BAB II TINJAUAN PUSTAKA Secara umum kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannyadan hal ini akan terlihat dalam sikap positif yang ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi lingkungan kerjanya. Bab ini akan memaparkan tentang teori yang akan digunakan dalam penelitian ini.Hal yang akan dibahas yaitu, kepuasan
kerja
(definisi,
teori,
aspek-aspek,
faktor-faktor
yang
memengaruhinya),iklim organisasi (definisi, teori, aspek-aspek), motivasi kerja (definisi, teori, aspek-aspek), hasil-hasil penelitian sebelumnya, dinamika hubungan antar variabel, model penelitian, dan hipotesis penelitian.
A. Kepuasan Kerja Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Biasanya orang akan merasa puasa atas kerja yang telah atau sedang ia jalankan, apabila apa yang ia kerjakan itu dianggapnya telah memenuhi harapannya, sesuai dengan tujuan ia bekerja (Anoraga, 2009). Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila seseorang mendambakan sesuatu, hal itu berarti bahwa ia memiliki suatu harapan, oleh karena itu ia akan termotivasi untuk bisa mencapai harapan tersebut. Jika harapan tersebut terpenuhi, maka ia akan merasa puas. 1. Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Robbins(2008), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang 16
merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan seseorang tentang pekerjaannya dan juga terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Spector (dalam Younes, 2012:10) bahwa, “Job satisfaction is simply how people feel about their jobs as well as the different aspects of their jobs. It is the extent to which people like (satisfaction) or dislike (dissatisfaction) their jobs”. Tiffin (dalam As’ad, 2002) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaan, situasi kerja, kerja sama antara pimpinan dengan sesama karyawan. Blum (dalam Anoraga, 2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhdap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu di luar kerja. Handoko (2010) mengatakan bahwa: “Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka”. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannyadan hal ini akan terlihat dalam sikap positif yang ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaannya
dan
kerjanya.Anoraga
segala (2009)
sesuatu
yang
menyimpulkan
dihadapi
bahwa,
lingkungan
“kepuasan
kerja
merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk didalamnya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis”.Kenyataan menunjukkan, bahwa orang bekerja bukan hanya
17
untuk mencari upah (unsur ekonomis) saja, tetapi juga karena ingin mendapatkan suatu kepuasan kerja.Locke (dalamMunandar, 2006) mencatat bahwa perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja cenderung lebih mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang pengalaman-pengalaman kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan yang positif/negatifseseorang terhadap sembilan aspek pekerjaan yaitu gaji, promosi, supervisi, tunjangan, imbalan kontingen, prosedur operasi, rekan kerja, sifat dari pekerjaan dan komunikasi, sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan kerjanya.
2. Teori Kepuasan Kerja a.
Teori Pertentangan (Discrepancy Theory) Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter, yang mengukur
kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (As’ad, 2002). Kemudian Locke mengembangkan teori ini dengan menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan pertimbangan dua nilai. Pertama, pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diterima oleh seseorang. Kedua, pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan bagi individu.
18
Menurut Locke (dalam Munandar, 2006) seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dan hasil yang diperolehnya. Teori ini hampir sama dengan teori keadilan yang juga membandingkan dirinya dengan orang lain. Individu-individu tidak hanya peduli akan jumlah mutlak ganjaran atas kerja mereka, tetapi juga berhubungan dengan jumlah yang diterima oleh orang lain (Robbins, 2003).
b.
Teori Keadilan (Equity Theory) Equty theory ini dikembangkan oleh Adams (dalam Munandar,
2006 ). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain (As’ad, 2002). Menurut teori ini elemen-elemen dari equity ada tiga yaitu input, outcomes, dan comparison persondan equity-inequity. Input adalah semua nilai yang dimiliki karyawan yang menunjang pelaksanaan pekerjaannya. Nilai yang dimaksud diantaranya adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha, dan kemampuan individu.Outcomes adalah hasil yang dirasakan seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya, seperti
misalnya
gaji,
keuntungan,
status
symbols,
recognition,
penghargaan, dan kesempatan untuk aktualisasi diri.Comparison person adalah orang lain yang menjadi pembanding atas input-outcomes yang dimilikinya. Comparison person ini bisa merupakan seseorang dari perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya
19
sediri di waktu yang lalu. Menurut Wexley & Yukl (dalamAs’ad, 2002) bila perbandingan itu dianggapnya adil (equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tapi menguntungkan (over compensation in equity), bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Namun bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation inequity), maka akan timbul ketidakpuasan.
c.
Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfaction) Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan teori
keadilan dari Adams. Menurut model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya dengan rekan kerja, atasan, gaji) jika jumlah dari bidang mereka harapkan (persepsikan) sesuai dengan kenyataan yang mereka terima (Munandar, 2006).
d.
Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herzberg. Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukannya,
dia
membagi
situasi
yang
memengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu kelompok satisfiers atau motivator dan kelompok dissatisfier atau hygiene factors (As’ad, 2002).Satisfier adalah faktorfaktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi (achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (work it self), tanggung jawab (reponsibillity), dan kanaikan pangkat (advancement). Nama lain dari satisfier adalah intrinsic factor, job content, dan motivator. Dissatisfier
adalah
faktor-faktor
yang
menjadi
sumber
ketidakpuasan, yang terdiri dari kebijakan dan administrasi perusahaan
20
(company policy and administration), bantuan teknis dari atasan (supervision
technical),
gaji
(salary),
hubungan
interpersonal
(interpersonal relations), kondisi kerja (working condition), keamanan kerja (job security), dan status. Nama lain dari dissatisfier adalah extrinsic factor, job context, dan hygiene factor.
e.
Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory) Teori proses bertentangan dari Landy menekankan bahwa orang
ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Asumsi dari teori ini adalah bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja akan memacu mekanisme fisiologikal dalam sistem saraf pusat yang membuat aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan (Munandar, 2006).Teori ini menyatakan bahwa jika orang memperoleh ganjaran dalam pekerjaannya, maka ia akan merasa senang sekaligus ada rasa tidak senang (lebih kecil). Namun setelah beberapa saat rasa senang itu akan menurun sehingga orang akan merasa sedih sebelum kembali ke kondisi normal. Hal ini terjadi karena emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama. Berdasarkan teori yang diuraikan di atas, maka penulis lebih menekankan pada teori kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg.Hal ini di karenakan teori kepuasan kerja dari Frederick Herzberg menjelaskan keseluruhan kepuasan kerja baik secara intrinsik maupun ekstrinsik yang penting dimiliki oleh seorang pegawai dalam bekerja di organisasi terutama pada penelitian ini kepuasan kerja guru di sekolah.Teori ini juga berkaitan dengan aspek-aspek alat ukur yang digunakan, yaitu Job Satisfaction Survey (JSS) yang dikemukakan oleh
21
Spector.alasan
pemilihan
JSS
adalah
karena
aspek-aspek
yang
dikemukakan dalam JSS sangat sesuai dengan teori yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Younes (2012) yaitu JSS berfokus pada kebutuhan ekstrinsik dan intrinsik yang merupakan inti dari penelitiannya tentang kepuasan kerja berdasarkan teori Hygiene-Motivator yang dikemukakan oleh Herzberg. Instrumen dari JSS adalah 36 aitem, dengan 9
(sembilan)
aspek
untuk
mengukur
sikap
karyawan
terhadap
pekerjaannya dan aspek dari pekerjaan yang dianggap sebagai variabel utama dalam kaitannya dengan kepuasan kerja adalah: gaji, promosi, supervisi, tunjangan,imbalan kontingen, prosedur operasi, rekan kerja, sifat dari pekerjaan, dan komunikasi (Spector, 1994).Hal ini merupakan variabel kunci dan juga inti dari penelitian ini khususnya dalam konteks teori Herzberg.
3.
Aspek-Aspek Kepuasan Kerja Cellucci & DeVries (1978) mengembangkan pengukuran kepuasan
kerja yang disebut Job Satisfaction Questionnaire (JSQ) yang telah di gunakan dalam berbagai studi oleh para peneliti terutama untuk organisasi publik dengan menggunakan lima aspek yang dikemukakan oleh Deshpande (1996). Kelima aspek tersebut yakni kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap penyelia/atasan, dan kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Berikut ini penjelasan dari kelima aspek sebagai berikut: a. Kepuasan terhadap gaji (satisfaction with pay) merupakan hal yang berhubungan dengan gaji yang diberikan lembaga dibandingkan dengan lembaga yang lain, mempertimbangkan gaji dengan tanggung jawab dan tunjangan-tunjangan yang memuaskan di tempat kerja.
22
b. Kepuasan terhadap promosi(satisfaction with promotions) merupakan hal yang berhubungan dasar atau sistem promosi di tempat kerja dan tingkat kemajuan karir pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga. c. Kepuasan terhadap rekan kerja (satisfaction with co-workers) merupakan hal yang berhubungan dengan dukungan rekan kerja dan kerja sama dari rekan kerja. d. Kepuasan
terhadap
supervisi/pengawasan
(satisfaction
with
supervisors) merupakan hal ini berhubungan dengan dukungan dari atasan, atasan yang memiliki kompeten di bidangnya, sikap tidak mendengar pendapat dan perlakuan yang tidak adil oleh atasan. e. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri (satisfaction with work itself) merupakan hal yang berhubungan dengan perasaan pegawai yang tertarik dengan pekerjaan, rasa senang dengan jumlah beban pekerjaan dan kurang prestasi pegawai dalam mengerjakan tugas.
Spector (1994) mengungkapkan ada sembilan aspek kepuasan kerja yang dikenal dengan namaJob Satisfaction Survey (JSS), yaitu: a. Gaji (Pay), kepuasan pada gaji dan kenaikan gaji baik dalam segi jumlah maupun rasa keadilannya.. b. Promosi (Promotion), kepuasan pada peluang promosi dan keadilan untuk mendapatkan promosi. c. Supervisi (Supervision), kepuasan akan atasan langsung karyawan. Termasuk didalamnya adalah pengarahan, masukan, dan pengawasan dari atasan. d. Tunjangan (Fringe benefit), kepuasan pada tunjangan-tunjangan berupa asuransi, liburan, dan bentuk fasilitas lainnya.
23
e. Imbalan kontingen (Contingent reward), kepuasan pada penghargaan (tidak harus materi) yang diberikan untuk kinerja yang baik sebagai bentuk rasa hormat, diakui, dan apresiasi. f. Prosedur operasi (Operating procedures), kepuasan pada peraturan, prosedur, dan kebijakan yang ada. g. Rekan kerja (Coworker), kepuasan pada rekan kerja
yang
menyenangkan dan kompeten. h. Sifat dari pekerjaan (Nature of work), kepuasan pada pekerjaan yang dilakukan dapat dinikmati atau tidak. i. Komunikasi (Communication), kepuasan akan komunikasi didalam organisasi dalam hal berbagi informasi (verbal maupun nonverbal).
Dari beberapa aspek yang telah disebutkan di atas, yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Spector (1994).Menurut Spector kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya
dan
juga
terhadap
berbagai
aspek
dari
pekerjaannya.Selain itu karena aspek yang diungkapkan oleh Spector (gaji, promosi, supervisi, tunjangan, imbalan kontingen, prosedur operasi, rekan kerja, sifat dari pekerjaan dan komunikasi) sangat berkaitan dengan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu teori dua faktor yang dikemukakan oleh Herzberg.
4.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja Harold E. Burt (Anoraga, 2009) mengemukakan faktor-faktor yang
ikut menentukan kepuasan kerja antara lain: a.
Faktor hubungan antar karyawan, terdiri dari: 1) Hubungan langsung antara manajer dengan karyawan.
24
2) Faktor psikis dan kondisi kerja. 3) Hubungan sosial di antara karyawan. 4) Sugesti dari teman sekerja. 5) Emosi dan situasi kerja. b.
Faktor individual, berhubungan dengan: 1) Sikap. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya mencerminkan pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan (Wexly & Yuki, 2005). 2) Umur. 3) Jenis kelamin.
c.
Faktor luar (extern), yaitu faktor-faktor yang mendorong karyawan yang berasal dari luar selain dirinya sendiri, antara lain: 1) Keadaan keluarga. 2) Rekreasi. 3) Pendidikan: tarining, up grading dan sebagainya.. Ghiselli & Brown (dalamAs’ad, 2004) mengemukakan bahwa
faktor-faktor yang dapat memunculkan kepuasan kerja. a.
Kedudukan (posisi). Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang memengaruhi kepuasan kerja.
25
b.
Pangkat jabatan (golongan). Pada
pekerjaan
yang
mendasarkan
perbedaan
tingkat
(golongan),sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya. c.
Umur. Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur
yang bisa
menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan. d.
Jaminan finansial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
e.
Mutu pengawasan. Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging). Robbins (2003) mengatakan ada empat faktor yang kondusif bagi
tingkat kepuasan kerja karyawan yang tinggi, yaitu : a.
Pekerjaan yang secara mental menantang Orang lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka peluang untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka
26
dan menawarkan satu varietas tugas, kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baiknya mereka melakukan itu. Karakteristikkarakteristik ini membuat pekerjaan menjadi menantang secara mental. b.
Imbalan yang wajar Karyawan menginginkan sistem panggajian yang mereka anggap tidak ambigu, dan sejalan dengan harapan mereka. Bila pembayaran itu kelihatan adil berdasarkan pada permintaan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pembayaran masyarakat, kepuasan mungkin dihasilkan.
c.
Kondisi lingkungan kerja yang mendukung Karyawan merasa prihatin dengan kondisi lingkungan kerja mereka jika menyangkut masalah kenyamanan pribadi maupun masalah kemudahan untuk dapat bekerja dengan baik. Banyak studi yang menunjukan bahwa para karyawan lebih menyukaii lingkungan fisik yang tidak berbahaya atau yang nyaman. Selain itu kebanyakan karyawan lebih suka bekerja tidak jauh dari rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dengan alat dan perlengkapan yang memadai.
d.
Rekan kerja yang suportif Dari bekerja orang mendapatkan lebih dari sekedar uang atau prestasiprestasi yang berwujud, bagi sebagain karyawan kerja juga dapat mengisi kebutuhan akan interaksi social. Oleh karena itu, tidak heran jika seorang karyawan memiliki rekan kerjayang suportif dan bersahabat dapat meningkatkan kepuasan kerja mereka.
27
e. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan akan menghasilkan seorang individu yang lebih terpuaskan. Orangorang memiliki tipe kepribadiannya sama dan sebanding dengan pekerjaan yang mereka pilih akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan-pekerjaan tersebut dan lebih besar untuk mencapai kepuasan kerja yang tinggi dalam kerja mereka.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat pula faktor lain yang memengaruhi kepuasan kerja. Diantaranya adalah iklim organisasi, yang merupakan serangkaian sifat lingkungan kerja yang dapat memengaruhi perilaku seseorang.Penelitian yang dilakHukan ole Yunus (2004), Adenike (2011) dan Bemana (2011) menemukan bahwa iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan.Selain itu, penelitian Tyilana (2005), Ayub (2011), Singh & Tiwari (2011) membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan.Selanjutnya, Mamik (2009) menyatakan bahwa kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh faktor kedisplinan, komitmen organisasi dan motivasi kerja. Dari beberapa faktor yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tinggi rendahnya kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, maupun faktor eksternal yaitu faktor yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan dalam suatu organisasi yang dipahami dalam konsep perilaku. Faktor-faktor eksternal antara lain lingkungan fisik dan sosial,gaya kepemimpinan, iklim organisasi,sistem manajemen, sifat pekerjaaan, dukungan dan faktor lainnya yang menekankan pada
28
hubungan antar manusia. Sedangkan faktor-faktor internal antara lainmotivasi kerja, komitmen, dan kedisplinan. Adapun dalam penelitian ini, penulis membatasi pada variabel iklim organisasi sebagai faktor eksternal dan motivasi kerja sebagai faktor internal untuk melihat pengaruhnya terhadap kepuasan kerja pegawai.
B. Iklim Organisasi 1.
Pengertian Iklim Organisasi Ada ungkapan yang menyatakan bahwa iklim organisasi
merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Tagiuri & Litwin (dalam Wirawan, 2007:121) bahwa iklim organisasi adalah“….a relatively enduring quality of internal environment of an organization that (a) is experienced by its members, (b) influences their behavior, and can be described in term of the values of a particular set of characteristics (or attributes) of the organization”. Dengan kata lain, iklim organisasi merupakan perasaan dan pengalaman terhadap lingkungannya. Carolyn S. Anderson (dalam Wirawan, 2007) mendefinisikan iklim organisasi sebagai rasa sekolah, seperti dipersepsikan oleh mereka yang bekerja atau mengikuti kelas di sekolah. Iklim organisasi sekolah merupakan apa “yang kita rasakan” dan kehidupan interaktif di sekolah. Selanjutnya, Robert Stringer (dalam Wirawan, 2007) mendefinisikan iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi.Lebih lanjut Wirawan (2007) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka
29
yang secara tetap berhubungan dengan organisasi mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin yang mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi. Handoko
(2000)
mengungkapkan
bahwa
iklim
organisasi
merupakan suatu suasana organisasi yang diciptakan beberapa komponen yang membentuk nilai kebijaksanaan, yang pelaksanaan sesuai dengan kepentingan kelompok kerja. Komponen-komponen yang membentuk suasana ini meliputi: praktik pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan berpola kelompok, adanya arus komunikasi yang mengalir ke seluruh jenjang organisasi secara memadai dalam arti jumlah dan mutu, terciptanya kondisi kerja yang sedemikian rupa sehingga mendorong dan merangsang para pegawai untuk bekerja giat, adanya penghargaan yang penuh terhadap sumber daya manusia sebagai modal dasar organisasi, adanya pengakuan pengaruh bawahan dalam melaksanakan tugas pekerjaan, dan adanya penyediaan teknologi oleh organisasi secara memadai sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan tugas pekerjaan. Dalam hal ini, iklim organisasi berfungsi sebagai faktor pengaruh dalam proses pekerjaan bagi perilaku kerja dan kepuasan kerja. Dengan demikian, terdapat pengaruh yang positif antara iklim organisasi terhadap kinerja dan kepuasan kerja. Semakin sesuai dan menyehatkan suatu iklim organisasi akan semakin tinggi tingkat kinerja dan kepuasan kerja pegawainya. Menurut Simamora (2004), iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologis organisasi. Iklim organisasi mempengaruhi praktik dan kebijakan SDM yang diterima oleh anggota organisasi. Perlu diketahui bahwa setiap organisasi akan memiliki iklim organisasi yang berbeda. Keanekaragaman pekerjaan yang dirancang di dalam organisasi
30
atau sifat individu yang ada akan menggambarkan perbedaan tersebut. Reksohadiprojo (1995) mendefinisikan iklim organisasi sebagai suatu lingkungan intemal organisasi yang terdiri dari elemen-elemen fisik, teknologi, sosial, politik, ekonomi.Di mana elemen-elemen tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan, prosedur dan kondisi kepegawaian sebagaimana pandangan manajer. Davis & Newstroom (2008) menuliskan iklim organisasi adalah lingkungan manusia di mana pegawai organisasi melakukan pekerjaan yang mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam organisasi.Lebih lanjut dijelaskan bahwa iklim tidak dapat disentuh namun berpengaruh terhadap kejadian di suatu organisasi. Membahas tentang iklim organisasi sebenarnya sedang membahas sifat-sifat atau ciri yang dirasa dalam lingkungan kerja dan timbul terutama karena kegiatan organisasi yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan yang dianggap mempengaruhi tingkah laku. Dengan kata lain iklim dapat dipandang sebagai kepribadian organisasi yang dilihat oleh para anggotanya Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi
adalah
suatu
keadaan
yang
menggambarkan
kualitas
lingkungan internal organisasi yang dialami oleh semua anggota organisasi dan dipersepsikan oleh setiap pegawai yang mempengaruhi perilaku mereka dalam organisasi tersebut untuk mencapai kepuasan dalam bekerja. Dengan demikian apabila pegawai merasa bahwa iklim yang ada pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan menyenangkan baginya untuk bekerja dengan baik, dan hal ini akan membuat pegawai tersebut merasa puas.
31
2.
Teori Iklim Organisasi Istilah iklim organisasi (organizational climate) pertama kali
dipakai oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi (psychological climate). Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh Tagiuri dan Litwin. Tagiuri mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) di mana perilaku muncul: lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya (culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behavior setting), dan kondisi (conditions) (Wirawan, 2007). Menurut Tagiuri dan Litwin iklim organisasi sebagai “….a relatively enduring quality of internal environment of an organization that (a) is experienced by its members, (b) influences their behavior, and can be described in term of the values of a particular set of characteristics (or attributes) of the organization”. Iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi (Wirawan, 2007). Stringer (2002) memodifikasi dalam mengembangkan kuesioner yang lebih konsisten dan sederhana mengenai iklim organisasi yang disebut Organizational Climate Questionnaire. Menurut Stringer, perlu pengelompokkan ciri-ciri tertentu dalam iklim ke dalam kelompokkelompok yang akan menjadi khas suatu organisasi jika dibandingkan dengan organisasi lain. Yang terpenting pengelompokkan ini berguna bagi pimpinan organisasi sebagai suatu pedoman untuk meningkatkan motivasi dan kinerja serta kepuasan kerja para pegawai. Di katakan pula bahwa
32
iklim organisasi secara obyektif berada dalam suatu organisasi, tetapi ia hanya bisa dijelaskan dan diukur secara tidak langsung melalui persepsi dari pada anggota-anggotanya. Di tambahkan pula Stringer(2002)bahwa iklim bersifatobyektif dansubyektif yang merupakan ekspresiobyektif yang diukurdaripersepsisubjektifdari pegawai terhadaplingkungan kerja mereka. Altman (dalam Wirawan, 2007) mengungkapkan bahwa terdapat tujuh aspek iklim orgnasasi, yaitu: a. Keadaan lingkungan fisik kerja. Lingkungan fisik adalah lingkungan yang berhubungan dengan tempat, peralatan, dan proses. Persepsi karyawan tentang tempat kerja menciptakan persepsi karyawan mengenai iklim organisasi. b. Keadaan lingkungan sosial. Lengkungan sosial adalah interaksi antara anggota organisasi. Hubungan tersebut dapat bersifat hubungan formal, informal, kekeluargaan, atau profesional. c. Pelaksanaan sistem manajemen. Sistem manajemen adalah pola proses pelaksanaan manajemen organisasi. d. Produk. Produk adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi. e. Konsumen yang dilayani. Konsumen yang dilayani dan untuk siapa produk ditujukan memengaruhi iklim organisasi. f. Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi. Persepsi mengenai kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi sangat memengaruhi iklim organisasi. Lebih lanjut, Stringer (2002) menguraikan enam aspek untuk mengukur iklim organisasi yang disebut Organizational Climate
33
Questionnaire untuk organisasi sektor publik termasuk pemerintahan yaitu: a. Struktur (structure). Struktur merefleksikan perasaan yang dirasakan pegawai dalam organisasi yang secara terorganisir dengan baik dan memiliki uraian tugas mengenai peran dan tanggung jawab yang jelas. Struktur tinggi jika pegawai merasa bahwa pekerjaan setiap orang diorganisir dengan baik. Struktur rendah jika terjadi kebingungan mengenai siapa yang harus melakukan sesuatu dan mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. b. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan tingkat atau derajat kebanggaan pegawai ketika melakukan pekerjaannya dengan baik. Standar-standar tinggi artinya karyawan dalam organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja. Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja. c. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan pegawai bahwa mereka adalah “bos bagi diri mereka sendiri” dan tidak harus melaporkan semua keputusan mereka kepada atasan. Tanggung jawab yang tinggi menunjukkan bahwa pegawai merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri sedangkan tanggung jawab yang rendah menunjukkan bahwa pegawai tidak diharapkan untuk mengambil resiko dan mencoba pendekatan baru. d. Penghargaan (recognition). Penghargaan merefleksikan perasaan pegawai dalam organisasi yang merasa dihargai atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik.Penghargaan merupakan ukuran penghargaan yang dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian
34
pekerjaan.Penghargaan rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara tidak konsisten. e. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang berlaku di kelompok kerja/unit kerja dalam organisasi. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa terisolasi dan tersisih sendiri. f. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga pegawai oleh sebagai bagian dalam organisasi dan tingkat atau derajat komitmen/keloyalan terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah komitmen artinya pegawai merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori iklim organisasi yang diungkapkan oleh Stringer. Hal ini karena teori yang diungkapkan oleh Stringer secara lengkap menguraikan seluruh iklim organisasi baik secara internal maupun eksternal yang penting dalam suatu organisasi, yang dipersepsikan oleh anggota yang bekerja dalam organisasi berdasarkan nilai-nilai, aturan-aturan, dan suasana lingkungan kerja yang dialaminya.
35
C. Motivasi Kerja 1.
Pengertian Motivasi Motivasi dalam bahasa inggris disebut motivation yang berasal
dari bahasa Latin movere yang berarti “menggerakkan” (Steers & Porter, 1975, dalam Wijono, 2010). Motif adalah daya penggerak yang mencakup dorongan, alasan dan kemauan yang timbul dari seseorang yang menyebabkan untuk berbuat sesuatu.Motivasi sebagai sesuatu hal yang menggerakkan, memelihara, mengatur, dan menghentikan perilaku. Hal senada pula di dikemukakan Hasibuan (2009) bahwa motivasi berawal dari kata latinmovere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan. Siagian (2007) bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Demikian manusia memiliki peranan penting dalam mewujudkan tujuan organisasi karena itu motivasi sangat dalam menentukan perilaku orang-orang untuk bekerja atau dengan kata lain perilaku merupakan cerminan yang paling sederhana dari motivasi. Liang Gie mendefenisikan dalam bukunya Martoyo (1992) motive atau dorongan adalah suatu dorongan yang menjadi pangkal seseorang melakukan sesuatu atau bekerja. Seseorang yang sangat termotivasi, yaitu orang yang melaksanakan upaya substansial, guna menunjang tujuan-
36
tujuan produksi unit kerjanya, dan organisasi dimana ia bekerja. Seseorang yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja.Sementara itu, Robbins (2001) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah suatu dorongan kebutuhan dalam diri individu yang menggerakkan individu untuk berperilaku mencapai tujuan-tujuannya dalam organisasi dimana individu tersebut berada di dalamnya, karena motivasi tidaklah dilihat
dengan
kasat
mata
namun
dimanifestasikan
melalui
perilaku.Adapun aspek-aspek dari motivasi yaitu kebutuhan keberadaan, kebutuhan relasi, dan kebutuhan pertumbuhan.
2.
Teori - Teori Motivasi Motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai yang mempengaruhi
individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu.Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai teori motivasi isi (content theories of motivation). Mullins (dalam Wijono, 2012) mengemukakan ada empat teori motivasi (kebutuhan) yang tergolong dalam kelompok teori motivasi isi (content theories of motivation), yaitu teori kebutuhan dari Maslow, teori ERG dari Alderfer, teori dua faktor oleh Herzberg dan teori motivasi berprestasi oleh McClelland. a. Teori Kebutuhan dari Maslow (Hierarchy of Need Theory) Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai suatu kesenjangan atau pertentangan yang dialami antara kenyataan dengan dorongan yang ada
37
dalam diri. Apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi maka pegawai tersebut
akan
menunjukkan
perilaku
kecewa.
Sebaliknya
jika
kebutuhannya terpenuhi maka pegawai akan memperlihatkan perilaku yang gembira sebagai manifestasi dari rasa puas. Menurut Abraham
Maslow
mengemukakan
bahwa hirarki
kebutuhan manusia adalah: 1. Kebutuhan fisiologis (physiological needs) yaitu kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan, minum, udara, perumahan dan lainnya. Dalam organisasi kebutuhan-kebutuhan ini dapat berupa uang, hiburan, program pension, lingkungan kerja yang nyaman. 2. Kebutuhan keselamatan dan keamanan (safety and security need) yaitu kebutuhan keamanan dari ancaman yakni merasa aman dari ancaman kecelakaan dalam melakukan pekerjaan. Dalam organisasi kebutuhan ini dapat berupa keamanan kerja, senioritas, program pemberhentian kerja, uang pesangon. 3. Kebutuhan rasa memiliki (social need) yaitu kebutuhan akan teman, cinta dan memiliki. Sosial need di dalam organisasi dapat berupa keompok kerja (team work) baik secara formal maupun informal. 4. Kebutuhan akan harga diri (esteem need or status needs) yaitu kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestise dari karyawan dan masyarakat lingkungan. Dalam organisasi kebutuhan ini dapat berupa reputasi diri, gelar dsb. 5. Kebutuhan akan perwujudan diri (self actualization) adalah kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunaka kecakapan, kemampuan, keterampilan dan potensi optimal untuk mencapai
38
prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain. Selanjutnya, Abraham Maslow berpendapat bahwa orang dewasa (pegawa bawahan) secara normal harus terpenuhi minimal
85%
kebutuhan fisiologi, 70% kebutuhan rasa aman, 50% kebutuhan sosial, 40% kebutuhan penghargaan, dan 15% kebutuhan aktualisasi diri, keluarga, dan bisa menjadi penyebab terjadinya konflik kerja. Dengan demikian, jika kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pemimpin akan mengalami kesulitan dalam memotivasi pegawai.
b. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Aldefer Teori ERG merupakan refleksi dai tiga dasar kebutuhan, yaitu: 1. Existence needs, kebutuhan ini berhubungan dengan fisik dari eksistensi pegawai, seperti makan, minum, pakaian, bernafas, gaji, keamanan kondisi kerja, fringe benefits. 2. Relatedness needs, kebutuhan interpersonal, yaitu kepuasan dalam berinteraksi dalam lingkungan kerja. 3. Growth
needs,
kebutuhan
untuk
mengembangkan
dan
meningkatkan pribadi. Hal ini berhubugan dengan kemampuan dan kecakapan pegawai. Teori
ini
sebenarnya
merupakan
ringkasan
dari
teori
Maslow.Kebutuhan keberadaan (existence) dalam teori ERG merangkum kedua kebutuhan fisiologis dan keamanan di dalam teori Maslow. Sementara kebutuhan untuk membina relasi (relatedness) sama dengan kebutuhan sosial dan kasih sayang. Kemudian kebutuhan pertumbuhan (growth) merangkum kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
39
Teori ERG menjelaskan bahwa manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keberadaan, hubungan relasi dan pertumbuhan sesuai dengan urutan kekonkretannya.Semakin konkret kebutuhan yang hendak dicapai, maka semakin mudah seseorang untuk mencapainya. Kebutuhan yang konkret menurut Alderfer adalah kebutuhan keberaadaan yang paling mudah, kemudian kebutuhan relasi dengan orang lain untuk dipenuhi dalam mencapai prestasi kerja sebelim seseorang mencapai kebutuhan yang lebih kompleks dan paling kurang konkret (abstrak), yaitu kebutuhan pertumbuhan. Paling tidak ada dua alasan yang mendasar dalam teori ini, yaitu: 1) semakin sempurna suatu kebutuhan yang paling konkret dicapai, maka semakin besar kebutuhan yang kurang konkret (abstrak) dipenuhi; 2) semakin kurang sempurna kebutuhan dicapai, maka semakin besar keinginan untuk memenuhi kebutuhannya agar mendapat kepuasan (Wijono, 2012).
c. Teori Kebutuhan Berprestasi McClelland Teori ini mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan usaha individu untuk memenuhi kebutuhan individu guna mencapai tingkah laku tertentu dalam merealisasikan prestasi kerja.Tiga motif yang dikemukakan McClelland dalam teori ini yaitu kekuasaan, afiliasi dan berprestasi yang dapat memberi pengaruh terhadap prestasi kerja (Wijono, 2012).Dengan demikian, berdasarkan teori ini McClelland tidak melihat kebutuhan individu berdasarkan tingkatan tertentu, tapi dengan melihat tiga motif yang ada dalam diri individu yang dapat memprediksi individu dalam melakukan suatu pekerjaan.Teori ini lebih tepat disebut teori kebutuhan dari McClelland karena dalam teori McClelland mengemukakan tiga kebutuhan manusia yaitu kebutuhan berprestasi (need for achievement, n
40
Ach), kebutuhan berkuasa (need for power, n Pow), dan kebutuhan berafiliasi atau berhubungan (need for affiliation, n Aff) (Munandar, 2010).
Dari berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini akan digunakan teori motivasi ERG oleh Alderfer dengan tiga aspeknya yaitu kebutuhan keberadaan, kebutuhan relasi, dan kebutuhan pertumbuhan. Ini karena teori motivasi ERG oleh Alderfer merupakan teori kebutuhan yang relevan untuk memahami motivasi dalam penelitian yang akan dilakukan pada guru-guru SMA yang ada di Batam. Hal ini sejalan dengan pernyataan Arnold & Boshoff (2002) bahwa meskipun literatur mengenai motivasi telah didominasi oleh ketidakjelasan teoritis namun teori kebutuhan telah menarik minat penelitian karena dianggap sebagai salah satu cara paling tepat untuk memahami motivasi. Selain itu, Trivellas, Kakkos, & Reklitis (2010) berpendapat bahwa keunggulan dari teori Alderfer adalah dari orientasi spesifikasi pekerjaan yang sangat tercermin dalam pembayaran tunjangan, kebutuhan akan hubungan dengan rekan kerja dan atasan, serta kebutuhan untuk bertumbuh atau berkembang dalam pekerjaan sehingga menghasilkan kepuasan di tempat kerja.
D. Penelitian Sebelumnya 1. Iklim Organisasi dengan Kepuasan Kerja Pentingnya iklim organisasi berpengaruh kepada kepuasan kerja dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Adenike (2011) terhadap 293 staf karyawan akademik yang bekerja di Universitas swasta, Nigeria menemukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r=0,671 dan p<0,01). Singh et al.
41
(2011) dalam studi komparatif yang dilakukan pada empat perusahaan sektor komunikasi di India mengemukakan bahwa iklim organiasasi sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja.Penelitian yang dilakukan oleh Liana (2012) dan Wahat (2009) juga menunjukkan hasil yang serupa, bahwa iklim organisasi memiliki hubungan dengan kepuasan kerja seseorang. Castro & Martins (2010) dalam penelitian terhadap 696 karyawan yang bekerja di organisasi informasi dan teknologi di Afrika Selatan menemukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r = 0,813, p < 0,01). Selanjutnya, Bemana (2011) menemukan pengaruh yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Shiraz Municipality Personnel di Iran dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.30 pada taraf signifikansi p<0.01. Penelitian yang dilakukan oleh Affandi (2002) juga menemukan hasil yang sama yaitu iklim organisasi yang meliputi Structure, Responsibility, Recognitionand Reward, Risk, Warmth, Support, Standard, Conflict, Innovation, berpengaruh positif yang signifikan terhadap kepuasan kerja.Demikian pula penelitian yang dilakukan Yusuf (2004) menemukan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan positif dan signifikan dengan koefisien korelasi sebesar 0,880 dan nilai thitung=15,938 lebih besar dari ttabel=2,66 (α=0,01). Namun, bertolak belakang dengan hasil penelitian Susanty (2012) yang menunjukkan bahwa iklim organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja.dengannilai koefisien parameter cukup rendah, yaitu sebesar 0,0024. Hal ini diperkuat dengan hasil pengujian hipotesis satu yang ditolak karena pada hasil analisis diperoleh bahwa thitung=0,9278lebih kecil darittabel=1,96, yang berarti bahwa peningkatan
42
iklim organisasi tidak diikuti dengan peningkatan tingkat kepuasan kerja karyawan.Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Schulte et al. (2006) yang mengemukakan bahwa iklim organisasi tidak memiliki hubungan dengan kepuasan kerja. Temitope (2010) tentang pengaruh iklim organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai sipil di organisasi publik, Ekiti State dengan sampel 120 pegawai menemukan tidak ada pengaruh yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja. Hal ini terlihat dari uji koefisien regresi untuk variabel iklim organisasi dengan nilai β sebesar 0,116, thitung sebesar -1.13 dan nilai probabilitas sebesar 0,05. Dalam simpulannya menyatakan kemungkinan iklim organisasi yang tercipta dalam
suatu
organisasi
tidak
benar-benar
memprediksi
untuk
meningkatkan kepuasan kerja pegawai selama ada masa perubahan yang terjadi dalam organisasi. Hal senada diperkuat oleh penelitian Mulyanto & Suryani (2010) yang menyimpulkan iklim organisasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kepuasan kerja guru SD di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar dengan koefisien regresi sebesar 0,316 dan nilai signifikansi sebesar 0,172 > 0,05. Selanjutnya.penelitian Julius (2004, dalam Badoni, 2010) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja di antara operator telepon. Hal senada pula daitemukan dalam penelitian Fahrani (2011) membuktikan iklim organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan PT. Semen Gresik dengan koefisien regresi -0,048, C.R.= -0,516 dan p-value 0,606.
2. Motivasi Kerja dengan Kepuasan Kerja
43
Pentingnya motivasi kerja terhadap kepuasan kerja diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Ayub & Kafif (2011) tentang hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja. Penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja kepada 80 manajer Bank yang di Pakistan r=0,563 dengan signifikansi p=0,000.Hasil tersebut menunjukkanbahwa manajermerasa termotivasioleh
karenalingkungan
kerja
yang
baikdengan
rekan
kerja,tugasyang menarik, umpan balik sertakompensasisebagai uangdapat memenuhi
kebutuhandasar
jugakebutuhan
yang
sepertipangan
lebihcanggih
dankeamanan,
tetapi
sepertikebutuhan
akan
pengakuan.Penelitian yang dilakukan oleh Singh & Tiwari (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi dengan kepuasan kerja.Penelitian yang dilakukan Tyilana (2005) dan Lut (2012) juga menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja.Rohmalia (2014) menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja guru. Hasil yang berbeda ditemukan dari penelitian yang dilakukan Budiyanto &Oetomo (2011) bahwa motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja PNS yang bekerja pada pemerintah kabupaten Magetan, Jawa Timur (nilai t-statistic = 0,791 <1,96.). Terbukti 96,8% pegawai merasakurang puasdenganpekerjaan itu sendirikarena pekerjaanrelatifmudah
untukdilakukan
dan
tidakbervariasi(membosankan), kurang menyenangkan, dan kurangrelevan dengankeahlian mereka, pengalaman,dan harapan. Kondisi kerjatersebut tidakmemotivasi
pegawai
dalam
pekerjaanmereka
sehinggatidak
menghasilkandampak yang signifikan terhadapkepuasan kerja.Penelitian Arifin (2005)menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan
44
antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan di PT SAT Nusa Persada, Batam.Hal ini diperkuat dengan nilai koefisien jalur 0,301, thit 1,842 dengan nilai sign. p=0,065>0,05.
3. Hubungan Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja dengan Kepuasan Kerja Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2001) menunjukkan bahwa iklim organisasi, motivasi dan kompensasi secara bersamaan memiliki hubungan dengan kepuasan kerja sebesar 46,7%. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ma’sum (2008) juga menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja pegawai di Kantor Pusat Universitas Mataram.Penelitian yang dilakukan oleh Aridiana (2007) juga mengungkapkan hasil yang sama bahwa iklim organisasi dan motivasi kerja berhubungan secara simultan dengan kepuasan kerja perawat di BPKM RSU Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar, Jawa Timur (r=0,734, p=0,000
45
bahwa iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar 64,3% (R2=0,643; F= 122,619; p=0,000
4. Status Guru Negeri & Swasta dengan Kepuasan Kerja Selain iklim organisasi dan motivasi kerja, status guru Negeri & Swasta juga merupakan salah satu variabel demografi yang menarik untuk diteliti jika dihubungkan dengan kepuasan kerja. Beberapa penelitian telah dilakukan, diantaranya adalah Rajaeepour et al. (2011) yang melakukan penelitian tentang gaya manajemen seorang wanita dengan kepuasan kerja guru, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kepuasan kerja guru yang bekerja di sekolah negeri dan swasta. Penelitian yang dilakukan Santi (2012) terhadap guru sekolah dasar di kecamatan Tebet Jakarta Selatan, menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara kepuasan kerja guru negeri dan guru swasta. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01).Perbedaan ini terletak dalam pemberian kompensasi yang diberikan, kesempatan untuk berkembang, atau meningkatkan karier.Selain itu, Iskandar (2005) mengemukakan bahwa pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dinilai tidak memberikan perhatian yang layak terhadap nasib guru di sekolah swasta baik dari aspek hukum maupun lainnya.Bahkan, posisi hukum guru swasta dinilai lebih rendah dari buruh pabrik, hal ini karena tidak ada aturan yang jelas tentang status hukum guru swasta.Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Saarin (2012) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu bahwa status sekolah (negeri dan swasta) tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja guru. Penelitian menunjukkan bahwa status sekolah
46
memberikan sedikit perbedaan yaitu 3,9% kepuasan kerja guru di sekolah negeri dan kepuasan kerja guru di sekolah swasta. 5.
Jenis Kelamin dengan Kepuasan Kerja Peubah demografi lain yang menarik untuk diteliti adalah jenis
kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh Glenn, Taylor, & Wlaver (dalam As’ad, 2004) menemukan bahwa ada perbedaan kepuasan kerja antara pria dan wanita, yang mana kebutuhan wanita untuk merasa puas ternyata lebih rendah dibandingkan pria. Penelitian yang dilakukan Wicaksono (1982, dalam As’ad, 2004) menemukan hasil yang berbeda yaitu bahwa tidak ada perbedaan antara kepuasan kerja karyawan pria dan wanita. Hasil serupa juga diperoleh dalam penelitian Setiawan (2007) pada perawat pelaksana di RS Banyumanik, bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin dengan kepuasan kerja (p(0,252)>0,05). E. Dinamika Psikologi Iklim organisasi merupakan suatu keadaan atau ciri-ciri atau sifatsifat yang menggambarkan suatu lingkungan organisasi yang dirasakan oleh orang yang berada dalam lingkungan organisasi tersebut.Iklim organisasi dipengaruhi oleh persepsi anggota yang ada pada organisasi tersebut. Dengan demikian apabila pegawai merasa bahwa iklim yang ada pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan menyenangkan baginya untuk bekerja dengan baik, dan hal ini akan membuat pegawai tersebut merasa puas. Selain itu dalam melaksanakan pekerjaan di organisasi apapun, seorang pegawai membutuhkan motivasi untuk bekerja sebagai kekuatan yang mendorong dari dalam diri individu untuk menggerakkan atau 47
mengarahkan dalam berperilaku untuk memenuhi keinginan dan kebutuhanya sehingga dapat mencapai kepuasan kerja dan menghasilkan efektivitas, produktivitas dan hasil kerja yang efektif, baik bagi diri individu maupun bagi sebuah organisasi. Semakin terpenuhinya dorongan kebutuhan untuk memotivasi kerja pegawai maka dapat menghasilkan kepuasan kerja pegawai. Iklim organisasi dan motivasi kerja memiliki penilaian dan tingkat yang berbeda-beda dalam tiap organisasi, dalam hal ini sekolah.Iklim organisasi dan motivasi kerja yang berbeda-beda ini tentunya juga akan berpengaruh pada kepuasan kerja yang dimiliki oleh guru. Semakin baikiklim organisasi yang ada di sekolah semakin tinggi juga kepuasan kerja yang dimiliki guru.Demikian pula halnya dengan motivasi kerja. Apabila tingkat motivasi kerja guru tinggi, maka kepuasan kerja yang dimiliki oleh guru juga akan tinggi. Terlebih lagi jika iklim organisasi yang tinggi diimbagi dengan motivasi kerja guru yang sama-sama tinggi akan berpengaruh pada kepuasan kerja yang tinggi yang tinggi. Dengan adanya kepuasan kerja yang tinggi maka guru akan menunjukkan kinerja yang tinggi dalam menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya. Tidak hanya mengenai iklim orgnisasi dan motivasi kerja yang dapat memengaruhi komitmen organisasi, akan tetapi jika dilihat faktor demografi yang ada yakni status guru Negeri & Swasta, kepuasan kerja guru berbeda. Guru sekolah menengah atas (SMA) terbagi menjadi dua, yaitu guru negeri dan guru swasta. Guru SMA negeri adalah guru yang berada di bawah naungan pemerintah atau dikenal dengan sebutan PNS, sedangkan guru SMA swasta adalah guru yang berada di bawah naungan suatu yayasan yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan atas. Walaupun berada dalam naungan yang berbeda, peran
48
guru tetaplah sama yaitu mencerdaskan anak bangsa.Namun yang terjadi masih banyak terdapat perbedaan yang ditemukan antara guru negeri dan guru swasta (Santi, 2012). Guru memiliki tugas dan tanggung jawab moral yang besar terhadap keberhasilan siswa. Guru dituntut untuk lebih giat dalam bekerja, melibatkan dirinya terhadap kemajuan dan perkembangan sekolah, dan menyumbangkan waktunya untuk mengembangkan diri demi kemajuan pendidikan. Oleh karena itu, guru (negeri maupun swasta) sebagai seorang yang memangku kawajiban yang berat untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa seharusnya mendapat perhatian yang sama dalam mencapai kepuasan kerjanya. F. Model Penelitian Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
terdahulu,
maka
model
penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 2.1). Iklim Organisasi
Kepuasan Kerja
Motivasi Kerja Guru Negeri
Guru Swasta
Gambar 2.1. Model Penelitian 49
G. Hipotesis Penelitian Terdapat beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Ada hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja guru SMA Negeri dan Swasta di Batam. 2. Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari status guru SMA Negeri dan Swasta di Batam. 3. Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin guru SMA Negeri dan Swasta di Batam.
50