6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.5.
Definisi Pariwisata Secara Umum Banyak definisi pariwisata yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya sebagai
berikut: a. Menurut McIntosh dan Gupta (1980:8), pariwisata didefinisikan sebagai gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah, serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan ini serta para pengunjung lainnya. b. Menurut Hunzieker dan Kraf (1942), pariwisata adalah keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya, dengan maksud bukan untuk menetap di tempat yang disinggahinya dan tidak berkaitan dengan pekerjaan yang menghasilkan upah. Perjalanan yang dilakukan biasanya didorong oleh rasa ingin tahu untuk keperluan yang bersifat rekreatif dan edukatif. (dalam Kohdyat, 1996:2) c. Menurut Wahab (1996), pariwisata merupakan suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orangorang di dalam negara itu dan daerah lain (daerah tertentu) untuk sementara waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya di tempat ia memperoleh pekerjaan tetap (Andy Aryawan, 2002:10). d. Menurut Ismayanti, A.Par.M.Sc. (2010), pariwisata adalah kegiatan dinamis yang melibatkan banyak manusia serta menghidupkan berbagai bidang usaha. Dari beberapa pengertian pariwisata di atas terdapat satu kesamaan dalam pengertian tentang pariwisata yaitu bahwa kegiatan ini merupakan fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk kegiatan manusia yaitu kegiatan perjalanan/travelling. Berdasarkan beberapa 6
7 pengertian tersebut diatas, kegiatan manusia yang dilakukan dalam rangka rekreasi atau untuk mencari menikmati suasana yang berbeda membutuhkan suatu obyek atau tempat untuk singgah. Pemandangan alam, dalam hal ini adalah pemandangan alam natural ataupun buatan berperan sebagai suatu obyek atau atraksi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan wisata. Segala hal yang berhubungan dengan kegiatan wisata dengan obyek pemandangan alam berupa taman rekreasi, perairan dan selanjutnya dapat disebut sebagai pariwisata bahari dan cagar alam. Definisi luas tentang pariwisata yaitu perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara dan dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sebagai usaha untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dan dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu (Kodhyat dalam Spillane, dalam Dalimunthe, 2007 :11). Menurut Wahab dalam Dalimunthe 2007 : 11 berpendapat bahwa dari definisi yang dikemukakan para pakar tersebut dapat diambil unsur-unsur dari pariwisata adalah : a. Adanya kegiatan mengunjungi suatu tempat b. Bersifat sementara c. Ada sesuatu yang ingin dilihat atau dinikmati d. Dilakukan perseorangan atau sekelompok orang e. Mencari kesenangan/kebahagiaan f. Adanya fasilitas ditempat wisata Dalam UU No.10/2009 tentang kepariwisataan, dinyatakan bahwa Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Apabila dikaitkan dengan pariwisata bahari dan cagar alam berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam yang berkaitan dengan air, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata bahari, misalnya pemanfaatan pemandangan alam dan keindahan kawasan perairan karena letak geografis yang
8 didukung dengan adanya kegiatan rekreasi dan atraksi wisata bahari dan wisata cagar alam seperti berenang, tracking dan olahraga air. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas pada dasarnya pariwisata timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia yang berkaitan dengan kebutuhan manusia yaitu perjalanan. Perjalanan yang dilakukan adalah bersifat
sementara waktu, tidak untuk
melakukan pekerjaan tetap dan tidak dalam usaha untuk mencari upah/nafkah.
1.6.
Bentuk-bentuk Pariwisata Menurut Muljadi (2009:133) dalam kepariwisataan dan perjalanan pariwisata memiliki
beberapa bentuk. Bentuk-bentuk pariwisata dapat dibagi sebagai berikut : a. Menurut jumlah orang yang bepergian 1) Pariwisata individu/perorangan (individual tourism), yaitu bila seseorang atau sekelompok orang dalam mengadakan perjalanan wisatanya melakukan sendiri dan memilih daerah tujuan wisata beserta programnya serta pelaksanaannya dilakukan sendiri. 2) Pariwisata kolektif (collective tourism), yaitu suatu usaha perjalanan wisata yang menjual paketnya kepada siapa saja yang berminat, dengan keharusan membayar sejumlah uang yang telah ditentukannya. b. Menurut sifatnya 1) Pariwisata aktif (active tourism), adalah pariwisata yang mendatangkan wisatawan asing dengan membawa devisa ke suatu negara. 2) Pariwisata pasif (passive tourism), adalah penduduk suatu negara yang pergi keluar negeri dan membawa uang ke luar negeri untuk dibelanjakan di negara lain. c. Menurut motivasi perjalanan
9 1) Pariwisata rekreasi (recreational tourism), adalah bentuk pariwisata untuk beristirahat guna memulihkan kembali kesegaran jasmani dan rohani dan menghilangkan kelelahan. 2) Pariwisata untuk menikmati perjalanan
(pleasure tourism) adalah bentuk
pariwisata yang dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mencari udara segar, untuk memenuhi kehendak ingin tahunya, untuk menikmati hiburan, dan lain-lain. 3) Pariwisata budaya (cultural tourism), adalah bentuk pariwisata yang ditandai dengan rangkaian motivasi seperti keinginan untuk belajar adat istiadat dan cara hidup rakyat negara lain, studi-studi/riset pada pertemuan-pertemuan, mengunjungi tempat-tempat peninggalan kuno/bersejarah, dan lain-lain 4) Pariwisata olah raga (sport tourism) 5) Pariwisata untuk urusan usaha (business tourism), adalah bentuk pariwisata yang dilakukan oleh kaum pengusaha atau industrialis, tetapi dalam perjalanannya hanya untuk melihat eksibisi atau pameran dan sering mengambil dan memanfaatkan waktu untuk menikmati atraksi di negara yang di kunjungi. 6) Pariwisata untuk tujuan konvensi (convention tourism) adalah bentuk pariwisata yang dilakukan orang-orang yang akan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah seprofesi dan politik. d. Menurut Letak Geografis 1) Pariwisata lokal 2) Pariwisata regional 3) Pariwisata nasional 4) Pariwisata regional internasional 5) Pariwisata internasional
10 e. Menurut Waktu Berkunjung f. Menurut Obyeknya g. Menurut Alat Angkutan h. Menurut Umur i. Menurut Jenis Kelamin
1.7.
Perencanaan Pariwisata Menurut Mill dan Morrison (1985:48) dalam Agnes (2010:36), sedikitnya terdapat lima
alasan utama bagi dilakukannya perencanaan pariwisata, yaitu: a.
Mengidentifikasikan alternatif pendekatan untuk: pemasaran, pengembangan, organisasi industri, kepedulian wisata, layanan dan aktivitas pendukung.
b.
Menyesuaikan pada hal-hal yang tidak dapat diperkirakan seperti kondisi perekonomian umum, situasi permintaan dan penyediaan energi.
c.
Mempertahankan keunikan: sumber daya alam, budaya lokal, arsitektur lokal, monument sejarah dan landmarks, events dan aktivitas lokal, taman-taman dan kawasan olahraga di luar, dan lain-lainnya di daerah tujuan wisata.
d.
Menciptakan hal-hal yang diinginkan seperti: tingkat pemahaman yang tinggi akan manfaat-manfaat dari pariwisata, kesan yang jelas dan positif atas suatu kawasan sebagai suatu tujuan wisata, organisasi industri pariwisata yang efektif, tingkat kerjasama yang tinggi di antara operator-operator perseorangan, dan tujuan lainnya.
e.
Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti gesekan-gesekan dan kompetisi yang tidak perlu antar operator pariwisata perseorangan, tingkah laku yang tidak bersahabat dari masyarakat lokal terhadap wisatawan, kerusakan alam dan aset sejarah, hilangnya identitas budaya, hilangnya pangsa pasar, kepadatan yang terlalu tinggi, kemacetan dan masalah lalu lintas, polusi, dan lain-lain.
11 Menurut Yoeti dalam Rahman 2010:9, keberhasilan pengembangan pariwisata ditentukan oleh 3 (tiga) faktor sebagai berikut : a.
Tersedianya obyek dan daya tarik wisata
b.
Adanya fasilitas accessibility yaitu sarana dan prasarana, sehingga memungkinkan wisatawan mengunjungi suatu daerah atau kawasan wisata.
c.
Terjadinya fasilitas amenities yaitu sasaran kepariwisataan yang dapat memberikan kenyamanan kepada masyarakat.
Baik pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dan para pelaku (stakeholders) perlu memahami alasan-alasan tersebut dalam rangka pengembangan pariwisata secara keseluruhan, khususnya pariwisata bahari dan cagar alam. Segala sesuatau yang berhubungan dengan pengembangan, pemasaran, layanan dan aktivitas pendukung harus diidentifikasi secara tepat sesuai dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam perencanaan wisata bahari dan cagar alam. Perencanaan tersebut tentunya jangan sampai menghilangkan keunikan dari kawasan wisata, yaitu pemandangan alam, kawasan perairan, taman-taman, dan lain-lain. Diharapkan
secara
bersama-sama,
para
pelaku
tersebut
dapat
membangun
serta
mengembangkan elemen-elemen kepariwisataan sesuai dengan peran, tanggung jawab, dan motivasi masing-masing. Elemen-elemen suatu rencana kepariwisataan oleh Page (1995:171) dalam Agnes (2010:37), disebutkan sebagai berikut: a.
Lingkungan alam dan sosial ekonomi.
b.
Daya tarik dan kegiatan-kegiatan wisata.
c.
Akomodasi.
d.
Transportasi.
e.
Elemen-elemen kelembagaan.
f.
Prasarana lainnya.
g.
Fasilitas, utilitas, dan pelayanan wisata lainnya.
12 h.
Pasar wisata domestik dan internasional.
i.
Penggunaan prasarana wisata oleh penduduk setempat.
Kedudukan antara satu elemen dengan elemen yang lainnya dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 The Elements Of The Tourism Plan Domestic & International Tourism Market Tourist attractions and activities Transportation Other Infrastructure
Accomodation Natural and socio-economic environment
Institutional elements
Other tourist facilities and services Sumber : Page (1995:172)
Elemen-elemen yang dikemukakan oleh Page tersebut diatas juga merupakan elemen penting dalam perencanaan pariwisata bahari dan cagar alam. Lingkungan alam khususnya perairan sebagai obyek wisata didukung dengan keadaan sosial ekonomi wilayah sekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata dan didukung dengan ketersediaan elemen-elemen yang lain seperti atraksi wisata dan kegiatan wisata air, akomodasi, transportasi menuju dan di dalam kawasan wisata air, elemen institusional atau kelembagaan baik pemerintah maupun swasta, fasilitas dan pelayanan yang mendukung kegiatan wisata air, dan prasarana lainnya. Elemen-elemen tersebut yang kemudian ditawarkan dalam pasar wisata baik domestik maupun internasional kepada wisatawan, khususnya yang memiliki minat khusus untuk menikmati atraksi wisata bahari dan wisata cagar alam. Istilah perencanaan wisata masih memiliki pengertian yang umum, untuk itu perlu adanya pemahaman akan aspek-aspek apa saja yang dibicarakan dalam perencanaan wisata, termasuk dalam perencanaan wisata bahari dan cagar alam. Aspek-aspek ini merupakan bahan
13 kajian yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam kegiatan perencanaan wisata bahari dan wisata cagara alam. Aspek-aspek tersebut meliputi: a.
Aspek pasar, menyangkut kondisi pasar serta kebutuhannya.
b.
Aspek sumber daya, antara lain: 1) Sarana dan prasarana. 2) Sumber daya manusia.
c.
Aspek produk, berkaitan dengan upaya meramu dan mengemas produk wisata yang berintikan: 1) Penyusunan program. 2) Perhitungan harga. 3) Penentuan kebijaksanaan produk.
d.
Aspek operasional, menyangkut kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan produk wisata, yang terdiri atas: 1) Kegiatan pra-penyelenggaraan. 2) Kegiatan selama penyelenggaraan. 3) Kegiatan pasca penyelenggaraan.
Keterkaitan antar aspek dapat diperlihatkan dalam bagan berikut ini: Gambar 2.3 Aspek-Aspek Perencanaan Pariwisata
ASPEK PASAR
ASPEK SUMBER DAYA Sumber : Suyitno, 1999:5
ASPEK PRODUK
ASPEK OPERASIONAL
14
Pariwisata akan terwujud dengan adanya suasana dan fasilitas pendukung, lingkungan alam dan sosial ekonomi serta masyarakat dan pengunjung dengan berbagai macam ketertarikan. Ada lima pendekatan untuk perencanaan wisata yang diidentifikasikan oleh para ahli. Lima pendekatan ini dapat diterapkan pula dalam perencanaan wisata bahari dan cagar alam. Empat diantaranya dikemukakan oleh Getz (1987:45) dan ditambah lagi satu pendekatan yang dikemukakan oleh Page (1995:185). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Boosterism Merupakan suatu pendekatan sederhana yang melihat pariwisata sebagai suatu atribut positif untuk suatu tempat dan penghuninya. Obyek-obyek yang terdapat di suatu lingkungan ditawarkan sebagai aset bagi pengembangan kepariwisataan tanpa memperhatikan dampaknya, yang menurut Hall (1991:22) nyaris dapat dikatakan bukan sebagai suatu bentuk dari perencanaan pariwisata. Masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan daya dukung wilayah yang ada tidak begitu dipertimbangkan.
b.
The Economic-Industry Approach Pendekatan ini merupakan pendekatan yang sangat luas digunakan oleh kota-kota yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri yang dapat mendatangkan manfaat-manfaat ekonomi bersama-sama dengan penciptaan lapangan kerja serta munculnya kesempatan-kesempatan dalam pembangunan. Konsep pariwisata dengan pendekatan ini adalah sebagai suatu ekspor bagi sistem perkotaan, dan pemasaran digunakan untuk menarik pengunjung yang merupakan pembelanja tertinggi.
15 Tujuan-tujuan ekonomi lebih dinomorsatukan daripada tujuan-tujuan sosial dan lingkungan, yaitu dengan menetapkan sasaran utama berupa pengalaman menarik bagi pengunjung dan tingkat kepuasan yang dialami oleh para wisatawan. c.
The Physical-Spatial Approach Pendekatan ini didasarkan pada tradisi “penggunaan lahan” geografis dan perencana-perencana dengan pendekatan rasional untuk perencanaan lingkungan perkotaan. Kepariwisataan dilihat di dalam suatu range konteks, tetapi dimensi lingkungan dianggap juga sebagai isu kritis dari daya dukung sumber daya wisata di dalam kota. Strategi-strategi perencanaan yang berbeda berdasarkan prinsipprinsip keruangan digunakan di sini, misalnya pengelompokan pengunjung di kawasan-kawasan
utama,
atau
terkonsentrasinya
pengunjung
pemecahan di
satu
untuk
kawasan,
menghindarkan dan
pemecahan
terlalu untuk
menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik-konflik. Hanya saja satu kritik bagi pendekatan ini adalah masih kurang mempertimbangkan dampak sosial dan kultural dari wisata perkotaan. d.
The Community Approach Merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada pentingnya keterlibatan maksimal dari masyarakat setempat di dalam proses perencanaan. Perencanaan tradisional top-down, dimana perencana menetapkan agenda yang perlu dimodifikasi untuk memasukkan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal di dalam proses perencanaan dan penentuan keputusan. Jadi, community tourism planning ini menganggap penting suatu pedoman pengembangan pariwisata yang dapat diterima secara sosial (social acceptable). Pendekatan ini menekankan pada pentingnya manfaat-manfaat sosial dan kultural bagi masyarakat lokal bersama-sama dengan suatu range pertimbangan ekonomi dan lingkungan. Menurut Haywood (1988), dalam penerapan rencana, “bentuk
16 politis” dari proses perencanaan tersebut seringkali terjadi penurunan derajat misalnya dari kemitraan (partnership) menjadi penghargaan (tokenism). e.
Sustainable Approach (Sustainable tourism planning) Pendekatan ini adalah pendekatan yang diidentifikasi oleh Page, merupakan pendekatan keberlanjutan berkepentingan dengan masa depan yang panjang atas sumber daya dan efek-efek pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mungkin juga menyebabkan gangguan kultural dan sosial untuk memantapkan pola-pola kehidupan dan gaya hidup individual. Dalam konteks perencanaan pariwisata, pembangunan berkelanjutan didasarkan pada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh the World Commission on the Environment and Development (the Brundtland Commission) pada tahun 1987 yang menurut Hall (1991) berhubungan dengan eguity, the needs of economically marginal populations, and the idea of technological and social limitations on the ability of the environment to meet present and future needs. Untuk menindak lanjuti adanya beberapa prinsip tersebut diatas, Dutton dan Hall (1989) mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang dapat digunakan sebagai pedoman pencapaian suatu pendekatan berkelanjutan yang realistik untuk perencanaan pariwisata, yaitu sebagai berikut: 1) Mendorong kerjasama dan saling perhatian untuk meningkatkan manfaat dari setiap pendekatan, sehingga perencanaan pariwisata harus kooperatif dan didasarkan pada sistem pengendalian terpadu. 2) Mengembangkan mekanisme koordinasi industri. 3) Meningkatkan
kepedulian
konsumen
mengenai
pilihan-pilihan
yang
berkelanjutan dan tidak-berkelanjutan, termasuk manfaat-manfaat dari manajemen pengunjung.
17 4) Meningkatkan
kepedulian
produsen
atas
manfaat-manfaat
perencanaan
pariwisata yang berkelanjutan. 5) Menggantikan pendekatan-pendekatan perencanaan konvensional dengan perencanaan strategik, untuk ini disyaratkan semua pihak yang berkepentingan membuat komitmen yang pasti untuk tujuan-tujuan yang berkelanjutan. 6) Memberi perhatian yang lebih besar atas keperluan perencanaan kualitas pengalaman wisatawan, dengan suatu pandangan atas keberlanjutan jangka panjang dari produk wisata, bersama-sama dengan memantapkan atraksi dari kawasan tujuan wisata. Pariwisata
berkelanjutan
dapat
dikatakan
sebagai
pembangunan
yang
mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya alam dan budaya secara berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (Puslitbang BP. Budpar, 2003).
1.8.
Daerah Tujuan Wisata (DTW) Menurut Leiper dalam Cooper,et.al.(1998:5), wisatawan bergerak dalam tiga daerah
geografis, yaitu Daerah Asal Wisata (DAW) atau Traveller-Generating Region (TGR), Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau Tourist Destination Region (TDR), dan Daerah Transit (DT) atau Transit Route Region (TR).
18 Gambar 2.4 Elemen Geografis Dalam Sistem Pariwisata DTW1 DAW WW
DT3 DT DTW2 2 DT1
Sumber : Adaptasi dari Leiper dalam Cooper et.al (1998:6)
Daerah Asal Wisatawan (DAW) menggambarkan sumber pasar wisata, dalam arti daerah ini memberikan dorongan untuk menstimulasi dan memotivasi perjalanan wisata. Di daerah ini pula wisatawan akan melakukan segala persiapan perjalanan hingga keberangkatan ke daerah tujuan wisata. Dengan kata lain, DAW adalah daerah tempat wisatawan berdomosili dan bekerja serta melakukan aktivitas keseharian. Pada umumnya, DAW merupakan kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan usaha, dagang, pendidikan dan administrasi pemerintahan. Dalam hal ini, pada umumnya di Indonesia beribukota provinsi. Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan daerah yang menjadi incaran para wisatawan untuk melakukan wisata karena DTW memiliki daya tarik untuk dikunjungi, sekaligus menjadi energi dari keseluruhan sistem pariwisata. DTW harus mampu memenuhi kebutuhan pasar wisata dan juga menciptakan permintaan bagi DAW. Dengan kata lain, DTW sebagai daerah tempat wisatawan melakukan kegiatan yang bukan untuk mencari nafkah. Pada umumnya, DTW menawarkan beragam keunikan baik yang bersifat alam maupun budaya sehingga menarik wisatawan untuk mengunjunginya. Daerah Transit (DT) merupakan daerah persingahan antara DAW dan DTW ketika para wisatawan hanya melakukan perjalanan singkat untuk mencapai daerah tujuan, sekaligus
19 merupakan daerah perantara ketika wisatawan merasa meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan bekerja, dan ia belum tiba di daerah tujuan.
1.9.
Perilaku Wisatawan Setiap wisatawan yang melakukan perjalanan memiliki cara yang unik dan berbeda satu
dengan yang lain. Hal ini menyebabkan terjadi perbedaan kepuasan dan pengalaman berwisata. Bab ini dibuka dengan pembahasan tentang perilaku wisatawan dari berbagai model menurut ahli kepariwisataan. Keragaman jenis wisatawan dibahas dan diakhiri dengan karakteristik dan tipologi wisatawan.
1.9.1. Model Perilaku Wisatawan Merurut Wahab, Crampon dan Rothfied (Cooper et.al:2005, Swarbrooke dan Horner:1999), setiap wisatawan memiliki konsep perilaku pembelian dengan keunikan keputusan pembelian karena berwisata adalah kegiatan pengembalian modal tidak nyata (no tangiable return on investment), berhubungan erat dengan pendapatan dan pengeluaran, tidak dipesan secara instan (kecuali wisatawan bisnis) dan melibatkan perencana keputusan. Gambar 2.5 Model Perilaku Wisatawan Pengenalan Kerangka
Konsepsi Alternatif
Mendefinisikan Asumsi
Pengumpulan Data
Desain Stimulus
Alternatif Manfaat Kerugian
Prediksi Konsekuensi
Keputusan
Hasil Akhir
Sumber: diadaptasi dari Cooperet.Al.(2005), Swarbrooke dan Horner (1999)
20 Model itu memperlihatkan bahwa pembelian wisata merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan perencanaan dan proses pemikiran yang masuk akal. Dalam hal ini, kemungkinankemungkinan pembelian yang spontan atau tanpa perhitungan diabaikan. Berwisata harus merupakan hasil keputusan yang matang dan penuh pertimbangan. Hal ini biasa dilakukan agar perjalanan wisata benar-benar memenuhi kebutuhan. Selain itu, tujuan wisatanya tercapai dengan baik, yang pada akhirnya kepuasan dapat dicapai.
1.9.2. Model Proses Keputusan Perjalanan Schmoll (Cooper et.al:2005, Swarbrooke dan Horner:1999) membuat sebuah model keputusan perjalanan wisata yang harus dilihat secara menyeluruh berdasarkan motivasi, keinginan, kebutuhan dan pengharapan wisatawan secara personal atau social. Proses keputusan perjalanan wisata terdiri atas empat bidang yang mempengaruhi keputusan akhir, yakni stimulan wisata, variable internal, variable eksternal dan karakteristik daerah tujuan wisata. Dalam model itu dinyatakan bahwa keputusan pembelian wisata merupakan hasil interaksi dari empat bidang di atas. Dalam hal ini, faktor internal dan eksternal memiliki peranan dan pengaruh kepada wisatawan. Dalam model itu juga dicantumkan bahwa setiap perjalanan wisata akan memberikan dampak penting bagi wisatawan guna mengambil keputusan yang tepat. Stimulan wisata merupakan hal-hal yang membuat seseorang terpengaruh untuk berwisata, seperti iklan, promosi, buku-buku, saran teman, publikasi, adventorial, dan sumber lain. Variabel internal berasal dari dalam diri seorang wisatawan meliputi sosio-ekonomi, kepribadian, pengaruh nilai dan sikap. Keseluruhan unsur dalam variabel internal memunculkan motivasi, kebutuhan dan pengharapan wisata. Variabel eksternal berasal dari luar diri seorang wisatawan meliputi citra BPW, citra destinasi, pengalaman, tujuan perjalanan, ketersediaan waktu dan biaya. Kendali variabel
21 eksternal akan semakin kuat dengan adanya karakteristik destinasi yang unik dari manfaat yang didapatkan atas biaya yang ditawarkan, atraksi atau daya tarik dan ketersediaan amenitas, kualitas, dan kuantitas, pengaturan perjalanan, dan peluang untuk berwisata.
1.10. Variabel-variabel Penelitian Penentuan Tujuan Wisata Prioritas Adapun variabel yang digunakan adalah frekuensi dan jumlah wisatawan, jarak obyek wisata dari ibukota, aksesibilitas (waktu tempuh, ongkos transport, jenis/kondisi jalan, alat angkutan) penataan, pengelolaan serta prasarana dan sarana pendukung.
1.10.1. Frekuesi dan Jumlah Wisatawan Dalam pengembangan pariwisata frekuensi dan jumlah wisatawan sangat diperlukan untuk mengetahui jumlah pengunjung yang ada sehingga dapat menjadi acuan untuk pengembangan lebih lanjut, sekaligus juga sebagai pemasukan PAD suatu daerah. Gambar 2.6 Model Proses Keputusan Perjalanan
Variabel Internal Stimulan Wisata -
Iklan dan Promosi Buku-Buku Saran Teman Publikasi dan advertorial
Sosio-Ekonomi
Kepribadian
Motivasi
Keinginan Wisata
Pengaruh Nilai
Kebutuhan
Pencarian Informasi
Sikap
Pengharapan
Studi Banding
Keputusan
Variabel Eksternal -
Kredibilitas BPW Citra Destinasi Pengalaman Tujuan Perjalanan Waktu dan Biaya
Biaya atau Manfaat
Kualitas & Kuantitas
Atraksi & Amenitas
Kesempatan Wisata
Pengaturan Perjalanan
Karakteristik Daerah Tujuan Wisata
22
Sumber : Diadaptasi dari Cooper et.al (2005:68)
Tujuan pengelompokkan data ke dalam distribusi frekuensi ialah guna memperoleh gambaran yang sederhana, jelas dan sistematis mengenai peristiwa yang dinyatakan dalam angka-angka. (Dayan, 1986 Hal 84).
1.10.2. Jarak Dari Ibukota Dalam hal mengunjungi tujuan wisata jarak sangat menentukan dalam pemilihan lokasi obyek wisata, yaitu usaha meminimumkan jarak ini secara implisit berarti pula memperhitungkan biaya angkutan yang minimum, guna agar menarik wisatawan sehingga obyek wisata bisa dengan cepat berkembang karena lokasi tujuan wisata tidak melelahkan perjalanan wisatawan yang akan berkunjung. (Djojodipuro : 1992)
1.10.3. Aksesibilitas (Waktu Tempuh, Ongkos Transport, Jenis/Kondisi Jalan, Alat Angkutan) Aksesibilitas sangat berperan penting dalam pengembangan tujuan wisata dapat digunakan untuk menyatakan kemudahan suatu tempat untuk dicapai dengan waktu tempuh yang tidak terlalu jauh, ongkos transport terjangkau, jenis/kondisi jalan baik serta memiliki berbagai macam moda angkutan umum sehingga dengan mudah para wisatawan mengunjungi obyek wisata sedangkan mobilitas untuk menyatakan kemudahan seseorang bergerak, yang dinyatakan dari kemampuannya membayar biaya transportasi. (Tamin : 2000)
1.10.4. Penataan Penataan site plan kawasan yang sangat menarik yang terdapat di lingkup obyek pariwisata itu sendiri menentukan daya tarik para wisatawan untuk mengunjungi dan
23 menikmatinya guna untuk menarik para wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara, berdasarkan penataan yang sangat baik ini juga bisa menjadi peluang yang sangat besar di bidang kepariwisataan.
1.10.5. Prasarana dan Sarana Pariwisata Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk sementara waktu ke tempat atau daerah yang sama sekali masih asing baginya. Karena jauh dari tempat tinggalnya, maka ia memerlukan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, yaitu semenjak dia berangkat sampai ke tempat tujuan wisata, hingga dia kembali kerumahnya. Oleh karena itu sebelum seorang wisatawan melakukan perjalanan wisata, terlebih dahulu ia ingin mengetahui tentang : 1.
Fasilitas transportasi yang akan membawanya dari dan ke daerah tujuan wisata yang ingin dikunjunginya.
2.
Fasilitas akomodasi, yang merupakan tempat tinggal sementara di tempat atau di daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi.
3.
Fasilitas catering service, yang dapat memberi pelayanan mengenai makanan dan minuman sesuai dengan selera masing-masing.
4.
Obyek dan atraksi wisata yang ada di daerah tujuan yang akan dikunjunginya.
5.
Aktivitas rekreasi yang dapat dilakukan di tempat yang akan dikunjungi tersebut.
6.
Fasilitas perbelanjaan, dimana ia dapat membeli barang-barang pada umumnya dan souvenir pada khususnya.
7.
Tempat atau toko, di mana ia dapat membeli atau reparasi kamera dan mencuci serta mencetak film hasil pemotretannya.
Semua ini menyangkut prasarana dan sarana kepariwisataan yang harus diadakan sebelum kita mempromosikan suatu Daerah Tujuan Wisata.
24
1.10.6. Kriteria terhadap Prasarana dan Sarana Pendukung Obyek Wisata Prioritas Obyek wisata dengan jumlah prasarana dan sarana pendukung terdiri dari 10-13 jenis yang dikategorikan sebagai obyek wisata yang memiliki prasarana dan sarana lebih lengkap, obyek wisata dengan jumlah prasarana dan sarana pendukung terdiri dari 6-9 jenis dikategorikan sebagai obyek yang memiliki prasarana dan sarana kurang lengkap, sedangkan obyek dengan prasarana dan sarana pendukung 1-5 jenis dikategorikan sebagai obyek dengan prasarana dan sarana sangat kurang, adapun kriteria dari ke 13 kategori itu adalah sebagai berikut: 1.
Jalan
9. Kolam Renang/Kolam Pancing
2.
Listrik
10. Tempat Bermain Anak
3.
Telepon
11. Musholla
4.
Toilet
12. Shelter
5.
Rumah Makan
13. Warung Souvenir
6.
Café
7.
Warung
8.
Tempat Parkir
1.11. Evaluasi Studi Analisis SWOT Hasil studi kelayakan sebaiknya dievaluasi secara lebih cermat untuk memperoleh kesimpulan yang paling tepat dalam penentuan tujuan wisata. Sebagai bagian dari studi kelayakan, kegiatan evaluasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis SWOT (Strong, Weakness, Opportunity dan Threat). Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi relasi-relasi sumber daya Daerah Tujuan Wisata dengan sumber daya yang lain. Jadi kekuatan dan kelemahan sumberdaya tersebut perlu ditegaskan sejak awal, agak berbeda dengan studi kelayakan, analisis
25 sumberdaya tujuan wisata sudah harus menghasilkan sintesis yang akan dijadikan sebagai basis penentuan tujuan wisata. Bahkan hasil analisis ini merupakan produk akhir untuk menyimpulkan apakah penentuan tujuan wisata dapat dilakukan atau tidak. Oleh sebab itu semua pihak, khususnya masyarakat local, perlu mengetahui apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh kawasan dan obyek tujuan wisata tersebut (Damanik dkk).
1.12. Penelitian Terdahulu Sebelum penelitian ini dilakukan terdapat beberapa penelitian sejenis yang dilaksanakan oleh beberapa peneliti lainnya. Penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Judul Penelitian Sejenis yang Sudah Dilakukan No. 1.
Peneliti Agnes Yuliasri Wahyu
2.
Tahun : 2005 Muhammad Azizur Rahman
3.
Tahun : 2010 Dorris Hanna Yosephine Manik
4.
Tahun : 2000 Naruddin Dalimunthe
Tahun : 2007
Judul Penelitian Prioritas Pengembangan Obyekobyek Wisata Air di Kawasan Rawa Pening Kabupaten Semarang
Lokasi Kawasan Rawa Pening, Kabupaten Semarang
Analisis Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Strategi Pengembangan Obyek Wisata Pantai Cermin di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara
Kawasan Wisata Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai Kawasan Wisata Pantai Cermin, Kabupaten Deli Serdang
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai
Kawasan Wisata Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai
Hasil Penelitian Prioritas Pengembangan Produk berupa atraksi wisata air di Kawasan Wisata Rawa Pening berdasarkan permintaan dan penawaran wisata Strategi pengembangan Kawasan Wisata di Kecamatan Pantai Cermin Strategi pengembangan Kawasan Wisata di Kabupaten Deli Serdang Partisipasi masyarakat terhadap pengembangan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Cermin
26 No. 5.
Peneliti Soetarto
6.
Tahun : 2003 Dewa Putu Mustika Wijaya
7.
Tahun : 2007 Nafiah Mahyar
Judul Penelitian Analisis Pengembangan Kawasan Pariwisata Pantai Cermin
Lokasi Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Deli Serdang
Analisis Dampak Perkembangan Pariwisata Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat Peranan Obyek Pariwisata Pantai Cermin Dalam Perkembangan Ekonomi Lokal
Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Barat
Tahun : 2010
Kawasan Wisata Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai
Hasil Penelitian Pengaruh jumlah wisatawan , jumlah transportasi, jumlah warung/kedai dan jumlah pondok terhadap penyerapan tenaga kerja di daerah obyek wisata pantai cermin Dampak Pariwisata terhadap kondisi makroekonomi, mikroekonomi dan sosial budaya
Tanggapan masyarakat terhadap obyek wisata dan peranan obyek wisata terhadap ekonomi lokal
1.13. Kerangka Berpikir Dalam
rangka
mendukung
upaya
pengembangan
wilayah
khususnya
pengembangan obyek wisata di Kota Banda Aceh, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti potensi daerah wisata, profil dan karakteristik wilayah yang nantinya akan menghasilkan strategi pengembangan obyek wisata itu sendiri. Untuk dapat memahami lebih jelas mengenai konsep pengembangan obyek wisata di Kota Banda Aceh, dapat dilihat bagan alir di bawah ini.
27 Potensi Kajian Wisata Dasar
Profil dan Karakteristik
Arah Strategi Pengembangan
Obyek Penelitian
Pengembangan Pariwisata dengan Optimal
Pengembangan Wilayah