bagian atas diikuti percabangan dibagian tengah buluh terus kebagian bawah. Percabangan bambu betung termasuk kelompok banyak cabang (bud multiple branching), 10-20 anak batang dalam satu buku. Mata cabang dalam buluh terdiri dari mata cabang yang besar di bagian tengah (central bud) dan kelompok mata cabang yang lebih kecil di kiri kanannya (Dransfield & Widjaja 1995). Jenis bambu ini memiliki ukuran pelepah 20-40 cm x 20-25 cm, bagian bawah sangat kecil, tertutup bulu coklat tua sampai coklat muda, pelepah melancip keujung (lanceolate), lidah pelepah batang (ligule) panjang 10 cm. helaian daun berukuran 30 cm x 2,5 cm, bagian dasar pendek, membesar di atas, berbulu, lidah daun pendek, tidak mempunyi telinga daun (auricle) (Dransfield & Widjaja 1995). Perkiraan dimensi serat dari D. asper adalah panjang 3.78 mm, diameter 19 µm, lebar lumen 7µm, dan tebal dinding 6 µm. Rata-rata kadar air dari batang bambu segar adalah 55%, dan kadar air kering udara 15%. Berat jenisnya 0,7
7
dengan penyusutan radial 5-7% dan tangensial 3,5-5%. Perkiraan kandungan holoselulosa dari batang adalah sebesar 53%, pentosan 19%, lignin 25% dan abu 3%, kelarutan dalam air dingin, air panas, alcohol benzene, dan NaOH 1% berturut-turut adalah 4,5%, 6%, 1%, dan 22% (Dransfield & Widjaja 1995). Pada batang dalam keadaan kering udara (kadar air 12,68%), nilai kekakuan (MOE) pada bagian pangkal 186402 kg/cm2 dan bagian ujung 187926 kg/cm2, nilai keteguhan patah (MOR) pada bagian pangkal 1158 kg/cm2 dan bagian ujung 1232 kg/cm2. Nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bagian pangkal 360 kg/cm2 dan bagian ujung 431 kg/cm2 sedangkan nilai keteguhan tarik sejajar serat pada bagian pangkal 1808 kg/cm2 dan bagian ujung 1933 kg/cm2 (Nuriyatin 2000). Bambu betung memilki potensial ekonomi dan kegunaan yang banyak di masyarakat Indonesia. Batang bambu betung baik untuk furniture dan industri chopstick. Batang bambu betung sangat tebal dan kuat sehingga sering dipakai sebagai bahan bangunan atau jembatan. Ruas dari buku bagian atas yang panjang dipakai sebagai tempat nira juga tempat menanak nasi atau daging seperti di daerah Serawak. Di Thailand D. asper dikenal dengan sebutan “sweet bamboo” karena rebung mudanya sangat manis dan tebal, dapat dikonsumsi sebagai sayuran dan acar (Dransfield & Widjaja 1995). 2.2.2
Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)
Bambu andong memiliki tempat tumbuh pada tanah liat berpasir/tanah berpasir dengan ketinggian hingga 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan per tahun 2350-4200 mm, pada temperatur 20-320C, dengan tingkat kelembaban relatif sekitar 70%. Adapun budidaya bambu andong ditanam pada jarak tanam 8 m x 8 m. pemberian pupuk organik maupun pupuk kompos pada awal penanaman sangat berguna sekali bagi peningkatan produksi. Juga dianjurkan untuk dilakukan pembersihan gulma, diperhatikan tentang pengairan serta pengemburan tanah. Pembersihan dasar rumpun tua dan penggalian ulang tanah akan memacu pertumbuhan batang baru. Bambu andong berbentuk simpodial dengan tinggi batang 7-30 m, diameter 5-13 cm dan ketebalan dinding mencapai 2 cm. dimensi serat bambu andong adalah panjang 2,75-3,25 mm, diameter 24,55-37,97 µm, jumlah serat bertambah sekitar 10% dari pangkal ke ujung batang. Penyebarannya secara luas di Jawa,
8
Bali, Sumatra, Pulau mentawai. Bambu andong hidup pada daerah dengan ketinggian 0-700 mdpl yang beriklim kering. Berat jenis 0,55-0,7 (antar ruas) dan 0,6-0,8 (ruas) (Dransfield dan Widjaja 1995). Pada batang dalam keadaan kering udara (kadar air 13,40 %), nilai kekakuan (MOE) pada bagian pangkal 93203 kg/cm2 dan bagian ujung 115343 kg/cm2. Nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bagian pangkal 188 kg/cm2 dan bagian ujung 224 kg/cm2 sedangkan nilai keteguhan tarik sejajar serat pada bagian pangkal 2253 kg/cm2 dan bagian ujung 1074 kg/cm2 (Nuriyatin 2000) 2.2.3
Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland)
Bambu ampel sering disebut juga dengan nama lokal yakni, Pring Ampel, Awi Ampel Haur. Bambu ini banyak tersebar di daerah Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Maluku. Bambu ampel memilki tinggi mencapai 10-20 m (batang berbulu sangat tipis dan tebal dinding batang 7-15 mm), dan memiliki diameter 410 cm (jarak buku 20-45 cm) rumpun tidak begitu rapat serta memiliki warna batang kuning muda bergaris hijau tua. Bambu ampel terdiri atas dua varietas yaitu varietas hijau yang digunakan sebagai pagar, bangunan dan juga industri mebel. Sedangkan varietas yang kuning umumnya digunakan sebagai tanaman hias (Febriyani 2008). Menurut Kusumaningsih (1997) dalam Manuhuwa dan Laiwatu (2006), jumlah pati pada bambu ampel tertinggi dibandingkan dengan bambu betung (D. asper), bambu wulung (Gigantochloa antroviolacea) dan bambu apus (Gigantochloa apus), sehingga bambu tersebut mengalami kerusakan yang lebih banyak oleh serangan kumbang bubuk. Dengan demikian selain jumlah sel pori dan diameter sel pori, maka jumlah pati yang dikandung bambu sangat menentukan keawetan bambu. Nilai MOE pada bilah bambu ampel berkisar antara 102.776-128.414 kg/cm2 dengan rata-rata 112.050 kg/cm2. MOE pada bagian buluh rata-rata 75.036 kg/cm2. Nilai MOR pada bilah berkisar antara 1.040-1.284 kg/cm2 dengan ratarata 1.224 kg/cm2. Sedangkan rata-rata MOR pada buluh adalah 483 kg/cm2 (Anas 2012)
9
Berdasarkan penelitian Munawar (2001) dalam Manuhuwa dan Laiwatu (2006), kadar alfa-selulosa bambu ampel (Bambusa vulgaris) yaitu 40,39%, ekstraktif larut alcohol benzene sebesar 3,20%. 2.3 Perlakuan Pendahuluan Steam Pemanasan kayu dapat mengubah sifat-sifat kayu. Pemanasan dapat menurunkan higroskopisitas, meningkatkan stabilitas dimensi dan resistensi kerusakan. Namun di waktu yang sama, peningkatan
stabilitas dimensi dan
keawetan juga meningkatkan kerapuhan dan kehilangan beberapa sifat kekuatan, termasuk terhadap keuletan, MOR dan kegagalan dalam pengerjaan. Perlakuan ini biasanya menyebabkan warna yang gelap pada kayu dan kayu cenderung retak dan belah. Kayu dapat dipanaskan dengan beberapa cara yaitu pemanasan dengan air, pemanasan dengan air diikuti oleh tekanan, pemanasan kayu kering, dan pemanasan kayu kering diikuti oleh tekanan. Beberapa proses perlakuan pemanasan komersial tanpa udara dengan temperatur sekitar 180 sampai 260 oC dengan waktu dari selang beberapa menit sampai beberapa jam. Temperatur di bawah 140 oC menghasilkan perubahan yang sedikit pada sifat fisis, dan pemanasan di atas 300 oC menghasilkan degradasi kayu yang besar. Kayu dapat dipanaskan dengan pengukusan, gas inert, dan di minyak panas (Ibach 2010). 2.4 Perekat Perekat adalah substansi yang memilki kemampuan untuk mampersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaannya. Merekatnya dua buah benda yang direkat terjadi disebabkan adanya gaya tarik menarik antar perekat dengan bahan yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (gaya kohesi) antar perekat dengan perekat/antar bahan yang direkat (Vick 1999). Dilihat dari reaksi perekat dengan panas, maka perekat dapat dibedakan atas perekat thermosetting dan thermoplastic. Perekat thermosetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan sebuah katalisator yang disebut hardener dan bersifat irreversible. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat yang termasuk jenis
ini
adalah
phenol
formaldehyde,
urea
formaldehyde,
melamine
formaldehyde, isocyanate, resorcinol formaldehyde. Perekat thermoplastic adalah perekat yang dapat melunak jika terkena panas dan menjadi mengeras kembali
10
apabila suhunya telah rendah. Contoh perekat yang ternasuk jenis ini adalah polyvynil adhesive, cellulose adhesive, dan acrylic resin adhesive (Pizzi 1983). Proses yang berpengaruh dalam pemilihan perekat yaitu memasukkan biaya, proses perekatan, kekuatan ikatan, dan daya tahan perekat. Kekuatan produk tergantung pada distribusi penggunaan tekanan yang tepat antara tahap perekat dan kayu. Perekat pada produk komposit (strandboard, fiberboard, particleboard) diaplikasikan pada kayu (strand, serat, partikel), kemudian dibentuk ke dalam mat dan dikempa panas sampai menjadi produk jadi (Frihart 2005). Perekat merupakan unsur yang sangat berperan dalam pembuatan papan partikel, karena sifat papan partikel yang dihasilkan sangat ditentukan oleh jenis dan komposisi perekat yang digunakan. Selain itu perekat menduduki porsi yang paling tinggi dalam biaya total pembuatan papan partikel. 2.4.2
Perekat Fenol Formaldehida (PF)
Menurut Ahmadi dalam Sumardi (2000) bahwa perekat PF adalah molekul berbobot rendah yang terbentuk dari fenol dan formaldehida, dan termasuk ke dalam perekat termoset. Beberapa sifat yang dimiliki oleh perekat termoset yaitu kekuatan kohesif dari termoset melebihi kekuatan tarik kayu, memiliki kepolaran cukup tinggi dan viskositas cukup rendah untuk berpenetrasi ke dalam pori-pori mikro dalam kayu yang secara mekanis bertindak sebagai jangkar. Gugus polar mampu membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan gugus hidroksil kayu. Jadi ada interaksi dwi kutub yang kuat selain gaya sekunder (gaya van der walls). Ikatan kimia polimer dapat terbentuk melalui reaksi kimia antar gugus fungsi dalam kayu dan gugus fungsi dalam resin. Perekat PF memerlukan waktu pengerasan yang lebih lama dibandingkan perekat urea formaldehida (UF). Adanya katalis akan sangat mempengaruhi pengurangan waktu pengempaan secara signifikan pada perekat PF. Fenol terdiri dari grup hidroksil yang diikat dengan senyawa aromatic (benzena). Perekat ini membutuhkan panas yang stabil dan membutuhkan suhu pengempaan yang tinggi yaitu berkisar antara 121 – 149 oC (Maloney 1993). Perekat PF untuk perekatan memiliki berat molekul yang cukup baik. Perekat ini tetap berada pada bagian permukaan partikel dan dapat tahan lama, keras dan tahan terhadap air. Menurut Sumardi (2000) resin PF dapat masuk dan
11
mengembangkan dinding sel kayu, dan setelah dimatangkan dengan panas akan menghasilkan stabilitas dimensi yang tinggi. Polimerisasi resin ini dikendalikan dalam kondisi asam basa (pH) kondisi lainnya juga penting adalah nisbah fenol dan formaldehida. 2.5
Bahan Aditif Parafin ditambahkan untuk mengurangi higroskopisitas dan meningkatnya
stabilitas dimensi papan (Tsoumis 1991). Parafin diharapkan untuk memberikan ketahanan terhadap penyerapan air. Parafin tidak menyumbat dinding sel dan mengubah kadar air setimbangan akhir tetapi cukup untuk membantu produk menahan air sehingga membuatnya kedap udara (Bowyer et al. 2003). Parafin mengandung 50-60% air dan sejumlah kecil pengemulsi, coupling agent, stabilisator beku atau cair. Partikel parafin kecil dibuat dalam emulsi lebih dulu untuk meningkatkan distribusi menjadi lebih baik pada beberapa keadaan (Structural Board Association 2004) Fungsi lain parafin pada produksi papan adalah menimbulkan kesan licin pada permukaan, mengurangi penyerapan air, dan mempermudah pemotongan papan serta pengolahan dengan mesin. Penambahan parafin 1% atau kurang (berdasarkan kering tanur partikel) mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak mempengaruhi sifat kekuatan papan partikel, akan tetapi penambahan lebih besar dari 1% kadang kala akan mrenurunkan sifat kekuatan papan partikel. Hal tersebut dapat dicegah dengan penambahan perekat, menaikkan kerapatan atau mengubah ukuran partikel (Maloney 1993). 2.6 Nondestructive Test Nondestructive Testing (NDT) atau Nondestructive Evaluation (NDE) adalah pengujian sifat fisis mekanis kayu yang tidak menimbulkan kerusakan pada kayu yang diuji sehingga setelah pengujian, kayu tersebut masih bisa digunakan (Ross dan Pallerin 2002). Teknologi NDE untuk material berbahan kayu yang bersifat heterogen atau kombinasi alami sangat berbeda dengan bahan yang bersifat homogen seperti metal, plastik, dan keramik. Sama halnya dengan material berbahan bukan kayu yang sifat mekanisnya telah diketahui dan dikontrol secara ketat selama proses
12
pembuatannya. Teknologi NDE digunakan untuk menemukan adanya keadaan terputus, kekosongan atau pemasukan (Ross dan Pallerin 2002). Di dalam kayu, ketidakteraturan ini terjadi secara alami dan mungkin lebih lanjut disebabkan oleh agen perusak yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu, teknologi NDE untuk kayu digunakan untuk menentukan sejauh mana kealamian dan faktor lingkungan menyebabkan ketidakteraturan dalam kayu untuk kemudian menentukan karakteristik daya gunanya (Ross dan Pallerin 2002) Oliveira et al. (2002) mengemukakan bahwa beberapa variabel yang mempengaruhi kerapatan gelombang (variasi dalam satu jenis kayu) diantaranya: 1.
Kadar air yang tinggi cenderung memperlambat kecepatan rambatan gelombang
2.
Arah serat, kecepatan gelombang lebih cepat pada arah longitudinal (searah serat), diikuti arah radial, dan yang terlama adalah pada arah tangensial
3.
Panjang serat, semakin panjang serat maka semakin cepat rambatan gelombang mengalir Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini adalah tes fisis metode
kecepatan rambatan gelombang suara (stress wave velocity, SWV) pada papan OSB. Metode ini dapat digunakan untuk memprediksi sifat-sifat dari berbagai jenis produk turunan kayu, diantaranya adalah kayu komposit struktural, papan partikel, pelapis atap dan lantai, bagian bawah lantai dan medium density fiberboard (MDF) (Ross dan Pellerin 1988, Brashaw 1991 diacu dalam Brashaw et al. 2004). Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Han et al. (2006) dengan mengevaluasi nilai SWV untuk menduga nilai lentur mekanis dari beberapa produk yaitu OSB, kayu lapis, papan partikel dan kayu solid. Berdasarkan hasil penelitian Han et al. (2006) nilai SWV dpat digunakan untuk menduga sifat mekanis lentur dari OSB, kayu lapis, papan partikel dan kayu solid seperti yang ditunjukkan oleh hubungan yang erat pada model regresi linear antara parameter penduga (SWV) dengan nilai pengujian statis MOE dan MOR.