BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu merupakan gugusan kepulauan yang terletak di sebelah utara Jakarta, tepat berhadapan dengan teluk Jakarta (MJU Tour 2005). Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu menempati lautan dangkal utara Jakarta membentuk gugusan pulau. Tidak ada pulau besar yang mendominasi karena ukurannya yang relatif kecil, hanya memiliki luasan kurang dari 10 ha (Estradivari et al. 2007). Wilayah Kepulauan Seribu merupakan bagian dari wilayah Jakarta Utara. Secara administratif, Kecamatan Kepulauan Seribu dibagi menjadi empat wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan Pulau Untung Jawa (Ramadan 2011). Kelurahan Pulau Panggang mempunyai daratan seluas 62,10 ha dan terdiri dari 13 pulau yang hanya memiliki dua pulau yang didiami oleh penduduk, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Hampir seluruh pulau di Kepulauan Seribu mempunyai topografi yang landai dengan ketinggian rata-rata 0 – 2 m di atas permukaan laut. suhu udara berkisar antara 27-32°C. luas daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian berkisar 1 - 1,5 m. Arus permukaan pada Musim Barat dan Musim Timur berkecepatan hampir sama dengan kecepatan maksimumnya, yaitu 0,5 m/s. Arus permukaan pada Musim Barat dominan ke arah timur sampai ke tenggara, sedangkan Musim Timur dominan ke arah barat. Gelombang laut Musim Barat mempunyai ketinggian 0,5 – 1,175 m dan Musim Timur 0,5 – 1,0 m (Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepuluan Seribu 2008).
2.2. Kondisi Lingkungan Perairan Kepulauan Seribu Peraturan Pemerintah No.19/1999 menyatakan bahwa pencemaran laut diartikan dengan masuknya makhluk hidup, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga menyebabkan lingkungan
5
6
laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan atau fungsinya (BAPELDALDA 2000). Kualitas Fisika dan kimiawi di perairan Kepulauan Seribu secara umum masih dalam kisaran yang normal, namun tekanan dan ancaman yang berupa potensi limbah rumah tangga, karamba jaring apung, rekreasi maupun bahan bakar kapal di Kepulauan Seribu sampai saat ini masih berlangsung atau meningkat intensitasnya. Tekanan yang datang baik dari daratan Jakarta maupun dari wilayah Kepulauan Seribu sendiri. Meningkatnya kegiatan pariwisata di Kepulauan Seribu menyebabkan beberapa masalah seperti sampah yang banyak dan belum terkelola (Terangi 2012). Kawasan Perairan Kepulauan Seribu terdiri atas lautan, pulau karang, gugusan karang yang berupa reef flat dan coral reef serta gosong karang. Pada umumnya terdiri atas batu-batu kapur atau karang, pasir dan sedimen yang berasal dari daratan Pulau Jawa dan dari Laut Jawa. Secara umum kedalaman laut di wilayah Kepulauan Seribu bervariasi sekitar 0 – 40 m. Wilayah Kepulauan Seribu terdiri dari beberapa ekosistem berupa mangrove, terumbu karang dan padang lamun (Ramadan 2011).
2.2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang mempunyai sifat yang sangat menonjol, diantaranya mempunyai produktifitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi (Sukarno et al. 1983). Besarnya produktifitas yang dimiliki terumbu karang disebabkan karena adanya pendaur ulangan zat-zat hara lewat proses hayati secara efisien (Odum 1994). Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme lain penghasil kapur (Romimohtarto dan Juwana 2001). Organisme penghasil kapur tersebut (hewan maupun tumbuhan) mengekstrak karbonat dari perairan sekitarnya untuk membangun tulang luar, cangkang, spikula dan elemen kapur lainnya di tubuh mereka (Sorokin 1995).
7
Terumbu karang merupakan keunikan diantara komunitas lautan, yaitu seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis (Nybakken1992). Struktur fisik dari terumbu karang diproduksi oleh pertumbuhan dari hewan karang dan alga (Weber dan Thurman 1991). Ekosistem terumbu karang berada di daerah perairan dangkal di sekitar daratan daerah tropis. Keberadaannya terbatas di perairan hangat, dengan suhu rata-ratanya tidak kurang dari 18°C pada musim dingin. Lamanya proses pembentukkan ekosistem ini dan keberadaanya menjadikan ekosistem terumbu karang dapat dikatakan sebagai salah satu ekosistem tertua di dunia dan komunitas hewan dan tumbuhan yang paling kompleks di dunia setara dengan hutan hujan tropis. Setiap terumbu karang memiliki ciri khas tersendiri, dipengaruhi salinitas, suhu, arus, deposit sedimen, dan bentuk dasar bawah laut (Wilson dan Wilson 1985). Menurut bentuk dan letaknya, terumbu dibedakan menjadi empat tipe yaitu: fringing reef, barrier reef, pacth reef dan atol. Kepulauan Seribu berada di pusat kawasan segitiga karang, kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk diantaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Australia Utara. Marga yang banyak ditemukan di kawasan ini antara lain Montipora, Fungia, Seriatopora, Acropora, Porites, Galaxea, Lobophyllia, Pachyseris, Echinopora, dan Hydnophora. Meskipun memiliki kekayaan terumbu karang yang tinggi, namun mengalami berbagai ancaman setiap hari, seperti polusi air laut, sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan persisir (Estradivari 2007). Menurut Nybakken (1992), fungsi dan manfaat terumbu karang adalah: a.
Terumbu karang merupakan sumber daya yang sangat tinggi baik untuk biota laut maupun manusia, seperti untuk bahan produk kosmetik, obatobatan, target budidaya bagi manusia dan sebagai tempat berkembang biak dan mencari makan bagi biota laut. Sebanyak 132 jenis ikan yang bernilai ekonomis di Indonesia dengan 32 jenis diantaranya hidup pada terumbu karang. Banyak ikan karang yang dapat dijadikan sebagai komoditi ekspor yang bernilai ekonomis seperti Muraenidae, Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, dan lain-lain yang merupakan sumberdaya ikan terumbu yang penting bagi nelayan. Di wilayah Kepulauan Seribu ditemukan sekitar 14 –
8
65 jenis ikan seperti Serranidae, Caesionidaem Balistidae, Pomachantidae dan Siganidae. Penduduknya lebih banyak membudidaya dan melakukan penangkapan ikan kerapu (Estradivari et al. 2007). b.
Indahnya terumbu karang dapat dijadikan sebagai obyek wisata bawah air yang sangat menarik. Masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai sumber ekonomi wilayah dengan mendirikan pusat penyelaman, restoran hingga penginapan.
c.
Terumbu karang melindungi pantai dari abrasi dan erosi. Strukturnya yang keras dapat menahan gelombang dan arus sehingga dapat mencegah rusaknya dua ekosistem perairan dangkal lainnya, seperti lamun dan mangrove.
d.
Terumbu karang dapat dipandang sebagai laboratorium alam penunjang penelitian dan pendidikan.
e.
Terumbu karang sebagai tempat tinggal, berkembang biak dan mencari makan bagi ribuan jenis ikan beberapa ikan pelagis seperti Carangidae, Charcharinidae, Scombridae, tergantung pada ekosistem terumbu karang, baik sebagai lokasi memijah, membesarkan anak dan makan juga untuk hewan laut lainnya seperti bentos. Menurut Estradivari et al. (2007), terjadi penurunan tutupan karang keras
yang lebih terlihat di pulau yang dikelola untuk kepentingan pribadi, seperti Pulau Semak Daun, dan Pulau Karang Lebar, daripada pulau-pulau yang menjadi tempat wisata umum. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh penambangan karang yang masih berlangsung hingga kini dan juga faktor alami seperti gelombang.
2.2.2. Ekosistem Mangrove Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan dan hutan yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas tinggi dan ke dua sebagai individu spesies. Penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove (Rochana 2001).
9
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak-semak yang tergolong dalam 8 famili, terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennia, Sonneratia, Ryzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Snaeda dan Conocarpus (Rochana 2001). Naamin (1991) dalam Rahmawaty (2006) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove, fungsi fisik menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut serta mengolah bahan limbah. Fungsi biologis, yaitu tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota. Fungsi ekonomis, sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambangan, tempat pembuatan garam dan bahan bangunan. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (Kusmana 2002 dalam Rahmawaty 2006). Hutan mangrove merupakan penghasil serasah yang cukup tinggi dibandingkan dengan hutan hujan tropik. Serasahnya mengandung Magnesium, Natrium, Kalsium, Fosfor dan Sulfur. Kandungan unsur hara makro (N, P, K) dan unsur hara mikro (Ca dan Mg) yang dikandungnya mampu memberikan sumbangan unsur hara bagi biota perairan (Soeroyo 1993). Kadar N daun mangrove yang kering sekitar 0,55% dan diperkirakan 47 kg daun dalam waktu satu tahun. Hal itu berarti, bahwa satu hektar lahan hutan mangrove serasahnya dalam satu tahun mencapai 7,1 – 8,8 ton (Sumarna 1985). Menurut Soedjarwo (1976) dalam Soeroyo (1993), hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik yang tinggi, 90% partikel organik yang terdapat dalam badan air berasal dari daun-daun mangrove, yang menghasilkan 35 – 60% unsur hara yang terlarut di perairan pantai.
10
Hutan mangrove merupakan pendaur ulang hara tanah yang diperlukan oleh pohon mangrove itu sendiri. Adanya pencampuran massa air secara vertikal maupun horizontal pada kolom air di ekosistem mangrove akan mempengaruhi konsentrasi O2 terlarut maupun anorganik nutrien (Sumarna 1985). Ekosistem mangrove memberikan manfaat yang sangat besar bagi ekosistem lain yang berdekatan seperti padang lamun, makroalga, dan terumbu karang. Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi ekologis, dan fungsi ekonomis (Ulqodry 2002 dalam Firman 2004). Fungsi-fungsi tersebut antara lain: 1.
Fungsi fisik hutan mangrove yaitu menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta perangkap terhadap berbagai zat pencemar. Sistem perakaran dan tajuk yang rapat serta kokoh, menjadikan hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang, tsunami, angin topan, dan intrusi air laut.
2.
Fungsi ekologis hutan mangrove yaitu sebagai daerah asuhan pasca larva dan juana jenis-jenis ikan tertentu dan merupakan habitat alami berbagai jenis biota. Kawasan mangrove juga dikenal sebagai tempat berlindung dan mencari makan organisme akuatik dan darat termasuk makrozoobenthos di dalamnya.
3.
Fungsi ekonomis hutan mangrove yaitu memperoleh keuntungan materi yang merupakan hasil penjualan dari arang dan kertas yang berasal dari kayu mangrove. Keuntungan materi lainnya dapat diperoleh dari hasil penjualan ikan-ikan yang tertangkap di kawasan mangrove maupun yang dibudidayakan di tambak yang dikonversikan dari lahan mangrove.
2.2.3. Ekosistem Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang hidup dan tumbuh di perairan laut dangkal, mempunyai akar rimpang (rhizome), daun, bunga dan buah serta berkembang biak secara generatif atau penyerbukan bunga dan vegetatif (pertumbuhan tunas) (KepMenLH 2004).
11
Pada Umumnya spesies lamun memiliki morfologis luar yang hampir serupa. Indonesia diduga memiliki hamparan padang lamun terluas di daerah tropis dan memiliki 12 dari 50 spesies lamun (Kiswara et al, 1994). Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem yang mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi perairan wilayah pesisir (Tangke 2010).
Gambar 2. Interaksi antara Tiga Ekosistem Laut Dangkal (UNESCO 1983 dalam Hutomo 2004) Tangke (2010), menyatakan bahwa ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3 komponen penyusun, yaitu lamun, terumbu karang dan mangrove (Gambar 2). Bersama-sama ke tiga ekosistem tersebut membuat wilayah pesisir menjadi daerah yang relatif subur dan produktif. Ekosistem padang lamun berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Penelitian para ahli di Karibia tentang interaksi
antara
ke
tiga
ekosistem
utama
laut
dangkal
ini
berhasil
mengklasifikasikan lima tipe interaksi utama antara ke tiga ekosistem tersebut. Lima tipe interaksi utama antara ke tiga ekosistem tersebut, yaitu interaksi fisik,
12
nutrien dan zat organik yang terlarut, materi organik melayang, ruang hewan dan dampak manusia. Posisi padang lamun tropis yang terletak diantara mangrove dan terumbu karang yang bertindak sebagai daerah penyangga yang baik, mengurangi energi gelombang dan mengalirkan nutrisi ke ekosistem terdekatnya. Tetapi, interaksi ke tiga ekosistem tersebut dalam hubungannya dengan degradasi penyangga adalah jelas keterkaitannya. Kerusakan salah satu ekosistem dapat menyebabkan akibat jelek pada ekosistem lainnya dalam hubungan dengan perubahan-perubahan keseimbangan lingkungan dan konsekuensinya akan mengubah struktur komunitas keseluruhan, seperti hutan mangrove yang kaya akan sedimen yang mengendap di dasar perairan, apabila sedimen ini masuk ke ekosistem lamun maupun terumbu karang dengan jumlah yang sangat banyak dan terus menerus oleh pengaruh hujan lebat, penebangan hutan mangrove maupun pasang surut dapat mengeruhkan perairan, sehingga akan mempengaruhi fotosintesis dari lamun dan Zooxanthela yang hidup pada karang. Sedimen yang membuat perairan keruh akan berdampak pada berkurangnya penetrasi cahaya sehingga laju fotosintesis akan berkurang dan ini mempengaruhi persebaran dan kelimpahan lamun serta terumbu karang secara vertikal dan horizontal. Padang lamun di Indonesia antara lain terdapat di Teluk Jakarta, Selat Flores, Kepulauan Seribu, Teluk Banten dan Kepulauan Riau. Komunitas lamun biasanya ada dalam area yang luas dan rapat. Secara umum komunitas lamun di bagi menjadi 3 asosiasi spesies (Brouns dan Heijs 1991 dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Pemda Kabupaten Kepulauan Seribu 2006): 1.
Padang Lamun Monospesifik, hanya terdiri dari satu spesies saja, akan tetapi keberadaannya bersifat temporal dan biasanya menjadi fase pertengahan sebelum menjadi komunitas yang stabil (padang lamun campuran).
2.
Asosiasi dua atau tiga spesies, merupakan komunitas lamun yang terdiri dari dua atau tiga spesies.
3.
Padang lamun campuran, umumnya terdiri dari sedikitnya empat dari tujuh spesies berikut: Cymodocea rotundata, Cymodocea serulata, Enhalus
13
acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii.
2.3. Komunitas Makrozoobentos Komunitas adalah populasi yang hidup pada suatu lingkungan tertentu atau habitat fisik tertentu yang saling berinteraksi dan secara bersama membentuk tingkat trofik (Odum 1994). Didalam komunitas, jenis organisme yang dominan akan mengendalikan komunitas, sehingga jika jenis dominan hilang akan mempengaruhi perubahan-perubahan dalam komunitas secara biotik
maupun
fisik. Menurut Kerbs (1989) struktur komunitas memiliki lima tipologi atau karakteristik, yaitu keanekaragaman, dominasi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik. Bentos merupakan organisme yang hidup atau mendiami dasar perairan atau pada sedimen dasar perairan. Menurut Payne (1986) zoobentos adalah hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik sesil, merayap maupun menggali lubang. Hewan makrozoobentos lebih banyak ditemukan di perairan yang tergenang dari pada di perairan yang mengalir. Bentos adalah organisme dasar perairan yang hidup di permukaan (epifauna) atau di dalam dasar substrat (infauna) (Odum 1994). Infauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup terbenam di dalam lumpur (berada di dalam substrat), sedangkan epifauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup menempel di permukaan dasar perairan (Hutchinshon 1993). Kelompok infauna sering mendominasi komunitas substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal, sedangkan epifauna dapat ditemukan pada semua jenis substrat, namun lebih berkembang pada substrat yang keras dan melimpah di daerah intertidal (Lailli dan Parsons 1993). Menurut Barnes dan Mann (1980) ukuran bentos diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu : 1.
Mikrobentos, yaitu bentos yang berukuran <0,1 mm, biasanya didominasi oleh bakteri, fungi, dan protozoa.
14
2.
Meiobentos, yaitu bentos yang berukuran antara 0,1-1,0 mm, biasanya didominasi cacing nematoda dan crustacea kecil.
3.
Makrobentos, yaitu bentos yang berukuran >1mm, biasanya didominasi oleh larva, cacing oligochaeta dan molusca bivalvae. Berdasarkan cara makan, makrozoobentos di kelompokan menjadi dua.
Kelompok pertama, filter feeder atau disebut juga dengan suspension feeder adalah bentos yang mendapatkan makanan dengan cara menyaring partikelpartikel detritus yang melayang di perairan. Kelompok ke dua, deposit feeder adalah hewan yang mendapatkan makanan dengan cara memakan detritus yang mengendap pada permukaan dasar perairan (Odum, 1971).
2.4. Makrozoobentos sebagai Bioindikator Perairan Hubungan
perubahan
lingkungan
terhadap
suatu
komunitas
makrozoobentos dapat dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Baik buruknya kondisi suatu ekosistem tidak dapat ditentukan hanya dari hubungan keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya, suatu ekosistem yang stabil dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi tergantung pada fungsi aliran energi pada sistem tersebut (Odum 1994). Makrozoobentos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimiawi dan biologis perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi
kelangsungan
hidup
organisme
makrozoobentos
karena
makrozoobentos merupakan biota yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik kimiawi maupun fisik (Odum, 1994). Peranan makrozoobentos dalam ekosistem perairan cukup penting karena mampu mengubah materi autokhton dan alokhton, sehingga memudahkan mikroba-mikroba untuk menguraikan materi organik menjadi materi anorganik yang merupakan nutrien bagi produsen di perairan. Menurut Wilhm (1975) perubahan sifat substrat dan penambahan
pencemaran
akan
keanekaragaman makrozoobentos.
berpengaruh
terhadap
kelimpahan
dan
15
Menurut Wilhm (1975) dan Oey et al (1980) dalam Wargadinata (1995), makrozoobentos dapat
dipergunakan sebagai
indikator ekologis dengan
pertimbangan sebagai berikut: 1.
Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel.
2.
Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan untuk identifikasi.
3.
Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah (exposed) oleh air sekitarnya.
4.
Pendedahan
yang
terus
menerus
mengakibatkan
makrozoobentos
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. 5.
Menurut Purnomo (1989) kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai bioindikator pencemaran organik adalah mudah diidentifikasi, bersifat immobile dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap berbagai kandungan bahan organik, sedangkan kelemahannya adalah karena penyebaran dipengaruhi oleh faktor hidrologis seperti arus dan kondisi substrat dasar. Berdasarkan
kepekaannya
terhadap
perubahan
kondisi
perairan,
makrozoobentos ini diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok (Wilhm 1975), yaitu : 1.
Organisme intoleran, yaitu organisme yang bisa tumbuh hanya dalam kisaran perubahan kondisi lingkungan yang sempit.
2.
Organisme fakultatif, yaitu organisme yang bertahan hidup pada kisaran perubahan kondisi lingkungan yang lebih besar.
3.
Organisme toleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran perubahan kondisi lingkungan yang luas. Makrozoobentos umumnya sangat peka rerhadap perubahan lingkungan
perairan yang ditempatinya, karena itu makroinvertebrata ini sering dijadikan sebagai indikator ekologi di suatu perairan dikarenakan cara hidup, ukuran tubuh dan perbedaan kisaran toleransi diantara spesies di dalam lingkungan perairan (Tabel 3).
16
Tabel 1. Struktur Komunitas Makrozoobentos pada berbagai Kondisi Perairan Keadaan Perairan Struktur Komunitas Makrozoobentos Tidak tercemar
Tidak ada satu pun spesies yang dominan, komunitas makrozoobentos seimbang dengan beberapa populasi intoleran yang diselingi beberapa populasi fakultatif.
Tercemar moderat
Banyak spesies intoleran yang hilang atau berkurang dan berbagai spesies fakultatif dengan satu atau dua spesies dari kelompok toleran yang mendominasi. Jumlah spesies dari komunitas makrozoobentos yang terbatas, diikuti berkurangnya kelompok toleran yang fakultatif. Jumlah spesies toleran akan melimpah. Hampir seluruh komunitas makrozoobentos hilang kecuali cacing oligochaeta dan kelompok yang bernafas ke udara. Seluruh kehidupan mungkin saja hilang.
Tercemar
Tercemar berat
Sumber: Wilhm (1975)
2.5. Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobentos Sifat fisika kimiawi perairan merupakan aspek penting dalam ekologis, oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotiknya. Faktor abiotik (fisika dan kimia) perairan yang mempengaruhi makrozoobentos, yaitu antara lain:
2.5.1 Kedalaman dan Kecerahan Kedalaman perairan berhubungan secara langsung dengan jumlah dan spesies makrozoobentos. Pada perairan yang lebih dalam mengandung sedikit bahan-bahan organik, oleh karena itu produktivitas perairan tersebut juga berkurang dan mengakibatkan rendahnya kepadatan makrozoobentos (Widiastuti 1983) Kecerahan perairan dipengaruhi oleh bahan-bahan yang melayang dalam air baik berupa bahan organik seperti plankton, jasad renik, detritus, maupun berupa bahan anorganik seperti partikel lumpur dan pasir. Kecerahan secara tidak
17
langsung akan mempengaruhi komunitas hewan bentos di perairan (Hawkes 1978). Interaksi antara kekeruhan dengan faktor kedalaman akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang akhirnya mempengaruhi kecerahan suatu perairan. Produktivitas algae dan makrophyta lainnya dengan kondisi tersebut akan terpengaruh.
Hal
ini
akan
mempengaruhi
struktur
komunitas
hewan
makrozoobentos karena algae dan makrophyta merupakan salah satu sumber makanannya.
2.5.2. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992). Suhu perairan berpengaruh sangat kompleks terhadap makrozoobentos, baik secara langsung maupun interaksi dengan faktor kualitas air lainnya (Hawkes 1978). Rata-rata suhu perairan di Indonesia 25ºC-31,8ºC. Keadaan ini masih layak untuk kehidupan organisme perairan (Bader 1970).
2.5.3. Salinitas Salinitas mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horizontal maupun vertikal (Odum 1994). Penurunan salinitas dapat menentukan distribusi dari invertebrata perairan, khususnya kelas Polychaeta di estuarin (Reish 1979). Salinitas akan mempengaruhi penyebaran plankton, makrozoobentos, dan organisme perairan lainnya (Hutabarat dan Evans 1985), karena salinitas dapat mempengaruhi kandungan oksigen terlarut yang ada di perairan. Semakin tinggi nilai salinitas, maka semakin rendah kadar oksigen terlarut yang terkandung dalam perairan, dan kadar oksigen terlarut penting untuk pernafasan biota laut (Noortiningsing et al. 2008).
2.5.4. Disolved Oksigen (DO) Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya kandungan oksigen yang terlarut dalam suatu perairan. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg/l (Sastrawijaya 2000). Invertebrata memiliki
18
reaksi yang berbeda terhadap penambahan bahan organik. Makrozoobentos sangat peka terhadap berkurangnya oksigen terlarut (Hawkes 1978). Berkurangnya oksigen terlarut berkaitan dengan tingginya bahan organik yang masuk ke perairan. Selain itu, besarnya kandungan oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh laju fotosintesis, respirasi, suhu air, salinitas, dan dekomposisi (Odum 1994). Kelarutan oksigen dalam air bergantung pada keadaan suhu, pergolakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang terbuka bagi atmosfer dan presentasi oksigen di udara sekelilingnya (Mahida 1993). Jumlah oksigen terlarut dalam suatu perairan bukan hanya sebagai parameter lingkungan yang menentukan distribusi makrozoobentos, tetapi juga menentukan apakah hidup tidaknya suatu spesies pada lokasi tertentu (Reish 1979). Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (1986) menggolongkan variasi kadar oksigen terlarut yang menunjukkan kondisi pencemaran suatu perairan bagi kehidupan organisme (Tabel 2).
Tabel 2.
Klasifikasi Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut. Kadar Oksigen Terlarut Tingkat Pencemaran (mg/L)
Tercemar sangat berat 0,0 - 0.9 Tercemar berat 1.0 – 1.9 Tercemar sedang 2.0 – 2.9 Tercemar ringan 3.0 – 5.9 Tidak tercemar 6 Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (1986)
2.5.5. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran daya aktif ion hidrogen dalam air dan digunakan secara luas untuk menggambarkan kondisi asam atau basa suatu perairan. Batas toleransi organisme air terhadap derajat keasaman (pH) sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor yaitu suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya ion dan kation, serta spesies dan stadium hidupnya (Pescod 1973 dalam Wardoyo 1982).
19
Pengukuran pH adalah suatu yang penting karena banyak reaksi kimiawi dan biokimiawi yang penting terjadi pada tingkat pH yang khusus atau dalam lingkungan pH yang sempit (Mahida 1993) Derajat keasaman di permukaan air lebih besar daripada di dasar perairan dan yang masih layak bagi kehidupan organisme perairan berkisar antara 6,6-8,5 (Welch 1952 dalam Widiastuti 1983). Gastropoda memiliki kecenderungan berada pada pH 7 (Hawkes, 1978).
2.5.6. Arus Arus adalah massa air permukaan yang selalu bergerak, gerakan ini terutama ditimbulkan oleh angin yang bertiup di atas permukaan air. Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi kehidupan akuatik, terutama organisme bentos. Organisme yang menetap pada suatu substrat membutuhkan arus yang dapat membawa makanan, ataupun oksigen (Nybakken 1988). Kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan makrozoobentos dan substrat dasar perairan. Menurut Welch (1992), arus mempengaruhi perpindahan sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat batu, pasir, liat ataupun debu.
2.5.7. Substrat Dasar Perairan Hewan bentos adalah komunitas organisme yang menempati beberapa tipe substrat dasar yang merupakan komponen penting bagi kehidupan hewan bentos (Odum 1994). Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar seperti bentos, baik pada air diam maupun pada air yang mengalir (Michael 1994). Menurut Odum (1994) bahan organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin dan hormone, ditemukan di perairan, tetapi hanya 10% dari material organik yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan. Substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan yang baik bagi makrozoobentos sehingga mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang tinggi (Odum 1994). Substrat merupakan karakter dasar
20
suatu perairan yang memiliki tipe lumpur, pasir dan tanah liat. Substrat batuan merupakan habitat yang baik bagi makrozoobentos untuk mendapatkan makanan, berlindung dari arus dan melekatkan diri, sedangkan substrat kerikil dan pasir sangat mudah terbawa oleh arus air sehingga sulit bagi makrozoobentos untuk melekatkan diri ataupun menetap pada substrat kerikil dan pasir (Sahri 2000). Tipe substrat mempengaruhi kandungan bahan organik dalam substrat. Sedimen dasar yang tersusun atas pasir kasar berlumpur umumnya dihuni lebih banyak hewan bentos per unit area dibandingkan dengan yang tersusun atas lempung berlumpur. Hal tersebut disebabkan sedimen pasir kasar berlumpur lebih stabil dan memungkinkan berlangsungnya pertukaran gas-gas serta bahan makanan (Parker dalam Parson dan Takashi 1977). Selain sebagai tempat hidup, substrat dasar juga berfungsi sebagai sumber pakan bagi sebagian besar makrozoobentos (Cushing dan Walsh 1976). Substrat dasar berupa pasir memiliki ukuran partikel yang lebih besar dari lumpur dan tanah liat (Tabel 1).
Tabel 3. Ukuran Partikel dari Wenthworth Jenis Partikel
Pasir (Sand)
Lumpur (Silt) Tanah Liat (Clay) Sumber : Holme and Mclntyre (1984)
Ukuran (mm) 2 1 0,500 0,250 0,125 0,062 0,031 0,0156 0,0078 0,0039 <0,0039