BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Waduk Jatiluhur Waduk Jatiluhur merupakan waduk terbesar kedua di Indonesia setelah Waduk Gajah Mungkur di Jawa Tengah. Waduk ini terletak paling hilir dari kaskade tiga waduk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, yaitu Saguling,
Cirata dan Jatiluhur. Oleh karena itu, seharusnya waduk ini memiliki kualitas air
yang lebih baik dibanding waduk – waduk di sebelah hulunya (Tontowi, 2004). Secara Administratif waduk ini terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Waduk Jatiluhur mulai beroperasi pada tahun 1967. Berikut ini uraian mengenai morphometri Waduk Jatiluhur yang terangkum dalam tabel 2.1 dibawah ini (Moelyo, 2011). Tabel 2.1 Morphometri Waduk Jatiluhur
Uraian
Keterangan
Altitude Area genangan Catchment area Volume waduk Kedalaman maksimum Kedalaman rata – rata Fluktuasi air PLTA Fungsi utama
115 m 8.300 ha 659.000 ha 2.970.106 m3 90 m 35,8 m 25 m 150 mW Irigasi
Sumber : Moelyo, 2011
Pada umumnya waduk – waduk yang dibangun di Indonesia bersifat multifungsi, yaitu sebagai sarana pembangkit tenaga listrik, sarana pengendali banjir, penyediaan air irigasi, penyediaan air baku air minum, air baku industri, air perikanan, sarana rekreasi, media untuk pembudidayaan Keramba Jaring Apung dan sebagai.
Sebagai waduk yang multifungsi, Waduk Jatiluhur banyak
menerima beban limbah yang dapat menurunkan kualitas air. Limbah tersebut selain berasal dari kegiatan yang berlangsung di dalam Waduk Jatiluhur, juga
5
6
berasal dari kegiatan di luar waduk itu sendiri. Limbah yang berasal dari kegiatan dalam waduk, seperti sisa pakan ikan dari kegiatan KJA. Sedangkan limbah yang
berasal dari luar, seperti kegiatan rumah tangga, pertanian, industri dan lain – lain yang terdapat di bagian hulu waduk dan Sungai Citarum serta sekitar waduk
tersebut (Ilosangi, 2001). Pada tahun 1988 dilakukan pembudidayaan Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Waduk Jatiluhur.
Budidaya ini direkomendasikan berkaitan dengan
program pemindahan dan pemukiman kembali (resettlement) penduduk yang terkena proyek pembangunan bendungan dan waduk. Tercatat pada tahun 1991
sebanyak 502 petak KJA, tahun 1995 sebanyak 2100 petak KJA dan tahun 2004 sebanyak 3216 petak KJA digunakan dalam budidaya ikan di perairan Waduk Jatiluhur, dengan produksi ikan sebanyak 3.145 ton per tiga bulan (PJT II, 2007). Namun, sejalan dengan keberhasilan dan dampak positif yang dicapai, terindikasi timbul beberapa permasalahan berkaitan dengan pelestarian sumber daya air di perairan Waduk Jatiluhur dan usaha perikanan itu sendiri. Permasalahan yang timbul, yaitu : 1) Menurunnya produksi ikan. Hal ini diperkirakan karena jumlah KJA yang sudah melampaui jumlah optimal untuk produksi ikan, yaitu sebanyak 2.100 petak (PJT II, 2007). 2) Menurunnya kualitas air yang berlangsung dari tahun ke tahun. Penurunan kualitas air ini terutama disebabkan oleh adanya budidaya ikan dengan sistem KJA (PJT II, 2007 ; Moelyo, 2011). 3) Meningkatnya pelapukan (beton) dan korosi (metal) pada sebagian dari konstruksi bangunan PLTA sebagai akibat meningkatnya unsur hara (fosfor dan nitrogen) yang berasal dari sisa pakan ternak dan sisa metabolisme ikan serta sisa metabolisme manusia pemelihara KJA, yang masuk ke perairan waduk (PJT II, 2007). Adapun hasil pengujian kualitas air Waduk Jatiluhur pada tahun 2002 diuraikan dalam tabel 2.2 dibawah ini.
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
7
Tabel 2.2 Hasil Pengujian Kualitas Air Waduk Jatiluhur (Tahun 2002) Parameter
DHL Kekeruhan Suhu Zat tersuspensi Zat terlarut Amonium Amoniak Besi Deterjen Fenol Flourida Fosfat orto Fosfat total Kalium Kalsium Kadmium terlarut Kesadahan Klorida KmnO4 BOD COD Kromium 6+ Magnesium Mangan Natrium Nitrat Nitrit Oksigen terlarut pH Seng Sulfat Tembaga terlarut Timbal terlarut
Satuan
Mei
Juli
September
Rata – rata
µmhos/cm NTU °C mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L µmg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mgCaCO3/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
171 5,2 29,3 10 112 0,010 0,200 0,000 0,026 tt 0,080 0,011 0,073 4,0 15,0 tt 53,1 12 5,9 1,2 4,8 tt 3,8 tt 14 0,080 tt 8,2 7,8 tt 8,1 tt tt
185 7,2 29,4 10 126 0,024 0,200 0,010 0,030 tt 0,030 0,006 0,030 3,0 17,0 tt 55,7 15 6,5 2,0 8,0 tt 3,2 tt 10 0,100 tt 7,8 8,0 tt 7,5 tt tt
212 7,3 29,1 13 132 0,036 0,250 0,021 0,055 tt 0,540 0,011 0,046 1,6 23,0 tt 74,8 18 8,8 1,8 9,4 tt 4,2 tt 12 0,240 0,008 7,4 8,3 tt 7,3 tt tt
189 6,6 29,3 11 123 0,023 0,217 0,010 0,037 tt 0,217 0,009 0,050 2,9 18,3 tt 61,2 15 7,1 1,7 7,4 tt 3,7 tt 12 0,140 0,003 7,8 8,0 tt 7,6 tt tt
Keterangan : tt = tidak terdeteksi Sumber : Tontowi , 2004
2.2 Pencemaran Lingkungan Menurut Undang – Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997, pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
8
Menurut Achmad (2004), pencemaran lingkungan dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok, yaitu :
1) Berdasarkan jenis bahan pencemar, yaitu pencemar biologis, kimiawi dan fisik.
2) Berdasarkan medium lingkungannya, yaitu pencemaran udara, air dan tanah. 3) Berdasarkan sifat sumber pencemarnya, yaitu pencemar primer dan pencemar sekunder.
Pencemar primer merupakan pencemaran yang ditimbulkan
langsung dari sumber pencemar sedangkan pencemar sekunder merupakan
pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemar – pencemar primer.
2.3 Sumber Pencemaran Air Sumber pencemar dapat memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah, limpasan pertanian, limbah domestik dan perkotaan, limbah industri, limbah organik, limbah anorganik dan lain – lain. Sumber pencemar dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/tersebar (non-point source). Sumber pencemar point source misalnya knalpot mobil, cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri sedangkan sumber pencemar non-point source, seperti limpasan daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk. Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003) mengemukakan jenis pencemar dan sumbernya dalam tabel 2.3 dibawah ini (Effendi, 2003). Tabel 2.3 Beberapa Jenis Pencemar dan Sumbernya
No
Jenis Pencemar
1
Limbah yang dapat menurunkan kadar oksigen Nutrien Patogen Sedimen Garam – garam Logam yang toksik Bahan organik yang toksik Pencemaran panas
2 3 4 5 6 7 8
Sumber Tertentu (Point Source) Limbah Limbah domestik industri
+
+
+
+
+ + + -
+ + + + + + +
+ + + + + -
+ + + + + -
Sumber : Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003)
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
Sumber Tak Tentu (Non Point Source) Limpasan Limpasan pertanian perkotaan
9
2.4 Logam Berat Logam berat di alam dapat berasal dari erosi batuan tambang dan vulkanisme.
Proses alam seperti perubahan siklus alami mengakibatkan batuan – batuan dan
gunung berapi memberikan kontribusi yang sangat besar ke lingkungan. Selain
itu masuknya logam berat juga dapat berasal dari aktivitas manusia, seperti
pertambangan minyak, emas dan batu bara, pembangkit tenaga listrik, pestisida, keramik, peleburan logam dan pabrik – pabrik pupuk serta kegiatan industri
lainnya (Sarjono, 2009).
Logam berat adalah unsur kimia dengan bobot jenis > 5gr/cm3 dan biasanya
bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7. Logam berat termasuk golongan polutan toksik yang bersifat akumulatif di dalam tubuh dan dapat mengakibatkan kematian maupun bukan kematian seperti terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan sebagainya. Logam berat yang bersifat toksik antara lain, Timbal (Pb), Nikel (Ni), Kadmium (Cd), Seng (Zn), Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Arsen (As), Kromium (Cr), Mangan (Mn) dan Merkuri (Hg) (Manahan, 1990). 2.4.1 Sifat – Sifat Logam Berat Adanya logam berat diperairan dapat membahayakan baik secara langsung terhadap kehidupan organisme maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat – sifat logam berat (PPLH IPB, 1997), yaitu : 1. Sulit didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai atau dihilangkan. 2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan sehingga akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut. 3. Mudah terakumulasi dalam sedimen sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air.
Disamping itu, sedimen mudah
tersuspensi karena pergerakan masa air (turbulensi) yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air. Dengan demikian sedimen menjadi sumber pencemar pontensial dalam skala waktu tertentu. Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
10
2.4.2 Logam dalam Perairan Logam dalam perairan umumnya berada dalam bentuk ion.
Ion tersebut
merupakan ion bebas, pasangan ion organik, ion kompleks dan persenyawaan.
Bentuk persenyawaan ion logam pada badan lautan berbeda dengan bentuk
persenyawaan pada badan air tawar. Hal ini karena adanya perbedaan tingkat
kompleksitas dan kekentalan dari badan perairan (Palar, 2008).
Perbedaan
tersebut disebabkan oleh empat hal, yaitu :
1) Adanya perbedaan kekuatan ion.
2) Perbedaan konsentrasi dari logam – logam yang ada dan terlarut dalam badan
perairan. 3) Perbedaan konsentrasi antara kation dengan anion utama yang ada dalam badan perairan. 4) Dalam badan air tawar konsentrasi ligan organik lebih besar. Kandungan logam dalam air dapat berubah tergantung lingkungan dan iklim. Pada musim hujan, kandungan logam dalam perairan lebih rendah karena proses pelarutan. Sedangkan pada musim kemarau kandungan logam dalam perairan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi (Darmono, 1995). Logam dalam perairan pun dipengaruhi oleh interaksi antara air dan sedimen (endapan). Pada dasar perairan, ion dan kompleks logam yang terlarut dengan cepat akan membentuk partikel yang lebih besar, apabila terjadi kontak dengan partikulat yang melayang dalam badan perairan. Logam berat mempunyai sifat mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan serta bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan kadar logam berat dalam air (Harahap, 1991; Bangun, 2005). 2.4.3 Toksisitas Logam Berat Menurut Hutagalung (1984) dalam Sarjono (2009), faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat toksisitas logam berat antara lain suhu, salinitas, pH dan kesadahan. Penurunan pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar.
Peningkatan suhu menyebabkan toksisitas logam berat
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
11
meningkat. Sedangkan kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa
kompleks yang mengendap dalam air (Sarjono, 2009). Menurut Palar (2008), ada empat faktor yang sangat mempengaruhi daya
racun logam berat terlarut, yaitu : 1) Bentuk logam dalam air, apakah logam tersebut berada dalam bentuk senyawa organik atau anorganik. Selanjutnya apakah berupa senyawa organik dan
anorganik yang tidak dapat larut. Kemudian apakah senyawa yang dapat larut
tersebut dapat diserap dengan mudah oleh biota perairan.
2) Keberadaan logam – logam lain, adanya logam – logam lain yang dapat berikatan dengan logam berat dapat menyebabkan logam tertentu menjadi sinergis (daya racun berlipat ganda) atau antagonis (daya racun berkurang). 3) Fisiologis dari biotanya (organisme), mempengaruhi tingkat akumulasi logam berat dalam tubuh biota perairan. Mempengaruhi peningkatan kandungan logam berat dalam perairan karena ada biota tertentu yang dapat menetralisasi logam berat tertentu sampai konsentrasi tertentu. 4) Kondisi biota, berkaitan dengan fase – fase kehidupan yang dilalui oleh biota dalam hidupnya. Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam dari yang tertinggi hingga terendah terhadap manusia yang mengkonsumsi ikan adalah sebagai berikut, Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb 2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+. 2.4.4 Informasi Beberapa Logam Berat Berikut ini penjelasan mengenai beberapa logam berat yang bersifat toksik, diantaranya sebagai berikut : 1) Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih keperakan yang dapat ditempa dan liat. Kadmium memiliki berat atom 112,41 g/mol dengan titik cair 321°C dan titik didih 765°C.
Logam ini dapat larut secara perlahan dalam asam encer
dengan melepaskan hidrogen (Basset et al, 1994). Berikut ini reaksi yang terjadi : Cd + 2H+ → Cd2+ + H2↑ Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
(2.1)
12
Kadmium terdapat dalam perairan dengan bilang oksidasi (+2).
Lapisan
permukaan air yang bersifat aerob mengandung kadmium terlarut dalam
konsentrasi relatif tinggi terutama dalam bentuk ion CdCl2. Di lapisan tengah perairan dimana kondisinya anaerob airnya hanya sedikit mengandung kadmium
karena terjadinya proses reduksi oleh mikroba yang mereduksi sulfat menjadi sulfida yang kemudian mengendapkan CdCl2 menjadi CdS (Achmad, 2004). CdCl2 + HS- → CdS(s) + H+ + Cl-
(2.2)
2) Tembaga (Cu)
Tembaga adalah logam berwarna merah muda yang lunak, dapat ditempa dan liat. Logam ini melebur pada suhu 1038°C. Tembaga tidak dapat larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer, tetapi dengan adanya oksigen dapat larut sedikit. Sedangkan asam nitrat (8M) dapat melarutkan tembaga dengan mudah. 3Cu + 8HNO3 → 3Cu2+ + 6NO-3 + 2NO↑ + 4H2O
(2.3)
Asam sulfat dapat melarutkan tembaga dalam kosentrasi pekat dengan bantuan pemanasan. Berikut ini reaksi yang terjadi: Cu + 2H2SO4 → Cu2+ + SO42- + SO2↑ + 2H2O
(2.4)
Selain asam nitrat, tembaga juga mudah larut dalam air raja (Basset et al, 1994). Berikut ini reaksi yang terjadi : 3Cu + 6HCl + 2HNO3 → 3Cu2+ +6Cl- + 2NO↑ + 4H2O
(2.5)
Secara alamiah, Cu masuk ke dalam perairan sebagai akibat dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfir yang dibawa turun oleh air hujan. Dalam kondisi normal, Cu dalam perairan ditemukan dalam bentuk senyawa ion CuCO3, CuOH dan lain – lain. Biasanya jumlah Cu yang terlarut dalam badan perairan laut adalah 0,002 ppm sampai 0,005 ppm (Palar, 2008). 3) Mangan (Mn) Mangan adalah logam putih abu – abu yang penampilannya serupa dengan besi tuang. Logam ini melebur pada suhu 1250°C. Asam mineral encer dan asam asetat dapat melarutkan mangan dengan menghasilkan garam mangan(II) dan hidrogen. Berikut ini reaksi yang terjadi : Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
13
Mn + 2H+ → Mn2+ + H2↑
(2.6)
Sedangkan apabila mangan direaksikan dengan asam sulfat pekat panas maka
akan melepaskan belerang dioksida (Basset et al, 1994). Berikut ini reaksi yang : terjadi
Mn + 2H2SO4 → Mn2+ + SO42- + SO2↑ + 2H2O
(2.7)
Dalam jumlah tertentu, mangan sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, antara lain untuk mengaktifkan enzim – enzim tertentu. Ion mangan juga diketahui
terlibat dalam proses penggunaan glukosa dalam tubuh. Meskipun diperlukan dalam jumlah tertentu, tetapi dalam jumlah yang besar unsur ini dapat
menimbulkan hal – hal yang tidak diinginkan, antara lain menyebabkan kerusakan hati, menimbulkan rasa aneh pada minuman dan mengakibatkan warna coklat pada tempat penampungan air (Tontowi, 2004). 4) Nikel (Ni) Nikel adalah logam putih perak yang keras. Nikel bersifat liat, dapat ditempa dan sangat kukuh. Logam ini melebur pada 1455°C dan bersifat sedikit magnetis. Nikel dapat larut dalam asam sulfat panas dengan membentuk belerang dioksida. Berikut ini reaksi yang terjadi : Ni + H2SO4 + 2H+ → Ni2+ + SO2↑ + 2H2O
(2.8)
Sedangkan asam nitrat encer dan pekat dapat melarutkan nikel dengan mudah dalam keadaan dingin (Basset et al, 1994). Berikut ini reaksi yang terjadi : 3Ni + 2HNO3 + 6H+ → 3Ni2+ + 2NO↑ + 4H2O
(2.9)
Pada kondisi aerob dan pH kurang dari 9, nikel dapat membentuk senyawa kompleks dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut. Di muara sungai, konsentrasi nikel semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kekeruhan. Hal ini terjadi karena proses desorpsi dari partikel di muara sungai dan proses resuspensi (Darmono, 1995). 5) Timbal (Pb) Timbal adalah logam berwarna abu – abu kebiruan. Logam ini mudah larut dalam asam nitrat (8M) dan terbentuk pula nitrogen oksida. Berikut ini reaksi yang terjadi antara timbal yang dilarutkan dalam asam nitrat (HNO3). Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
14
3Pb + 8HNO3 → 3Pb2+ + 6NO-3 + 2NO↑ + 4H20
(2.10)
Gas nitrogen(II) oksida yang tak berwarna tersebut akan teroksidasi bila
tercampur dengan udara dan membentuk nitrogen dioksida yang berwarna merah (Basset et al, 1994). Berikut ini reaksi yang terjadi :
2NO↑(tak berwarna) + O2↑ → 2NO↑(merah)
(2.11)
Pada perairan alami timbal bersumber dari batuan kapur dan Galena (PbS). Sumber utama timbal yang digunakan sebagai bahan aditif bensin berasal dari
komponen gugus alkil timbal. Kurang lebih 75% timbal yang ditambahkan pada bakar minyak akan diemisikan kembali ke atmosfir. Hal inilah yang bahan
kemudian menyebabkan pencemaran udara oleh timbal.
Kemudian timbal
tersebut memasuki perairan melalui air hujan yang turun (Sarjono,2009). Timbal pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Timbal relatif dapat larut dalam air dengan pH < 5. Kadar dan toksisitas timbal diperairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkaliniti dan kadar oksigen (Effendi, 2003). 6) Seng (Zn) Seng atau Zinc adalah logam berwarna putih kebiruan. Logam ini cukup mudah ditempa dan liat pada 110°-150°C. Seng melebur pada suhu 410°C dan mendidih pada suhu 906°C. Seng mudah larut dalam asam klorida encer dan asam sulfat encer dengan mengeluarkan hidrogen. Berikut ini reaksi yang terjadi : Zn + 2H+ →Zn2+ +H2↑
(2.12)
Sedangkan dalam pelarut asam nitrat encer, reaksi dapat berlangsung tanpa adanya gas yang dilepaskan. Berikut ini reaksi yang terjadi (Basset et al, 1994) : 4Zn + 10H+ + NO-3 → 4Zn2+ + NH+4 + 3H2O
(2.13)
Seng termasuk unsur yang berlimpah di alam. Kadar seng dalam perairan alami sekitar < 0,05 mg/L. Pada perairan yang asam, kadar seng dapat mencapai 50 mg/L. Seng biasa berada dalam bahan pencemar air dan kandungan seng dalam sedimen di pelabuhan yang dikelilingi instalasi industri dapat mencapai 130 ppm. Seng akan berikatan dengan partikel dan mengalami deposisi pada perairan dengan derajat keasaman 8 (Achmad, 2004).
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
15
2.5 Pengujian Kualitas Air Lapangan Pengujian kualitas air lapangan terdiri dari beberapa parameter, yaitu pH,
suhu, daya hantar listrik, alkaliniti, asiditi dan oksigen terlarut.
1) pH
Nilai pH perairan memiliki hubungan yang erat dengan sifat kelarutan logam
berat. Pada pH alami, logam berat sukar terurai dan berada dalam bentuk partikel atau padatan tersuspensi. Pada pH rendah, ion bebas logam berat dilepaskan ke
dalam kolom air. Selain itu, pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa
kimia. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah,
sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Sarjono, 2009). Senyawa – senyawa logam dalam perairan, bersifat sangat mudah larut dalam air. Namun demikian pada badan perairan yang mempunyai derajat keasaman mendekati normal atau pada kisaran pH 7 – 8, kelarutan dari senyawa tersebut cenderung stabil. Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa – senyawa logam tersebut. Lama – kelamaan persenyawaan yang terjadi antara senyawa logam dengan partikel – partikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur (Palar, 2008). Sebagian besar perairan alami memiliki pH antara 6,5 – 9. Titik asam mematikan bagi ikan adalah pada pH 4 sedangkan titik basa mematikan bagi ikan yaitu pada pH 11. Jika perairan lebih asam dari 6,5 atau lebih basa dari 9 – 9,5 dalam jangka waktu lama maka reproduksi dan pertumbuhan ikan akan terhambat. Walaupun sebagian besar perairan alami tidak mengandung banyak bahan – bahan kimia tetapi pada pH 5,5 pertumbuhan ikan sangat sensitif terhadap parasit dan bakteri. Selain itu, biasanya ikan akan mati dalam waktu singkat jika pH lebih kecil atau sama dengan 4,5 (Ilosangi, 2004). 2) Suhu Suhu air memainkan peranan yang penting pada lingkungan perairan. Banyak organisme yang sensitif terhadap suhu air, misalnya ikan. Suhu perairan juga Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
16
mempengaruhi kecepatan metabolisme dan respirasi biota air dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Suhu air secara langsung mempengaruhi
kelarutan oksigen yang selanjutnya dapat mempengaruhi proses dekomposisi organik di perairan. Suhu air yang baik untuk menunjang kehidupan bahan
organisme perairan yaitu suhu perairan normal dengan fluktuasi tidak lebih dari 3°C (Ilosangi, 2001). Hutagalung (1984) dalam Sarjono (2009), mengatakan bahwa kenaikan suhu
tidak hanya akan meningkatkan metabolisme biota perairan, namun juga dapat meningkatkan toksisitas logam berat diperairan.
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses ini berlangsung lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas memiliki suhu yang lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah. Pada lapisan atas perairan (epilimnion) terjadi penurunan suhu yang relatif kecil. Sedangkan pada lapisan paling bawah (hipolimnion) terjadi penurunan suhu yang sangat kecil bahkan hampir konstan (Effendi, 2003). 3) Daya Hantar Listrik Pada dasarnya pengukuran daya hantar listrik (DHL) adalah mengukur kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan arus listrik. Kemampuan ini sangat tergantung pada keberadaan ion, mobilitas ion, dan valensi ion serta kondisi suhu pada saat pengukuran. Satuannya adalah µmho/cm, 25°C. Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam perubahan konduktivitas air adalah temperatur. Berdasarkan nilai DHL air dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Effendi, 2003). Tabel 2.4 Klasifikasi Air Berdasarkan Daya Hantar Listrik (DHL)
No.
DHL (µmho/cm, 25°C)
Klasifikasi
1. 2. 3. 4. 5.
0,0055 0,5 – 5 5 – 30 30 – 200 45000 – 55000
Air murni Air suling Air hujan Air tanah Air laut
Sumber : Davis dan Wiest, 1996
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
17
4) Alkaliniti Alkaliniti atau kebasaan adalah suatu pengukuran terhadap kapasitas suatu
badan air untuk menetralkan suatu asam.
Pada umumnya komponen utama
penyusun utama alkaliniti terdiri dari kalsium dan magnesium sebagai kation
sedangkan anion terdiri dari bikarbonat dan karbonat. Alkaliniti dihasilkan dari karbon dioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat (Shindu, 2005).
HCO3- + H+ → CO2 + H2O
(2.14)
CO32- + H+ → HCO3-
(2.15)
OH- + H+ → H2O
(2.16)
Dalam air alami, alkalinitas disebabkan oleh adanya HCO3 - dan sedikit CO32-. Air dengan alkalinitas tinggi mempunyai konsentrasi karbon organik yang tinggi. Dalam media dengan pH rendah, ion hidrogen dalam air dapat mengurangi alkalinitas (Sastrawijaya, 2009). Nilai alkaliniti yang baik untuk perairan alamiah berkisar antara 30 – 500 mg/L CaCO3. Perairan dengan nilai alkaliniti > 40 mg/L CaCO3 disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkaliniti < 40 mg/L disebut perairan lunak (soft water). Untuk kepentingan pengolahan air, sebaiknya nilai alkaliniti tidak terlalu bervariasi (Effendi, 2003) 5) Asiditi Asiditi adalah kapasitas air untuk menetralkan basa.
Penyebab asiditi
2-
umumnya adalah asam – asam lemah seperti HPO4 , H2PO4-, CO2, HCO3-, protein dan ion – ion logam yang bersifat asam, terutama Fe3+. Penentuan asiditi lebih sukar dibanding alkalinitas karena adanya dua zat utama yang berperan yaitu CO2 dan H2S, dimana keduanya bersifat mudah menguap dan mudah hilang dari sampel yang diukur (Achmad, 2004). CO2 + OH- → HCO3-
(2.17)
H2S + OH- → HS- + H2O
(2.18)
Asiditi dapat memberikan pengaruh pada tingkat korosifitas air, kecepatan reaksi kimiawi dalam air dan proses biologis dalam air (Moelyo, 1999). Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
18
6) Oksigen terlarut Untuk mempertahankan hidupnya, baik tanaman maupun hewan yang hidup di
air bergantung kepada oksigen yang terlarut.
Jadi penentuan kadar oksigen
terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan mutu air. Kandungan oksigen
dapat dipengaruhi oleh keberadaan biota perairan, derajat keaktifannya, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya (Sastrawijaya, 2009). Kenaikan suhu air menyebabkan terjadi penurunan kelarutan oksigen yang
diiringi dengan kenaikan kecepatan pernafasan organisme perairan sehingga menyebabkan naiknya kebutuhan oksigen diikuti oleh turunnya kelarutan gas
tersebut dalam air. Oksigen terlarut dapat berasal dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air serta berasal dari difusi udara. Pada tabel 2.5 dibawah ini terdapat ketentuan tingkat pencemaran pada perairan berdasarkan kadar oksigen terlarut (Anonim, 2010). Tabel 2.5 Tingkat Pencemaran Oksigen Terlarut
Kadar Oksigen Terlarut > 6,5 4,5 – 6,5 2,4 – 4,4 <2
Status Belum tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Sumber : Anonim, 2010
2.6 Spektrofotometer Spektrometer optis adalah sebuah alat yang mempunyai sistem optis yang dapat menghasilkan sebaran (dispersi) radiasi elektromagnetik yang masuk dan dapat dilakukan pengukuran kuantitas radiasi yang diteruskan pada panjang gelombang tertentu. Sedangkan fotometer adalah alat untuk mengukur intensitas radiasi yang diteruskan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi relatif jika energi tersebut diteruskan atau ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Widiastuti dkk, 2001).
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
19
2.6.1 Spektrofotometri Serapan Atom Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) adalah suatu alat yang digunakan pada
metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang
berdasarkan pada penyerapan absorbsi radiasi oleh atom bebas. Metode SSA
merupakan metode analisis yang didasarkan pada proses penyerapan energi
radiasi oleh atom – atom yang berada pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali
ke tingkat energi dasar sambil mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi.
Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas (Khopkar, 1990). SSA digunakan untuk analisis kuantitatif unsur – unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut (Rohman, 2007). Prinsip dasar SSA adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan sampel. Untuk menggambarkan sifat – sifat radiasi elektromagnetik ada dua teori yaitu teori gelombang yang menjelaskan parameter radiasi (panjang gelombang, frekuensi, amplitudo dan kecepatan cahaya) dan teori korpuskuler yang menjelaskan bahwa radiasi merupakan partikel yang mempunyai energi (disebut foton). Energi setiap foton berbanding langsung dengan frekuensi radiasi. Hal ini dinyatakan dalam persamaan 3.1 : E = hv =
λ
(2.19)
Dengan, E = energi foton (erg ), h= tetapan Planck = 6,624.10-34 Jdet Tidak ada satu pun unsur dalam susunan berkala yang radiasi resonansinya menyamai unsur lain. Hal inilah yang menyebabkan metode SSA sangat spesifik dan hampir bebas gangguan karena frekuensi radiasi yang diserap adalah karakteristik untuk setiap unsur. Gangguan hanya akan terjadi apabila panjang radiasi resonansi dari dua unsur yang sangat berdekatan satu sama lain (Khopkar, 1990). Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
20
Berikut ini merupakan gambar alat Spektrofotometer Serapan Atom beserta komponen – komponennya.
Sumber : Ardeniswan, 2011
Gambar 2.1 Skema Alat Spektrofotometer Serapan Atom
1) Lampu Katoda Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada SSA. Elektroda lampu katoda berongga biasanya terdiri dari wolfram dan katoda berongga dilapisi dengan unsur murni atau campuran dari unsur murni yang dikehendaki. 2) Atomizer Atomizer terdiri atas Nebulizer (sistem pengabut), spray chamber dan burner (sistem pembakar). Nebulizer berfungsi untuk mengubah larutan menjadi aerosol (butir – butir kabut dengan ukuran partikel 15 – 20 µm) dengan cara menarik larutan melalui kapiler (akibat efek dari aliran udara) dengan pengisapan gas bahan bakar dan oksidan yang disemprotkan ke ruang pengabut. Spray chamber berfungsi untuk membuat campuran yang homogen antara gas oksidan, bahan bakar dan aerosol yang mengandung contoh sebelum memasuki burner. Burner merupakan bagian terpenting di dalam unit utama. Burner berfungsi sebagai tempat pencampuran gas asetilen dan aquabides sehingga dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan merata. 3) Monokromator Monokromator berfungsi untuk memisahkan radiasi resonansi yang telah mengalami absorpsi dari radiasi – radiasi lainnya. Radiasi lainnya berasal dari lampu katoda berongga, gas pengisi lampu katoda berongga atau logam Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
21
pengotor dalam lampu katoda berongga. Monokromator terdiri atas sistem optik berupa celah, cermin dan kisi.
4) Detektor
Detektor berfungsi mengukur radiasi yang ditransmisikan oleh contoh uji
dan mengukur intensitas radiasi tersebut dalam bentuk energi listrik. 5) Rekorder Sinyal listrik yang keluar dari detektor diterima oleh piranti keras yang
dapat menggambarkan kurva absorpsi secara otomatis (Ardeniswan, 2011).
2.6.2 Hukum Dasar Spektrofotometri Serapan Atom Hukum dasar yang digunakan untuk mempelajari serapan atau absorbsi secara kuantitatif adalah : jika suatu berkas sinar dengan intensitas Io melewati suatu medium yang homogen, maka sebagian dari sinar tersebut akan diserap (Ia), sebagian dipantulkan (Ir) dan sisanya diteruskan atau ditransmisikan (It). Tetapi pada praktiknya, sinar yang dipantulkan (Ir) sekitar 4% dan ini biasanya terhapus dengan penggunaan suatu kontrol, misalnya dengan penggunaan sel pembanding, sehingga Io = Ia + It. Hukum Lambert Beer yang dijadikan dasar dalam analisis spektrofotometri dapat dituliskan sebagai berikut : log
= Kbc
(2.19)
Log (Io/It) disebut absorbansi dan biasanya diberi lambang A, lambang b sebagai panjang jalan yang dilewati atau medium penyerap dengan satuan cm. Untuk konsentrasi zat pelarut yang menyerap seringkali digunakan dua satuan yang berbeda, yaitu gram/L atau mol/L. Hal ini berkaitan dengan nilai tetapan (yaitu K) yang bergantung pada sistem konsentrasi mana yang akan digunakan. Jika satuan konsentrasi dalam gram/L, tetapan K disebut abroptivitas yang dilambangkan a, sedangkan jika konsentrasi dalam mol/L maka tetapan K disebut absorptivitas molar dengan lambang ε. A = abc gram/L atau A = εbc mol/L
(2.20)
Transmitan, T = It/Io adalah fraksi intensitas radiasi yang diteruskan oleh zat penyerap sedangkan persen transmitans (%T) adalah It/Io x 100 Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur
22
jika A = log (Io/It) dan T = It/Io, maka : A = log (1/T)
(2.21)
Dari hukum Lambert-Beer, terlihat bahwa absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi, sedangkan transmitan tidak.
Jika suatu sistem mengikuti Hukum Lambert-Beer, grafik antara absorbansi
terhadap konsentrasi akan menghasilkan garis lurus, sehingga grafik tersebut dapat disebut sebagai kurva kalibrasi. Dengan kurva kalibrasi, konsentrasi larutan
contoh dapat dengan mudah diketahui dari pembacaan absorbansi contoh. Ketelitian pembacaan yang baik umumnya terbaca pada skala transmitans 20%
85% atau pada skala absorbansi 0,1 - 0,8. Hukum Lambert-Beer berlaku jika radiasi elektromagnetik yang dilewatkan pada medium homogen adalah radiasi monokromatis (radiasi yang mempunyai panjang gelombang tunggal) dengan mekanisme interaksi hanya absorbansi radiasi saja. Penyimpangan hukum Lambert-Beer dapat terjadi jika zat terlarut berwarna mengalami ionisasi, disosiasi atau asosiasi dalam larutan karena sifat dasarnya mudah berubah dengan berubahnya konsentrasi.
Selain itu, dapat pula
disebabkan oleh temperatur dan karakteristik instrumen yang digunakan, misalnya kelelahan detektor, tidak stabilnya sumber radiasi atau adanya debu yang dapat mengganggu kerja sistem optiknya (Widiastuti dkk, 2001).
Kajian Kandungan Logam Berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn Dalam Waduk Jatiluhur