BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fleksibilitas 2.1.1
Definisi Fleksibilitas Fleksibilitas
adalah
kemampuan
otot
untuk
memanjang/mengulur semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan ROM yang maksimal tanpa disertai dengan rasa tidak nyaman/nyeri. Kisner and Colby (2007) menyebutkan bahwa fleksibilitas merupakan kemampuan satu atau lebih sendi untuk bergerak ROM penuh secara lancar, mudah, tanpa hambatan, serta bebas dari rasa sakit. Fleksibilitas berkaitan erat dengan jaringan lunak, seperti ligamen, tendon, dan otot, di samping struktur tulang itu sendiri. Fleksibilitas juga berhubungan dengan ekstensibilitas dari musculotendinous unit yang saling bersilangan sebagai dasar kemampuan otot untuk rileks atau berubah bentuk dalam proses peregangan. Fleksibilitas mengandung pengertian, yaitu luas gerak satu persendian atau beberapa persendian (Sukadiyanto, 2005). Terdapat dua jenis fleksibilitas, yaitu fleksibilitas dinamis dan fleksibilitas pasif. Fleksibilitas dinamis dikatakan sebagai mobilitas aktif ROM, dimana otot berkontraksi secara aktif untuk gerakan satu sendi, segmen, dan keseluruhan tubuh. Sedangkan fleksibilitas pasif dikatakan sebagai
10
11
mobilisasi pasif ROM dimana otot dan jaringan ikat sendi dapat diulur secara pasif. Fleksibilitas pasif berfungsi sebagai penunjang fleksibilitas dinamis (Kisner and Colby, 2007). Tolak ukur fleksibilitas pasif dilihat dari ukuran luas gerak satu persendian atau gabungan beberapa persendian. Sedangkan untuk fleksibilitas dinamis adalah kemampuan bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Luas gerak sendi yang baik memungkinkan menampilkan suatu gerakan yang cepat dan lincah. Fleksibilitas merupakan fungsi relatif laksitas dan/atau ekstensibilitas jaringan kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi ekstensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka ekstensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari diskus
cartilaginous
yang
ada
pada
beberapa
sendi
juga
mempengaruhi mobilitas sendi-sendi tersebut (Anshar and Sudaryanto, 2011). Pengalaman menunjukkan bahwa elastibilitas otot berkurang setelah masa tidak aktif yang panjang. Sebaliknya, peregangan otot yang teratur dapat meningkatkan elastisitas otot. Tujuan dari latihan fleksibilitas adalah untuk meningkatkan elastisitas otot sehingga mencapai keadaan yang maksimal (Dwijowinoto, 1993). Untuk mencapai hasil elastisitas otot yang maksimal diperlukan suatu latihan
12
yang dapat meningkatkan fleksibilitas, sebab fleksibilitas seseorang dapat menurun apabila tidak dilatih. Menurut Frankl (1999) disebutkan bahwa terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fleksibilitas, yaitu: 1. Faktor internal, a. Sendi: sendi dalam tubuh manusia dikelilingi oleh membran sinovial dan tulang rawan artikular yang berfungsi melindungi dan memelihara sendi dan permukaan sendi. Meningkatkan luas
gerak
sendi
dengan
mobilitas
tertentu
dapat
meningkatkan fleksibilitas. b. Ligamen: ligamen terdiri dari dua jaringan yang berbeda yakni putih dan kuning. Jaringan ikat putih tidak melar, tetapi sangat kuat sehingga bahkan jika tulang yang patah jaringan akan tetap di tempatnya. Sedangkan jaringan kuning merupakan jaringan yang elastis sehingga dapat ditarik jauh namun bisa kembali ke posisi semula. c. Tendon: tendon tidak elastis bahkan kurang elastis. Tendon dikategorikan sebagai jaringan ikat yang mendukung, mengelilingi, dan mengikat serat-serat otot. d. Jaringan areolar: merupakan jaringan yang permeable dan secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh. Jaringan ini bertugas sebagai pengikat untuk semua jaringan lain.
13
e. Jaringan otot: jaringan otot terbuat dari bahan elastis yang diatur dalam bundel dari serat paralel. f. Reseptor peregangan: reseptor ini memiliki dua bagian yaitu sel spindle dan golgi tendon. 2. Faktor eksternal a. Ukuran tubuh: orang dengan jumlah lemak tinggi (obesitas) akan menurun fleksibilitasnya karena luas gerak sendinya menjadi terbatas. b. Aktivitas: orang yang aktivitasnya banyak diam akan berpengaruh pada fleksibilitasnya. Hal ini terjadi karena jaringan lunak dan sendi menyusut sehingga kehilangan daya regang otot, dimana jika seseorang tidak aktif maka otot-otot dipertahankan pada posisi memendek dalam waktu yang lama. c. Cedera: akibat adanya cedera pada sendi, otot, dan tulang maka seseorang akan takut menggerakkan anggota gerak karena
nyeri
sehingga
akan
berpengaruh
terhadap
fleksibilitasnya. d. Usia: pengaruh usia terhadap fleksibilitas digambarkan seperti kurva. Dimana diawali pada usia anak-anak yang semakin meningkat fleksibilitasnya namun sesudah remaja mulai menurun karena gaya hidup yang tidak lagi aktif seperti saat usia anak-anak, apalagi pada usia dewasa yang mana telah mulai muncul masalah-masalah degeneratif.
14
e. Jenis kelamin: secara umum wanita lebih fleksibel daripada laki-laki. Hal itu dikarenakan faktor hormonal, dimana lakilaki memiliki hormon testosteron yang memicu pertumbuhan dan pemendekan otot. Sedangkan perempuan memiliki hormon estrogen yang dapat meningkatkan panjang otot dan kelemahan sendi. f. Pengalaman:
seseorang
yang
memiliki
pengalaman
berolahraga yang membutuhkan gerakan dinamis yang besar akan memiliki jangkauan gerak yang lebih baik daripada seseorang dengan gaya hidup biasa saja. 2.1.2
Fleksibilitas Otot Hamstring Fleksibilitas otot hamstring sangat ditentukan dari panjang otot hamstring itu sendiri. Apabila otot hamstring mengalami pemendekan maka fleksibilitas otot tersebut juga akan menurun. Penurunan fleksibilitas menandakan bahwa sendi dan otot tidak dapat digerakkan secara ROM penuh, baik aktif ataupun pasif. Hal ini bisa terjadi karena suatu kondisi seperti terjadinya kekakuan sendi dan pemendekan otot. Keadaan tersebut akan mudah menimbulkan cedera yang biasa terjadi pada perut otot atau tendon daripada hamstring. Penurunan fleksibilitas hamstring dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemendekan otot hamstring, cedera akut ataupun kronis pada otot hamstring, menurunnya sendi panggul, aktivitas yang berlebihan, serta pola latihan yang tidak benar.
15
Hamstring yang berfungsi untuk gerakan fleksi lutut dan ekstensi panggul dalam aktivitas sehari-hari jarang diberikan latihan khusus (Miller, 2010).
Penggunaan otot
hamstring
yang berlebihan
merupakan penyebab utama ketegangan pada otot hamstring. Hal ini terjadi ketika otot ditarik melebihi kapasitasnya atau berkontraksi secara tiba-tiba dengan beban yang berlebihan. Misalnya pada gerakan menendang bola secara terhentak, otot hamstring yang memendek secara tiba-tiba akan menyebabkan kontraksi kurang maksimal sehingga serabut-serabut otot yang posisinya menyilang akan dipaksa lurus padahal otot dalam keadaan tidak rileks sehingga hal tersebut berpotensi untuk mengakibatkan kerobekan pada otot hamstring.
2.2 Biomekanik dan Anatomi Terapan Hip 2.2.1
Biomekanik Hip Joint
2.2.1.1 Osteokinematika Hip Joint Hip joint merupakan triaxial yang memiliki 3 pasang gerakan (3 DKG) yaitu fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi, dan endorotasi-eksorotasi, seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1. Gerakan yang paling luas adalah fleksi hip dan yang paling terbatas adalah ekstensi/hipereskstensi hip (Anshar and Sudaryanto, 2011). Fleksi-ekstensi terjadi pada bidang sagital di sekitar aksis mediolateral dengan gerak rotasi spin tidak murni. Abduksi-adduksi terjadi dalam bidang frontal di sekitar axisantero-posterior dengan gerak rotasi spin. Endorotasi-eksorotasi terjadi pada bidang transversal di
16
sekitar aksis vertikal dengan gerak rotasi spin pada posisi tungkai dianggap sebagai permukaan kerucut yang tidak beraturan dan apexnya terletak pada caput femoris. Fleksi hip adalah gerakan femur ke depan dalam bidang sagital. Jika knee lurus maka luas gerakan fleksi hip dibatasi oleh ketegangan otot hamstring. Gerakan fleksi hip yang luas dilakukan dengan knee dalam posisi fleksi dimana pelvic akan backward tilt untuk melengkapi/menyempurnakan gerakan fleksi pada hip joint. ROM fleksi hip dengan posisi ekstensi knee adalah sebesar 00 - 900, sedangkan ROM fleksi hip dengan posisi fleksi knee adalah sebesar 00 – 1200 (gerak aktif) dan 00 – 1400 (gerak pasif). Fleksi hip dihasilkan oleh kontraksi otot iliopsoas yang dibantu oleh otot rectus femoris. Ekstensi adalah gerakan kembali dari fleksi sedangkan hiperekstensi adalah gerakan femur ke belakang dalam bidang sagital. Gerakan
ini
sangat
terbatas,
kecuali
pada
akrobatik
yang
memungkinkan terjadi rotasi femur keluar sehingga gerakannya cukup luas. Faktor penghambat hiperekstensi hip adalah ketegangan ligamen iliofemoral pada bagian depan sendi. ROM ekstensi/hiperekstensi hip adalah 00 – 200 (gerak aktif) dan sebesar 00 – 300 (gerak pasif). Otot yang bekerja pada gerakan ini adalah otot gluteus maximus yang dibantu oleh grup otot hamstring. Abduksi hip adalah gerakan femur ke samping dalam bidang frontal sehingga paha bergerak jauh dari midline tubuh. ROM
17
abduksi akan terjadi lebih besar jika femur berotasi keluar. Abduksi dibatasi oleh kerja otot-otot adductor dan ligamen pubofemoral. ROM abduksi hip sebesar 00 – 450 (gerak pasif) dan 00 – 300 (gerak aktif). Otot yang bekerja pada gerakan abduksi adalah otot gluteus medius et minus dan tensor fascia latae beserta traktus iliotibialis, yang dibantu oleh otot sartorius. Adduksi hip adalah gerakan kembali dari abduksi. Hiperadduksi hanya dapat terjadi jika tungkai sisi kontralateral digerakkan keluar. Pada hiperadduksi yang luas, ligamen capitis (teres) femoris menjadi tegang. ROM adduksi hip sebesar 00 – 300 (gerak pasif) dan sebesar 00 – 200 (gerak aktif). Otot yang bekerja pada gerakan ini adalah grup otot adductor, pectineus, dan gracilis. Eksorotasi longitudinal
adalah
sehingga
knee
suatu
rotasi
berputar
femur
keluar.
sekitar
aksis
Eksorotasi
juga
merupakan suatu rotasi femur sekitar aksis sagital sehingga knee berputar ke dalam. ROM eksorotasi biasanya lebih besar daripada endorotasi. ROM eksorotasi hip adalah 00 – 400/600, sedangkan otot yang bekerja dalam posisi tungkai lurus adalah enam otot yang pendek yaitu obturator internus externus, gemellus superior dan inferior, quadratus femoris dan piriformis, serta dibantu oleh otot gluteus medius et minimus. Berbeda dengan posisi tungkai fleksi knee dimana otot yang bekerja adalah grup otot adductor, pectineus, gracilis, dan sartorius.
18
Endorotasi hip adalah gerak rotasi femur sekitar aksis longitudinal sehingga knee terputar ke dalam. Endorotasi juga merupakan gerak rotasi femur disekitar aksis sagital sehingga knee terputar keluar. ROM endorotasi dan eksorotasi dipengaruhi oleh derajat torsi femoral. ROM endorotasi hip adalah 00 – 300/400, sedangkan otot yang bekerja dalam posisi tungkai lurus adalah grup otot adductor dan pectineus, dan dalam posisi tungkai fleksi knee adalah keenam otot rotator yang pendek yang dibantu oleh tensor fascia latae.
Gambar 2.1 Gerakan Hip Joint (Sumber: Neumann, 2002)
19
2.2.1.2 Arthrokinematika Hip Joint Caput femoris berbentuk konveks seperti bola yang melekat pada collum femoris, dengan arahnya adalah menghadap anterior, medial, dan superior. Sedangkan asetabulum berbentuk konkaf dengan arahnya menghadap anterior, lateral, dan inferior. Pada setiap gerakan hip joint, caput femoris selalu bergerak (slide) berlawanan arah dengan gerakan angular, seperti yang dijelaskan pada tabel 2.1 (Anshar and Sudaryanto, 2011).
Gambar 2.2 Gerakan Caput Femur dan Asetabulum Hip Joint (Sumber: Neumann, 2002) Pada gambar 2.2, dapat dilihat bahwa apabila terjadi gerakan abduksi dan adduksi akan menimbulkan jarak dalam diameter longitudinal terhadap permukaan sendi. Gerakan ekstensi, internal, dan eksternal rotasi menimbulkan jarak dalam diameter transversal. Gerakan fleksi dan ekstensi menimbulkan gerakan spin dalam sendi,
20
antara caput femur dengan lunate surface acetabulum (Neumann, 2002). Tabel 2.1 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika Gerakan angular femur
Arthrokinematika caput femur terhadap acetabulum
Fleksi
Posterior/spin
Ekstensi
Anterior/spin
Abduksi
Inferior
Adduksi
Superior
Endorotasi
Posterior
Eksorotasi
Anterior (Sumber: Anshar and Sudaryanto, 2011)
2.2.2
Anatomi Terapan Hip
2.2.2.1 Otot Fleksor Hip Dapat dilihat pada gambar 2.3, otot fleksor primer hip adalah m. iliopsoas, m. sartorius, tensor fascia latae, m. rectus femoris, m. pectineus, dan m. adductor longus. Sedangkan otot fleksor sekunder, meliputi m. adductor brevis, m. gracilis, dan m. gluteus minimus. Kontraksi fleksor hip merotasi pelvis pada aksis medial-lateral melalui masing-masing hip. M. iliopsoas dan m. rectus femoris samasama mampu menimbulkan anterior pelvic tilting. Dimana secara klinis, anterior tilt berhubungan dengan peningkatan lordosis pada
21
lumbal. Kondisi lordosis dapat meningkatkan beban kompresi pada lumbar apophyseal joints (Neumann, 2002). Postur lordosis lumbal yang normal mengoptimalkan seluruh susunan tulang belakang. Namun beberapa orang mengalami kesulitan dalam memelihara postur lordosis lumbal normal saat berdiri. Peningkatan rasa nyeri pada jaringan konektif sekitar lumbal dan ditambah dengan adanya pembebanan pasif dari otot hamstring mengakibatkan bentuk lordosis lumbal yang normal berubah menjadi rata/flat. Sehingga hubungan antara derajat ketegangan otot hamstring dan postur pelvis serta lumbal masih tetap menjadi kontroversial (Neumann, 2002).
Gambar 2.3 Otot Bagian Anterior Hip (Sumber: Neumann, 2002)
22
2.2.2.2 Otot Ekstensor Hip Otot ekstensor primer adalah m. gluteus maximus, grup otot hamstring (m. biceps femoris longum, m. biceps femoris brevis, m. semitendinosus, dan m. semimembranosus), dan m. adductor magnus. Sedangkan otot ekstensor sekunder adalah m. gluteus medius. M. gluteus maximus memiliki origo di sisi posterior os ilium, os sacrum, os coccyx, sacrotuberous dan ligamen sacroiliaca posterior, berinsersio sepanjang tensor fascia latae dan gluteal tuberosity femur. Otot ini penting dalam ekstensi dan eksternal rotasi hip. Sedangkan grup otot hamstring, berorigo di sisi posterior ischial tuberosity dan berinsersio di distal tibia dan fibula. Hamstring berfungsi pada gerakan ekstensi hip dan fleksi knee. Pada posisi ekstensi, m. adductor magnus memiliki kesempatan yang paling besar dalam menimbulkan gerakan tersebut, yang kemudian diikuti oleh m. biceps femoris dan m. semitendinosus. M. semomembranosus dan gluteus maximus memiliki area melintang yang paling besar terhadap seluruh ekstensor. Dari posisi fleksi 750, hamstring dan adductor magnus menghasilkan torque ekstensi yang sama, sekitar 90% dari total seluruh potensial torque ekstensor pada hip. Sedangkan sisanya dihasilkan oleh m. gluteus maximus.
23
Gambar 2.4 Kontrol Forward Lean Otot Hip (Sumber: Neumann, 2002) Gambar diatas menjelaskan mengenai peran otot ekstensor hip yang dapat mengontrol posisi tubuh condong ke depan. Otot membantu postur statis ini secara primer dilakukan oleh grup otot hamstring. Saat posisi slight forward lean, tekanan berat badan dipindahkan tepat jatuh di anterior tubuh dengan axis rotasi hip medial-lateral. Postur ini menahan aktivasi minimal dari otot gluteus maximus dan hamstring. Sedangkan pada fleksi diperlukan aktivasi otot yang lebih besar dari otot hamstring, namun relatif tidak pada otot gluteus maximus. Sehingga jelas dapat meningkatkan responsibilitas
24
dari otot hamstring dibandingkan dengan otot gluteus maximus. Significant leaning forward posture secara mekanik mengoptimalkan potensial torque ekstensor hamstring. Pemanjangan otot hamstring secara signifikan akan meningkatkan tekanan pasif pada otot yang kemudian secara parsial membantu fleksi hip. Untuk alasan tersebut, hamstring membantu untuk mengasosiasikan postur hip dengan forward lean (Neumann, 2002). 2.2.2.3 Otot Adduktor Hip Otot adduktor primer hip adalah m. pectineus, m. adductor longus, m. gracilis, m. adductor brevis, dan m. adductor magnus. Sedangkan otot adduktor sekunder hip adalah m. bicep femoris longum, m. gluteus maximus, dan m. quadratus femoris inferior. Garis tekanan dari otot-otot adduktor mendekati hip dari berbagai orientasi yang berbeda. Oleh karena itu secara fungsional otot-otot adduktor menghasilkan torque di segala bentuk penampang. Namun secara primer, gerakan otot-otot adduktor dapat dilihat dari gambar penampang frontal dan sagital berikut ini.
25
Gambar 2.5 Penampang Frontal dan Sagial Caput Femur (Sumber: Neumann, 2002) Pada penampang frontal, dapat dilihat bahwa otot-otot adduktor berkontraksi secara bilateral untuk mengontrol pola gerak masing-masing. Beberapa otot adduktor menunjukkan akselerasi dengan caput femur. Dengan tambahan tekanan secara kuat pada gerakan ini, akan mengakibatkan rotasi atau penurunan dari iliac crest. Pada penampang sagital, tanpa memperhatikan posisi hip, m. adductor magnus posterior termasuk salah satu ekstensor yang baik, sama seperti hamstring, sedangkan otot adduktor lainnya secara umum membantu timbulnya gerakan fleksi dan ekstensi. Misalnya pada m. adductor longus, pada posisi fleksi hip kurang dari 500-600, garis tekanan jatuh di posterior dengan aksis medial-lateral pada sendi hip, m. adductor longus mampu menghasilkan torque ekstensi sama seperti m. adductor magnus posterior. Kemudian pada posisi
26
fleksi hip kurang dari 600 dengan garis tekanan jatuh di anterior, m. adductor longus memiliki kemampuan untuk menimbulkan torque fleksi sama seperti m. rectus femoris (Neumann, 2002). 2.2.2.4 Otot Abduktor Hip Otot abduktor primer hip adalah m. gluteus medius, m. gluteus minimus, dan tensor fascia latae. M. prirformis dan m. sartorius merupakan otot abduktor sekunder hip. Torque abduksi dihasilkan oleh otot-otot abduktor pada penampang frontal dimana dapat dilihat selama proses berjalan/gait. Pada saat stance phase abduktor hip menstabilkan pelvic terhadap femur. Torque abduksi tersebut penting dalam mendukung posisi single-limb pada fase gait berikutnya. Pada saat ini kaki yang berlawanan diangkat dan diayunkan ke depan. Apabila tanpa adanya torque abduksi yang adekuat pada stance phase, pelvic dan trunk mungkin akan jatuh tidak terkontrol ke arah samping saat kaki berlawanan diayunkan. Berdasarkan gambar 2.6 dapat dilihat faktor utama pada saat melakukan single-limb meliputi hip abductor force (HAF), joint reaction force (JRF), dan body weight (BW) (Neumann, 2002). HAF dan BW merupakan dua tekanan berlawanan yang akan menimbulkan keseimbangan pada pelvic dan caput femur. Pada keadaan seimbang, HAF akan menghasilkan torque internal, sedangkan BW akan
27
menghasilkan torque eksternal. Keseimbangan torque ini disebut dengan static rotaty equilibrium. Selama melakukan single-limb, otot abduktor (m. gluteus medius) menghasilkan tekanan yang paling besar terhadap hip. M. gluteus medius harus menghasilkan tekanan dua kali terhadap BW untuk menjaga stabilitas selama melakukan single-limb tersebut. Untuk menjaga static linear equilibrium, JRF melakukan tekanan ke arah bawah, mendekati arah berlawanan. JRF terjadi pada 100-150 ke arah vertikal, dimana sudut ini mempengaruhi orientasi dari vektor tekanan otot abduktor hip. Besar tekanan abduktor hip dan JRF dapat diperkirakan. Dengan torque dan persamaan tekanan equilibrium, rata-rata tekanan penampang frontal torque pada sisi samping dan tekanan vertikal, diasumsikan nol. Sedangkan JRF memiliki nilai 1873,8 N yang terjadi saat 760,6 N (untuk single-limb stance selama gait). Sekitar 66% JRF dihasilkan oleh otot abduktor. Jika dikalkulasi JRF menghasilkan sekitar 2,4 kali lebih besar daripada BW, yang dihasilkan selama mendukung posisi single-limb stance. Saat seseorang berjalan, tekanan ini akan menjadi lebih besar karena adanya akselerasi antara pelvic dan caput femur. Berdasarkan penelitian pada pengguna hip prostetik, menunjukkan bahwa JRF mencapai 2,5 sampai 3 kali dari BW, dan bahkan tekanan ini meningkat lagi menjadi 5,5 kali saat seseorang berlari (Neumann, 2002).
28
Gambar 2.6 Vektor Otot Abduktor Hip Saat Single-Limb (Sumber: Neumann, 2002) 2.2.2.5 Otot Internal Rotator Hip Secara posisi anatomi, tidak ada otot internal rotator primer karena tidak ada otot yang mengoptimalisasikan posisi ini pada penampang horisontal untuk menghasilkan torque internal rotasi. Namun terdapat beberapa otot sekunder yang menunjang kerja internal rotasi ini, meliputi m. gluteus minimus bagian anterior dan medius, tensor fascia latae, m. adductor longus, m. adductor brevis, m. pectineus,
dan
medial
hamstring
(m.
semitendinosus
dan
m.semimembranosus). Dengan fleksi hip 900, potensial torque otot internal rotator akan meningkat. Hal ini berorientasi dengan garis tekanan terhadap otot tersebut tegak lurus dengan aksis longitudinal. Kemampuan internal rotasi m. gluteus medius bagian anterior meningkat delapan fold antara 00 – 900 saat fleksi (Neumann, 2002).
29
Banyak otot adduktor hip yang menimbulkan torque internal rotasi saat posisi normal. Pemendekan pada otot tersebut akan memunculkan rotasi femur lebih banyak ke arah eksternal daripada internal. Harus dipertimbangkan pula, bahwa efek dari gerakan femoral shaft berpengaruh terhadap garis tekanan otot, seperti linea aspera anterior yang memiliki aksis longitudinal terhadap gerakan rotasi hip. Horizontal line akan menekankan pada komponen otot adduktor seperti m.adductor longus anterior yang memiliki aksis rotasi. Tekanan pada otot ini akan mampu menghasilkan gerakan internal rotasi walaupun hanya dengan torque minimal, seperti pada gambar berikut.
Gambar 2.7 Otot Adduktor Sebagai Internal Rotator Hip (Sumber: Neumann, 2002)
30
2.2.2.6 Otot Eksternal Rotator Hip Otot eksternal rotator primer hip meliputi m. gluteus maximus dan m. sartorius. Sedangkan otot eksternal rotator sekundernya adalah m. gluteus medius bagian posterior dan m. gluteus minimus, m. bicep femoris longum, dan m. obturator externus. Garis tekanan pada otototot ini berorientasi pada penampang horisontal. Orientasi ini mengoptimalkan produksi torque eksternal rotasi. Dengan cara yang sama yang terjadi pada m. infraspinatus dan m. teres minor pada shoulder, otot eksternal rotator memberikan stabilitas pada bagian posterior sendi. Potensial otot eksternal rotator lebih jelas terlihat saat pelvicon-femoral rotation. Seperti pada gambar 2.8, saat mengkontraksikan otot eksternal rotator kanan untuk merotasi pelvic terhadap femur, ekstremitas bawah akan berkontraksi secara konsentrik, kemudian berakselerasi dengan bagian anterior pelvic dan mengakibatkan gerakan trunk menjauhi posisi femur. Aktivasi kontraksi eksentrik dari internal rotator akan dikurangi dalam gerakan ini. ko-aktivasi otot adduktor secara ekstrim akan mengurangi eksternal rotasi dari pelvic yang dapat menimbulkan cedera pada otot tersebut.
31
Gambar 2.8 Gerakan Eksternal Rotasi Saat Pelvic-on-Femoral Right Hip (Sumber: Neumann, 2002) 2.2.3 Biomekanik Otot Skeletal Otot hamstring merupakan salah satu jenis otot skeletal yang berfungsi sebagai penggerak tubuh bagian bawah (lower limb). Dimana setiap otot skeletal
terdiri dari banyak serabut otot yang
berbentuk seperti benang/serabut. Membran yang membungkus serabut otot dinamakan dengan sarkolema. Sarkolema berbentuk seperti neuron yang mengandung potensial membran. Neuron tersebut akan mengeluarkan impuls yang berjalan ke sarkolema yang mengakibatkan sel otot berkontraksi. Transverse tubulus merupakan lubang yang ada pada sarkolema yang berfungsi menghantarkan impuls dari sarkolema ke dalam sel terutama pada struktur lain di dalam sel yang menyelubungi miofilamen yang disebut sarcoplasmic reticulum. Tranverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan dengan retikulum sarkoplasmik dalam menghantarkan impuls serta tempat penyimpanan ion kalsium. Antara retikulum sarkoplasmik
32
dengan sitoplasma sel otot disebut sarkoplasma. Pada sarkoplasma tersebut terjadi pemompaan ion kalsium. Ketika impuls saraf ada pada membran sarcoplasmic reticulum maka terjadi pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium menuju pada sarkoplasma yang akan mempengaruhi miofibril untuk berkontraksi (Fatmawati, 2012). Sarkoplasma pada setiap serabut otot mengandung sejumlah nukleus dan mitokondria, serta sejumlah benang/serabut miofibril yang berjalan paralel sejajar satu sama lain. Miofibril mengandung 2 tipe filamen protein yang susunannya menghasilkan karakteristik pola striated sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal (Anshar and Sudaryanto, 2011). Miofibril terbuat dari molekul protein yang panjang disebut miofilamen. Miofilamen terdiri dari 2 jenis yaitu thick miofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin miofilamen yang berwarna lebih terang. Kedua jenis miofilamen tersebut membentuk sub unit yang saling berhubungan dalam miofibril. Sub unit tersebut dinamakan sebagai sarkomer yang merupakan unit struktural dasar dari serabut otot. Di dalam sarkomer, thick miofilamen berada di tengah dan diapit oleh thin miofilamen. Jika dilihat dalam mikroskopis daerah tengah sarkomer akan terlihat lebih gelap yang disebut dengan I-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan A-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line (Sherwood, 2006).
33
Kepala miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP binding site dan aktin binding site. Pergeseran miosin yang terjadi disebabkan karena kepala dari miosin bertemu dengan molekul aktin di dalam miofilamen. Thin miofilamen terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, troponin dan tropomiosin. Pada otot yang rileks, molekul miosin menempel pada benang molekul tropomiosin, ketika ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah bentuk dan posisi troponin. Perubahan tersebut membuat molekul tropomiosin terdorong dan menjadikan kepala miosin bersentuhan dengan molekul aktin. Persentuhan tersebut membuat kepala miosin bergeser. Pada akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan memecah ikatan antara aktin dan miosin. Kepala miosin kembali bergerak ke belakang dan ATP dipecah sebagai ADP + P. Kepala miosin kembali berikatan dengan molekul aktin yang lain. Ikatan ini membuat terjadinya lagi gerakan aktin terdorong oleh kepala miosin (Fatmawati, 2012). Relaksasi otot skeletal akan terjadi apabila impuls saraf melalui end plates. Akibat dari ketiadaan impuls tersebut maka tidak ada ion kalsium yang masuk ke dalam sitoplasma karena pintu masuk kalsium menjadi tertutup sehingga kalsium akan kembali masuk ke dalam sarcoplasmic reticulum. Selanjutnya akibat kembalinya kalsium ke dalam sarcoplasmic reticulum menyebabkan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali normal dan memutus hubungan antara kepala miosin dan aktin. Otot akan
34
kembali rileks pada saat kepala miosin dan aktin tidak lagi saling berhubungan sehingga tak ada lagi pergeseran molekul.
2.9 Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot (Sumber: Sherwood, 2006) Seperti gambar diatas, mekanisme terjadinya kontraksi otot dimulai dengan adanya suatu beda potensial pada motor end plate akibat suatu stimulus sehingga tercetusnya suatu potensial aksi pada serabut otot. Menurut Azizah dan Hardjono (2006), ada 2 tipe serabut yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat di dalam suatu otot tunggal. 1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan kontraksi yang lambat (kecepatan kontraktil yang lambat), banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria, kekuatan motor unit
35
yang rendah, tahan terhadap kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi dan berfungsi untuk mempertahankan sikap. 2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat (kecepatan kontraktil yang cepat), tidak tahan terhadap kelelahan (cepat lelah), memiliki
kapasitas
aerobik
yang rendah, banyak
mengandung miofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Penyebaran depolarisasi akan terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan pelepasaaan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2+ ke filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi pengikatan Ca2+ oleh troponin C, yang membuka tempat
pengikatan
miosin
dari
aktin.
Proses
tersebut
akan
menyebabkan terbentuknya ikatan silang antara aktin dan miosin, serta akan menyebabkan timbulnya suatu kontraksi otot. Sedangkan pada tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum sarkoplasmik, sehingga terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin yang akan mengakibatkan interaksi antara aktin dan miosin berhenti. Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik. Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada sendi sedangkan
36
kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011).
2.3 Contract Relax Stretching Contract relax stretching merupakan salah satu teknik dalam Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang melibatkan kontraksi otot secara isotonik dengan tahanan yang diikuti fase relaksasi kemudian diberikan stretching secara pasif dari otot yang mengalami ketegangan tersebut. Menurut Sukadiyanto (2005) menyebutkan bahwa pada peregangan cara PNF, diperlukan adanya bantuan dari orang lain atau menggunakan peralatan lain untuk membantu memudahkan gerakan peregangan agar mencapai target. Adapun tujuan dari pemberian contract relax stretching adalah untuk memanjangkan/mengulur struktur jaringan lunak, seperti otot, fasia, tendon dan ligamen yang memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot/akibat fibrosis. Secara umum contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek relaksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot membutuhkan 2 menit untuk mendapatkan efek relaksasi. Efek contract relax stretching jangka
37
panjang pada manusia didapatkan bahwa setiap individu memerlukan durasi 15-45 detik untuk menunjukkan panjang otot yang maksimal. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30 detik dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ketujuh dan contract relax stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu ke-10, sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan ketujuh (Sugijanto, 2006). Contract relax stretching diindikasikan apabila ditemukan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi akibat adanya perlengketan, pembentukan jaringan parut, yang berperan untuk menimbulkan ketegangan otot, jaringan ikat dan kulit. Contract relax stretching tidak dapat dilakukan pada pasien dengan fraktur yang masih baru pada area shoulder girdle, immobilisasi yang lama karena otot levator scapula kehilangan tensile strength, dan terdapat tanda-tanda inflamasi akut (Sugijanto, 2006). Sedangkan menurut Kisner and Colby (2007), menyebutkan indikasi dari stretching berupa, lingkup gerak sendi yang terbatas karena jaringan lunak yang kehilangan ekstensibilitas, gerakan yang terbatas akibat deformitas struktural, kelemahan otot dan pemendekan dari jaringan antagonis, serta sebagai bagian dari total program fitness yang didesain untuk mencegah cedera muskuloskeletal. Kontraindikasi dari stretching adalah sebuah tulang menonjol yang membatasi gerakan sendi, fraktur yang masih
38
baru, terdapat penyatuan tulang yang belum komplit, adanya infeksi akut, proses infeksi, atau penyembuhan jaringan lunak di daerah itu, nyeri akut yang tajam pada gerakan sendi atau elongasi otot, serta terjadi perdarahan atau indikasi lain dari trauma jaringan yang masih diobservasi. 2.3.1
Contract Relax Stretching Direct Contract relax stretching direct adalah suatu kontraksi otot
secara isotonik dengan tahanan yang diberikan secara resisted, diikuti dengan fase relaksasi dan peningkatan luas gerak sendi (Adler, et al., 2008). Tujuan dari teknik ini adalah untuk meningkatkan pasif ROM dari suatu sendi. Terapis menggerakkan sendi atau segmen tubuh pasien hingga batas ROM sendi tersebut dan secara aktif melawan tahanan
yang
diberikan.
Terapis
menyuruh
pasien
untuk
mengkontraksikan otot antagonis yang mengalami keterbatasan secara kuat selama 5-8 detik. Kontraksi maksimal pada posisi otot yang dipanjangkan akan memprovokasi perubahan struktur dari aktinmiosin. Gerakan yang pelan akan memastikan setiap otot yang diinginkan berkontraksi secara maksimal.
Setelah itu terapis
menginstruksikan pasien untuk kembali rileks dengan sendi dan bagian tubuh diposisikan kembali baik secara aktif atau pasif oleh pasien sendiri. Teknik ini diulangi hingga lingkup gerak sendi maksimal telah dicapai.
39
Contract
relax
stretching
direct
mengaplikasikan
mekanisme post-isometric relaxation, dimana dengan awalnya memposisikan
otot
pada
posisi
stretch.
Kemudian
pasien
menggunakan kontraksi otot secara isotonik dengan melawan tahanan minimal oleh terapis yang diikuti dengan fase relaksasi dan dilanjutkan kembali dengan stretch maksimal. Proses ini diulangi dengan setiap fase diikuti dengan stretch yang lebih besar lagi pada otot sebelum melakukan kontraksi isometrik (Healy and Zinkel, 2011). Menurut
Chaitow
(2001),
post-isometric
relaxation
mengacu pada pengurangan tonus otot setelah berkontraksi. Hal ini terjadi karena reseptor stretch yang disebut dengan golgi tendon organ yang terletak pada otot. Reseptor ini bereaksi terhadap overstretching oleh inhibisi otot yang selanjutnya akan berkontraksi. Hal ini secara alami melindungi reaksi terhadap regangan berlebih, mencegah ruptur dan memberi pengaruh pemanjangan/penguluran karena relaksasi yang terjadi secara tiba-tiba pada seluruh otot di bawah pengaruh stretching. Kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf aferen dari golgi tendon organ masuk ke akar dorsal spinal cord dan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls motor neuron eferen dan oleh karena itu terjadi pencegahan kontraksi lebih lanjut,
40
tonus otot menurun, yang berjalan menghasilkan relaksasi dan pemanjangan otot. 2.3.2
Contract Relax Stretching Indirect Contract relax stretching indirect merupakan salah satu
jenis teknik contract relax stretching dengan memaksimalkan kontraksi
otot
agonis
daripada
mengkontraksikan
otot
yang
mengalami pemendekan secara langsung. Metode indirect digunakan pada kondisi otot yang mengalami pemendekan dengan rasa nyeri yang sangat atau pada otot yang mengalami kelemahan untuk mencapai kontraksi yang efektif. Contract relax stretching indirect meningkatkan pasif ROM dengan cara bantuan dari gerakan aktif pasien. Ketika kontraksi otot antagonis mengakibatkan timbulnya nyeri
atau
mengalami
kelemahan,
maka
dianjurkan
untuk
mengkontraksikan agonis otot (Adler, et al., 2008). Metode
indirect
menerapkan
mekanisme
reciprocal
inhibition dimana mengacu pada inhibisi otot antagonis ketika kontraksi isotonik yang terjadi dalam otot agonis (Chaitow, 2001). Hal ini terjadi karena reseptor stretch dalam serabut otot agonis, muscle spindle. Muscle spindle bekerja untuk mempertahankan panjang otot dengan memberikan umpan balik pada perubaham kontraksi. Muscle spindle akan mengirim impuls pada serabut saraf aferen yang kemudian akan bertemu dengan excitatory motor neuron otot agonis dalam spinal cord, sehingga pada saat yang bersamaan motor neuron
41
tersebut akan mencegah kontraksinya dan akan menimbulkan relaksasi pada otot antagonis. Terlihat pada gambar 2.10, reciprocal inhibition terjadi di target muscle saat otot berlawanan berkontraksi secara volunter untuk menurunkan aktivitas neural-nya (Sharman, et al., 2006). Hal tersebut terjadi saat otot yang berlawanan untuk memaksimalkan kekuatan kontraksi, dalam hal ini untuk relaksasi target muscle. Relaksasi target muscle merupakan hasil penurunan aktivitas neural dan peningkatan inhibisi struktur proprioceptive di target muscle (Rowlands, et al., 2003). Inhibisi dari aktivitas elektrik dalam stretch target muscle terjadi karena sambungan neuron di target muscle, kontraksi otot antagonis akan berkurang oleh karena kekuatan target muscle yang menerima sinyal untuk terus berkontraksi.
Gambar 2.10 Mekanisme Reciprocal Inhibition (Sumber: Sharman, et al., 2006) Singkatnya, ketika otot agonis berkontraksi melawan tahanan yang sama secara isometrik, akan terjadi respon stretch dua reseptor, yaitu muscle spindle yang bereaksi meregangkan otot dan
42
direspon oleh inhibisi antagonis dan golgi tendon yang merespon meregangkan tendon, yang diinhibisi oleh otot agonis. Hal tersebut akan membuat muscle spindle menginhibisi secara efektif untuk memberikan relaksasi antagonis.
2.4 Mekanisme Peningkatan Fleksibilitas Pada Otot Hamstring Melalui Contract Relax Stretching Direct dan Indirect Mekanisme peningkatan fleksibilitas otot hamstring dengan intervensi contract relax stretching, baik direct maupun indirect sama-sama bertujuan untuk meningkatkan relaksasi otot melalui pelepasan analgesik endogenus opiat sehingga nyeri regang, spasme, ataupun pemendekan otot dapat diturunkan. Motor unit yang ada pada seluruh serabut otot akan teraktivasi akibat dari adanya kontraksi isometrik yang diikuti dengan inspirasi maksimal. Hal tersebut juga akan menstimulus organ golgi tendon yang dapat membantu terjadinya relaksasi pada otot setelah kontraksi (reverse innervation) sehingga akan terjadi pelepasan adhesi pada otot tersebut (Azizah and Hardjono, 2006). Relaksasi yang dilakukan selama 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh dari fasilitasi reverse innervation. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat relaksasi dan ekspirasi maksimal maka diperoleh pencapaian
43
panjang otot yang tightness/kontraktur lebih maksimal karena contract relax melalui mekanisme stretch relax, autogenic inhibition sehingga dapat dikatakan bahwa stretching pada maksimal range of motion (ROM) akan merangsang organ golgi tendon sehingga timbul relaksasi pada otot antagonis (Risal, 2010). Dalam penerapan prosedur contract relax stretching direct dan indirect, pasien menunjukkan suatu kontraksi isotonik dari otot yang mengalami ketegangan sebelum secara pasif otot dipanjangkan. Adanya kontraksi otot tersebut akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindle otot untuk segera menyesuaikan panjang otot yang maksimal. Golgi tendon organ dapat terlibat dan menghambat ketegangan otot sehingga otot dapat dengan mudah dipanjangkan (Sugijanto, 2006). Pada saat otot berkontraksi selama enam detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot tersebut. Sedangkan pada metode contract relax stretching relaksasi setelah kontraksi otot secara maksimal dilakukan selama sembilan detik dimana dalam proses ini akan diperoleh relaksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innervation. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat relaksasi dan ekspirasi maksimal maka diperoleh pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fasia dan tendon).
44
Respon otot terhadap contract relax stretching direct dan indirect pada dasarnya terjadi pada komponen elastik (aktin dan miosin) dan ketegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan
beradaptasi.
Hal
ini
hanya bertahan
sementara untuk
mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner and Colby, 2007). Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama kali akan mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot. Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Apabila terjadi penguluran area yang tumpang tindih ini berkurang yang menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat serabut otot berada pada posisi memanjang yang maksimal maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan memberikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada disekitarnya. Sehingga pada saat ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh sebab itu pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi
45
lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut untuk kembali normal. Penguluran pada otot akan mengakibatkan peningkatan aliran impuls dari muscle spindle ke posterior horn cell (PHC) pada medula spinalis. Sebaliknya anterior horn cell (AHC) akan mengalirkan peningkatan motor impuls ke serabut otot yang membuat perlindungan tegangan terhadap regangan tahanan. Akan tetapi peningkatan tegangan terjadi pada beberapa detik dalam golgi tendon organ (GTO) yang mengakirkan impuls ke PHC dan menghambat pengaruh peningkatan stimulus motor neuron di AHC. Pengaruh hambatan ini akan menyebabkan pengurangan impuls motor neuron dan terjadi relaksasi.