BAB. II TINJAUAN PUSTAKA Genetika Jagung Manis (Sweet Corn) Gen Jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) merupakan salah satu sayurmayur ma m ay yang populer di negara-negara maju seperti Amerika, Brasil, Prancis dan di negara-negara berkembang. Jagung ini dikonsumsi dalam bentuk jagung muda yang nne ega direbus ddi irreeb atau dibakar, dibuat sayur, perkedel, cream atau susu, sirup, dan bahan baku permen karena rasanya manis dan enak. Di Europa, Cina, Korea, dan ppembuatan em Jepan, digunakan untuk topping pizza. JJe eppaa
Rasa manis disebabkan oleh kandungan
gula ggu ullaa yang tinggi pada endosperm, mengkilap, dan tembus pandang ketika belum masak, dan bila kering berkerut. Jagung manis selain rasanya manis dan enak juga ma m as bagi kesehatan seperti mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan bbermanfaat erm rm kanker kka ank terutama jika dikonsumsi dalam bentuk jagung rebus. Kandungan nutrisi jjagung agguu manis diperlihatkan pada Tabel 1 (Larson 2003). Tabel 1 Kandungan nilai nutrisi dalam biji jagung manis Nilai nutrisi dalam biji jagung manis per 100 g (3,5 oz) Energy 90 kkal 360 kJ Karbohidrat 19 g - Gula 3.2 g - Dietary fiber 2.7 g Lemak 1.2 g Protein 3.2 g Vitamin A equiv. 10 μg 1% Asam Folat (Vit. B9) 46 μg 12% Vitamin C 7 mg 12% Besi 0.5 mg 4% Magnesium 37 mg 10% Kalium 270 mg 6% Sumber: database nutrisi USDA Jagung manis diperoleh dari field corn (jagung biasa) yang mengalami mutasi resesif secara alami dalam gen yang mengontrol konversi gula menjadi pati dalam ressee re enddo en o endosperm biji jagung.
Saat ini telah ditemukan 13 gen mutan yang dapat
mem me memperbaiki tingkatan gula pada jagung manis. Gen yang utama mempengaruhi
kkemanisan em jagung ada tiga yaitu : (1) gen sugary (su); (2) gen sugary enhancer ((se); se); dan (3) gen shrunken (sh2). Ketiga gen tersebut merupakan gen resesif sehin sehingga harus ditanam terpisah dari varietas jagung biasa. Penyakit Bulai (Downy Mildew) Peny Penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung Peronosclerospora dilaporkan aada ad da lima spesies (Renfro 1980 dikutip Wakman 2001). Namun di Indonesia hanya ada aad da dua spesies yang dilaporkan yaitu P. maydis dan P. philippinensis, tetapi P. maydis terdapat dimana-mana, sedangkan P. philippinensis khusus uumumnya mu di daerah Sulawesi Utara. tterdapat erda d Penyakit bulai atau embun berbulu (downy mildew) memiliki banyak nama antara lain di Jawa Tengah dikenal dengan nama omo putih, omo londo, ssetempat, ete tem e dan dda an omo bule, di Jawa Timur, omo putih, dan potehan, sedangkan di Jawa Barat dikenal ddi ikkee sebagai omo bodas dan hama lieur (Semangun 1996). Serangan penyakit bulai dapat dilihat pada permukaan daun terdapat garis-garis ssejajar eja jaj tulang daun berwarna putih sampai kuning diikuti dengan garis-garis klorotik ssampai amp coklat.
Bila infeksi makin lanjut, tanaman terlihat kerdil dan tidak
tetapi jika infeksinya terlambat tanaman masih ada kemungkinan untuk bberproduksi, erp hanya saja biji yang dihasilkan sudah terinfeksi patogen. bberproduksi, erp
Jamur
secara sistemik, sehingga bila patogen mencapai titik tumbuh maka bberkembang erk daun muda yang muncul mengalami klorotik, sedangkan daun pertama sseluruh elur ssampai amp ke empat masih terlihat sebagian hijau. Ini merupakan ciri-ciri dari infeksi melalui udara. Bila biji jagung sudah terinfeksi, maka bibit muda yang ppatogen ato tumbuh ttu umb mb memperlihatkan gejala klorotik pada seluruh daun dan tanaman cepat mati. Dii ppermukaan bawah daun yang terinfeksi dapat dilihat banyak terbentuk tepung D pputih pu uti tih yang merupakan spora patogen tersebut (Agrios 1988). Menurut Semangun (1996), tanaman yang terinfeksi terdapat benang-benang jamur jja amu dalam ruang antar selnya, daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan daun lebih lle ebbiih ih tegak dari biasa. Akar kurang terbentuk dan tanaman mudah rebah. Tanaman yang yya ang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak membentuk buah. Bila Bi B ila la terinfeksi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk tongkol buah. Tongkol buah sering mempunyai tangkai yang panjang, m me em 11
ddengan eng kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit bbiji. iji. Kajiwara (1974) dari hasil penelitiannya dengan menggunakan daun jagung kkultivar ulti Harapan menggambarkan proses perkembangan gejala penyakit bulai yang ttercantum erca dalam Tabel 3. Ta T abbee 2 Perkembangan gejala penyakit bulai (downy mildew) abe Tabel H setelah Hari inokulasi 2 5 6 7 9 14-25
Gejala Muncul bintik-bintik hijau pucat (1-2 mm). Muncul garis-garis berwarna hijau kekuningan. Garis-garis tadi semakin jelas. Beberapa daun berubah warna menjadi kuning. Seluruh daun berwarna kuning dan beberapa diantaranya mulai layu. Daun pertama sampai daun ke tiga mati. Garis-garis kuning yang jelas muncul pada daun ke empat. Gejala serangan sistemik mulai terlihat pada daun-daun yang baru terbentuk.
Jamur dapat bertahan hidup sebagai mycelium dalam embrio biji yang terinfeksi jika kondisi biji lembab. Bila biji ditanam, jamurnya ikut berkembang dan teri te rin menginfeksi bibit, selanjutnya dapat menjadi sumber inokulum. men
Infeksi terjadi
melalui mela stomata daun jagung muda umur di bawah satu bulan jika pada permukaan daun daun terdapat air gutasi atau tetesan air serta jamur berkembang secara sistemik. Sporangia (konidia) dan sporangiofora dihasilkan pada permukaan daun yang basah Spor dalam dala gelap. Sporangia berperan sebagai inokulum sekunder. Pembentukan spora patogen membutuhkan udara yang lembab (lebih dari 90%) dan hangat pada suhu patoo pa sekitar sekkiit 220 C serta gelap. Produksi sporangia (sporulasi) sangat banyak terjadi pada se dini dinnii hari antara pukul 03.00 sampai 05.00 (Semangun 1996). selanjutnya oleh tiupan di angin angi an gi di pagi hari, spora tersebut tersebar sampai jarak jauh dan bila spora menempel pada pada daun jagung muda yang basah, maka dalam waktu satu jam spora tersebut pa sudah suda su d mulai berkecambah dan menginfeksi daun melalui stomata jika ada air gutasi atau ataauu embun (Subandi 1996). at Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah dan jarang terrd te da terdapat di tempat-tempat yang lebih tinggi dari 900-1.200 m (Rutgers 1916 dikutip Semangun Sem Se 1996). Ini sesuai dengan penelitian Bustamam dan Kimigafukuro (1981) 12
yyang ang dilakukan di Bogor menunjukkan bahwa konidium berkecambah paling baik ppada ada suhu 20qC. Varietas-varietas jagung berbeda ketahanannya terhadap penyakit bbulai, ula ada yang tahan dan rentan. Hal ini ditentukan oleh gen-gen penyusun yang tterdapat erda dalam tanaman jagung. Gambar 1 menunjukkan penampilan daun tanaman jjagung agu yang terinfeksi penyakit bulai.
Gambar 2 Daun tanaman jagung yang terserang bulai Pe P eng Pengendalian Penyakit Bulai (Downy Mildew) Pemberantasan penyakit bulai harus dilakukan secara terpadu diantaranya ppenggunaan eng varietas resisten, penanaman serentak, tanaman yang sakit dicabut dan ddikubur iku dalam tanah atau dibakar agar tidak menjadi sumber penyakit, pengaturan ppola ola tanam, dan penggunaan fungisida (Fagi et al. 1997).
Pergiliran tanaman
m eru merupakan salah satu cara menekan tingkat serangan penyakit bulai. Karena tidak tte errbbe terbentuknya oospora memungkinkan patogen dapat bertahan di dalam daun, batang, kke elloo kelobot, bunga jantan, bunga betina ataupun tongkol yang masih muda sehingga dda apa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Dengan demikian pertanaman jagung dapat tte eeru rus menerus sepanjang tahun akan menyebabkan patogen dapat bertahan terus. ru terus Perlakuan biji dengan
metalaksil, kerugian
dapat dikurangi.
Tetapi
ppemberantasan pe em penyakit bulai dengan memakai fungisida biasanya terdapat masalah kkarena ka arree beberapa alasan yaitu (a) serangan patogen terhadap tanaman bersifat ssist si is e sistemik ; (b) Infeksi serangan terjadi pada malam hari; dan (c) Serangan terjadi pada ssaat sa aaatt tanaman berusia muda, pada waktu stadia pertumbuhan. Oleh karena itu 13
ffungisida ung yang dapat digunakan untuk menekan serangan bulai adalah fungisida ssistemik. iste Namun cara yang paling baik untuk memberantas serangan penyakit dan hhama am adalah dengan merakit kultivar resisten (Singh 1986; Mochizuki 1974). Penanganan pemberantasan penyakit bulai selain penggunaan fungisida ssistemik iste juga diusahakan mendapatkan varietas baru yang resisten.
Hal ini telah
ddilakukan di illaak karena dengan penggunaan fungisida akan membutuhkan biaya tambahan kke epa p kepada petani. Pe P em Pemuliaan untuk Ketahanan terhadap Penyakit Program pemulian untuk menghasilkan varietas resisten terhadap penyakit hha arru u melalui beberapa tahapan yakni mendapatkan sumber ketahanan dan harus m me en menentukan pola pewarisan karakter ketahanan tanaman inang serta karakter genetik dda arrii interaksi antara inang dengan patogen (Allard 1960). dari
Hal tersebut dapat
tterlaksana errlla dengan baik apabila pengkajian dilakukan pada lingkungan epidemik bagi ppatogen, attoo baik di laboratorium, rumah kaca, maupun di lapangan. Beberapa kendala yya ang sering ditemukan adalah penentuan dan penilaian ketahanan, identifikasi yang gge ene dari karakter ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak sealel, dan genetik kkaitan aita gen. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas maka pada setiap pelaksanaan ppengujian eng dan seleksi ketahanan tanaman perlu diusahakan terciptanya lingkungan eepidemik pid yang mampu memberikan kondisi epifitotik patogen. Langkah yang harus ddilaksanakan ilak untuk menciptakan kondisi seluruh tanaman yang diuji terinfeksi ppatogen ato penyakit adalah dengan melakukan inokulasi buatan. Beberapa hal penting uun nttuu keberhasilan inokulasi buatan tersebut adalah inokulum harus tetap bermutu untuk tti ing ngg penerapan inokulasi diusahakan homogen untuk setiap tanaman, dan kondisi tinggi, lli ing ngk lingkungan pada saat inokulasi sesuai bagi pertumbuhan patogen, serta tanaman iinang in naan n yang akan diuji harus bebas dari penyakit lain dan harus dalam keadaan ffisiologik fi isio ssiio yang cocok untuk terjadinya serangan patogen. Tanaman resisten dan tanaman rentan dapat dibedakan dengan mudah apabila ddike di ike dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor. Pada keadaan tersebut varians ketahanan aakan ak kann menunjukkan sebaran terputus atau diskontinyu. Sering pada ketahanan yang ddikendalikan di ikkee oleh banyak gen tidak ada perbedaan jelas antara individu tanaman 14
rresisten esis dan tanaman rentan dalam populasi yang bersegregasi. Varians ketahanan ttersebut erse bersifat kontinyu dengan perubahan perbedaan ketahanan yang kecil ((Herison Her 2002). Pegetahuan tentang adanya gen-gen pengendalian karakter ketahanan terhadap ppenyakit eny bulai akan memudahkan pemulia tanaman untuk merakit varietas resisten. Pa P am (1980) menyimpulkan bahwa terdapat keragaman genetik yang cukup luas Pamin tterbukti erb rbu dari pembentukan varietas sintetik yang tahan penyakit bulai, dengan ppembentukan em intercross S1 dan S2 telah berhasil diturunkan tingkat serangan bulai dari 60.8 persen pada bahan asal menjadi 22.4 persen pada intercross ppenyakit eny S1 ddan 16.8 persen pada intercross S2. Aday (1974) meringkas bahwa program pemuliaan yang dilakukan di Philipina guna ggu una menekan serangan bulai berlangsung dalam empat tahap yaitu: aa.. iisolasi dan seleksi galur-galur murni yang resisten terhadap bulai (DMR) (1953 – 1963). varietas lokal untuk ketahanan penyakit bulai pada areal yang luas dan bb.. skrening s iintroduksi plasmanutfah yang memiliki hasil tinggi (1964 – 1968). cc.. ppembentukan varietas hibrida persilangan antara varietas lokal tahan bulai ddengan varietas introduksi plasmanutfah produksi tinggi (1967 – 1973). dd.. pperbaikan dalam populasi untuk ketahanan terhadap bulai dan seleksi karakter aargonomi yang baik. D Dengan en melaksanakan program di atas dewasa ini telah berhasil dirilis varietasseri Phil DMR dengan tingkat serangan rata-rata sebesar 34.63 persen vvarietas arie dengan bahan asal sebesar 44.40 persen. ddibandingkan di ibbaa
Dekade sepuluh tahun
sekarang ini juga telah dilaksanakan program Asian Maize Biotechnology tterakhir te era rak Network (AMBIONET) berhasil melaksanakan pemetaan gen ketahanan penyakit Ne N etw bbulai bu ullaa di Philipina, Cina, dan India, sedangkan di Indonesia sampai sekarang ini masih belum menghasilkan. m ma as
Melihat kemajuan yang telah dicapai dengan
melalui pemuliaan maka pencarian varietas baru yang resisten ppemberantasan pe em penyakit bulai masih dilanjutkan. ppe eny
15
M ar Genetik Marka Marka genetik merupakan bagian kecil dari materi genetik yang mudah ddiidentifikasi. iide Menurut Liu (1998) penanda genetik ada tiga tipe m or morfologi, protein (biokimia) dan DNA (molekuler).
(a) marka
Marka morfologi mudah
ddilakukan ilak tetapi sulit mengidentifikasi gen dalam jumlah besar jika populasi sspesiesnya sp pes es sedikit. Marka protein yang biasa digunakan adalah isozim, marka DNA dde eng mengisolasi sebagian kecil daerah DNA. Menurut Tanksley dan McCouch dengan ((1997), 199 19 marka morfologi merupakan secara visual dikarakterisasi secara fenotipik sseperti eppee warna bunga, bentuk biji, tipe tumbuh atau pigmentasi. Marka isozim adalah m ma ark r yang dapat membedakan enzim yang dideteksi melalui elektroforesis dan marka me m eru merupakan penanda spesifik. Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan morfologi tterbatas erb rba dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fase pperkembangan erk rk dari tanaman. Marka molekuler pada awal perkembangannya diperkenalkan untuk mengatasi kke essu u kesulitan seleksi secara konvensional. Apabila marka molekuler yang terpaut dengan gge engen-gen yang dimaksud sudah diidentifikasi, maka marka tersebut dapat membantu me m en mengurangi ukuran populasi dan waktu yang dibutuhkan dalam program pemuliaan pper er siklus seleksi.
Beberapa kelebihan marka molekuler, khususnya memiliki
kkemampuan em menyeleksi tanaman pada tahap pembibitan untuk sifat yang baru bisa ddiamati iam setelah tanaman tumbuh menjadi besar dan kemampuan menyeleksi sifat yyang ang sangat sulit bila menggunakan seleksi fenotipe saja yang membutuhkan waktu rrelatif elat panjang (Couch et al. 1991). Marka SSRs (Simple Sequence Repeats) atau biasa disebut mikrosatelit, telah m me en menjadi sistem marka yang sering digunakan pada tanaman jagung (Smith et al. 11997). 19 997 9 Simple Sequence Repeats (SSRs) terdiri dari susunan DNA dengan motif 1 6 pasang pa basa, berulang sebanyak lima kali atau lebih secara tandem (Vigouroux et aal l. 22002). SSR polimorfis telah digunakan secara ekstensif sebagai marka genetik al. ppada pa ada da studi genetik jagung seperti pada konstruksi pemetaan keterpautan gen dan pem pe pemetaan QTL (Romero-Severson 1998; Frova et al. 1999) atau analisis keragaman gene ge ne dan evolusi (Senior et al. 1998; Pejic et al. 1998; Lu dan Bernardo 2001; genetik M Ma at Matsuoka 2002). 16
Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved fflanking lank region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus ddiantara ian genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik P CR (Polymerase Chain Reaction) (Hamada et al. 1982; Powell et al. 1996). PCR K em Kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA ((Deoxyribo Deeo D Deo Nucleic Acid), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya m me en menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada sstudi tuudd dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu, teknik PCR pada SSR hanya m me en menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, ssekitar eki kit 100 - 300 bp (base-pair) dari genom. Selain itu, SSR dapat diaplikasikan ttanpa annpp merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam eek kst str ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau polen (Senior et aal l. 1996). 1 al. Marka SSRs juga bersifat multialelik dan mudah diulangi sehingga ppenggunaan eng marka SSRs lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di aan nta ta genotip-genotip yang berbeda (Senior et al. 1998). Keunggulan lain adalah antara sselain ellaai produk PCR dari SSR dapat dielektroforesis dengan gel agarose, juga dapat ddielektroforesis iele dengan menggunakan gel akrilamid terutama pada alel suatu karakter m em memiliki tingkat polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu ddigunakan igu (Macaulay et al. 2001). Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan ddalam ala studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam ggenom, ge eno no variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang kko odo kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka mi m ikr mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang ssa anng g tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotipe, evaluasi sangat kkemurnian ke em benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, ddan da an analisis diversitas genetik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit lebih banyak digunakan uun ntu karakterisasi dan pemetaan genetik pada tanaman, diantaranya pada tanaman ntu untuk jja agu gu padi, anggur, kedelai, jewawut, gandum, dan tomat (Gupta et al. 1996; Powel jagung, et aal. et l 1996). 17
K er Keragaman Genetik pada Jagung Dengan munculnya metode molekuler untuk menduga variasi genetik, bberbagai erb studi mengenai keragaman genetik dan hubungannya dengan galur-galur iinbrida nbr jagung, hibrida dan bersari bebas. Keragaman molekuler pada jagung telah dditeliti ite t l untuk berbagai kepentingan. Mum dan Dudley (1994) telah berhasil m me en mengidentifikasi kelompok heterotik utama dan subgrup dalam set yang terdiri atas 148 galur inbrida Amerika Serikat (A.S.), menggunakan 46 marka RFLP. 14 148 Berdasarkan analisis molekuler dengan menggunakan 83 marka SSR, Lu dan B Be ern Bernardo (2001) menyimpulkan bahwa keragaman genetik sejumlah galur inbrida A A. .S. S terbaru telah menurun pada level genetik tetapi tidak pada level populasi jika A.S. ddi iba ba dibandingkan dengan galur-galur penting yang telah lama digunakan. George et al. ((2004) 20000 menduga keragaman genetik untuk penyakit bulai terhadap 102 galur inbrida A As sia menggunakan 76 marka SSR dan menyimpulkan bahwa aktivitas pemuliaan Asia jjagung agguu di Asia tidak menyebabkan penurunan keragaman genetik dalam skala besar ppada ada daerah tertentu dimana aktivitas dilakukan. Ko K or Korelasi Marka DNA dengan Marka Fenotipik Penelitian mengenai hubungan antara marka-marka dan karakter-karakter yang bbernilai ern ekonomi, penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan marka molekuler ssebagai eba alat bantu dalam pemuliaan. Perhatian utama dalam pogram pemuliaan jjagung agu hibrida adalah mengidentifikasi galur-galur murni dimana dari hasil ppersilangannya ers akan diperoleh tingkat heterosis yang optimal (Lee et al. 1989). Es E sttiim Estimasi kedekatan genetik antara tanaman bermanfaat di dalam studi evolusi ppo opu populasi atau spesies dan dalam perencanaan persilangan untuk hibrida atau dalam ppengembangan pe eng kultivar homozigous (Cox et al. 1985). Hubungan genetik dapat bermanfaat sebagai alat peramal dalam penampilan kkombinasi ko om genotipe untuk program pemuliaan sehingga dapat mengurangi biaya dan wa w ak yang dibutuhkan dalam pengujian hibrida. Eksploitasi secara komersial dari waktu ffenomena fe eno n heterosis adalah salah satu kontribusi yang sangat penting dari ppemanfaatan pe em hubungan genetik dalam pemuliaan tanaman di abad ini (Barbosa-Neto et aal. et l 1996). 18
Estimasi jarak genetik sejumlah galur murni jagung yang dilakukan oleh Lee et aal. l. (1989) ( berdasarkan MRD (Modified Rogers’ Distance) menunjukkan bahwa hasil ((ton/ha) ton/ dan kemampuan daya gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nnyata yat dengan MRD pada enam dari 10 peta kromosom jagung. Oleh sebab itu, ggerombolisasi ero galur-galur jagung ke dalam kelompok heterosis sebelum pengujian di lla appaa lapangan akan memungkinkan bagi peneliti pemulia untuk mengurangi biaya karena dda apa p menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterosis. dapat Riday et al. (2003) membandingkan antara nilai jarak genetik dengan m mo or morfologi dan heterosis pada Medicago sativa sub sp. sativa dan subsp. Falcata, m me en menemukan bahwa jarak genetik berdasarkan AFLP tidak berkorelasi dengan hasil dda aya y gabung khusus (DGK) namun sebaliknya matriks jarak berdasarkan morfologi daya tterhadap errh hha 17 karakter agronomik dan karakter kualitatif mempunyai korelasi yang nny yat a dengan heterosis. nyata M Me et Metode Dialel Metode dialel merupakan cara analisis keturunan untuk daya gabung, baik daya gga abu umum maupun daya gabung khusus (Hallauer and Miranda 1981). Analisis gabung ddialel iale membantu para pemulia menentukan pola heterosis antar populasinya serta m em memilih bahan dan metode yang akan digunakan dalam program pemuliaannya. Persilangan dialel
yakni persilangan yang melibatkan sejumlah genotip
((varietas, vari galur atau klon) dalam semua kombinasi. Masing-masing genotip m em mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotip lain, bahkan dapat dditambah itam dengan persilangan sendiri genotip itu. Melalui persilangan dialel dapat ddi ikkee diketahui kombinasi mana yang cocok dipasangkan sehingga dapat menghasilkan ssuatu su uaattu varietas yang lebih baik. Menurut Griffing (1956), terdapat empat macam metode percobaan yang ddigunakan di igu gu untuk analisis dialel yakni: 11.. Metode 1: kombinasi lengkap p2 , terdiri dari tetuanya, F1, dan persilangan resiprokalnya 22.. Metode 2 : 1/2p (p + 1) kombinasi, terdiri dari tetuanya dan F1 33.. Metode 3 : p (p-1) kombinasi, terdiri dari F1 dan resiprokalnya
19
4. Metode 4: ½ p (p-1) kombinasi, terdiri dari F1 saja tanpa tetua dan resiprokalnya. Penggunaan salah satu metode dialel tergantung dari tujuan analisisnya atau dihubungkan dengan penyederhanaan analisisnya. dihu
Berdasarkan cara penentuan
tetua-tetua yang dipakai dalam persilangan, interpretasi hasil analisis dialel tetu te tua dibedakan ke dalam dua model, yaitu : dibbee di 1. Model I atau model tetap (fixed model), dengan menggunakan tetua-tetua tertentu yang merupakan genotip yang dimaksud (reference genotype). Estimasi yang diperoleh hanya berlaku untuk genotip yang dimasukkan dalam pengujian dan tidak berlaku untuk populasi lain. 2. Model II atau model acak, dengan menggunakan tetua-tetua yang merupakan contoh acak dari populasi tetua yang dimaksud (reference population). Estimasi yang diperoleh diinterpretasikan berkaitan dengan populasi tetua, dari mana genotip yang dievaluasi diambil secara acak (Griffing 1956). Dalam model I, tetua-tetua yang dipelajari atau diteliti adalah populasi, maka cukup cuku tepat untuk menganalisis galur-galur elit yang terpilih. Analisis model I digunakan untuk mengestimasi efek DGU dan DGK yang hasilnya berlaku hanya digu untuk untu tetua-tetua yang dievaluasi saja. Hasil akan berubah bila tetua-tetua tersebut dievaluasi bersama-sama dengan tetua lain yang berbeda. Sedangkan tujuan utama diev analisis model II adalah estimasi komponen varians populasi yang dimaksud anal (reference population) dan berkaitan dengan tipe aksi gen dalam populasi (Moentono (refe 1985). 1985 19 Daya Day Gabung (Combining Ability) Da Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan disi di disi sil superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan suppee su prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. pros pr Nilai Niila N la masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960). ketu ke tu 20
Daya gabung ada dua macam yakni daya gabung umum (general combining aability) bili dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung umum ((DGU) DG adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bbila ila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rrata-rata atakombinasi persilangan mendekati nilai rata-rata keseluruhan persilangan. Da D ay gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan Daya ttertentu. ert rte Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata kke essee keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik ((Poehlman Poe dan Sleeper 1990). Daya gabung umum merupakan simpangan dari nilai rata-rata seluruh ppersilangan, errss sehingga nilai daya gabung umum dapat positif atau negatif.
Dengan
dde em demikian jumlahnya sama dengan nol. Jadi nilai daya gabung umum merupakan aan ngk yang relatif terhadap nilai daya gabung umum yang lain. DGU yang besar angka me m en menunjukkan tetua/galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dde eng baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut dengan m me em mempunyai kemampuan bergabung yang lebih jelek daripada tetua yang lain. Nilai ppositif osi s atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana ccara ara menilainya. Daya gabung yang diperoleh dari suatu persilangan antar kedua tetua, dapat m em memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan tturunan urun yang berpotensi hasil tinggi. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi ttersebut erse memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang m me em mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gga abu khusus yang tinggi pula (Silitonga et al. 1993). gabung Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yya ang ng dievaluasi berindikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen yang aaditif ad diitti dan non aditif. Semua karakter dari suatu galur dapat diketahui efek DGU dan DG D GK DGK-nya, diantaranya karakter hasil, tinggi tanaman, berat biji, ketahanan terhadap hhama ha am penyakit dan lain-lain.
21
H ete Heterosis Pada umumnya apabila dua tanaman yang berlainan (unrelated or distantly rrelated ela individuals) disilangkan, maka turunannya sering memperlihatkan gejala hheterosis ete atau umumnya disebut vigor hibrida (Hybrid Vigour) (North 1979 dikutip B aih Baihaki 1989). Tanaman turunan pertamanya memperlihatkan pertumbuhan yang lle ebi bih subur dan terkadang lebih genjah daripada kedua tetuanya. Untuk persilangan lebih yya ang melebar, misalnya persilangan antar species tanaman atau antar genera, dapat yang m me en menghasilkan tanaman turunan pertamanya menunjukkan pertumbuhan yang lemah. D De en Dengan demikian terlihat bahwa terdapat variasi penampilan gejala heterosis dan ttergantung erg rga pada materi yang digunakan dalam persilangan. Fenomena heterosis telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jja agguu jagung dalam membentuk kultivar hibrida.
Keberhasilan jagung dalam
m me em memanfaatkan heterosis mendorong pemulia menggunakannya pada jenis tanaman llain aiinn seperti pada tanaman terung, tomat, mentimum, sorgum, dan lain-lain. (Dahlan eett aal. l 1998). Terdapat tiga konsep heterosis yang dapat menjelaskan gejala heterosis. Ko K on Konsep pertama adalah konsep yang berdasarkan hipotesis bahwa vigor hibrida m eru merupakan hasil terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (Favourable dominant ggenes) ene dalam satu genotip tanaman dan dikenal sebagai hipotesis dominan. Menurut Shull dan East (1908)
dikutip Sriani et al. 2007, Davenport
m eru merupakan orang pertama yang mengajukan hipotesis dominan dalam upaya m en menjelaskan secara genetik mengenai gejala heterosis. Konsep kedua didasarkan kkepada ke eppaa hipotesis bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas hheterozigositas he ete et te terhadap homozigositas, artinya bahwa individu yang penampilan ssuperior su upe adalah individu yang memiliki jumlah alil dalam keadaan heterosigos yang tterbanyak, te errb ba konsep ini dikenal sebagai hipotesis overdominan. Konsep ketiga didasarkan pada teori epistasis. Peranan aksi gen epistasis bberperan be erp rp terhadap wujudnya heterosis. Sumbangan tindakan gen interlokus terhadap ppembentukan pe em suatu sifat jelas diketahui, namun sangat rumit. Pengertian terhadap tti ind nda tindakan gen epistasis ini masih kurang jelas dan belum ada bukti yang cukup untuk m me en menunjukkan epistatsis adalah sumber heterosis yang utama (Sriani et al. 2007). 22