BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengetahuan Tradisional Pengetahuan
merupakan
kapasitas
manusia
untuk
memahami
dan
menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Tradisional memiliki makna yaitu sikap dan cara berpikir serta tindak yang selalu berpegang teguh pada nama dan adat kebiasaan yang ada secara turun (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Soekarman & Riswan (1992) Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal secara turun temurun. 2.2
Kearifan Tradisional Kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal/tradisional juga merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan dan sumberdaya alam (Keraf 2002). Nopandry (2007) mengemukakan bahwa secara tradisional, masyarakat memiliki kearifan lokal yang merupakan potensi dan kekuatan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Keberadaan mereka yang diiringi dengan eksistensi hutan selama beratus-ratus tahun yang merupakan suatu bukti peradaban dan potensi pelestarian hutan. Sistem kearifan tradisional didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya yaitu: 1) sepenuhnya pedesaan; 2) sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat; 3) Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja; 4) sistem distribusi yang mendorong adanya kerjasama; 5) sistem pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat sistem pemilikan bersama; dan 6) sepenuhnya tergantung pada
4
pengetahuan dan pengalaman lokal (Matowanyika 1991 diacu dalam Biasane 2004). Pengetahuan dan kearifan tradisional ikut berperan dalam upaya konservasi tumbuhan dan satwa. Menurut Zuhud (2007), konservasi hutan yang dikenal hari ini sepatutnyalah tak lain dari estafet tradisional and local knowledge, yang merupakan proses evolusi tumbuhan dalam ekosistem atau habitat yang ditunjukkan oleh interaksi masyarakat dengan tumbuhan. Kearifan lokal dapat diartikan sebagai perilaku bijak yang selalu menggunakan akal budi, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam suatu wilayah geografis tertentu. Dalam kearifan lokal ada karya atau tindakan manusia yang sifatnya menyejarah (menjadi sejarah) yang masih diwarisi masyarakat setempat. Perilaku bijak ini pada umumnya adalah tindakan, kebiasaan, atau tradisi, dan cara-cara masyarakat setempat yang menuntun untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera (Ardhana 2005). Memahami kearifan lokal dapat dilakukan melalui pendekatan: struktural, kultural dan fungsional. Menurut Ardhana (2005), perspektif struktural, kearifan lokal dapat dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat, yang dapat menjelaskan tentang institusi atau organisasi sosial serta kelompok sosial yang ada. Menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan, dan dipertahankan masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka termasuk berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku, dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tatanan sosial. Ada lima dimensi kultural tentang kearifan lokal yaitu: 1. Pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat untuk menghasilkan inisiasi lokal. 2. Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi, teknologi. 3. Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki.
5
4. Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya. 5. Proses sosial lokal, berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat menjalankan fungsi-fungsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial serta kontrol sosial yang ada. Menurut perspektif fungsional, kearifan lokal dapat dipahami bagaimana masyarakat melaksanakan fungsi-fungsinya, yaitu fungsi adaptasi, integrasi, pencapaian tujuan dan pemeliharaan pola. Contoh dalam hal adaptasi menghadapai era globalisasi (televisi, akulturasi, dan lain-lain). 2.3
Tumbuhan Pangan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 Departemen
Kesehatan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Menurut Sastapradja et al. (1977), menggolongkan tumbuhan pangan berdasarkan
kandungannya,
menjadi:
1)
Tumbuhan
yang
mengandung
karbohidrat; 2) Tumbuhan yang mengandung protein; 3) Tumbuhan yang mengandung vitamin dan 4) Tumbuhan yang mengandung lemak. Pengertian tanaman pangan menurut Depkes RI (1983) yaitu, kelompok tanaman yang biasa dikonsumsi sehari-hari oleh manusia, berupa sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien, vitamin, dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan komponen penting untuk diet sehat. Tumbuhan pangan di Indonesia ada yang memiliki daerah penyebaran khusus hanya terdapat di daerah tertentu karena perbedaan iklim dan ada yang menyeluruh demikian pula dengan penggunaanya, selain memenuhi kebutuhan pangan dengan berbagai bentuk, digunakan pula untuk kepentingan lain (Moeljopawiro & Manwan 1992 ). Tumbuhan penghasil pangan dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1.
Komoditas utama, seperti padi (Oryza sativa), kedelai (Glycine max), kacang tanah (Arachis hypogaea), jagung (Zea mays) dan sebagainya.
6
2.
Komoditas
potensial,
seperti
sorgum
(Andropogon
sorgum),
sagu
(Metroxylon sp.) dan sebagainya. 3.
Komoditas introduksi, seperti ganyong (Canna edulis), jawawut (Panicum viridae), kara (Dolichos lablab) dan sebagainya. Pengaruh faktor sosial ekonomi cukup menonjol dalam peningkatan
produksi tanaman pangan meliputi sumberdaya lahan, tenaga kerja dan modal. Pemilikan lahan di Indonesia umumnya sangat sempit, dan pada lahan yang tersedia ditanam berbagai jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan mereka (Moeljopawiro & Ibrahim 1992). 2.3.1 Jenis pangan Jenis pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial dan alasan kesehatan. Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar atau kenyang, selera, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi, dan pendidikan (Riyadi 2001). Berikut ini beberapa jenis pangan yang disukai masyarakat diantaranya: a.
Kacang-kacangan Kacang-kacangan merupakan biji-bijian yang dapat dimakan dari polong-
polongan. Polong-polongan adalah anggota suku Leguminoceae yang memiliki polong/ legum. Kacang-kacangan utama yang dapat dimakan termasuk ke dalam anak suku papilionoidae (anak suku terbesar dari leguminosae) yang masih memiliki 450 marga dan 10000 jenis. Kacang-kacangan bermanfaat sebagai bahan pangan yang kaya protein (Maesen dan Somaatmadja 1993 diacu dalam Kartikawati 2004). b.
Buah-buahan Buah-buahan merupakan komoditas yang besar dan beraneka ragam .Buah
dapat dimakan dalam keadaan segar, maupun yang telah dikeringkan atau yang telah diolah. Buah-buahan umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah (tidak dimasak, matang dari pohonnya). Buah-buahan mengandung vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh, menyeimbangkan menu makanan, kaya protein, energi dan ada yang mengandung lemak (Kartikawati 2004).
7
c.
Sayuran Sayuran merupakan komoditas tumbuhan yang mengandung air. Sayuran
biasanya dikonsumsi sebagai bahan makanan yang mengandung zat tepung dan kadang-kadang digunakan sedikit pada makanan untuk menambah rasa juga kelezatan makanan (Siemonsma & Piluek 1994 diacu dalam Kartikawati 2004). Jenis-jenis sayuran diantaranya: selada (Lactuca sativa), katuk (Sauropus androgynus), berbagai jenis kobis, kol (Brassica oleraceae), kangkung (Ipomea aqutica), dan jenis lainnya. Adapun jenis sayuran yang digunakan sebagai bumbu, yaitu bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), daun bawang (Allium ampeloprasum), seledri (Apium graveolens). Jenis tumbuhan yang fungsi sekundernya sebagai sayuran adalah daun pepaya (Carica papaya), daun ubi jalar (Ipomea batatas), jagung muda (Zea mays) dan daun singkong (Manihot utillisima). Jenis-jenis sayuran di atas merupakan jenis tumbuhan yang biasanya ditanam di kebun dan merupakan jenis tumbuhan hortikultura (Kartikawati 2004). d.
Palem-paleman dan Umbi-umbian Jenis palem-paleman dan umbi-umbian biasanya dimanfaatkan sebagai
sumber karbohidrat. Flach dan Rumawas (1996) diacu dalam Kartikawati (2004) menyebutkan bahwa jenis tumbuhan pangan sebagai sumber karbohidrat merupakan jenis tumbuhan yang mengandung zat tepung atau zat gula yang digunakan sebagai cadangan makanan. Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam makanan untuk manusia. Beberapa jenis tumbuhan yang merupakan sumber karbohidrat diantaranya adalah sagu (metroxylon sp.), aren (Arenga pinnata) dan lain-lain yang merupakan jenis palem berkarbohidrat, kemudian ubi jalar (Ipomea batatas), singkong (Manihot utillisima) dan sebagainya yang merupakan umbi berkarbohidrat.
2.3.2 Kebiasaan konsumsi pangan Kebiasaan konsumsi pangan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Almatsier (2004), kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari ketersediaan pangan di daerah tersebut yang pada umumnya berasal dari usaha tani. Selain
8
faktor ketersediaan pangan faktor sosial ekonomi dari masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan mereka. Faktor sosial yang mempengaruhi antara lain: 1) keadaan penduduk suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin, dan geografis); 2) keadaan rumah tangga (besar rumah tangga, hubungan, jarak kelahiran); 3) pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang mempengaruhi antara lain: 1) pekerjaan (pekerjaan utama, pekerjaan tambahan); 2) pendapatan rumah tangga; 3) pengeluaran; 4) harga pangan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa et al. 2002). 2.3.3 Ketahanan pangan Ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensional, yaitu adanya hubungan keterkaitan antara mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Maxwell dan Frenkenberger (1992) diacu dalam Widiyanti (2007) menyatakan bahwa untuk mengukur ketahanan pangan dapat dilakukan dengan beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menjelaskan situasi pangan yang ditunjukkan dengan ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) dan indikator tak langsung (penyimpangan pangan dan status gizi). Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan (Ariani 2005). 2.4
Tumbuhan Obat Pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai tumbuhan obat yang sebagian besar
digunakan untuk obat tradisional saat ini sudah sedemikian banyaknya (lebih dari 1000 spesies yang dipakai, 74% diantaranya tumbuh liar di hutan (Zuhud dan Haryanto 1991). Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang bagian tumbuhannya (akar, batang, daun, umbi, buah, biji dan getah) mempunyai khasiat sebagai obat
9
dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau tradisional (Suhirman 1990). Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok obat, yaitu: 1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai obat tradisional; 2. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, dan penggunaanya dapat dipertanggungjawabkan secara medis; dan 3. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaanya sebagai bahan obat tradisional. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Peraturan Menkes RI 2010). Sediaan obat tradisional yang digunakan masyarakat, saat ini dikenal dengan sebut Herbal Medicine atau Fitofarmaka yang perlu diteliti dan dikembangkan (Zein 2005). Menurut Keputusan Menkes RI No. 761 tahun 1992. Fitofarmaka
adalah sediaan obat yang dibuktikan keamanan dan khasiatnya,
bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini berdasarkan atas, bahan bakunya relatif mudah diperoleh, didasarkan pada pola penyakit di Indonesia, perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita, dan satu-satunya alternatif pengobatan. Keuntungan obat tradisional yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri dirumah. 2.5
Tri-Stimulus Amar Pro-Konservasi
10
Stimulus menurut Zuhud (2007), dapat diartikan sebagai fenomena, sinyal dan informasi yang didapatkan dari suatu benda, orang, tumbuhan, kebesaran Tuhan dan lain-lain, yang dapat menjadi pendorong atau rangsangan masyarakat agar berperilaku konservasi. Konsep Tri-stimulus amar pro-konservasi dapat digunakan sebagai alternatif pengelolaan lingkungan hidup yang efektif demi terwujudnya keberlanjutan sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan masyarakat (Zuhud 2007). Tiga komponen stimulus yang mendorong wujud nyata konservasi yaitu stimulus “alamiah”, “manfaat”, dan “religius” yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai: “kebenaran”, “kepentingan”, dan “kebaikan”. Stimulus alamiah dapat diartikan sebagai nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya. Stimulus manfaat mengandung nilai-nilai kepentingan untuk manusia didalamnya, seperti memperoleh manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis atau ekologis dan manfaat lainnya. Stimulus religius mengandung nilai-nilai kebaikan, yang mengharap ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spiritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/tradisional, kepuasan batin dan lainnya. Tri-Stimulus Amar Konservasi pada awalnya diharapkan menimbulkan 3 sikap konservasi yakni: 1. Cognitive (persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, dan keyakinan), 2. Affective (emosi, senang, benci, dendam, sayang, cinta, dll.), 3. Overt actions (Kecenderungan bertindak). Ketiga sikap konservasi yang ada, masing-masing diharapkan mengarah pada sikap yang positif dan akhirnya menuju perilaku pro konservasi, hingga pada akhirnya konservasi dapat terwujud di dunia nyata karena banyaknya partisipasi dan sikap pro konservasi dari masyarakat ataupun instansi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam hayati.