BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang teori-teori dan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam sistem penanggulangan kebakaran, kemudian mengembangkannya melalui variabel tertentu untuk merumuskan tolok ukur bencana kebakaran di kawasan permukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara. Selain rujukan terhadap dasar-dasar yang berkaitan tentang standarisasi, peraturan atau ketetapan serta prinsip-prinsip yang diharapkan sebagai pendekatan dalam melahirkan sistem penanggulangan kebakaran di wilayah studi, istilah ‘sistem’ akan dikaji merujuk kepada ranah sosial yang di kemukakan oleh Giddens (1984).
2.1
Sistem dan Penanggulangan Kebakaran dalam ‘Makna’ dan Kajian
2.1.1 Makna sistem Istilah ‘sistem’ menurut Giddens (1984) dalam ranah sosial adalah hubungan yang direproduksi oleh aktor-aktor atau kolektivitas yang diorganisasi sebagai praktek-praktek sosial reguler. Sistem merupakan sesuatu yang terus berubah atau beradaptasi terhadap suatu kondisi yang dihadapi dalam memudahkan penyelesaian permasalahan atau ketentuan aktivitas tertentu. Sistem lahir atas adanya struktur. Sedangkan ‘struktur’ dalam ranah sosial adalah aturan dan sumber daya atau tatasusun hubungan transformasi yang diorganisasi sebagai properti sistem sosial.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga ikatan struktur tersebut memiliki wewenang dalam menentukan sistem tertentu dalam menjalani aktivitas yang menyelesaikan permasalahan dengan sumberdaya pikiran melalui analisis tertentu. Berdasarkan pemahaman istilah ‘sistem’ tersebut, kita dapat merumuskan bahwa sistem penanggulangan kebakaran adalah suatu ketetapan atas hubungan yang direproduksi untuk menetapkan penataan aktivitas terhadap peristiwa bencana kebakaran yang dalam hal ini di kawasan permukiman padat di Kecamatan Tanjung Balai Utara Provinsi Sumatera Utara. Sistem yang terbentuk pasti tidak sama pada setiap ranah, sebab setiap ranah memiliki kondisi yang berbeda-beda; dan sistem lahir sesuai
dengan
kondisi
yang
dihadapinya
agar
sistem
tersebut
dirasakan
kemanfaatannya karena mampu menjawab permasalahan yang ada. Dalam hal ini, studi tidak sanggup untuk merumuskan semua faktor-faktor yang ada hingga mampu melahir suatu ‘sistem’ yang dimaksud dalam penanggulangan bencana kebakaran oleh karena waktu studi yang terbatas. Studi hanya mengkaji sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan permukiman padat di Kecamatan Tanjung Balai Utara yang diharapkan sebagai masukan dalam sistem penanggulangan kebakaran yang akan disusun.
2.1.2 Pengaturan penanggulangan bencana secara umum Menurut Departemen Sosial RI, pengaturan penanggulangan bencana bersifat dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan pengamatan setempat dan analisis bencana serta pencegahan,
Universitas Sumatera Utara
mitigasi, kesiapsiagaaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Pengaturan bencana ini sangat baik diterapkan di lingkungan padat permukiman perkotaan yang diakibatkan oleh bencana agar dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan tersebut. Pada gambar 2.1 siklus atau daur penanganan bencana sebagai pemahaman aktivitas yang terjadi terusmenerus sebagai rangkaian respon dalam mengahadapi bencana sesuai permasalahan yang ditemui.
Gambar 2.1 Siklus Pengaturan Bencana Sumber: Cater, 1991
Siklus pengaturan bencana terdiri dari pencegahan yaitu langkah-langkah yang dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsesuaian fisik dan lingkungan. Lalu mitigasi yaitu tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada pengurangan dampak dari ancaman sehingga demikian mengurangi kemungkinan dampak negatif kejadian bencana terhadap kehidupan. Berikutnya kesiapan yaitu perkiraan tentang kebutuhan yang akan timbul bila terjadi kedaruratan bencana dan pengenalan
Universitas Sumatera Utara
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan demikian membawa penduduk ke dalam tataran kesiapan lebih baik dalam menghadapi bencana. Penanggulangan kedaruratan/respon (early warning system) yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana. Kemudian pemulihan yaitu tindakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dan membangun kembali kehidupan serta kempatan-kesempatan yang ada. Terakhir, pembangunan yaitu pembangunan kembali sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Siklus pengaturan bencana merupakan acuan atau sasaran yang akan dicapai bila terjadi bencana. Sebagai pendekatan, akan tampil konsepsi manajemen bencana sebagai alat mempermudah menuju pengaturan bencana tersebut, yaitu: 1. Disaster Management Continuum Model Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini juga mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model ini menjelaskan bahwa bencana merupakan rangkaian yang terus berputar. 2. Pre-During-Post Disaster Model Model ini sedikit berbeda dengan model sebelumnya yang menganggap perlunya campur tangan sebagai bentuk manajemen bencna dalam fase bencana. Bedanya adalah pada pandangan bahwa bencan dapat diakhiri atau
Universitas Sumatera Utara
dihilangkan, selain itu kegiatan persiapan, mitigasi dan perbaikan dapat dilakukan sebelum, selama dan setelah terjadinya bencana. 3. Contract-Expand Model Model ini mengasumsikan bahwa bencana terjadi ketika suatu bahaya melampaui kapasitas komunitas untuk manajemen bencana tersebut, semua komponen untuk pengurangan bencana dapat dilakukan bersamaan dengan penekanan yang berbeda-beda. Bencana tidak dapat dihindari dan datang dalam jangka waktu yang pendek. 4. Risk Reduction Disaster (RRD) Framework Bencana
akan
lebih besar jika
bahaya (hazard) dan
kerentanan
(vulnerability) meningkat dan kapasitas atau ketahanan menurun. Model ini memfokuskan menghilangkan
pada
manajemen
kerentanan,
resiko
memahami
dengan
mengurangi
karakteristik
bahaya
atau dan
membangun ketahanan berdasarkan kerentanan dan bahaya yang dimiliki suatu wilayah dalam lingkup analisis sosial dan keilmuan. 5. Crunch Model Awotona (1997) mengemukakan model ini adalah bahwa bencana merupakan produk dari kerentanan bertemu dengan bahaya. Model ini menunjukkan bahwa bencana hanya terjadi jika bahaya bertemu dengan kondisi yang membuat masyarakat atau elemen non-manusia mudah terkena dampak negatif dari suatu bahaya. Model ini juga memandang bencana sebagai konsep sosial yang perlu dilakukan penanganannya terhadap akar
Universitas Sumatera Utara
penyebab munculnya kerentanan dan perlu dilakukan pemahaman terhadap terjadinya suatu bahaya. Fokus yang dilakukan adalah meningkatkan kapasitas suatu lingkungan serta analisis sosial untuk mengurangi kerentanan dan bahaya. Metodenya, dengan adanya pengurangan tingkat bahaya dapat digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan serta memperkecil tingkat kerentanan seuatu lingkungan terhadap suatu bahaya. Atas
pemahaman
terhadap
model
Crunch,
Pusat
Mitigasi
Bencana
menterjemahkan model ini ke dalam rumus yang dapat mempermudah untuk menganalisis kualitas bencana terhadap dialektik antara bahaya, kerentanan dan ketahanan. Pada gambar 2.2 menerangkan model terjadinya bencana menurut pusat mitigasi Bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya yang bertemu dengan kerentanan serta tidak adanya ketahanan. Dengan adanya pemahaman rumusan ini, dapat dijustifikasi bahwa resiko bencana dapat dikurangi dengan meningkatkan nilai ketahanan dan memperkecil kerentanan yang ada. Sehingga resiko bencana kebakaran setiap kawasan dapat di ukur melalui sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan-nya.
Gambar 2.2 Model Terjadinya Bencana Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB
Universitas Sumatera Utara
Dari ke lima konsepsi dalam memahami bencana serta proses dalam menanggapi bencana, model Crunch lebih relevan digunakan sebagai alat untuk menuju pendekatan sistem penanggulangan bencana kebakaran yang akan terbentuk atau sebagai masukan untuk sistem yang telah terbentuk, karena proses pemikirannya melibatkan aktor kunci (key-actor), ahli teknis dan pemerintah sebagai pe-bijak. Makna istilah ‘sistem’ oleh Giddens sejalan dengan konsep Crunch yang memikirkan dan mempertimbangkan segala aktor yang terlibat bersama-sama saling mendukung dalam menyelesaikan permasalahan bencana dengan menterjemahkan ‘bahaya’ di dukung oleh ‘kerentanan’ yang dapat diantisipasi ataupun ditekan dengan tindakan meningkatkan ‘ketahanan’. Apabila pemikiran ini dilaksanakan, maka dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut akan jauh dari bahaya bencana karena menghapus tingkat kerentanan melalui pemenuhan ‘ketahanan’.
2.1.3 Bencana dan resiko Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, istilah bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan potensi bencana yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yang dikutip dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan Bakornas 2002
Universitas Sumatera Utara
yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Kelompok potensi bahaya utama terdapat di wailayah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (lingkungan kumuh perkotaan) dan jumlah industri berbahaya yang tinggi. Kemudian, di dalam UU RI No. 24 tahun 2007 juga terdapat tiga kelompok bencana yaitu: 1. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, bunung meletus dan bencana alam lainnya. 2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non-alam yang diantaranya berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit. 3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror. Ketiga kelompok bencana diatas muncul berdasarkan atas faktor penyebab terjadinya bencana. Sedangkan faktor penyebab terjadinya bencana tidak terlepas dari kerentanan kawasan setempat. Oleh karena itu, kerentanan menjadi faktor penentu atas besar kecilnya resiko terjadinya bencana. Menurut Sanderson (1997), yang terdapat pada gambar 2.3 beberapa faktor resiko bencana merupakan hasil dari kerentanan bertemu dengan bahaya yang ada. Bahaya dapat dilihat berdasarkan tipe, frekuensi dan kualitas bahaya yang akan
Universitas Sumatera Utara
muncul. Sedangkan kerentanan dilihat berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan. Dalam konteks ini tidak terdapat suatu pertimbangan terhadap potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan dalam menghadapi bahaya yang mengancam.
resiko
Gambar 2.3 Faktor Resiko Menurut Sanderson Sumber: Diadaptasi dari bagan konsep bencana Sanderson
Sedangkan resiko menurut Naskah Undang Undang Penanggulangan Bencana yang ada pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa resiko bencana merupakan fungsi dari ancaman (A) dengan keadaan (K) yang rentan, yang dapat dirubah dengan adanya kemampuan (m). Pemahaman resiko ini dapat dijadikan rumus dalam mengantisipasi bahaya yang akan muncul dengan nilai resiko yang dihasilkan adalah 0 (nol). Sebagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan bencana kebakaran pada wilayah studi akan dibahas terlebih dahulu tentang konsepsi tipologi perumahan dan pemukiman perkotaan sebagai objek atau sasaran penyelesaian dalam lingkup fisik tempat tinggal, ekonomi, budaya dan sosial kemasyarakatannya. Kemudian pembahasan diteruskan tentang bahaya, kerentanan dan ketahanan sebagai proses
Universitas Sumatera Utara
memunculkan variabel tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran di permukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.
2.2
Tipologi Perumahan Pemukiman Perkotaan Salah satu faktor dominan yang memicu permasalahan penanggulangan
kebakaran
secara
kawasan
perkotaan
adalah
pesatnya
laju
pertumbuhan
pembangunan di berbagai sektor yang menarik atau menyedot keberadaan penduduk desa (rural) menuju kota (urban). Pergumulan modal di kota lebih besar dibanding desa, sehingga terdapat pemikiran di masyarakat bahwa peluang dalam meningkatkan pendapatan ekonomi lebih mudah dilakukan di lingkungan perkotaan dibanding dengan desa. Proses perpindahan masyarakat berpenghasilan rendah dijelaskan pada gambar 2.4. Pada awalnya masyarakat tersebut hanya berkunjung ke kota, kemudian kota memberikan peluang dan harapan bagi masyarakat tersebut untuk berkarya. Oleh karena lokasi karya berjauhan dengan tempat tinggalnya di desa, kemudian mereka tinggal di kota secara komunal dengan kualitas fisik tempat tinggal yang rentan terhadap bencana seperti kebakaran. Hal ini sejalan dengan pengamatan Dwyer dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998), di permukiman padat perkotaan, pada mulanya mereka datang ke kota melakukan peningkatan peninjauan hingga wilayah terluas. Lalu mereka menuju pusat kota untuk mencari pekerjaan baik sektor formal maupun informal.
Universitas Sumatera Utara
Agar kita memahami sasaran aktor tentang keberadaan dan kondisi yang mendekatkan mereka terhadap kerentanan bahaya kebakaran, berikut akan dikaji tempat tinggal dan lingkungan mereka serta faktor ekonomi dan sosial budaya mereka. Pusat Kota
Kesempatan kerja di kota
Pingiran Kota (Penyerbuan dan Pergantian)
Lokasi Ideal
Perpindahan
Beberapa Squatter
Pertumbuhan Squatter
Kondisi air buruk
Beberapa Squatter Kondisi lahan sempit
Kota-kota kecil dan sekitarnya
Gambar 2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer
2.2.1 Keberadaan permukiman Pada bab sebelumnya telah dikemukakan konsep penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang dikemukakan oleh Drakakis, konsep ini akan dikembangkan untuk memahami keberadaan permukiman perkotaan
Universitas Sumatera Utara
terhadap faktor-faktor yang menyelimuti mereka dari bahaya kebakaran atas sumber bahaya, kerentanan dan ketahanannya yang akan di urai sebagai berikut. 2.2.1.1 Permukiman konvesional Istilah konvensional bermakna sesuatu lahir atas kesepakatan dari hubungan tertentu yang berdasar atas pemikiran tertentu melalui analisis tertentu. Konvensi merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan, kemudian dilaksanakan menjadi suatu hal yang wajar. Rumah, merupakan suatu ruang dimana manusia menjalani daur harinya secara lengkap bersama-sama anggota keluarga lainnya untuk saling menghormati, belajar, menyayangi yang terlingkup di dalam nilai-nilai kemanusiaan. Tentu keberadaan ‘rumah’ harus mampu melayani sifat ke-ruang-an tersebut. Keberadaan permukiman konvensional lahir atas dasar material standar. Material standar berarti material dengan daya tahan tertentu terhadap faktor-faktor yang dapat merusak material tersebut melalui uji coba ketahanan tertentu. Kemudian penyelenggaraannya menggunakan tenaga ahli tertentu yang dapat merumuskan kemanfaatan tempat tinggal tersebut melalui perencanaan dengan keilmuan tertentu. Setelah itu keberadaan permukiman yang berdiri diatas lahan resmi yang dapat memperkuat perencanaan untuk melahirkan tempat tinggal untuk bertinggal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. 2.2.1.2 Permukiman non konvensional Kondisi permukiman ini adalah kondisi berbalik dari permukiman konvensional. Permukiman non konvensional lahir atas material disekitarnya yang
Universitas Sumatera Utara
hanya bersifat menutupi atau melindungi dalam jangka waktu yang sangat pendek. Pemakaian material tempat tinggal kerap kali tidak menggunakan material standar, akibatnya sangat rentan rusak atau hancur terhadap bencana. Kemudian penyelenggaraannya dilakukan secara pribadi sesuai dengan kebutuhan minimal kegunaan ruang yang akan dipakai, sehingga ‘rumah’ tidak dapat melakukan daur hari secara lengkap dan manusiawi. Permukiman berdiri di atas lahan yang bukan miliknya atau berstatus ilegal, yang sewaktu-waktu keberadaan mereka akan hilang karena diambil alih oleh yang berhak atas lahan tersebut. Dari kedua tipologi permukiman yang telah dikaji di atas akan dikembangkan menjadi dasar dalam menciptakan elemen-elemen variabel yang akan di analisis untuk melahirkan tolak ukur penanggulangan bencana kebakaran. Setelah memahami konsep fisik tempat tinggal mereka, kita beranjak pada pembahasan tentang aktivitas bertinggal. 2.2.2 Kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya Ada tiga kelompok rumah di pemukiman padat perkotaan yang berdasarkan atas prioritas dan kebutuhannya (Turner dalam Potter dan Lloyd-Evans, 1998), yaitu: pertama, bridgeheader (kelompok
masyarakat
berpenghasilan
rendah
yang
memandang rumah sebagai batu loncatan) menurut kamus Webster’s, kata bridgeheader terdiri dari kata bridge-head yang artinya bergerak ke depan mengambil posisi tembak yang akan di tuju. Dalam hal ini kelompok masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud bukan kelompok militer yang sedang melakukan aksi tertentu, tetapi masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki prioritas tempat untuk bertinggal yang berdekatan dengan lokasi karyanya; posisi tembak adalah pusat kota (mengandung segala ceruk ekonomi) yang dituju untuk mencari pendapatan. Selain itu kelompok ini cenderung berprioritas hidup untuk makan, maka rumah hanya menjadi sarana untuk istirahat belaka. Atas karakteristik ini dapat kita pastikan bahwa kelompok ini pasti bertinggal di fisik tempat tinggal yang sangat rentan terhadap bahaya bencana kebakaran. Kedua adalah consolidator (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah melakukan konsolidasi) yaitu makna rumah sebagai tempat konsolidasi (berkumpul), menjadikan hunian sebagai media antara untuk mengkonsolidasi kehidupan rumah tangga. Kemampuan rumah tangga dalam melakukan pengelolaan keuangan, maka prioritas kedekatan terhadap lokasi karya menjadi semakin kurang penting dan sudah memikirkan tentang pendidikan serta memperhitungkan amenitas (fasilitas) berhuni. Atas karakteristik ini, kondisi fisik tempat tinggalnya mulai lebih baik dibanding kelompok sebelumnya karena ‘rumah’ merupakan tempat bernaung yang sudah dianggap penting untuk melaksanakan daur hari di kota; sehingga tingkat kerentanan fisik rumah dari bahaya kebakaran berkurang kadarnya. Terakhir, status seeker (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang memandang rumah sebagai pembeda status) yaitu rumah sebagai status diri, terjelma dalam bentuk kualitas fisik dan sarana penunjang yang berkualitas pula. Atas karakteristik ini dapat dipastikan bahwa keberadaan fisik tempat tinggal mereka
Universitas Sumatera Utara
nyaris jauh dari kerentanan bahaya bencana kebakaran, karena rumah terdiri dari material standar yang memiliki kekuatan tertentu untuk mengahadapi bahaya seperti bencana kebakaran. Dari tiga kelompok rumah di permukiman padat perkotaan dapat diambil kesimpulan bahwa bridgeheader adalah kelompok yang memiliki penjelmaan tempat tinggal yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran. 2.2.3 Daur hari bertinggal Manusia bergerak dalam ruang, dan akan selalu dalam ruang. Dalam menjalani hidupnya, manusia melakukan beberapa kegiatan dan kegiatan itu terulang kembali hingga menjadi suatu rutinitas. Ruang akan terlihat keberadaannya melalui tempat. Tempat tinggal merupakan tempat terjadinya proses bertinggal atas kegiatan tertentu yang terus berlangsung melalui ruang, dan tempat tinggal sebagai jelmaannya. Relph (1976) mengungkapkan bahwa tempat bukan sekedar sesuatu itu berada, tapi lebih dari itu, lokasi dan segala sesuatu yang ada pada lokasi tersebut, dan tampil sebagai suatu gejala yang berarti serta menyatu. Manusia secara umum lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Di dalam rumah banyak terdapat properti atau barang-barang milik yang digunakan sekaligus membantu kelangsungan daur hidup manusia. Penjelmaan pemakaian rumah berpengaruh terhadap rentannya bahaya kebakaran. Pada gambar 2.5 menunjukkan grafik ruang daur hidup manusia menurut Erikson (1997), disini kita
Universitas Sumatera Utara
akan melihat aktivitas masyarakat yang berada di permukiman padat perkotaan yang dikonversi menjadi daur hari di tempat tinggal.
Aktivitas di luar tempat ti l
Aktivitas hidup lebih banyak di dalam rumah
Dewasa muda: 19-40 Remaja: 1218
Usia sekolah: 5-12 Laju usia terhadap aktivitas yang meruang
Dewasa: Aktivitas hidup lebih banyak di luar rumah
40-65 Usia Tua: 65-mati
Usia bermain: 3-5
Usia Bayi: 0-3 Aktivitas di tempat tinggal Lahir
Pra-natal
Lingkungan tempat tinggal s/d sekolah
Lingkungan perkotaan
Lingkungan tempat tinggal
Mati
Gambar 2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson (1997) Pada masa bayi hingga anak (0-5 tahun), waktu daur hidup manusia lebih banyak dihabiskan di tempat tinggal karena pada masa tersebut ia membutuhkan perawatan tubuh dan pikiran secara intensif dari orang tuanya di tempat tinggal. Pada masa anak hingga remaja (5 hingga 18 tahun), waktu daur hidup remaja sudah mulai menjalani aktivitas pendidikan untuk konsumsi pikiran (teknologi), namun waktu daur hidupnya masih banyak dijalani di tempat tinggal. Pada masa dewasa (19 hingga 65 tahun), waktu daur hidup lebih banyak dihabiskan di kota dari pada di tempat tinggal karena pada masa ini mencari penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kinerja, karya dan pikiran. Pada masa tua (65 hingga mati),waktu
Universitas Sumatera Utara
daur hidup kembali lebih banyak di rumah di banding di kota karena kondisi fisik tubuh tidak mampu lagi mendukung aktivitas terutama karya. Pada gambar 2.6 grafik ruang daur hari masyarakat permukimana padat di kota terdapat garis putus-putus berbentuk kotak. Kotak tersebut melingkupi aktivitas manusia yang banyak menghabiskan daur hidupnya lebih banyak di rumah dibanding di luar rumah. Pada masa-masa tersebut manusia sangat membutuhkan bimbingan dan pengayoman orang tua beserta saudara dalam proses menjalani kehidupan. Dengan memahami secara jelas waktu-waktu beraktivitas di dalam tempat bertinggal diharapkan dapat mempermudah identifikasi terhadap sumber-sumber yang dapat memicu bahaya kebakaran, kemudian mengkaji segala keberadaanya melalui kerentanan bahaya kebakaran serta menilai seberapa jauh ketahanan permukiman mereka terhadap bahaya kebakaran untuk merumuskannya sebagai tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran pada sistem tertentu. Siang
Aktivitas di luar tempat
Aktivitas pendidikan dan mencari pendapatan di lokasi karya. Laju waktu terhadap aktivitas yang meruang
Aktivitas di tempat tinggal
Istirahat
Malam Di Tempat Tinggal
Di Lokasi Karya
Rentang waktu daur hari masyarakat permukiman padat di
Gambar 2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Aktivitas ekonomi Terkait dengan karakter kelompok masyarakat permukiman padat di kota, Gilbert dan Gugler dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998) merumuskan tiga kategori pekerja di lingkungan perkotaan, pertama yaitu employment atau pekerja tetap dengan tingkat kemapanan tertentu (elit sektor); kedua unemployment atau pengangguran; biasanya mereka memperoleh subsidi dan kurang memikirkan kebutuhan makan; ketiga, underemployment yang memiliki tiga definisi. Pertama, jumlah pekerja sangat berlimpah dibanding dengan waktu bekerja seharusnya. Biasanya definisi ini terdapat pada pekerja buruh, karena mereka mencari penghasilan tambahan dari sisa waktu yang ada. Kedua, aktivitas ekonomi yang terkait dengan tinggi rendah (fluktuasi) beraktivitas yang dikelompokkan pada waktu sepanjang hari atau lebih dari seminggu, atau waktu yang menjelaskan sedikit atau tidak bekerja. Ketiga, dapat disebut sebagai ‘pekerja terselubung’ yaitu bekerja hanya pada saat diperlukan karena opurtunis (pemberi kerjaan) tidak mampu menampung tenaga kerja secara penuh. Kehadiran tiga kategori pekerja di kota berpengaruh terhadap penjelmaan kualitas fisik permukimannya. Bagi masyarakat yang berstatus employment, kerentanan bahaya kebakaran hampir tidak ditemui karena rumah bukan merupakan bagian tempat produksi untuk meningkatkan pendapatan karena penghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan masyarakat yang berstatus employment dan underemployment sangat rentan memancing terjadinya bahaya
Universitas Sumatera Utara
kebakaran karena kategori masyarakat ini cenderung untuk maemanfaatkan setiap ceruk ekonomi yang ada untuk meningkatkan pendapatan. Besar kemungkinan bahwa tempat tinggal dijadikan tempat untuk memproduksi dan berniaga untuk meningkatkan penghasilan. Hal ini dapat memicu bahaya atau berpotensi terjadinya kebakaran di permukiman padat perkotaan. 2.2.5 Budaya dan sosial kemasyarakatan (strukturasi) Masyarakat dalam konotasi umum yaitu asosiasi sosial atau interaksi dan dapat juga diartikan sebagai unit mempunyai batas yang menandai dari masyarakat yang lain. Dalam properti sosial, masyarakat memiliki prilaku tertentu untuk bertindak hidup berdampingan dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dapat dipandang secara dinamis karena dapat menjadi subjek sekaligus objek. Namun keberadaan budaya dan sosial ‘masyarakat’ sangat menentukan kualitas bermukim di lingkungan permukiman perkotaan. Gambar 2.7 menjelaskan klasifikasi tipe masyarakat menurut Giddens (1984), ada tiga klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat suku (tribal society), masyarakat terbagi atas kelas (class divided society) dan masyarakat kelas (class society). Dalam masyarakat kesukuan atau budaya lisan, prinsip struktural yang dominan bekerja sepanjang sumbu yang menghubungakan tradisi dan kekerabatan atau kekeluargaan yang tersemat dalam ruang dan waktu. Media integrasi tergantung pada interaksi dalam latar lokal yang memiliki kehadiran yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens (1984) Pola pikir masyarakat dapat dilakukan secara bersama-sama, saling bahu membahu dan bergotongroyong menuju kepentingan bersama. Atas hubungan kelompok masyarakat ini, ia memiliki faktor ketahanan terhadap penanggulangan bencana kebakaran serta mempermudah perwujudan membangun kembali pasca bencana. Namun dengan pola pikir masyarakat ini juga akan berpotensi kerentanan bahaya kebakaran sebab dapat melanggar peraturan demi kesejahteraan bersama. Salah satu contoh relevan terhadap pola pikir masyarakat ini adalah dengan adanya pencurian arus listrik yang dipakai secara bersama-sama atau juga menggunakan alat masak yang tidak dianjurkan dengan kayu bakar karena merasa tidak mampu memakai alat masak yang standar.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian masyarakat yang terbagi atas kelas merupakan klasifikasi masyarakat atas hubungan kekerabatan dna praktek tradisional bahkan masih menganggap praktek kesukuan masih sangat penting. Terkadang terdapat suatu kondisi bahwa pemerintah tidak dapat masuk ke dalam adat istiadat setempat.namun walaupun begitu, klasifikasi masyarakt ini sudah mengenal tata hukum yang berlaku, prosedur aktivitas ekonomi dan cara-cara kordinasi simbolis yang didasarkan pada teks tertulis. Pola pikir masyarakat sudah lebih maju dari masyarakat kesukuan sebab telah memahami sebab-akibat dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, klasifikasi masyarakat ini masih memiliki potensi kerentanan yang tinggi terhadap bahaya kebakaran karena segala peraturan yang berlaku kerap dilanggar demi peningkatan pendapatan dalam aktivitas perekonomiannya. Masyarakat kelas yang biasa disebut dengan masyarakat kapitalis yaitu klasifikasi kemasyarakat yang prinsip strukturalnya kekuatan perekonomian. Atas hal ini, seluruh sumberdaya akan dikerahkan demi menghasilkan sesuatu berkualitas secara teknis. Maka sesuatu yang tercipta harus berdasarkan uji dan analisis yang mendalam dengan penataan yang terencana dalam jangka waktu guna yang tertentu. Pada klasifikasi masyarakat ini, celah kerentanan terhadap bahaya kebakaran khususnya akibat ulah manusia dapat dihapuskan karena terdapat pemahaman bahwa kekeliruan dirisendiri tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Identifikasi Faktor Teknis Penanggulangan Bencana Kebakaran Bila kita mengulang sedikit ke belakang tentang konsep Crunch dalam
menyikapi resiko bencana kebakaran, terdapat rumusan sebagai berikut: Disaster Risk = Hazard + Vulnerability – Capacity atau Resiko Bencana = Bahaya + Kerentanan - Ketahanan
.............(2.1)
dengan terjemahan: 1. Resiko bencana akan semakin besar bila faktor bahaya didukung oleh faktor kerentanan tanpa adanya nilai faktor ketahanan. 2. Resiko bencana dapat di tekan atau dihapuskan bila faktor bahaya yang di dukung oleh kerentanan dilawan dengan cara meningkatkan nilai faktor ketahanan. 2.3.1 Bahaya (hazard) Bahaya adalah kejadian yang jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah manusia atau karena alam yang merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, properti atau aktivitas pada tingkat yang menyebabkan bencana. Secara umum, bahaya juga dapat diartikan sebagai suatu kejadia yang dapat mengarah pada kehilangan atau kesakitan. Secara umum berdasarkan aktor, bahaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Natural Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan bencana lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Man-made Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tak langsung. 3. Teknologi Hazard yaitu bahaya yang disebabkan oleh reaksi rekayasa teknologi. Dari ketiga penyebab bahaya yang tampil di atas, studi ini akan terfokus pada bahaya yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dalam ranah fisik tempat tinggal dan lingkungannya, ekonomi dan sosial kebudayaan kemasyarakatannya.
2.3.2 Kerentanan (vulnerability) Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya, mengatasi bahaya, mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Baik kerentanan maupun ketahanan, ditentukan oleh faktor-faktor fisik, lingkungan sosial, politik, budaya dan kelembagaan. Kerentanan dapat berupa: 1. Ekonomi seperti penghasilan yang tidak mapan serta tidak ada fasilitas pinjaman atau tabungan. 2. Alam seperti ketergantungan pada sumberdaya alam yang terbatas. 3. Bangunan seperti rancang bangun gedung-gedung, lokasi rumah penduduk di tanah yang miring.
Universitas Sumatera Utara
4. Individu seperti terbatasnya keterampilan atau pengetahuan, kurang mendapat kesempatan karena masalah gender, lanjut usia atau masih terlalu muda. 5. Sosial seperti komunitas yang terorganisir, terbagi-bagi atau kepemimpinan yang kurang baik. Sedangkan menurut Oetomo (2207), kerentanan mencakup sosial seperti kepadatan penduduk, struktur umur balita dan lansia, segresasi sosial dan disparitas sosial-ekonomi; ekonomi seperti tingkat kemiskinan penduduk; budaya; organisasi atau politis dan kondisi fisik bangunan seperti kepadatan bangunan, konstruksi bangunan dan bahan bangunan. Kemudian kerentanan menurut Davidson (1997), kerentanan meliputi: 1. Persentase bangunan yang terbuat dari kayu yang menjelaskan bahan bakar atau sebagai penyulut terhadap material yang mudah terbakar. 2. Kepadatan penduduk yang menjelaskan kemudahan tindakan evakuasi. 3. Persentase penduduk berusia 0-4 dan 65+, penduduk sakit, cacat dan hamil. Kemudian Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 menyebutkan bahwa kerentanan dapat dilihat berdasarkan pada: 1. Fire History yaitu kejadian kebakaran di area setempat di masa lalu. 2. Material Bangunan, kualitas material yang terbakar merupakan penentu utama terhadap intensitas api; kualitas bangunan dapat dilihat dari tipologi bangunan, material konstruksi, dan kedekatan lokasi antar bangunan. Selain
Universitas Sumatera Utara
itu kemungkinan munculnya api juga berawal dari aktivitas yang dilakukan di lokasi setempat, baik karena kaelalaian atau kesalahan. Berikutnya, Mantra (2205) menjelaskan bahwa yang tergolong dalam kerentanan adalah: 1. Kondisi lingkungan (lebar jalan masuk, ketersediaan lapangan atau ruang terbuka dalam melayani aktivitas masyarakat). Kondisi lingkungan berguna untuk melihat akses yang ada dibanding dengan ketentuan dalam peraturan. Keberadaan ruang terbuka pada lingkungan masyarakat sangat menentukan faktor kerentanan yang berbalik pada nilai ketahanan apabila dapat melayani penanggulangan bencana. 2. Bahan bangunan sangat menentukan untuk melihat seberapa jauh tingkat ketahanan material terhadapa bencana. Material yang baik dianggap dapat menahan daya rambat api ke bangunan lainnya. Sebaliknya bila material yang tidak baik akan malah mendukung rambatan api ke bangunan yang ada disekitarnya. 3. Struktur Bangunan 4. Jarak antar bangunan, faktor ini juga menentukan faktor daya rambat perluasan kebakaran. Semakin jarang antar bangunan akan memperkecil nilai bahaya terhadap bencana dan sebaliknya, semakin rapat jarak antar bangunan akan memperbesar nilai bahaya bencana. Terakhir, Bakornas Penanggulangan Bencana (1990) juga menyebutkan bahwa kerentanan suatu wilayah terhadap bencana dipengaruhi oleh:
Universitas Sumatera Utara
1. Kerentanan Fisik (infrastruktur) yang menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik bila ada faktor bahaya tertentu, melihat dari berbagai indikator sebagai persentasi kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan kereta api. 2. Kerentanan Sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan, jiwa atau kesehatan penduduk terhadap bahaya dan beberapa indikator seperti kepadatan penduduk, laju pertambuhan penduduk, persentasi penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. 3. Kerentanan Ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan perekonomian setempat terhadap ancaman bahaya. Kemudian contoh indikator yang dapat dilihat dengan melihat tingginya persentase rumah tangga berpenghasilan rendah. 2.3.3 Ketahanan (capacity) Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, ketahanan lingkungan terhadap bahaya bencana mencakup: 1. Kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah 2. Kapasitas dan Potensi Masyarakat 3. Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu menangani bencana dalam batasan tertentu sehigga diharapkan bencana tidak berkembang pada skala yang luas. Dalam
Universitas Sumatera Utara
lingkungan masyarakat yang rentan terhadap bencana perlu diadakan keorganisasian dalam penanganan ancaman bahaya tersebut yang melibatkan pihak swasta serata peran partisipatif yang lebih luas yang berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana. 4. Kearifan lokal Menurut Oetomo (2007), ketahanan lingkungan terhadap bahaya kebakaran yang lebih meluas: 1. Ketahanan wilayah ditinjau dari segi kelengkapan fasilitas fisik dan prasarana seperti fasilitas gawat darurat kesehatan, fasilitas pemadam kebakaran, tempat-tempat evakuasi potensial ruang terbuka yang kokoh, fasilitas bangunan sebagai ruang sekretariat komando penanggulangan bencana. 2. Kelengkapan sarana dan utilitas seperti sistem peringatan dini, sarana koordinasi, telekomunikasi dan informasi, sarana transportasi atau perhubungan, ambulan, mobil pemadam kebakaran yang sesuai dengan kebutuhan, hidran, tandon air bersih serta alat-alat berat yang mempercepat meredam bencana yang lebih meluas. 3. Ketersediaan sumber daya manusia terlatih seperti tenaga medis, paramedik, polisi, petugas pemadam kebakaran, hansip, militer dan kelompok sukarelawan. Ketahanan lingkungan terhadap bahaya kebakaran menurut Davidson (1997) yaitu personel pemadam kebakaran; penyediaan kebutuhan air gawat darurat; dan
Universitas Sumatera Utara
ketersediaan peralatan pemadam kebakaran seperti mobil pemadam kebakaran, pos pemadam kebakaran dan hidran. Ketahanan lingkungan terhadap bahaya bencana kebakaran menurut Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 yaitu ketahan dipengaruhi oleh fire fighting scenario merupakan kemampuan atau kefektifan pelayanan pemadam kebakaran pada lokasi kebakaran dapat ditentukan oleh keberadaan sumber air yang jelas dan ruang gerak yang baik bagi mobil pemadam kebakaran untuk bertindak cepat dalam menangani kebakaran. Menurut Mantra (2005), ketahanan ditentukan oleh ketersediaan sensor pencegah kebakaran, ketersediaan splingkler, hidran, detektor, special fire lift, dan sarana komunikasi yang mempermudah masyarakat untuk menyampaikan terjadinya kebakaran pada petugas yang didukung dengan ruang terbuka yang luas sebagai ruang gerak mobil kebakaran dalam menangani kebakaran dengan cepat dan tuntas. Berdasarkan Kepmen
PU No. 11 tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis
Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan yaitu: 1. Lokasi pos pemadam kebakaran yang tidak melebih dari radius 7,5 km dan derah yang terbangun harus mendapat perlindungan dari mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari sektor. Kemudian satu pos kebakaran melayani maksumum tiga kelurahan atau sesuai dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran yang masing-masing pos terdiri dari dua regu jaga. Lalu pos kebakaran dipimpin oleh seorang kepala pos yang merangkap sebagai kepala regu.
Universitas Sumatera Utara
2. Pasokan air untuk pemadaman kebakaran seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi, tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, mobil tangki air dan hidran. 3. Ketersediaan bahan pemadam bukan air seperti foam atau bahan kimia lainnya. 4. Aksesbilitas seperti batas pembebanan maksimum yang aman dari jalan belokan, jalan penghubung, jembatan serta menetapkan jalur masuk ke lokasi sumber air pada berbagai kondisi alam. 5. Ketersediaan sarana komunikasi seperti pusat alarm kebakaran dan telpon darurat kebakaran. Sebagai indikator untuk melengkapi faktor ketahanan, akan dikaitkan dengan mitigasi yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Menurut Carter (1992) ada lima prinsip dasar mitigasi yaitu: 1. Initiation yaitu mitigasi yang dapat dikenal dalam tiga konteks berbeda yaitu rekonstruksi, investasi baru dan kondisi lingkungan eksisting. Saat setelah terjadinya bencana merupakan kesempatan terbaik untuk mitigasi bencana. 2. Management yaitu tindakan mitigasi yang menyeluruh dan interdependan serta mencakup tanggung jawab yang luas. Dengan demikian dibutuhkan suatu kordinator dan kordinasi yang baik falam mitigasi tersebut. 3. Prioritation yaitu memberikan keutamaan terhadap kelompok sosial yang dianggap penting, pelayanan kritis dan membangkitkan sektor ekonomi vital.
Universitas Sumatera Utara
4. Monitoring and Evaluation yaitu tindakan mitigasi yang membuthkan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan dalam menaggapi terjadinya perubahan pola ancaman atau bahaya, kerentanan dan sumber bahaya. 5. Institutionalization yaitu penetapan tindakan mitigasi yang berkelanjutan yang bisa saja memlaui komitmen politik dalam inisiasi awal serta pemeliharaan mitigasi. Menurut Godschalk (1999), mitigasi terbagi dalam dua kategori yaitu mitigasi struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural berarti memperkuat bangunan dan infrastruktur terhadap bahaya melalui building codes, engineering design, dan pelaksanaan konstruksi untuk meningkatkan daya tahan bangunan terhadap ancaman bahaya. Atas hal ini, mitigasi struktural berpotensi untuk memberi perlindungan jangka pendek terhadap ancaman dalam jangka waktu yang panjang. Mitigasi nonstruktural yaitu melakukan mitigasi melalui penghindaran terhadap area bahaya yaitu dengan cara mengarahkan pembangunan yang baru yang berjauhan dari lokasi yang berpotensi bahaya. Pengarahan dapat dilakukan dengan regulasi dan rencana tata guna lahan serta merelokasi pembangunan. Mitigasi non-struktural juga dapat dilakukan dengan pemeliharaan lingkungan alam pelindung yang ada seperti memelihara daerah tangkapan air atau memperluasnya. Dan mitigasi non-struktural dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan dan pendidikan, pendidikan publik, perencanaan evakuasi, bangunan institusi dan sistem peringatan.
Universitas Sumatera Utara
2.4
Kebakaran Istilah kebakaran (Agung, 2004) memiliki arti proses penyalaan api yang dapat
terjadi dimana saja dan kapan saja serta didukung ketersediaan material sebagai bahan bakar. Kata ‘kebakaran’ mengandung makna adanya bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial. Kebakaran senantiasa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, baik menyangkut kerusakan harta benda, kerugian materi, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, terhentinya proses produksi barang serta jasa, serta ancaman terhadap keselamatan jiwa. Kebakaran yang terjadi di permukiman padat penduduk menimbulkan akibat-akibat sosial, ekonomi dan psikologi yang luas serta kebakaran di kawasan kumuh padat bisa langsung menghancurkan ekonomi masyarakat korban kebakaran. 2.4.1 Proses kebakaran Kebakaran berawal dari proses reaksi oksidasi antara unsur Oksigen (O 2 ), Panas dan Material yang mudah terbakar (bahan bakar). Keseimbangan unsur-unsur tersebutlah yang menyebabkan kebakaran. Berikut ini adalah definisi singkat mengenai unsur-unsur tersebut: 1. Oksigen atau gas O2 yang terdapat diudara bebas adalah unsur penting dalam pembakaran. Jumlah oksigen sangat menentukan kadar atau keaktifan pembakaran suatu benda. Kadar oksigen yang kurang dari 12 % tidak akan menimbulkan pembakaran.
Universitas Sumatera Utara
2. Panas menyebabkan suatu bahan mengalami perubahan suhu/temperatur, sehingga akhirnya mencapai titik nyala dan menjadi terbakar. Sumber – sumber panas tersebut dapat berupa sinar matahari, listrik, pusat energi mekanik, pusat reaksi kimia dan sebagainya. 3. Pada gambar 2.8 dijelaskan tentang segitiga api (tetrahedron api) . Bahan yang mudah terbakar (bahan bakar), bahan tersebut memiliki titik nyala rendah yang merupakan temperatur terendah suatu bahan untuk dapat berubah menjadi uap dan akan menyala bila tersentuh api. Bahan makin mudah terbakar bila memiliki titik nyala yang makin rendah. Dari ketiga unsur-unsur bahan bakar, oksigen dan panas dapat menyebabkan rantai reaksi kimia.
Bahan Bakar
Oksigen Rantai reaksi Kimia
Panas
Gambar 2.8 Tetrahedron Api Proses kebakaran berlangsung melalui beberapa tahapan, yang masing-masing tahapan terjadi peningkatan suhu, yaitu perkembangan dari suatu rendah kemudian meningkat hingga mencapai puncaknya dan pada akhirnya berangsur-angsur menurun sampai saat bahan yang terbakar tersebut habis dan api menjadi mati atau padam.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya kebakaran melalui dua tahapan, yaitu tahap pertumbuhan (growth period) dan tahap pembakaran (steady combustion). Tahap tersebut dapat dilihat pada gambar 2.9 kurva suhu api.
Gambar 2.9 Kurva Suhu Api
Kemudian tahap kebakaran menurut ilmu fisika bangunan terdiri atas tiga tahap yaitu: 1. Tahap Pembaraan, yaitu tahap dimana permukaan bahan mulai membara dan suhu udara memanas sampai suhu mengizinkan lompatan api (flash over) dan permukaan bahan menyala di seluruh ruang yang terkena api. Oleh karena itu, ciri khas pembaraan tergantung dari luas ruang yang terkena api dan pada beban kebakaran. Indikator lain belum mempengaruhi kebakaran secara berarti. Tahap pembaraan ini akan sangat singkat jika cairan menyala karena flash over terjadi langsung sesudah penyalaan. 2. Tahap Pemanasan, yaitu tahap dimana permukaan barang menyala, maka suhu di dalam ruang meningkat tajam. Selain beban kebakaran, kebanyakan
Universitas Sumatera Utara
udara (oksigen) di dalam ruang. Berarti bentuk ruang dan pengudaraannya sangat mempengaruhi kebakaran. Makin tahan bagian bangunan yang melingkupi ruang yang sedang terkena api, maka makin lama pula jangka waktu api meluas dan makin kecil bahaya kebakaran meluas. 3. Tahap Pendinginan, tahap dimana jumlah energi bahan bakar tidak cukup lagi untuk mengatur atau meningkatkan suhu dalam ruang kebakaran, kemudian suhu mulai menurun. Tahap pendinginan ini membutuhkan waktu agak lama karena jika suhu dalam ruang mulai menurun, maka bagian bangunan yang mengelilingi ruang tersebut mulai melepaskan panas yang tersimpan di dalamnya. Namun menurut Mantra (2005) proses perkembangan api melalui empat tahap, yaitu: 1. Tahap Penyalaan atau Peletusan, tahap ini ditandai oleh munculnya api dalam ruangan yang disebabkan energi panas yang mengenai material dalam ruangan. 2. Tahap Pertumbuhan, pada tahap ini api mulai berkembang sebagai fungsi dari bahan bakar. Tahap ini merupakan tahap yang paling tepat untuk melakukan evakuasi dan tahap dimana sensor pencegah kebakaran atau alat pemadam mulai bekerja. 3. Tahap Flashover, yaitu tahap transisi antara tahap pertumbuhan dengan tahap pembakaran penuh dengan suhu 300 hingga 600 derajat celcius.
Universitas Sumatera Utara
4. Tahap Pembakaran Penuh, yaitu tahap dimana energi panas yang dilepaskan adalah energi yang paling besar; seluruh material dalam ruang terbakar sehingga temperatur di dalam ruang mencapai 1200 derajat celcius. 5. Tahap Surut, yaitu tahap yang ditandai dengan material terbakar yang mulai habis dan temperatur mulai menurun. Pada suatu peristiwa kebakaran, terjadi perjalanan yang arahnya dipengaruhi oleh lidah api dan materi yang menjalarkan panas. Sifat penjalarannya biasanya kearah vertikal sampai batas tertentu yang tidak memungkinkan lagi penjalarannya, maka akan menjalar kearah horizontal. Karena sifat itu, maka kebakaran pada gedunggedung bertingkat tinggi, api menjalar ketingkat yang lebih tinggi dari asal api tersebut. Saat yang paling mudah dalam memadamkan api adalah pada tahap pertumbuhan. Bila sudah mencapai tahap pembakaran, api akan sulit dipadamkan atau dikendalikan. Menurut Dinas Pemadam Kebakaran (2006), terdapat pada tabel 2.1 mengenai klasifikasi laju pertumbuhan kebakaran dalam empat klasifikasi pertumbuhan.
Tabel 2.1 Laju Pertumbuhan Kebakaran Menurut Dinas Pemadam Kebakaran (2006) Klasifikasi Pertumbuhan Tumbuh Lambat (Slow Growth) Tumbuh Sedang (Moderete Growth) Tumbuh Cepat (Fast Growth) Tumbuh Sangat Cepat (Very Fast Growth) Sumber: Observasi, Mei 2011
Waktu Pertumbuhan/Growth Time (detik) > 300 150 – 300 80 – 150 < 80
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Sumber api Adapun sumber datangnya api menurut Davidson (1997) berasal dari collateral hazard yaitu api muncul akibat adanya bahaya alam misalnya gempa bumi, rusaknya pipa gas, jatuhnya pemanas air, pembakaran akibat tumpahnya cairan kimia dan adanya hubungan pendek arus listrik. Sedangkan menurut Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project 2004, sumber api berasal dari keberadaan pompa bensin dari lokasi permukiman sekitar, keberadaan pengguna commercial liquid gas (rumah makan atau pedagang skala kecil) dan sistem pemasangan sambungan listrik yang tidak standar. Menurut Mantra (2005), sumber api berasal dari hubungan singkat arus listrik, kompor minya tanah, perlengkapan penerangan non listrik seperti lampu tempel dan lilin serta faktor munculnya api di lingkungan permukiman dari bara puntung rokok. Menurut National Fire Protection Agency No. 1231, sumber api dipengaruhi oleh keberadaan industri yang menggunakan bahan padat bukan logam dan logam, keberadaan pom bensin, pemasok bahan bakar minyak dan LPG, kebocoran peralatan listrik dan korsleting listrik. Termasuk dalam sumber api menurut Fire Risk Assessment adalah listrik, pemanas listrik, gas atau minyak, penggunaan minyak tanah dalam proses memasak, perlengkapan penerangan, rokok, korek api, penggunaan tabung LPG serta penyalaan api secara langsung. Dari berbagai sumber api berdasarkan literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa sumber api di dominasi berasal dari aktivitas manusia, selama aktivitas kehidupan tersebut terus berjalan maka selama itu juga bahaya kebakaran selalu
Universitas Sumatera Utara
mengintai. Oleh karena itu diperlukan analisis mendalam untuk mengantisipasi atau meredam meluasnya api melalui pemenuhan perangkat tertentu dan pola simulasi tertentu dalam menyikapi untuk mencegah dan menghambat bencana bahaya kebakaran yang lebih meluas. 2.4.3 Klasifikasi kebakaran Agar dapat menentukan sikap dalam menanggulangi bahaya kebakaran ada baiknya memahami klasifikasi kebakaran agar dapat menetukan tindakan dalam mempercepat atau meredam wilayah terbakar yang lebih luas. Ada empat jenis kebakaran dan bahan pemadamnya, yaitu: 1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda pada kecuali logam yang mudah terbakar seperti kertas, kayu dan pakaian yang tergolong sebagai kelas A. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu air, foam, CO2, atau bubuk kimia kering. 2. Kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar seperti minyak bumi, gas, lemak dan sejenisnya disebut kebakaran kelas B. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia yaitu foam, CO2, atau bubuk kimia kering. 3. Kebakaran listrik seperti kebocoran listrik atau korsleting, kebakaran pada alat-alat listrik generator dan motor listrik disebut jenis kebakaran kelas C. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam jenis CO2 dan bubuk kimia kering.
Universitas Sumatera Utara
4. Kebakaran logam seperti seng, magnesium, serbuk alumunium, sodium, titanium disebut jenis kebakaran kelas D. Pada tabel 2.2 djelaskan mengenai klasifikasi kebakaran menurut Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Tahun 2006, berdasarkan kelas resiko, material dan media pemadam kebakaran di Indonesia. Tabel 2.2 Klasifikasi Kebakaran RESIKO
MATERIAL
Kelas A
Kayu, kertas, kain
Kelas B
Bensin, Minyak tanah, varnish
Kelas C
Bahan – bahan seperti asetelin, methane, propane dan gas alam Uranium, magnesium dan titanium
Kelas D
ALAT PEMADAM Dry Chemichal Multiporse dan ABC Soda Acid Dry Chemichal Foam (serbuk bubuk), BCF (Bromoclorodiflour Methane), CO2, dan Gas Hallon Dry Chemichal, CO2, Gas Hallon dan BCF (Bromoclorodiflour Methane). Metal x, metal guard, dry sand dan Bubuk Pryme
Sumber: Observasi, Mei 2011 Dari keempat jenis kebakaran tersebut yang jarang ditemui adalah kelas D, biasanya untuk kelas A, B dan C alat pemadamnya dapat digunakan dalam satu tabunng atau alat yang dijual secara umum, kecuali bila diperlukan jenis khusus. Menurut Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan
Kebakaran
di Perkotaan, tingkat
resiko
kebakaran
dapat
diklasifikasikan dalam angka untuk menentukan kualitas resiko yang harus dihadapi dan ditindaklanjuti, yaitu: 1. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 3, angka klasifikasi yang harus mempertimbangkan resiko bahaya yang paling rawan dimana jumlah dari isi
Universitas Sumatera Utara
bahan mudah terbakarnya sangat tinggi. Terdapat perkiraan terhadap berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau kurang. 2. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 4, angka klasifikasi yang harus mempertimbangkan resiko bahaya yang tinggi dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya tinggi. Terdapat perkiraan terhadap berkembangnya api sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Status ini melingkupi bangunan sekitar dengan radius 15 meter atau kurang. 3. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 5, angka klasifikasi yang harus mempertimbangkan sebagai hunian bahaya sedang dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi 3,7 meter. Kebakaran pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang. 4. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 6, angka klasifikasi yang harus mempertimbangkan resiko bahaya rendah dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi serta memiliki tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi 2,5 meter. Kebakaran pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang.
Universitas Sumatera Utara
5. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya 7, angka klasifikasi yang harus mempertimbangkan resiko bahaya rendah dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya rendah. Kebakaran pada tingkat ini dapat diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas yang rendah. Dari tingkat status resiko bahaya kebakaran dapat disimpulkan bahwa semakin kecil angka klasifikasi maka status bahaya semakin tinggi dan sebaliknya bahwa semakin besar angka klasifikasi maka status bahaya semakin rendah. Dengan memahami klasifikasi resiko bahaya kebakaran terhadap bahan yang terbakar serta pencegahannya dan kalsifikasi memberi status resiko kebakaran akan memudahkan kita untuk menentukan sistem penanggulangan yang sesuai untuk permukiman padat di Kecamatan Tanjung Balai Utara nantinya.
2.4.4 Pola meluasnya kebakaran Yang menentukan meluasnya kebakaran adalah dari segi cara api yang meluas dan menyala. Perhitungan secara kuantitatif tentang cara meluasnya kebakaran sukar untuk ditentukan, tetapi berdasarkan penyelidikan-penyelidikan tertentu dapat diperkirakan pola cara meluasnya kebakaran tersebut sebagai berikut: 1. Konveksi (convection) atau perpindahan panas karena pengaruh aliran, hal ini disebabkan karena molekul tinggi mengalir ke tempat yang bertemperatur lebih rendah dan menyerahkan panasnya. Panas dan gas akan bergerak dengan cepat ke atas (langit-langit atau bagian dinding sebelah atas yang
Universitas Sumatera Utara
menambah terjadinya sumber nyala yang baru). Panas dan gas akan bergerak dengan cepat melalui dan mencari lubang-lubang vertikal seperti cerobong, pipa-pipa, ruang tangga lubang lift, dsb. Bila jalan arah vertikal terkekang, api akan menjalar kearah horizontal melalui ruang bebas, ruang langit-langit, saluran pipa atau lubang-lubang lain di dinding. Udara panas yang mengembang, dapat mengakibatkan tekanan kepada pintu, jendela atau bahan-bahan yang kurang kuat serta mencari lubang lainnya untuk ditembus. 2. Konduksi (conduction) atau perpindahan panas karena pengaruh sentuhan langsung dari bagian temperatur tinggi ke temperatur rendah di dalam suatu media ruang. Panas akan disalurkan melalui pipa-pipa besi, saluran atau melalui unsur kontruksi lainnya diseluruh bangunan. Oleh karena sifatnya meluas, maka perluasan tersebut dapat mengakibatkan keretakan di dalam kontruksi yang akan memberikan peluang baru untuk penjalaran kebakaran. 3. Radiasi (radiation) atau perpindahan panas yang bertemperatur tinggi ke benda yang bertemperatur lebih rendah bila benda dipisahkan dalam ruang karena pancaran sinar dan gelombang elektromagnetik. Permukaan suatu bangunan tidak mustahil terbuat dari bahan-bahan bangunan yang bila terkena panas akan menimbulkan api. Oleh karena sifat udara mengembang ke atas, maka langit-langit dan dinding bagian atas akan terkena panas terlebih dahulu dan paling kritis. Bahan bangunan yang digunakan sebaiknya yang angka peningkatan perluasan apinya (fleme-spread ratings) rendah. Kemudian nyala mendadak (flash-over) yang disebabkan oleh permukaan
Universitas Sumatera Utara
dan sifat bahan bangunan yang sangat mudah termakan api sebagai gejala umum di dalam suatu kebakaran. Bila suhu meningkat hingga mencapai ± 425 celcius atau gas-gas yang sudah kehausan zat asam mendapat tambahan zat asam, maka akan menjadi nyala api yang mendadak dan membesarnya bukan saja secara setempat tetapi meliputi beberapa tempat. Sama halnya dengan cerobong sebagai penyalur ke luar dari gas-gas panas yang mengakibatkan adanya bagian kosong udara di dalam ruangan (yang sifatnya menarik zat asam), semua bagian-bagian yang sempit atau lorong-lorong vertikal di dalam bangunan menjadi bersifat sebagai cerobong dan dapat memperbesar nyalanya api terutama apabila kesempatan zat asam membantu perluasan api tersebut.
Walau uraian pola meluasnya kebakaran tampil dalam paparan yang sangat teknis namun dapat membantu kita untuk memahami gejala kebakaran yang terjadi didalam ruang dan diharapkan dapat memperkuat keputusan dalam menentukan kebijakan yang beraspek pada ketahanan lingkungan terhadap kebakaran. 2.4.5 Penanggulangan kebakaran Sistem penanggulangan kebakaran ada dua sistem yaitu perlindungan pasif dan perlindungan aktif. Perlindungan pasif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan pengaturan terhadap komponen bangunan dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sedangkan sistem
Universitas Sumatera Utara
perlindungan aktif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melakukan operasi pemadaman. 2.4.5.1 Perlindungan pasif Dalam Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 terdapat tipe klasifikasi konstruksi bangunan berdasarkan ketahannya terhadap resiko kebakaran yang dimuat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Tipe Konstruksi Bangunan Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Resiko Kebakaran TIPE KONSTRUKSI
Tipe I Konstruksi Tahan Api
Tipe II dan IV Tidak Mudah Terbakar, Konstruksi Kayu Berat
Tipe III Biasa Tipe IV Kerangka Kayu
KETERANGAN Bangunan yang dibuat dengan bahan tahan api (beton, bata dan bahan lainnya dengan bahan logam yang dilindungi) dengan struktur yagn dibuat sedemikian rupa sehingga tahan terhadap peruntukan dan perambatan api. Bangunan yang seluruh bagian konstruksinya (termasuk dinding, lantai dan atap) terdiri dari bahan yang tidak mudah terbakar atau tidak termasuk sebagai bahan tahan api yaitu termasuk bangunan konstruksi kayu dengan dinding bata, tiang kayu 20,3 cm cm,lantai kayu 76 mm, atap kayu 51 mm dan balok kayu 15,2 x 25,4 cm. Bangunan dinding luar bata atau bahan tidak mudah terbakar lainnya sedangkan bagian bangunan lainnya terdiri dari kayu atau bahan yang mudah terbakar. Bangunan (kecuali bangunan rumah tinggal) yang strukturnya sebagaian atau seluruhnya terdiri dari kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak tergolong dalam konstruksi bisa (tipe III)
Sumber: Observasi, Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan permukiman padat di kota merupakan ruang komunal yang kaya akan kekurangan fisik tempat tinggalnya. Kondisi ini menghadapkan kita pada permasalahan yang kompleks. Perlindungan fisik permukiman padat dari bahaya kebakaran memerlukan kebijakan yang lengkap karena melibatkan berbagai pihak untuk menghapus bahaya kebakaran dalam meningkatkan kualitas hidup permukiman padat setempat pada kondisi yang lebih baik. Mengingat perlindungan pasif tidak cukup dalam mengantisipasi dan menekan proses kebakaran, diperlukan perlindungan aktif yang melibatkan sumberdaya manusia atau pihak terkait sebagai tindakan awal dalam meredam kejadian kebakaran.
2.4.5.2 Perlindungan aktif Sebelumnya telah kita ketahui bahwa sistem perlindungan aktif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melakukan operasi pemadaman. Namun pada saat ini begitu banyak peralatan perlindungan aktif dalam meredam kebakaran dan semuanya belum tentu sesuai di kawasan permukiman padat. Berikut akan tampil beberapa peralatan perlindungan aktif yang sesuai dengan permukiman padat. Air merupakan bahan utama, mendasar dan pertama dalam meredam kebakaran. Oleh karena itu kita juga akan menyinggung beberapa hal tentang pendistribusian air agar dapat
Universitas Sumatera Utara
memanfaatkan peralatan perlindungan aktif secara maksimal dalam meredam peralatan. a. Alat Pemadam Api Portable Alat pemadam api portable (APAP) terdiri dari alat pemadam api ringan (APAR) dan alat pemadam api beroda (APAB). Biasanya kedua alat ini digunakan untuk tanggap awal pemadaman api. Kedua alat ini dapat disediakan oleh instansi setingkat keluarahan dan kecamatan serta tiaptiap rumah tangga. Adapun spesifikasi kebaradaan alat ini akan di urai sebagai berikut: 1. Alat Pemadam Api Ringan Alat pemadam api ringan merupakan salah satu perlengkapan pemadaman kebakaran yang memiliki berat sekitar 16 kg. Alat pemadam kebakaran ringan ini tidak hanya berisi air, namun ada juga yang berisikan foam, serbuk kimia atau CO2 sesuai dengan penggunaannya terhadap jenis kebakaran yang dihadapi. 2. Alat Pemadam Api Beroda Alat pemadam api beroda merupakan alat pemadam yang memiliki berat sekitar 100 hingga 150 kg. Biasanya alat ini digunakan untuk daerah yang tidak bisa dimasuki kenderaan pemadam kebakaran. b. Hydrant Alat pemadam ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.
Hydrant Box, berdasarkan letaknya terbagi dua yaitu hydrant di dalam ruangan dan di luar ruangan. Pemasangan hydrant box biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan luas ukuran ruangan. Tetapi untuk ukuran minimalnya diharuskan pada tiap lantai terdapat minimal satu unit. Pemasangan hydrant box di dalam ruangan (menempel pada dinding) biasanya harus disertai pemasangan alarm bel dibagian atas hydrant box. Pada Hydrant Box juga terdapat gulungan selang atau lebih dikenal dengan istilah hose reel. Biasanya peralatan ini terdapat di dalam gedung berlantai banyak, namun terdapat juga kemungkinan di letakkan melalui titiktitik dengan jangkauan tertentu di kawasan permukiman dengan pengamanan
tertentu
agar
masyarakat
setempat
dapat
menggunakannya terlebih dahulu sebelum keberadaan kebakaran semakin meluas sembari menunggu mobil pemadam kebakaran tiba. Oleh karena itu diperlukan perlindungan atau keamanan khusus serta penyuluhan kepada masyarakat setempat untuk menjaga hidrant box agar selalu siap pakai di saat terjadi kebakaran. 2.
Hydrant Pillar, alat ini memiliki fungsi untuk menyuplai air dari PAM dan GWR gedung yang disalurkan ke mobil pemadam pebakaran agar dapat menyemprotkan air ke gedung yang sedang terbakar. Alat ini biasanya diletakan dibagian luar gedung yang jumlah dan peletakannya disesuaikan dengan luas gedung.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat ini hidrant pillar biasanya terkonsentarasi penyediaannya di titik-titik pusat kota yang dianggap penting. Hal ini dapat kita buktinya dengan adanya keberadaan hidran pillar di sisi jalan protokol. Besar kemungkinan penyediaan hidran pillar belum memiliki analisis khusus untuk penyediaannya di wilayah permukiman padat. Untuk mencapai tingkat efisiensi dalam meredamnya
perluasan
kebakaran,
alat
ini
cukup
sesuai
penyediaannya di kawasan permukiman padat yang sangat rentan terjadinya bahaya kebakaran. Terlebih lagi bila penyediaannya berdampingan dengan hidran box yang langsung dapat digunakan oleh masyarakat setempat. 3.
Siamese Connection Alat ini memiliki fungsi untuk menyalurkan air dari mobil pemadam kebakaran untuk disalurkan ke dalam sistem instalasi pipa pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang terpasang di dalam gedung, dan selanjutnya dipancarkan melalui sprinklersprinkler dan hydrant box yang ada di dalam gedung. Alat ini diletakan pada bagian luar gedung yang jumlahnya serta peletakannya disesuaikan dengan luas dan kebutuhan gedung itu sendiri. Dari cara kerja alat ini, dapat dipahami bahwa siamese connection hanya bersifat sebagai penghubung dari sumber air ke titik-titik
Universitas Sumatera Utara
pancaran air yang biasanya hanya terdapat fasilitas tersebut di dalam gendung bertingkat banyak. Besar kemungkinan terjadi penyediaan alat siamese connection di kawasan permukiman padat karena cara kerja yang lebih cepat dan efisien. Tetapi memerlukan analisis khusus dan mendalam terhadap penyediaannya baik secara kualitas dan kuantitas serta secara teknis dan manajerial dalam pemanfaatannya yang tidak akan dibahas pada studi ini.
2.5
Kesimpulan Sistem penanggulangan kebakaran pada suatu pemikiran ternyata tidak hanya
terbatas terhadap penyediaan dan penempatan alat-alat pemadam kebaran saja, namun memerlukan analisis tentang bagaimana keberadaan bahaya kebakaran setempat yang dikaitkan dengan kerentanan yang ada baik secara fisik tempat tinggal maupun aktivitas yang terjadi di kawasan permukiman padat. Keluaran dari pergumulan antara bahaya dan kerentanan hanya bisa disikapi dengan ketahanan. Semakin rendah nilai kerentanan maka bahaya akan semakin sulit terjadi yang berarti memiliki nilai ketahanan yang tinggi, dan sebaliknya bila semakin tinggi nilai kerentanan maka bahaya akan semakin mudah terjadi yang berarti memiliki nilai ketahanan yang rendah. Untuk mendekatkan kita kepada kesimpulan dalam menilai (tolok ukur) tingkat bahaya, kerentanan dan ketahanan di permukiman padat kawasan Tanjung Balai Utara, diperlukan identifikasi terhadap studi literatur yang sudah tampil menjadi suatu
Universitas Sumatera Utara
variabel terhadap kondisi nyata di lapangan. Identifikasi di lingkupi oleh konsep tipologi perumahan dan pemukiman perkotaan yang terbagi menjadi keberadaan permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK); daur hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE) dalam koridor bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) yang dinilai melalui ketahanan (capacity) yang berasal dari analisis teori budaya sosial kemasyarakatan (BSK) yang berisikan tentang standarisasi, peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang ada. Hasil identifikasi merunut pada rumus Crunch untuk menghasilkan tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran dengan model yang terlihat pada gambar 2.10. Gambar dan uraian identifikasi berdasarkan literatur yang terkait dengan fisik lingkungan kawasan penelitian dan pemakaian yang bertinggal di lokasi tersebut dalam lingkup ekonomi, sosial dan budaya mereka yang dipahami bahwa sumber bahaya dan kerentanan diungkap melalui KP, KRAPKA, DHB dan AE. Sedangkan ketahanan hanya dijawab melalui pemahaman BSK. Atas susunan pemikiran ini, BSK merupakan pemahaman teori yang dapat menjadi tolok ukur untuk melahirkan status wilayah penelitian nantinya. Pada tabel 2.4, 2.5, dan 2.6 merupakan hasil identifikasi awal atas pergulatan studi literatur yang dikelompokkan pada pemahaman teori yang ada (KP, KRAPKA, DHB, AE dan BSK) menjadi variabel-variabel yang dapat memudahkan penilaian untuk merumuskan status bahaya kebakaran di wilayah penelitian dengan menggunakan model Crunch.
Universitas Sumatera Utara
KP
KRAPK
DHB
AE
C A P A C I T Y
HAZARD DISASTER
VULNERABILITY
KP
KRAPK
DHB
BSK
AE SPK (sistem penaggulangan kebakaran)
Gambar 2.10 Identifikasi Penanggulangan Kebakaran Diadaptasi Melalui Rumus Crunch
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Variabel Identifikasi Bahaya Kebakaran LITERATUR KONSEP
KP (Kondisi Permukiman)
Davidson
URI (Urban Research Institute)
Terdapatnya kerusakan pada pipa atau selang gas; Jatuhnya alat pemanas air.
Mantra Hubungan singkat arus listrik.
NFPA (National Fire Protection Agency) Kebocoran peralatan listrik; Korsleting listrik
FRA (Fire Risk Assessment)
Rumusan Variabel
Listrik; Pemanas Listrik
Kelengkapan kondisi permukiman terhadap jaringan listrik dan pemanas air sebagai penyulut atau sumber utama penyebab bahaya kebakaran
Gas dan Minyak; Penggunaan minyak tanah dalam memasak; Perlengkapan Penerangan; Rokok; Korek Api; LPG; Penyalaan Api secara langsung
Aktivitas daur hari bertinggal terhadap penggunaan daya listrik dan non listrik serta kebiasaan merokokdan penyalaan api sembarangan adalah penyebab bahaya kebakaran.
KRAPK (Kelompok Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhan) Arus pendek listrik; Tumpahnya cairan kimia. DHB (Daur Hari Bertinggal)
AE (Aktivitas Ekonomi)
Sambungan listrik yang tidak standar; Kesalahan pemakaian gas.
Pompa bensin
Kompor minyak tanah; Perlengkapan peralatan non listrik (lampu tempel dan lilin)
Pom bensin; Pemasok bahan bakar minyak dan LPG
Aktivitas lokasi karya di lingkungan permukiman seperti pom bensin, bahan bakar minya dan LPG sebagai penyebab kejadian kebakaran.
Sumber: Observasi, Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Variabel Identifikasi Kerentanan Kebakaran
KP (Kondisi Permukiman)
KRAPK (Kelompok Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhan)
Charlotte Benson dan Jhon Twigg Kerusakan dan kerugian; Fisik tempat tinggal yang tidak tahan api
Lingkungan sosial yang buruk; Lingkungan Permukiman yang tidak mendukung.
Paul Venton dan Bob Hansford Kondisi fisik bangunan yang buruk.
Ketergantungan terhadap sumberdaya pencaharian setempat; Keterampilan dan pengetahuan yang terbatas. Lokasi lingkungan permukiman yang terlalu padat; Populasi lanjut usia dan balita yang tidak seimbang; Komunitas terorganisasi; Kepemimpinan yang kurang baik.
Oetomo
Rumusan Variabel
Kondisi fisik bangunan; Material bangunan; Konstruksi bangunan
Kondisi fisik permukiman yang memiliki material dan konstruksi yang rendah sangat rentan terhadap bahaya kebakaran sekaligus menjadi bahan bakar dalam perluasan proses kebakaran. Kota merupakan tempat bergantung masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengeruk segala aktivitas yang ada dalam meraih pendapatan. Semakin tinggi tingkat aktivitas prekonomian suatu kota maka semakin tinggi pula kerentanan bahaya kebakarannya.
Kepadatan penduduk populasi balita dan lanjut usia; segresi sosial dan disparitas ekonomi. Nilai kebudayaan dan politisasi.
Lingkungan permukiman yang buruk, populasi permukiman yang rapat dan padat sangat mudah tertimpa bencana kebakaran dengan tingkat bahaya yang tinggi karena cepat meluas oleh material yang mudah terbakar dan menyulitkan mobil pemadam kebakaran berhadapan langsung dengan proses kebakaran. Populasi balita dan lansia akan menyulitkan proses evakuasi yang menimbulkan banyak korban serta kondisi lingkungan yang mudah terjadinya sabotase oleh kepemimpinan yang buruk dan komunitas yang terorganisasi membuat kualitas hidup masyarakat permukiman padat semakin memburuk.
Pendapatan rendah
Nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu untuk meningkatkan kualitas hidupnya, hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat mengancam bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.
DHB (Daur Hari Bertinggal) AE (Aktivitas Ekonomi)
Penghasilan yang tidak mapan; Kurangnya mendapat kesempatan kerja.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 (Lanjutan) LITERATUR KONSEP
KP (Kondisi Permukiman)
KRAPK (Kelompok Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhan)
Davidson Kualitas bahan bangunan;
Kepadatan penduduk; Persentase populasi balita dan lansia yang terlalu banyak; Sakit, cacat dan hamil.
URI (Urban Research Institut) Material bangunan; Kondisi fisik perumahan Kejadian kebakaran masa lalu
Mantra
Bakornas Penanggulangan Bencana
Kondisi fisik bangunan permukiman; struktur bangunan.
Kualitas fisik bangunan permukiman.
Tidak ada akses jalan masuk; Tidak tersedia ruang terbuka untuk evakuasi; jarak antar bangunan yang terlalu rapat karena kepadatan.
Kepadatan penduduk; Laju pertambahan penduduk.
Rumusan Variabel Kondisi fisik permukiman yang memiliki material dan konstruksi yang rendah sangat rentan terhadap bahaya kebakaran sekaligus menjadi bahan bakar dalam perluasan proses kebakaran. Lingkungan permukiman yang buruk, populasi permukiman yang rapat dan padat sangat mudah tertimpa bencana kebakaran dengan tingkat bahaya yang tinggi karena cepat meluas oleh material yang mudah terbakar dan menyulitkan mobil pemadam kebakaran berhadapan langsung dengan proses kebakaran. Populasi balita dan lansiayang tinggi serta tidak tersedianya ruang terbuka akan menyulitkan proses evakuasi yang menimbulkan banyak korban.
DHB (Daur Hari Bertinggal) Pendapatan ekonomi rendah. AE (Aktivitas Ekonomi)
Nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu untuk meningkatkan kualitas hidupnya, hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat mengancam bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.
Sumber: Observasi, Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Variabel Identifikasi Ketahanan Kebakaran LITERATUR KONSEP
Kemeneg Ristek RI
Oetomo
Kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah; Kapasitas dan Potensi Masyarakat; Masyarakat.
Fasilitas gawat darurat kesehatan, fasilitas pemadam kebakaran, tempat-tempat evakuasi potensial ruang terbuka yang kokoh, fasilitas bangunan sebagai ruang sekretariat komando penanggulangan bencana; Sistem peringatan dini, sarana koordinasi, telekomunikasi dan informasi, sarana transportasi atau perhubungan, ambulan, mobil pemadam kebakaran yang sesuai dengan kebutuhan, hidran, tandon air bersih serta alat-alat berat yang mempercepat meredam bencana yang lebih meluas; Tenaga medis, paramedik, polisi, petugas pemadam kebakaran, hansip, militer dan kelompok sukarelawan.
BSK (Badan Sosial Kemasayarakatan)
Davidson
Personel pemadam kebakaran; penyediaan kebutuhan air gawat darurat; Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran seperti mobil pemadam kebakaran, pos pemadam kebakaran dan hidran.
URI (Urban Research Institut)
Kemampuan atau kefektifan pelayanan pemadam kebakaran pada lokasi kebakaran.
Mantra
Ketersediaan sensor pencegah kebakaran, hidran, detektor; Sarana komunikasi; Ruang terbuka yang luas.
Kepmen PU No. 11 Thn 2000
Lokasi pos pemadam kebakaran; Pasokan air ; Ketersediaan bahan pemadam bukan air ; Aksesbilitas; Ketersediaan sarana komunikasi.
Rumusan Variabel Pada studi literatur yang ada, semua pemikiran tertuju kepada pebijak untuk menyiapkan sistem yang berisi tentang kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana dalam menanggulangi kebakaran seta proses evakuasi. Selain itu jajaran pemerintah juga dituntut untuk mempersiapkan penanggulangan kebakaran secara struktural (strukturasi kemasyarakatan) dari tingkat pusat ke masyarakat seperti yang dikemukakan dalam Kemenristek RI.
Sumber: Observasi, Mei 2011
Universitas Sumatera Utara