BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari
berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah, UU sumberdaya air dan peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1991. a. Kamus Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah : Suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tesebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut (Kamus Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah dalam Kodoatie dan Syarief, 2005). b. UU Sumberdaya Air : Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Sumberdaya Air dalam Kodoatie dan Syarief, 2005). c. Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1991 : Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan atau mengalir melalui sungai-sungai dan anak sungainya (Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 dalam Kodoatie dan Syarief, 2005)
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan laju aliran permukaan pada dasarnya dibagi menjadi dua hal, yaitu iklim yang meliputi tipe hujan, intensitas
5
hujan, lama hujan, distribusi hujan, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembapan, serta kondisi atau sifat daerah aliran sungai (DAS) yang meliputi kadar air tanah awal, ukuran, bentuk, elevasi, dan topografi DAS, vegetasi yang tumbuh diatasnya, serta geologi, dan tanah (Haridjaja et al., 1991). 2.2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Kegiatan tataguna lahan yang bersifat mengubah bentang lahan dalam suatu DAS seringkali dapat mempengaruhi hasil air (wateryield). Pada batas tertentu, kegiatan tersebut juga dapat mempengaruhi kondisi kualitas air. Pembalakan hutan, perubahan dari satu jenis vegetasi hutan menjadi jenis vegetasi hutan lainnya, perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal pertanian atau padang rumput adalah contoh-contoh kegiatan yang sering dijumpai di negara berkembang. Terjadinya perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut, dalam skala besar dan bersifat permanen, dapat mempengaruhi besar-kecilnya hasil air (Asdak, 2004). Lebih lanjut Asdak menyatakan bahwa faktor-faktor penting lainnya yang juga perlu dipertimbangkan dalam evaluasi pengaruh gangguan vegetasi penutup tanah terhadap aliran air adalah : (1) luas vegetasi penutup tanah yang terganggu, secara langsung berhubungan dengan proses perubahan intersepsi dan keadaan kelembapan tanah awal; (2) kapasitas kelembapan tanah serta kemungkinan adanya lapisan tanah kedap air; (3) mekanisme pembentukan aliran air, antara lain informasi mengenai : Apakah kapasitas infiltrasi menurun atau apakah sistem variabel wilayah sumber air larian (variable source area system) berubah?; (4) karakteristik sistem saluran air dan perubahannya sebagai akibat perubahan kecepatan air larian dan bentuk cekungan permukaan bumi (detention storage); (5) perubahan sistem saluran air dalam DAS yang dapat mempengaruhi waktu konsentrasi aliran air dan; (6) luas erosi permukaan dan tanah longsor dalam hubungannya dengan cekungan permukaan tanah dalam DAS atau pada sistem saluran air. Menurut Arsyad (2004), vegetasi mempengaruhi siklus hidrologi melalui pengaruhnya terhadap air hujan yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi, ke tanah dan batuan di bawahnya. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam (1) intersepsi air hujan, (2) mengurangi kecepatan aliran
6
permukaan dan kekuatan perusak hujan dan aliran permukaan, (3) pengaruh akar, bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh dipermukaan tanah, dan kegiatankegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur porositas tanah, dan (4) transpirasi yang mengakibatkan berkurangnya kandungan air tanah. 2.2.2. Iklim Pengaruh intensitas hujan terhadap jumlah dan laju aliran permukaan dapat dikatakan berbanding lurus. Artinya semakin besar atau tinggi intensitas hujan akan semakin besar pula aliran permukaan yang ditimbulkannya (Haridjaja et al.,1991). Sedangkan Asdak (2004) berpendapat bahwa pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Haridjaja et al. (1991) menambahkan bahwa semakin lama hujan turun, maka aliran permukaan semakin besar, walaupun masih tergantung pada intensitas dan jumlah. Lalu ketiga faktor tersebut (intensitas, jumlah dan lama hujan) dapat berlaku apabila curah hujan turun merata di seluruh wilayah DAS, namun kenyataannya hujan turun tidak merata disetiap tempat walaupun dalam wilayah yang tidak luas. Jadi debit sungai akan sangat besar apabila hujan lebih banyak terjadi di hilir suatu DAS atau Sub DAS. Sebaliknya hujan deras pada Hulu DAS hanya akan sedikit meningkatkan debit di titik pembuangannya (outlet) karena sebagian air hujan dapat terinfiltrasi.
2.3. Indikator Hidrologis Mengenai Perkembangan Kinerja DAS Menurut Asdak (2004), parameter hidrologis yang dapat dimanfaatkan untuk menelaah suatu DAS adalah data klimatologi (a.l., curah hujan, suhu dan evaporasi), debit sungai (peak and low flows), muatan sedimen air sungai (suspended load), potensi air tanah, koefisien regim sungai, koefisien Run Off, nisbah debit maksimum-minimum, dan frekuensi dan periode ulang banjir. Kondisi suatu DAS dianggap normal apabila : (1) koefisien aliran permukaan berfluktuasi secara normal (nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan dari tahun ke tahun cenderung kurang lebih sama besarnya); (2) angka koefisien regim sungai (nisbah Qmax/Qmin) juga normal (tidak terjadi
7
fluktuasi yang mencolok antara musim hujan dan musim kemarau dalam beberapa tahun pengamatan; (3) debit aliran kecil (low flows) menunjukkan kecenderungan meningkat; (4) tinggi permukaan air tanah tidak berfluktuasi secara mencolok. 2.4. Koefisien Aliran Permukaan Koefisien aliran permukaan yang diberi notasi C merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan terhadap jumlah curah hujan. Nilai C yang kecil menunjukkan kondisi DAS masih baik, sebaliknya C yang besar menunjukkan DAS-nya sudah rusak. Nilai terbesar C sama dengan 1 (Suripin, 2001). Menurut Asdak (2004) bahwa nilai koefisien aliran permukaan yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan. Hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar 2.5. Koefisien Regim Sungai Koefisien regim sungai (KRS) adalah bilangan yang merupakan perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata minimum. Makin kecil harga KRS berarti makin baik kondisi hidrologis suatu DAS (Suripin, 2001). Debit aliran sungai berubah menurut waktu yang dipengaruhi oleh terjadinya hujan. Pada musim hujan debit akan mencapai maksimum dan pada musim kemarau akan mencapai minimum. Rasio Qmax/Qmin menunjukkan keadaan DAS yang dilalui sungai tersebut. Semakin kecil Qmax/Qmin semakin baik keadaan vegetasi dan tataguna lahan suatu DAS, dan semakin besar rasio tersebut semakin buruk keadaan vegetasi dan penggunaan lahan DAS tersebut (Arsyad, 2004). 2.6. Proses Kejadian Aliran Permukaan Curah hujan yang
jatuh di atas permukaan tanah pada suatu wilayah
pertama akan masuk ke tanah sebagai air infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk vegetasi sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus selama kapasitas
8
lapang belum terpenuhi atau air tanah masih dibawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung, dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut sebagian akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian akan digunakan untuk mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan (overland flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat kecil. Setelah proses-proses hidrologi diatas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan atau over land flow akan terjadi. Selanjutnya aliran permukaan ini akan menuju saluran-saluran dan akhirnya akan menuju sungai sebelum mencapai danau atau laut ( Haridjaja et al., 1991).
Presipitasi (Hujan)
Gambar 2. Daur Hidrology (Siklus Air)
Presipitasi (Hujan)
9
2.7. Kriteria dan Indikator Kinerja DAS Berdasarkan SK Menhut nomor 52/Kpts-II/2001, kriteria dan indikator kinerja perkembangan DAS sebagai berikut : Tabel 1. Kriteria dan Indikator Kinerja Perkembangan DAS Kriteria Tata Air
Indikator 1. Debit Sungai
2. Laju Sedimentasi
Parameter a. KRS = Qmax/Qmin
KRS < 50 Baik KRS = 50-120 Sedang KRS > 120 Buruk
b. CV = (SD/Q rata-rata)x100 %
CV < 10 % Baik CV > 10 % Buruk
d. IPA (indeks Penggunaan Air) = Kebutuhan/Persediaan
Nilai IPA semakin kecil, semakin baik
Sy = Kadar Lumpur terangkut dalam air
Sy < 2 Baik Sy 2-5 Baik Sy > 5 Buruk
3. Total Dissolve Suspensi (TDS)
Penggunaan Lahan
Standar Evaluasi
TDS < 250 Baik TDS 250-400 Sedang TDS > 400 Buruk
4. koefisien Limpasan
Koef C = tebal Limpasan/Tebal Hujan
C < 0,25 Baik C 0,25-0,50 Sedang C > 0,50 Buruk
Erosi
Indeks Erosi = (Erosi Aktual/Erosi yang Ditoleransi
IE < 0,80 Baik IE 0,8-1 Sedang IE > 1 buruk
2.7. Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Pemerintah melalui Departemen kehutanan pada tahun 2004 telah mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di 29 daerah aliran sungai (DAS) yang dimulai pada tahun 2003 sampai 2007 (Irianto, 2003). Tujuan Gerhan tertulis dalam pedoman penyelenggaraan GNRHL No. 18/kep/MENKO/KESRA/X/2003 yaitu mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumber daya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat (Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, 2008). Menurut hasil penelitian Irianto (2003), berkaitan dengan lokasi prioritas, disarankan GNRHL dimulai dari areal prioritas yang
10
secara hidrologis didefinisikan sebagai wilayah yang pengaruhnya terhadap peningkatan kecepatan aliran permukaan paling tinggi, dengan daya serap rendah. Melalui citra satelit Landsat atau citra satelit yang lebih detail seperti image atau ikonos, lokasi prioritas tersebut dapat diidentifikasi dan dideliniasi sebagai wilayah dengan kerapatan jaringan hidrologis sungai paling tinggi/paling banyak anak sungainya. Lebih lanjut, Irianto (2003) menjelaskan luas GNRHL perlu diupayakan minimal 30 % dalam suatu agregat agar fungsi absorpsi dan pemadaman melalui intersepsi, infiltrasi, dan perkolasi dapat dioptimalkan. Peningkatan kualitas absorpsi dan pemadaman oleh “hutan” ini sangat penting dalam regulasi penyediaan air menurut ruang dan waktu sekaligus penanggulangan kekeringan dan banjir serta mengurangi bencana.
2.8. Hubungan Kualitas DAS dan Konservasi Tanah dan Air
Suatu DAS yang sedang mengalami penurunan kualitas, kenyataannya
tidaklah mutlak bahwa seluruh areal dalam DAS tersebut mengalami kerusakan. DAS terdiri dari beberapa sub-DAS yang masing-masing mengalami kerusakan yang berbeda-beda tingkatannya. Sub DAS tersebut bergabung dan masingmasing memberikan sumbangan kerusakan. Sumbangan kerusakan tersebut digambarkan oleh besarnya erosi dan fluktuasi debit sungai melalui anak-anak sungai, kemudian bersatu pada sungai. Apabila akan membuat suatu rencana rehabilitasi untuk suatu daerah aliran sungai, maka perlu terlebih dahulu diidentifikasi seluruh sub-DAS mana yang paling besar kontribusinya terhadap penurunan kualitas DAS tersebut. Identifikasi ini perlu dilakukan, agar pembangunan atau rehabilitasi dapat diarahkan pada sasaran-sasaran yang merupakan sumber kerusakan, dan dapat dipilih prioritas sub-DAS untuk ditetapkan, dari sub-DAS mana pekerjaan harus dimulai (Asdak,2004). Gangguan terhadap suatu ekosistem daerah aliran sungai bisa bermacammacam terutama berasal dari penghuni suatu DAS yaitu manusia. Apabila fungsi suatu DAS terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang, atau
11
sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian tersebut akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan, dan sebaliknya sangat minimumnya air pada musim kemarau. Hal ini, membuat fluktuasi debit sungai antara musim kemarau dan musim hujan berbeda tajam. Jadi jika fluktuasi debit sungai sangat tajam, berarti bahwa kualitas DAS tersebut adalah rendah (Suripin, 2001).