BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Prednison
2.1.1 Sifat fisika kimia (Dirjen POM, 1995) Rumus bangun
:
Nama kimia
: 17,21-Dihidroksipregna-1,4-diena-3,11,20-trion
Sinonim
: Prednisonum
Rumus molekul
: C21H26O5
Berat molekul
: 358,43
Pemerian
:Serbuk hablur putih atau praktis putih, tidak berbau; melebur pada suhu 230°C disertai peruraian
Susut pengeringan
: Tidak lebih dari 1,0%, lakukan pengeringan pada suhu 105°C selama 3 jam
Kelarutan
: Sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol, dalam kloroform, dalam dioksan dan dalam metanol.
Spektro ultraviolet
: Etanol – 240 nm ( A¦ = 420a)
Toleransi dalam dalam 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) C21H26O5 dari jumlah yang tertera pada etiket (Dirjen POM, 1995). 2.1.2 Tentang prednison Senyawa teroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki stuktur kimia tertentu yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Suatu molekul steroid yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama senyawa kortikosteroid. Kortikosteroid sendiri digolongkan menjadi dua
berdasarkan
Glukokortikoid
aktifitasnya,
memiliki
yaitu
peranan
glukokortikoid pada
dan
metabolisme
mineralokortikoid.
glukosa,
sedangkan
mineralokortikosteroid memiliki retensi garam. Pada manusia, glukortikoid alami yang utama adalah kortisol atau hidrokortison, sedangkan mineralokortikoid utama adalah aldosteron. Selain steroid alami, telah banyak disintetis glukokortikoid sintetik, yang termasuk golongan obat yang penting karena secara luas digunakan terutama untuk pengobatan penyakit-penyakit inflasi. Contoh antara lain adalah deksametason, prednison, metil prednisolon, triamsinolon dan betametason (Ikawati, 2006). Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan komformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintetis protein spesifik.
Induksi sintetis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid (Darmansjah, 2005). Menurut Theodorus (1994) tentang indikasi, kontra indikasi, interaksi obat, efek samping dari penggunaan prednison yaitu: Indikasi
:Insufisiensi adrenal, nefrotik sindrom, penyakit kolagen, asma bronchial, penyakit jantung, reumatik, leukemia limfositik, limfoma, edema serebral, konjungtifitis alergika, otitis eksterna, penyakit kulit.
Kontra indikasi
:Infeksi jamur sistemik, hipersensitifitas, hati-hati pemberian pada penderita colitis ulserasif, insufisiensi ginjal, hipertensi, infeksi pirogenik
Interaksi obat
:Fenitan,
fenobarbital,
efedrin,
rifampin,
meningkatkan
bersihan obat ini. Merubah respon anti koagulan bila diberi bersama, kejadian hiperkakemia meningkat bila diberi bersama diuretika hemat kalsium. Efek samping
:Mual, penurun berat badan, jerawat, lemah, menipisnya tulang, retensi cairan, ulkus reptikum, bingung.
2.2
Tablet Tablet adalah sediaan padat yang kompak, dibuat secara kempa-cetak
berbentuk pipih dengan kedua permukaan rata atau cembung, dan mengandung satu atau beberapa bahan obat, dengan atau tanpa zat tambahan (Nanizar, 1990).
Menurut Ansel (1989) zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai: a. Zat pengisi, yaitu untuk memperbesar volume tablet. Biasanya yang digunakan amilum manihot, kalsium fosfat, kalsium karbonat dan zat lain yang cocok. b. Zat pengikat, yaitu agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat. Biasanya yang digunakan adalah musilago 10-20%, larutan metil cellulosum 5%. c. Zat penghancur, yaitu agar tablet dapat hancur dalam saluran pencernaan. Biasanya yang digunakan amilum manihot kering, gelatin, natrium alginat. d. Zat pelicin, yaitu agar tablet
tidak melekat pada cetakan. Biasanya yang
digunakan talkum 5%, magnesium stearat, asam stearat. Menurut Ansel, (1989) berdasarkan penggunaannya tablet diklasifikasikan sebagai berikut: a.
Tablet Kunyah Tablet ini harus lembut (segera hancur ketika dikunyah) atau mudah melarut
dalam untuk garam-garam logam yang digunakan dalam tablet antasida. Tablet kunyah diberikan pada pasien yang mengalami gangguan menelan tablet. Tablet ini digunakan dalam formulasi tablet untuk anak-anak 6 (dalam sediaan multivitamin). Sediaan ini juga memungkinkan untuk digunakan ditempat yang tidak tersedia air contoh: Acitral, Vitacimin, Promag. b.
Tablet Sublingual Tablet yang disisipkan dibawah lidah. Biasanya berbentuk datar, ditujukan
untuk obat-obat yang diabsorbsi melalui mukosa oral. Cara ini berguna untuk penyerapan obat yang rusak oleh cairan lambung dan sedikit sekali diabsorpsi oleh
saluran pencernaan. Tablet ini dibuat segera melarut untuk memberikan efek yang cepat. c.
Tablet Bukal Tablet yang disisipkan di pipi. Tablet ini dibuat agar hancur dan melarut
perlahan-lahan. d.
Tablet Triturat Tablet ini bentuknya kecil dan biasanya silinder. Tablet triturat harus cepat
dan mudah larut seutuhnya didalam air contoh: Supradyn, Bevitram. e.
Tablet Hipodermik Tablet ini digunakan melalui bawah kulit, dibuat dari bahan yang mudah larut
contoh: Andantol, Sagalon, Confortin. f.
Tablet Efervesen Tablet yang menghasilkan gas, dibuat dengan cara kompresi granul yang
mengandung garam efervesen atau bahan-bahan lain yang mampu menghasilkan gas ketika bercampur dengan air. Misalnya penggabungan logam karbonat atau bikarbonat dengan tatrat menghasilkan gas CO2 di dalam air. Tablet bentuk ini mempercepat pelarutan sediaan dan meningkatkan rasa contoh: tablet CDR, Redoxon. 2.2.1 Evaluasi tablet Untuk menjamin mutu tablet maka dilakukan beberapa pengujian yaitu sebagai berikut: a. Uji keseragaman bobot
Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot. Keseragaman bobot ini ditetapkan untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet-tablet yang bobotnya seragam diharapkan akan memiliki kandungan bahan obat yang sama, sehingga akan mempunyai efek terapi yang sama. Keseragaman bobot dapat ditetapkan sebagai berikut: ditimbang 20 tablet, lalu dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Kemudian timbang tablet satu persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari yang ditetapkan pada kolom A dan tidak boleh satu tablet pun bobotnya menyimpang dari rata-rata lebih besar dari yang ditetapkan pada kolom B. jika perlu gunakan 10 tablet yang lain dan tidak satu tablet yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan dalam kolom A maupun kolom B (Dirjen POM, 1984). Tabel 1 : Penyimpangan bobot rata-rata Bobot rata-rata
Penyimpangan bobot rata-rata dalam % A
B
25 mg atau kurang
15%
30%
26 mg sampai dengan 150 mg
10%
20%
151 sampai dengan 300
7,5%
15%
5%
10%
Lebih dari 300 mg
mg
b. Uji kekerasan Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya kompresi yang diberikan. Bila tekanan ditambahkan, maka kekerasan tablet meningkat sedangkan ketebalan tablet berkurang. Selain itu metode granulasi juga
menentukan kekerasan tablet. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4 - 8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan. Alat yang digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet (Lachman, 1994). c. Uji keregasan Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche friabilator. Sebelum tablet dimasukkan ke alat friabilator, tablet ditimbang terlebih dahulu. Kemudian tablet dimasukkan kedalam alat, lalu alat dioperasikan selama empat menit atau 100 kali putaran. Tablet ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat mula-mula. Selisih berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan harus lebih kecil dari 0,8% (Ansel, 1989). d. Uji waktu hancur Peralatan uji waktu hancur terdiri dari rak keranjang yang mempunyai enam lubang yang terletak vertikal diatas ayakan mesh nomor 10 selama percobaan, tablet diletakkan pada tiap lubang keranjang. Kemudian keranjang tersebut bergerak naik turun pada larutan transparan dengan kecepatan 29 – 32 putaran permenit. Interval waktu hancur adalah 5 – 30 menit. Tablet dikatakan hancur bila bentuk sisa tablet (kecuali bagian penyalut) merupakan massa dengan inti yang tidak jelas (Ansel, 1989).
e. Uji penetapan kadar zat berkhasiat Uji penetapan kadar berkhasiat dilakukan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Uji penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai pada masing-masing monografi antara lain di farmakope Indonesia. Seperti tablet prednison mengandung prednison, C21H26O5 tidak kurang dari dari 90% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. f. Uji disolusi Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur, keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet. Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kadalam larutan pada suatu medium. Dissolusi menunjukan jumlah bahan obat yang terlarut dalam waktu tertentu. Dissolusi menggambarkan efek obat secara invitro, jika disolusi memenuhi syarat maka diharapkan obat akan memberikan khasiat secara invitro (Syukri, 2002). 2.3
Uji Dissolusi Laju disolusi atau waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarutkan dalam
cairan pada tempat absorpsi, merupakan tahap yang menentukan laju proses absorbsi. Ini bener-benar untuk obat-obat yang diberikan secara oral bentuk padat seperti tablet. Akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intesitas, dan lama
respons, serta kontrol bioavailaibilitas obat tersebut keseluruhan dari bentuk sediaannya (Ansel, 1989). Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masingmasing monografi. Dari jenis alat penggunaannya dari salah satu sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi yaitu: a.
Tipe keranjang Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. b. Tipe dayung Bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut
dengan salut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan. Waktu bila dalam spesifikasi hanya terdapat satu waktu, pengujian dapat diakhiri dalam waktu yang lebih singkat bila persyaratan jumlah minimum yang terlarut telah dipenuhi. Bila dinyatakan dua waktu atau lebih, cuplikan dapat diambil hanya pada waktu yang ditentukan dengan toleransi ± 2% (Dirjen POM, 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat, yang berkaitan dengan formulasi sediaan, dan faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji (Syukri, 2002). 2.3.1 Faktor yang mempengaruhi pengujian disolusi 2.3.1.1 Faktor Lingkungan Selama Uji Dissolusi -
Intesitas pengadukan, kecepan dan tipe aliran cairan, serta faktor geometri.
-
Gradien konsentrasi (perbedaan konsentrasi antara kelarutan obat dalam medium disolusi dan konsentrasi rata-rata dalam ruahan cairan)
-
Komposisi medium disolusi, pH, kekuatan ion, viskositas, tegangan permukaan, dan sebagainya. Semua penting dan memerlukan komposisi medium.
-
Temperatur dari medium disolusi.
2.3.1.2 Faktor Terkait Komposisi dan Metode Manufaktur Tablet -
Jumlah dan tipe eksipien atau pengisi dan bahan tambahan lain, seperti garam netral.
-
Tipe manufaktor tablet yang digunakan
-
Jumlah dan tipe penghancur serta metode untuk inkorporasinya.
-
Jumlah dan tipe surfaktan (kalau ditambahkan) serta metode inkorporasinya.
-
Forsa pengempaan dan kecepatan pengempaan.
2.3.1.3 Formulasi Medium Disolusi Idealnya, medium diisolusi diformulasi sedekat mungkin dengan pH in vivo yang diantisipasi. Sebagai contoh, medium disolusi yang didasarkan pada 0,1 N HCl digunakan untuk menurunkan pH mendekati pH lambung. Hal ini disebabkan pH lambung manusia berada disekitar nilai 1-3. Cairan disolusi lambung dapat pula digunakan. Makanan dapat meningkatkan pH lambung sampai 3-5 (Syukri, 2002). 2.4
Spektrofotometri
2.4.1 Definisi Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih
terseleksi dan diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Khopkar, 1990). 2.4.2 Instrumen Menurut Munson (1991), alat utama spektrofotometri terdiri dari sumber cahaya, perangkat pemilah panjang gelombang, detektor, perangkat baca: 1. Sumber cahaya Dalam spektrofotometer serapan UV-Vis tertdapat tiga jenis utama sumber cahaya: lampu peluah, lampu benang pijar dan laser bertala. Lampu luah hydrogen memancarkan radiasi malar dari 200 sampai 360 nm sehingga sebagai sumber UV. lampu benang pijar dipakai pada sumber spectrum daerah sinar tampak. Laser adalah penguatan cahaya dengan pancaran atau radiasi terangsang. 2. Perangkat pemilah panjang gelombang Sebagai ditunjukkan namanya, penapis berfungsi memilah jangka panjang gelombang tertentu dengan cara menapiskan cahaya yang tak dikehendaki. Ada dua jenis utama penapis penimbrung dan penapis serapan. Penapis penimbrung terdiri dari suatu lapisan tipis medium dielektrik bening yang tebalnya dikendalikan dengan cermat. 3. Detektor Pada awal spektroskopi, tengara optik yang berasal dari terokan sering dievaluasi dengan mengenakannya pada lempeng fotografik, lalu lempeng dicuci. Analisis kualitatif dilakukan dengan menebarkan tengara (biasanya dengan prisma) sehingga berbagai panjang gelombang cahaya menabrak lempeng fotografik pada tempat yang berbeda. Analisis kuantitatif berdasar pada
kenyataan bahwa kegelapan noda pada lempeng sebanding dengan intensitas cahaya yang mengenai lempeng pada noda tersebut. Metode penyidikan spektroskopiserapan UV-Vis seperti ini sekarang sudah kuno. Sekarang detektor yang paling umum adalah transduser optik yang mengalih-ragamkan tengara cahaya manjadi tengara listrik yang dapat dipantau dengan mudah oleh beragam perangkat baca. 4. Perangkat baca Perangkat baca adalah sebuah peralatan listrik yang menampilkan arus dari detektor dalam satuan yang bertalian (misalnya daya serap dan atau persentase transmitans pada spektrofotometer UV-Vis). Perangkat baca yang paling lugas adalah meter analog, yang berbijak pada galvanometer. Arus besar dari detektor menghasilkan penyimpangan yang besar dari jarum meter, sehingga intensitas cahaya dapat dikuantitasi.