BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Menurut Undang – Undang no 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedang ayat 3 berbunyi kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berdasarkan status kepemilikannya, hutan terbagi dua yaitu hutan negara dan hutan rakyat . Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (UUPK No 41 tahun 1999 pasal 1 ayat 4). Hutan rakyat adalah hutan buatan yang terletak di luar kawasan hutan Negara, dalam suatu hamparan dan seringkali disebut hutan milik. Hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik, jadi hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat (UUPK No 41 tahun 1999 pasal 1 ayat 5). Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Undang - undang no 41 tahun 1999 pasal 1 ayat 6). Hutan adat diakui keberadaannya sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hokum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya dengan status sebagai hutan Negara, tetapi apabila dalam perkembangannya masyarakat hokum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.
2.2. Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Padahal konsep otonomi daerah sudah muncul pada saat pemerintahan orde lama yaitu melelui UU No 1 tahun 1945 tentang pemerintahan daerah. (Pemerintah Pusat,1999).
5
Tabel 1 Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintah Daerah Sejak Tahun 1945-1999 Tahun
Perundang-Undangan
Subjek
1945
UU Nomor 1
Pemerintah Daerah
1948
UU Nomor 22
Pemerintah Daerah
1950
UU Nomor 44
Pemerintah Daerah
1956
UU Nomor 32
Hub.Keuangan Pusat dan Daerah
1957
UU Nomor 1
Pemerintah Daerah
1959
UU Nomor 6
Pemerintah Daerah
1960
UU Nomor 5
Pemerintah Daerah
1965
UU Nomor 18
Pemerintah Daerah
1974
UU Nomor 5
Pemerintah Daerah
1999
UU Nomor 22
Pemerintah Daerah
1999
UU Nomor 25
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Sumber : Saragih, 2003.
Otonomi daerah adalah hak, kewenangan dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang undangan (UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 Ayat 5). Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 Ayat 6) Kaho (1998) menyatakan bahwa prinsip prinsip dasar dalam melaksanakan otonomi daerah ini adalah otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Nyata berarti bahwa pemberian otonomi kepada daerah otonom harus didasarkan pada faktor, perhitungan, tindakan dan kebijaksanaan yang benar benar menjamin wilayah bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Dinamis berarti bahwa otonomi daerah tidak bersifat statis tetapi dapat dikembangkan atau dimekarkan karena keadaan yang terus berkembang di masyarakat. Penyerahan isi otonomi atau jumlah dan jenis urusan dapat bertambah
6
atau berkurang sesuai dengan kondisi yang terus berkembang di daerah otonom. Bertanggung jawab berarti bahwa pemberian otonomi daerah harus benar benar sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan kegiatan pembangunan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan untuk masyarakat. Atas dasar pemikiran dan prinsip prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman oleh UU No 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut : a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi,
keadilan,
pemerataan
serta
potensi
dan
keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakan pada kabupaten dan daerah, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dank arena dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi daerah administrasi f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legeslatif daerah baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah. g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukan
sebagai
wilayah
administrasi
untuk
melaksanakan
kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia No 25 Tahun 2000 tentang pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom maka selanjutnya kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada pasal III ayat 2
7
dikelompokan dalam berbagai bidang dalam bidang kehutanan dan perkebunan meliputi : a. Pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan hutan / kebun b. Penyelenggaraan penunjukan dan pengamanan batas hutan produksi dan hutan lindung c. Pedoman penyelenggaraan tata batas hutan, rekontruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung d. Penyelenggaraan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan lintas kabupaten / kota e. Pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan dukungan pengelolaan taman hutan raya f. Penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan, dan industri primer bidang perkebunan lintas kabupaten / kota g. Penyusunan renncana makro kehutanan dan perkebunan lintas kabupaten / kota h. Pedoman
penyelenggaraan
pengurusan
erosi,
sedimentasi,
produktivitas lahan pada daerah aliran sungai lintas kabupaten / kota i. Pedoman penyelenggaraan rehabilitasi dan relamasi hutan produksi dan hutan lindung j. Penyelenggaraan
perizinan
lintas
kabupaten
/
kota
meliputi
pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan flora dan fauna yang tidak dilindungi, usaha perkebunan dan pengolahan hasil hutan k. Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang kehutanan dan perkebunan l. Pelaksanaan pengamatan, peramalan organism tumbuhan penggangu dan pengendalian hama terpadu tanaman kehutanan dan perkebunan m. Penyelengaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi, system silvikultur, budidaya dan pengolahan n. Penyelengaraan pengelolaan taman hutan raya lintas kabupaten / kota o. Penetapan pedoman untuk penentuan tarif pungutan hasil hutan bukan kayu lintas kabupaten / kota
8
p. Turut serta secara aktif bersama pemerintah dalam menetapkan kawasan serta perubahan fungsi dan status hutan dalam rangka perencanaan tata ruang provinsi berdasarkan kesepakatan antara provinsi dan kabupaten / kota q. Perlindungan dan pengamanan hutan pada kawasan lintas kabupaten / kota r. Penyediaan dukungan penyelengaraan pendidikan dan pelatihan teknis, penelitian dan pengembangan terapan bidang kehutanan Pasal 66 ayat 1 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan menjelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. Selanjutnya pasal 66 ayat 2 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan dikatakan bahwa pelaksanaan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan.
2.3 Pendapatan Daerah Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 157, dinyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah, yaitu : a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. 2. Dana Perimbangan 3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perUUan yang berlaku. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari : a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah
9
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerjasama dengan pihak ketiga d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaanya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda (Peraturan Daerah). Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang. Hasil pengeloaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah) berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah (UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 6). Retribusi menurut Lasmana (1992) adalah pungutan sejumlah uang, dimana ada jasa timbal secara langsung kepada setiap pembayarannya dan pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan secara hukum tetapi lebih bersifat ekonomis kepada pembayar retribusi. Sedang menurut UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 26, retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dana Perimbangan Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
10
baik. Dana perimbangan merupakan kelompok sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi (Suparmoko, 2002). Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari sumberdaya alam. Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang berkembang dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Menurut penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 157, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Sedang yang dimaksud desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat 7). Dalam PP RI No. 104 tahun 2000 dinyatakan bahwa : 1. Pasal 8 : Penerimaan daerah dari sumberdaya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah.
11
2. Pasal 9 : Ayat 1 : Penerimaan Negara dari sumberdaya alam sektor kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 terdiri dari : (a) Penerimaan iuran hak pengusahaan hutan, (b) Penerimaan provisi sumberdaya hutan. Ayat 2 : Bagian Daerah dari penerimaan iuran hak pengusahaan hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a dibagi dengan perincian (a) 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan, (b) 64% untuk Daerah Kabupaten atau Kota penghasil. Ayat 3 : Bagian daerah dari penerimaan Negara Provisi Sumberdaya Hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dibagi dengan perincian : 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan, 32% untuk Daerah
Kabupaten/Kota
penghasil
dan
32%
untuk
Daerah
Kabupaten/Kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.
2.4 Pajak 2.4.1 Pengertian Pajak Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
12
Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan Undang -Undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak 2.4.2 Ciri Pajak Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: a) Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
13
b) Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak). c) Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. d) Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara
yang
diperlukan
untuk
menutup
pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif). 2.4.3 Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
14
2. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien. 4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 2.4.4 Syarat Pemungutan Pajak Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu: a) Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya b) Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum c) Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak d) Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian. Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
15
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. a.Pemungutan pajak harus efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. b.Sistem pemungutan pajak harus sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.