BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan Wilayah 2.1.1. Ilmu wilayah Ilmu wilayah merupakan ilmu yang relatif baru, yang muncul sebagai kritik terhadap ilmu ekonomi neoklasik. Kritik muncul sebab teori ekonomi dianggap menyederhanakan permasalahan hanya melihat dari sisi penawaran dan permintaan secara agregat, yang seolah mengabaikan aspek ruang. Secara spasial, permintaan dan penawaran tidak tersebar merata karena berdimensi ruang (Rustiadi et al., 2009). Atas dasar kritik tersebut, ilmu wilayah (regional science) dikembangkan sebagai ilmu pengetahuan terapan (applied science), dengan memasukkan dimensi ruang (lokasi) terhadap ilmu ekonomi. Dalam perkembangannya, sense ilmu ekonomi sangat menonjol dalam ilmu wilayah.
Dengan demikian, secara harfiah, ilmu
wilayah merupakan ilmu yang mempelajari aspek dan kaidah kewilayahan, dan mencari cara-cara yang efektif dalam mempertimbangkan aspek dan kaidah tersebut ke dalam perencanaan guna kesejahteraan manusia. merupakan
ilmu
yang
berbeda
dengan
Singkatnya, ilmu wilayah
penekanan
akan
pentingnya
mempertimbangkan dimensi kewilayahan (Rustiadi et al., 2009). Dari semula digolongkan sebagai cabang ilmu sosial, kemudian muncul kerangka berpikir sosial dan ekonomi yang memasukkan dimensi ruang dan waktu; kini ilmu wilayah menyangkut interaksi antar-komponen wilayah: geobiofisik, ekonomi, kelembagaan, dan politik dalam suatu ruang. Dengan demikian, ilmu wilayah bukan hanya menjawab pertanyaan: mengapa kondisi wilayah seperti saat ini; tetapi juga menjawab pertanyaan: bagaimana wilayah dibangun, yang memasuki aspek kebijakan (policy).
Akhirnya, perencanaan wilayah memiliki sifat: berorientasi
kewilayahan, futuristik, dan berorientasi publik (Rustiadi et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
22 2.1.2. Teori perencanaan Perencanaan mengacu pada proses untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Perencanaan terjadi pada banyak tingkatan. Setiap hari keputusan dibuat oleh
individu, keluarga, sampai pada keputusan yang
kompleks oleh para pebisnis dan pemerintah. Perencanaan yang baik memerlukan proses metodologis yang secara jelas mendefinisikan tahapan-tahapan untuk mencapai solusi yang optimal. Proses tersebut harus merefleksikan prinsip-prinsip: komprehensif, efisien, inklusif, informatif, terpadu, logis, dan transparan (Litman, 2011). Perencanaan berkelanjutan memerlukan analisis komprehensif yang menghitung semua dampak signifikan, termasuk di dalamnya mempertimbangkan jarak dalam ruang dan waktu. Keberlanjutan menekankan keterpaduan antara aktivitas manusia dengan alam dan dengan demikian memerlukan keseimbangan antara sasaran ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam hal ini, yang terpenting untuk dicapai adalah pengembangan (peningkatan kualitas) daripada hanya sekedar pertumbuhan (peningkatan kuantitas) dengan mempertimbangkan kelangkaan sumberdaya dan risiko ekologi seperti menipisnya minyak alam dan perubahan iklim (Litman, 2011). Isu-isu keberlanjutan dalam perencanaan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Isu keberlanjutan dalam perencanaan (sustainability planning) Ekonomi Sosial Lingkungan Efisiensi biaya Pemerataan Pencegahan polusi Pengembangan ekonomi lokal (PEL) Kesehatan manusia Perlindungan iklim Kesempatan kerja dan aktivitas ekonomi Pendidikan Keragaman hayati Produktivitas Kemasyarakatan Aksi-aksi pencegahan Efisiensi sumberdaya Kualitas hidup Pelestarian habitat Keterjangkauan (daya beli) Partisipasi publik Pelestarian ruang terbuka Efisiensi pemerintah Pelestarian budaya Estetika Sumber: Victoria Transport Policy Institute (2006 dalam Litman, 2011)
Davidoff dan Reiner (1978) dan Glasson (1990) mendefinisikan perencanaan sebagai proses untuk menentukan aksi masa depan yang tepat melalui urutan-urutan pilihan. Pengertian perencanaan ini diadopsi dalam dokumen peraturan tentang
Universitas Sumatera Utara
perencanaan di Indonesia.
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Perencanaan memiliki tiga kegunaan: (1) memastikan kegiatan agar rasional dan efisien, (2) membantu atau menggantikan mekanisme pasar, dan (3) mengubah atau memperluas pilihan. Sementara karakteristik perencanaan adalah (1) pencapaian tujuan, (2) mempelajari pilihan, (3) orientasi masa depan, (4) bersifat aksi, dan (5) komprehensif (Davidoff dan Reiner, 1978). Sebagai suatu proses yang berurutan, perencanaan dapat diwujudkan dalam sejumlah tahap yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) perumusan tujuan-tujuan umum dan sasaran-sasaran yang lebih khusus, (3) identifikasi kendala yang mungkin, (4) proyeksi keadaan di masa depan, (5) pencarian dan penilaian arah berbagai alternatif kegiatan, dan (6) penyusunan rencana terpilih yang definitif, termasuk perumusan kebijakan dan strategi (Glasson, 1990). Perencanaan mengandung dua unsur penting, yaitu hal yang ingin dicapai dan cara untuk mencapainya. Perencanaan memiliki dimensi ruang dan waktu, sehingga perlu kajian tentang fenomena masa lalu dan masa depan serta distribusi spasialnya. Hal mendasar dalam tujuan perencanaan adalah kepentingan pembangunan manusia secara berkelanjutan. Artinya, makna perencanaan juga terkait dengan kinerja sosial budaya masyarakat yang selaras dengan kelestarian lingkungan.
Hal ini
menunjukkan bahwa proses perencanaan harus mempertimbangkan modal sosial dan sumberdaya dalam pembangunan berkelanjutan (Rustiadi et al., 2009).
2.1.3. Konsep wilayah Konsep nomenklatur wilayah di Indonesia seperti wilayah, kawasan, daerah, regional, area, ruang dan istilah lainnya banyak digunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya.
Meski demikian, masing-masing istilah memiliki
Universitas Sumatera Utara
bobot penekanan pemahaman yang berbeda. Istilah wilayah, kawasan dan daerah secara umum dapat disebut wilayah atau region (Rustiadi et al., 2009). Di Indonesia, konsep yang berkaitan dengan wilayah mendapat penekanan yang agak berbeda.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, rauang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Sementara daerah dipahami sebagai kesatuan wilayah berdasarkan batas-batas administratif pemerintahan. Dalam konteks perencanaan, Isard (1975) lebih menekankan pengertian wilayah sebagai wilayah fungsional. Johnston (1976) merekomendasikan dua tipe wilayah: formal (memiliki kesamaan karakterisitik) dan fungsional/nodal (kesamaan keterkaitan antar-komponen).
Murty (2000) menyatakan bahwa wilayah dapat berwujud
negara, provinsi, kabupaten dan perdesaan; namun juga meliputi kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim, geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.
Blair (1991) cenderung menggunakan konsep wilayah fungsional,
dimana wilayah nodal hanya salah satu bagian dari wilayah fungsional (Rustiadi et al., 2009). Menurut Glasson (1977) dan Rustiadi et al. (2009), konsep wilayah dibagi menjadi: wilayah homogen,
wilayah sistem/fungsional (interdependensi antara
bagian-bagian), dan wilayah perencanaan (koherensi atau kesatuan keputusankeputusan ekonomi). Wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk wilayah sistem, sementara dalam konsep wilayah perencanaan terdapat wilayah administratifpolitis dan wilayah perencanaan fungsional. Richardson (1969) juga membagi tiga kategori wilayah: homogen, nodal, dan wilayah perencanaan.
Universitas Sumatera Utara
Konsep wilayah yang diperkenalkan Dusseldorp (1983) terdiri atas empat kategori: prinsip homogenitas, fungsionalitas, daerah aliran sungai, dan wilayah khusus (ad hoc region). Tarigan (2006) menyatakan bahwa perwilayahan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah tertentu. Perwilayahan didasarkan menurut: administrasi, kesamaan kondisi fisik, ruang lingkup pengaruh ekonomi, dan perencanaan atau program. Konsep wilayah homogen lebih menekankan aspek homogenitas dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan antarkelompok tanpa memperhatikan hubungan fungsional (interaksi) antar-wilayah atau antar-komponen.
Sumber-
sumber kesamaan dapat berupa kesamaan struktur produksi, konsumsi, pekerjaan, topografi, iklim, perilaku sosial, pandangan politik, tingkat pendapatan, dan lain-lain. Penyebab homogenitas terdiri atas penyebab alamiah (kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lain) dan penyebab artifisial (kemiskinan, suku bangsa, budaya, dan lain-lain) (Rustiadi et al., 2009). Wilayah homogen tergantung pada kriteria yang digunakan. Kriteria fisik berupa kesamaan topografi, curah hujan, dan lain-lain. Kriteria ekonomi berupa kesamaan sistem produksi atau berdasarkan tipe produk. Kriteria sosial berupa kesamaan yang berkaitan dengan bahasa, agama, budaya, dan kelompok etnis (Dusseldorp, 1983). Konsep wilayah fungsional menggunakan prinsip keterkaitan berupa suatu jejaring interkoneksi yang menciptakan wilayah dalam satu kesatuan.
Wilayah
fungsional sering disebut sebagai wilayah nodal, karena secara umum memiliki suatu pusat yang memiliki fungsi tertentu untuk suatu wilayah yang lebih luas (hinterland). Hubungan fungsional biasanya terlihat dalam bentuk arus, dengan kriteria sosial ekonomi seperti tenaga kerja, bahan baku, barang dan arus modal (Dusseldorp, 1983; Glasson, 1977; Rustiadi et al., 2009). Wilayah perencanaan merupakan kombinasi dari wilayah homogen dan fungsional.
Dengan demikian, ia tidak selalu berwujud wilayah administratif.
Berdasarkan sifat tertentu, baik alamiah maupun non-alamiah, suatu wilayah dapat
Universitas Sumatera Utara
direncanakan dalam satu kesatuan, misalnya adalah wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan perwilayahan komoditas (Rustiadi et al., 2009; Dusseldorp, 1983; Tarigan, 2006). Namun Keeble (1969) dan Klaassen (1965) sebagaimana dirujuk Glasson (1977) menggambarkan wilayah perencanaan sebagai wilayah yang cukup besar dimana dapat terjadi perubahan persebaran penduduk dan kesempatan kerja, dapat mengambil keputusan investasi skala ekonomi, mampu memasok tenaga kerja bagi industrinya sendiri, struktur ekonomi yang homogen, memiliki setidaknya satu titik pertumbuhan dan menggunakan satu pendekatan dan mempunyai kesadaran bersama terhadap masalah yang ada.
Penentuan wilayah perencanaan mungkin harus
mengandung unsur kompromi, dengan catatan, batas-batas wilayah homogen dan wilayah fungsional dapat ditentukan. Merujuk konsep Schmidt-Kallert (2005), sentra-sentra produksi kopi arabika di sembilan kecamatan
penghasil kopi arabika di Simalungun dapat juga dilihat
sebagai wilayah-mikro (micro-region), yaitu suatu unit ruang koheren yang berada di antara tingkat desa dan kabupaten.
Wilayah mikro umumnya lebih kecil dari
wilayah-wilayah perencanaan konvensional.
Wilayah mikro adalah suatu unit
teritorial yang berbeda dengan batas-batas yang jelas di bawah level wilayah, tetapi di atas level desa. Wilayah mikro dapat ditentukan antara lain berdasarkan: (1) hubungan fungsional seperti pasar dengan hinterland, dan (2) kesamaan basis sumberdaya.
Perencanaan wilayah mikro bertujuan untuk mengoordinasikan
aktivitas perencanaan dari semua aktor dalam suatu unit teritorial yang terbatas; yang berkaitan dengan: (1) ekonomi, sosial dan budaya; (2) infrastruktur; (3) perumahan dan pola pemukiman; (4) kelembagaan dan organisasi desa; serta (5) lingkungan.
2.1.4. Perencanaan wilayah Perencanaan wilayah menyangkut ke dalam dua aspek utama yaitu perencanaan ruang dan aktivitas di atas ruang tersebut. Yang berkaitan dengan ruang berkembang
Universitas Sumatera Utara
menjadi perencanaan tata ruang; dan yang bekenaan dengan aktivitas berhubungan dengan perencanaan pembangunan dalam aspek ekonomi, sosial, kelembagaan, dan ekologi
(Tarigan, 2006; Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).
Sejalan dengan ini,
Dusseldorp dan Staveren (1983) menyatakan bahwa perencanaan wilayah bersifat integratif dan komprehensif.
Integratif dalam arti hubungannya dengan jenis
perencanaan yang lain, seperti perencanaan nasional, sektoral, dan perencanaan desa. Komprehensif dalam arti mencakup aspek sosial, ekonomi, fisik, dan aspek teknis dari suatu obyek perencanaan. Glasson (1990) menyatakan bahwa perencanaan pada tingkat wilayah merupakan penghubung antara perencanaan tingkat nasional dan perencaaan tingkat lokal. Perencanaan wilayah berkaitan dengan kajian yang sistematis atas aspek fisik, sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk mengarahkan pemanfaatannya dengan cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan demikian, sasaran perencanaan wilayah adalah efisiensi dan produktivitas, pemerataan dan akseptabilitas masyarakat, serta keberlanjutan. Perencanaan wilayah merupakan penerapan metode ilmiah dalam pembuatan kebijakan publik dan upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan-tindakan dalam domain publik untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010; Sirojuzilam, 2010). Tujuan perencanaan wilayah adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai infrastruktur wilayah: fisik, sosial budaya, ekonomi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, dan teknologi perlu dipadukan melalui suatu perencanaan yang tepat agar pembangunan wilayah berjalan secara berkelanjutan. Perhatian terhadap konsep pembangunan berkelanjutan dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk. Satu setengah abad kemudian, Meadow dan kawan-kawan pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1972 menerbitkan buku yang berjudul The Limit to Growth. Buku ini menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya alam. Dengan ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas, penyediaan barang dan jasa yang berasal dari sumber daya alam tidak akan dapat dilakukan secara terusmenerus (Saptana dan Ashari, 2007). Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan mencuat kembali pada tahun 1987 saat World Commission on Environment and Development (WCED) atau dikenal sebagai Komisi Brundtland Future.
menerbitkan buku berjudul Our Common
Buku ini memicu lahirnya agenda baru pembangunan ekonomi dan
keterkaitannya dengan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Komisi
Brundtland
mendefinisikan
pembangunan
berkelanjutan
sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, masyarakat internasional secara luas mengesahkan konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan dalam laporan Komisi Brundtland tersebut. Dari penelusuran kepustakaan, hampir semua mengukuhkan setidaknya tiga aspek utama dalam pembangunan wilayah berkelanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Miraza (2005) menyatakan bahwa perencanaan wilayah merupakan gambaran perencanaan kecil dari sebuah perencanaan nasional. Tujuan akhirnya perencanaan wilayah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan tersebut. Unsur dimaksud seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, teknologi, dan budaya. Rustiadi et al. (2009) mengemukakan empat pilar pokok dalam kajian perencanaan wilayah: (1) inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya, (2) aspek ekonomi, (3) aspek kelembagaan, dan (4) aspek lokasi/spasial. Sementara Daryanto dan Hafizrianda (2010) menyatakan sumberdaya manusia, sumberdaya
Universitas Sumatera Utara
alam, sumberdaya pengetahuan, sumberdaya modal, dan infrastruktur wilayah sebagai faktor produksi wilayah untuk menciptakan keunggulan daya saing. Lebih lanjut, Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa perencanaan pengembangan wilayah mencakup tiga aspek. Pertama, aspek pemahaman, yakni berbagai ilmu pengetahuan dan teori untuk mamahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar-wilayah.
Kedua, aspek perencanaan, yakni proses
formulasi masalah, visi, misi, dan tujuan pembangunan, teknik desain dan pemetaan, sistem pengambilan keputusan, perencanaan teknis dan kelembagaan. Ketiga, aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, proses pelaksanaan, proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan. Dengan pemahaman tersebut, Rustiadi et al. (2009) mendeskripsikan indikator pembangunan wilayah berdasarkan tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya, dan proses pembangunan (Tabel 8).
2.2. Produksi dan Produktivitas Pertanian Fungsi produksi menggambarkan suatu hubungan antara input dan output atau menjelaskan transformasi input (sumberdaya) menjadi output (komoditas). Secara simbolik, fungsi produksi dapat ditulis sebagai: Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn), dimana Y adalah output, X1 ... Xn adalah input yang digunakan untuk menghasilkan Y (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi menggambarkan respon produksi pada semua tingkat dan kombinasi input dalam kaitannya dengan teori penawaran, dan memperhatikan variasi dalam masing-masing input. Fungsi produksi merupakan model ekonomi yang berfungsi membantu dalam pembuatan prediksi, rekomendasi kebijakan, dan proyeksi (Lewis, 1969). Fungsi produksi merupakan representasi matematis yang menunjukkan jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dari sejumlah input yang digunakan (Besanko, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8. Indikator pembangunan wilayah Basis
Kelompok
Indikator-indikator operasional
Tujuan pembangunan
1. Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan (growth)
a. Pendapatan wilayah (PDRB, PDRB per kapita, pertumbuhan PDRB) b. Kelayakan finansial/ekonomi (NVP, BCR, IRR, BEP) c. Spesialisasi, Keunggulan komparatif/kompetitif (Location Quotient, Shift-Share Analysis) d. Produktivitas produk unggulan a. Distribusi pendapatan (Gini ratio, struktural) b. Ketenagakerjaan/pengangguran (terbuka, terselubung, setengah) c. Kemiskinan (Good-service ratio, garis kemiskinan, % konsumsi makanan) d. Keseimbangan wilayah (spatial, central, capital, dan sector balance) a. Dimensi lingkungan b. Dimensi ekonomi c. Dimensi sosial a. Pengetahuan b. Keterampilan c. Kompetensi d. Etos kerja/sosial e. Pendapatan/produktivitas f. Kesehatan g. Indeks pembangunan manusia (IPM) a. Tekanan b. Dampak c. Degradasi a. Skalogram fasilitas pelayanan b. Aksesibiltas terhadap fasilitas a. Regulasi/aturan adat/budaya (norm) b. Organisasi sosial (network) c. Rasa percaya (trust) a. Input dasar (SDA, SDM, infrastruktur, SD Sosial) b. Input antara, transparansi, efisiensi manajemen, tingkat partisipasi masyarakat/stakeholders c. Total volume produksi
2. Pemerataan, keberimbangan, dan keadilan (equity)
3. Keberlanjutan (sustainability) Sumberdaya
1. Sumberdaya manusia
2. Sumberdaya alam
3. Sumberdaya buatan/ sarana dan prasarana 4. Sumberdaya sosial (social capital) Proses pembangunan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Input Proses/implementasi Output Outcome Benefit Impact
Sumber: Rustiadi et al. (2009)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), produksi pertanian merupakan barang, baik berupa tanaman maupun hewan atau yang lain, yang dihasilkan oleh suatu usahatani atau perusahaan pertanian; sementara produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu atau daya produksi (Pusat Bahasa, 2008). Produktivitas merupakan isu sentral penting dalam perekonomian sebab menjadi penentu utama kesejahteraan ekonomi. Analisis produktivitas pertanian mendapat tempat khusus dalam ekonomi pertanian karena: (1) ketergantungan sektor pertanian
Universitas Sumatera Utara
pada sumberdaya alam, (2) keterbatasan ketersediaan sumberdaya alam dalam mendukung produksi pertanian, dan (3) dalam jangka panjang produktivitas pertanian berimplikasi pada pengurangan kemiskinan di negara sedang berkembang dan
tantangan
lingkungan
global
seperti
perubahan
iklim
(Fuglie
dan
Schimmelpfennig, 2010). Produktivitas pertanian merupakan rasio antara output pertanian dan input pertanian. Produktivitas faktor total (PFT) didefinisikan sebagai rasio antara nilai output dengan nilai semua input yang digunakan. Namun PFT sulit diukur karena kendala menilai input-input utama ketika pasar tidak berfungsi dengan baik. Suatu pendekatan alternatif adalah produktivitas faktor parsial (PFP). PFP diukur dengan membagi output fisik (Q) dengan input faktor fisik (Xi), PFP = Q/Xi. Produktivitas dapat bervariasi sebagai akibat dari penerapan teknologi yang berbeda atau variasi dalam input-input yang tidak terukur, dalam suatu fungsi produksi sebagai berikut: Q = f (X1, X2, … Xn; t). Ukuran parsial yang dibangun secara hati-hati merupakan ukuran yang sah mengukur variasi output dan variasi input (Alston et al., 1994; Ramaila et al., 2011; Owuor, 1998). Dalam sektor pertanian, Diskin (1997) memperkenalkan delapan indikator kinerja produktivitas pertanian secara umum yaitu hasil panen per hektar, kesenjangan antara hasil aktual dan potensial, variabilitas hasil dengan berbagai kondisi, nilai produksi per rumah tangga, jumlah bulan ketersedian pangan rumah tangga, kehilangan hasil selama penyimpanan, luas lahan dengan perbaikan budidaya, dan jumlah fasilitas penyimpanan yang dibangun dan digunakan. Komisi Eropa (2001) merilis indikator efisiensi produksi yang antara lain adalah: produktivitas modal, produktivitas tenaga kerja, dan produktivitas lahan. Ruttan (2002) menyatakan bahwa rasio produktivitas parsial dapat berupa produktivitas lahan (output/ha), produktivitas tenaga kerja (output/tenaga kerja), dan rasio lahantenaga kerja (luas lahan pertanian/tenaga kerja). Sementara input umumnya terdiri dari lahan, tenaga kerja, ternak, modal, dan pupuk.
Universitas Sumatera Utara
Brambilla dan Porto (2006) mendefinisikan produktivitas sebagai hasil per hektar dalam unit fisik. Definisi ini berbeda dengan definisi standar yang digunakan dalam analisis industri, yang biasanya menggunakan ukuran nilai tambah pada harga konstan. Definisi produktivitas dalam unit fisik secara ekonomi lebih memiliki makna karena merefleksikan teknologi yang digunakan; sementara nilai tambah tergantung pada situasi pasar melalui harga. Odhiambo et al. (2004) menemukan bahwa tenaga kerja dan lahan merupakan faktor yang sangat penting sebagai penentu pertumbuhan dan produktivitas pertanian.
Faktor penting lainnya adalah kebijakan perdagangan, iklim, dan
pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian.
Handayani dan Dewi (2006)
mendefinisikan produktivitas tenaga kerja sebagai pendapatan dalam satu musim panen (merupakan output) dibagi dengan curahan jam kerja selama musim panen tersebut (merupakan input). Studi tentang perubahan produktivitas pertanian dalam ekonomi global pada negara produsen pertanian besar di negara sedang berkembang telah dilakukan di China, India, Indonesia, negara-negara eks Uni Soviet dan Eropa Timur. Negaranegara ini merupakan produsen pertanian besar yang memiliki konsekuensi besar bagi ekonomi pangan global. Selain itu, kebijakan dan kelembagaan yang dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan produktivitas yang lestari seperti sistem penelitian dan pengembangan (R&D system) dan pasar yang efisien belum mantap, dan karenanya prospek pertumbuhan ke depan menjadi kurang meyakinkan dibandingkan dengan negara-negara industri maju (Fuglie dan Schimmelpfennig, 2010). Merujuk Heimlich (2003), perubahan output pertanian (ΔO) merupakan hasil dari perubahan input pertanian (ΔI) dan pertumbuhan produktivitas (ΔY). Dalam formula sederhana dituliskan sebagai: ΔO = ΔI + ΔY. Output pertanian diukur dengan output yang dapat dipasarkan, input pertanian merupakan faktor-faktor produksi seperti intermediate input (pupuk, pestisida, benih/bibit, energi), tenaga kerja, dan modal.
Universitas Sumatera Utara
Sementara pertumbuhan produktivitas ditentukan oleh penelitian dan pengembangan pertanian (agriculture R&D), penyuluhan, pendidikan, infrastruktur, dan programprogram pemerintah. Hal yang menarik dari Heimlich (2003) adalah bahwa produktivitas diukur bukan hanya untuk memperoleh informasi tentang peran faktor penentu produktivitas tersebut secara terpisah, tetapi yang terpenting adalah memahami sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dalam memformulasi kebijakan yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Brambilla dan Porto (2006) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas usahatani. Beberapa faktor yang dikaji antara lain adalah: umur, gender, pendidikan, teknologi, akses kredit, penyuluhan pertanian, dan pemanfatan lahan. Penm
(2012)
menyatakan bahwa
pertumbuhan produktivitas pertanian
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu kondisi makroekonomi, input di tingkat usahatani, dan faktor eksternal. Ketiga faktor tersebut harus didukung oleh kondisi oprasional yang inovatif yang dapat dicapai melalui pendekatan kebijakan pemerintah. Kebijakan yang ditempuh pemerintah difokuskan pada pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan infrastruktur, investasi dalam penelitian dan pengembangan (investing in R&D), insentif harga, dan perbaikan fleksibilitas operasional (Gambar 1).
2.3. Aspek Sosial Ekonomi dan Ekologi dalam Produksi Kopi Berkelanjutan Pada dekade terakhir, konsumen kopi menaruh perhatian terhadap kondisi sosial ekonomi dan ekologi yang dihadapi oleh petani di negara-negara sedang berkembang untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang berorientasi pada standar tertentu (ITC, 2011). Aspek sosial ekonomi dan ekologi yang dikaitkan dengan perencanaan komoditas kopi telah banyak dikaji oleh berbagai pakar dan ditulis oleh berbagai lembaga (Tabel 9).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan Pertumbuhan Produktivitas Pertanian
Kondisi Makroekonomi
Faktor Eksternal
Input di Tingkat Usahatani
Kondisi Operasional yang Inovatif
Pendekatan Kebijakan: Pengembangan SDM, Pengembangan Infrastruktur, Investasi dalam Penelitian dan Pengembangan, Insentif Harga, Perbaikan Fleksibilitas Operasional
Gambar 1. Kerangka produktivitas pertanian
Tabel 9. Penggunaan istilah „ekologi‟ dan „lingkungan‟ dalam beberapa kajian empiris dan dokumen terpilih untuk produksi kopi berkelanjutan Penggunaan istilah „ekologi‟ Peneliti/Lembaga Parameter dan Judul Claro dan Claro 1. Keragaman (2003) habitat Discussing 2. Kualitas air dan ecological, udara economic and social 3. Manajemen dan sustainability of the konservasi Brazillian organic sumberdaya coffee growers
Zhen dan Routray (2003) Operational indicators for measuring agricultural sustainability in developing countries
1. Jumlah pupuk dan pestisida 2. Jumlah air irigasi 3. Kandungan nutrisi tanah 4. Kedalaman air tanah 5. Efisiensi penggunaan air 6. Kandungan nitrat
Penggunaan istilah „lingkungan‟ Peneliti/Lembaga Parameter dan Judul Giovanucci et al. 1. Pengelolaan energi (2008) 2. Praktek konservasi air “Seeking 3. Pencegahan erosi tanah sustainability: 4. Pengelolaan sumberdaya COSA preliminary dan keragaman hayati analysis of 5. Pengurangan polusi sustainability (aplikasi bahan kimia, initiatives pengendalian hama dan in the coffee penyakit terpadu) sector” 6. Daur ulang dan re-using 7. Carbon sequestration SAI (2009) 1. Keragaman hayati dan “Sustainable green konservasi ekosistem coffee principles 2. Konservasi tanah and practices table 3. Konservasi air – working 4. Penggunaan dan konservasi document” energi 5. Manajemen tanaman terpadu 6. Penggunaan dan penanganan input pertanian secara tepat 7. Manajemen limbah terpadu
Universitas Sumatera Utara
Tabel 9 (lanjutan) Penggunaan istilah „ekologi‟ Peneliti/Lembaga Parameter dan Judul van der Vossen Agronomically (2005) sustainability: A critical analysis of 1. Konservasi tanah the agronomic and 2. Pohon pelindung economic 3. Aplikasi pupuk sustainability of organik/anorganik organic coffee 4. Varietas tahan production hama 5. Integrated pest management (IPM) Perfecto dan 1. Sistem Vandermeer (2008) agroforestri kopi Spatial pattern and 2. Pohon pelindung ecological process 3. Interaksi in the coffee agromutualisme antarforestry system organisme
Penggunaan istilah „lingkungan‟ Peneliti/Lembaga Parameter dan Judul UNCTAD-IISD 1. Pohon pelindung (2003) 2. Input luar “Sustainability in 3. Keragaman hayati the coffee sector: 4. Carbon sequestration exploring 5. Penanganan limbah (dari opportunities for pengolahan basah) international 6. Biological oxygen demand cooperation” (BOD)
Bray et al. (2002) “Social dimensions of organic coffee production in Mexico: lessons for eco-labeling initiatives”
1. Mengurangi pupuk/pestisida 2. Konservasi tanah teras skala kecil 3. Memperkaya bahan organik tanah
Aspek sosial berkaitan dengan karakteristik sosial petani yang berkaitan dengan produksi kopi berkelanjutan, sementara aspek ekonomi umumnya terkait dengan faktor produksi dan biaya dalam produksi kopi berkelanjutan. Aspek ekologi yang terkait dengan produksi kopi berkelanjutan dapat saling dipertukarkan dengan istilah lingkungan, dimana secara umum istilah lingkungan dan istilah ekologi memiliki indikator yang hampir sama (Tabel 10). Kajian empiris penggunaan istilah ekologi dikemukakan oleh Subiyakto (2011), yang menganalisis aspek tumpangsari, perlakukan benih dengan insektisida, budidaya tanpa olah tanah, penggunaan mulsa, dan pengunaan pestisida nabati. Mustika (2005) melakukan kajian pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) berdasarkan pertimbangan kelayakan teknologi, ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Aspek yang dikaji terkait kelayakan ekologi adalah teknik budidaya
(varietas tahan atau toleran, pergiliran tanaman, tanaman perangkap, bahan organik), agen hayati (penggunaan jamur), dan pestisida (nabati dan kimia). Thamrin et al. (2007) menggunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan dalam menganalisis
Universitas Sumatera Utara
keberlanjutan wilayah perbatasan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Nurmalina (2008) menggunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, dan teknologi dalam menganalisis keberlanjutan sistem ketersediaan beras di beberapa wilayah di Indonesia. Tabel 10. Penggunaan istilah „ekologi‟ dalam beberapa kajian empiris mengenai pertanian berkelanjutan di Indonesia Pakar/peneliti Soemarwoto (2004)
Subiyakto (2011)
Mustika (2005)
Laba (2010)
Thamrin et al. (2007) Nurmalina (2008)
Aspek ekologi Ekologi = hubungan timbal balik (interaksi) antara mahluk hidup dan lingkungannya. Lingkungan (hidup) = ruang yang ditempati suatu mahluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup lainnyadi dalamnya. PHT berbasi ekologi: 1. Tumpangsari 2. Perlakukan benih dengan insektisida 3. Budidaya tanpa olah tanah 4. Penggunaan mulsa 5. Penggunaan pestisida nabati Pengendalian OPT berbasis ekologi 1. Teknik budidaya (varietas tahan atau toleran, pergiliran tanaman, tanaman perangkap/trap crop, bahan organik) 2. Agen hayati (antara lain penggunaan jamur) 3. Pestisida (nabati dan kimia) 4. Karantina Pengendalian OPT berbasis ekologi: 1. Penggunaan varietas resisten atau toleran 2. Kultur teknik 3. Agen hayati 4. Fisik mekanik 5. Pengendalian secara genetik Keberlanjutan wilayah: dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan Keberlanjutan sistem: dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, dan teknologi
Laba (2010) menggunakan istilah PHT berbasis ekologi dalam menganalisis penggunaan insektisida dalam pertanian berkelanjutan.
Metode pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT) meliputi penggunaan varietas resisten atau toleran, kultur teknis, agen hayati, pengendalian secara genetik, dan pestisida jika diperlukan. Situmorang et al. (2008) menggunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya,
kelembagaan
pembangunan.
dan
teknologi
dalam
menganalisis
keberlanjutan
Berdasarkan beberapa landasan empiris tersebut, penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
menggunakan istilah ekologi untuk variabel pohon pelindung, pupuk organik, pemangkasan tanaman kopi, konservasi lahan, dan pengendalian hama penggerek buah kopi (PBKo). Aspek sosial ekonomi dan ekologi menjadi pertimbangan utama dalam menyusun perencanaan pembangunan berkelanjutan berbasis sektor atau komoditi pertanian pada suatu wilayah. Konsep produksi kopi berkelanjutan diajukan oleh Giovannucci et al. (2008), SAI (2009), UNCTAD-IISD (2003), ICO (2009), van der Vossen (2005), Claro dan Claro (2003), Danse dan Wolters (2003), Zhen dan Routray (2003), dan FAO (1997). Dimensi sosial ekonomi dan ekologi dalam produksi kopi berkelanjutan disarikan pada Tabel 11. Giovannucci et al. (2008) dan UNCTAD-IISD (2003) melakukan kajian untuk menilai keberlanjutan komoditas kopi dengan mengadopsi aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Sustainable Agriculture Initiative (SAI, 2009) merilis praktek dan prinsip dasar produksi kopi berkelanjutan ke dalam empat bagian: sistem usahatani
berkelanjutan,
keberlanjutan ekonomi,
keberlanjutan
sosial,
dan
keberlanjutan lingkungan. International Coffee Organization (ICO), berdasarkan International Coffee Agreement 2007, mengidentifikasi tujuh strategi utama untuk mendorong perkembangan sosial dan ekonomi kopi berkelanjutan. Ketujuh strategi itu adalah: promosi ekonomi kopi berkelanjutan, peningkatan konsumsi dan pengembangan pasar, peningkatan kualitas, diversifikasi, perbaikan sistem pemasaran, penelitian dan pengembangan teknologi baru, dan rehabilitasi kapasitas produksi. Van der Vossen (2005) menyatakan keberlanjutan agronomis (ekologis) produksi kopi dilihat dari aspek best practices agronomy, perlindungan tanaman dan pengolahan pasca-panen. Indicator operasionalnya mencakup: konservasi tanah, pohon pelindung, aplikasi pupuk organik dan anorganik, verietas tahan hama, integrated pest management (IPM), dan penggunaan peralatan pengolah yang baru.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 11. Dimensi sosial ekonomi dan lingkungan (ekologi) dalam produksi kopi berkelanjutan Pakar/ institusi Giovannucci et al. (2008)
Dimensi keberlanjutan Ekonomi Lingkungan Sosial
SAI (2009)
Sistem Usahatani Ekonomi Sosial Lingkungan
UNCTAD -IISD (2003)
Ekonomi Lingkungan, Sosial
ICO (2009)
Sosial Ekonomi
van der Vossen (2005)
Agronomis (Ekologis)
Claro dan Claro (2003)
Ekologi Ekonomi Sosial
Deskripsi dimensi keberlanjutan Dimensi ekonomi: (1) pendapatan, (2) biaya produksi, biaya pengolahan, dan biaya pemasaran, (3) akses ke kredit, (4) manajemen usahatani, (5) kualitas output, (6) akses pasar, dan (7) keuntungan. Dimensi lingkungan: (1) pengelolaan energi (jumlah dan jenis energi yang digunakan), (2) pengelolaan air (praktek-praktek konservasi air), (3) pengelolaan sumberdaya lahan (pencegahan erosi), (4) pengelolaan sumberdaya dan keragaman hayati, (5) pengurangan polusi (aplikasi bahan kimia, pengendalian hama dan penyakit terpadu), (6) daur ulang dan re-using, dan (7) carbon sequestration (kualitas dan kerapatan vegetasi). Dimensi sosial: (1) kesehatan dan keselamatan, (2) jam kerja dan upah, (3) hak-hak dasar, (4) hubungan antar-masyarakat, dan (5) kepuasan dan persepsi petani. Sistem usahatani berkelanjutan ditopang oleh: (1) pengetahuan tentang wilayah usahatani, (2) bahan tanaman, (3) diversifikasi, (4) jasa pendukung, (5) sistem pengelolaan berkelanjutan, dan (6) sistem pencatatan berkelanjutan. Keberlanjutan ekonomi didukung oleh: (1) panen, perlakuan pascapanen, dan kualitas kopi, dan (2) manajemen dan kinerja ekonomi. Keberlanjutan sosial meliputi parameter: (1) kondisi tenaga kerja, (2) jam kerja, (3) upah, (4) tenaga kerja anakanak, (5) kesehatan dan keselamatan, (6) pendidikan dan pelatihan, (7) kebebasan berorganisasi, (8) aspek khusus tentang tenaga kerja harian dan pekerja musiman, dan (9) penguatan ekonomi lokal. Keberlanjutan lingkungan ditopang oleh: (1) keragaman hayati dan konservasi ekosistem, (2) konservasi tanah, (3) penggunaan, konservasi dan perlindungan air, (4) penggunaan dan konservasi energi, (5) manajemen tanaman terpadu, penggunaan dan penanganan input pertanian secara tepat, dan (6) manajemen limbah terpadu. Ekonomi: (1) produksi, (2) harga, (3) penerimaan rumah tangga, dan (4) akses kredit. Lingkungan: (1) pohon pelindung, (2) input luar, (3) keragaman hayati, (4) carbon sequestration, (5) limbah (dari pengolahan basah), dan (6) BOD. Sosial: (1) akses pendidikan, rumah, pangan, pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya, (2) demokrasi, (3) keterwakilan yang setara, (4) organisasi petani, (5) partisipasi, (6) tenaga kerja yang diupah, (7) tingkat upah, (8) kondisi kerja, dan (9) tenaga kerja anak-anak. Sosial-Ekonomi: (1) promosi ekonomi kopi berkelanjutan, (2) peningkatan konsumsi dan pengembangan pasar, (3) peningkatan kualitas, (4) diversifikasi, (5) perbaikan sistem pemasaran, (6) penelitian dan pengembangan teknologi baru, dan (7) rehabilitasi kapasitas produksi. Keberlanjutan agronomis (ekologis): (1) best practices agronomy, dan (2) perlindungan tanaman, yang mencakup: (i) konservasi tanah, (ii) pohon pelindung, (iii) aplikasi pupuk organik dan anorganik, (iv) verietas tahan hama, dan (v) integrated pest management (IPM). Dimensi ekologi (natural capital) terdiri atas tiga subdimensi: (1) keragaman habitat, (2) kualitas air dan udara, dan (3) manajemen dan konservasi sumberdaya dapat pulih dan tidak dapat pulih. Dimensi sosial (human capital): aspek sosial yang terkait dengan kualitas hidup seperti (i) keahlian, (ii) dedikasi, dan (iii) pengalaman. Dimensi ekonomi (man-made capital) terkait dengan (1) pendapatan, (2) standar hidup, (3) efisiensi faktor produksi, dan (4) harga.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 11 (lanjutan) Pakar/ institusi Danse dan Wolters (2003)
Dimensi keberlanjutan Lingkungan Manajemen Sosial
Zhen dan Routray (2003)
Ekonomi Sosial Ekologi
FAO (1997)
Produktivitas, profitabilitas, stabilitas, diversitas, fleksibilitas, dispersi waktu, keberlanjutan, komplementaritas dan kesesuaian lingkungan
Deskripsi dimensi keberlanjutan Lingkungan: (1) penggunaan energi, (2) limbah cair, (3) limbah organik, (4) penggunaan pupuk, (5) penggunaan pestisida/ herbisida, (6) pohon pelindung, dan (7) pengelolaan limbah padat di usahatani. Manajemen: (1) kepatuhan pada regulasi lingkungan, (2) program masyarakat mengenai perlindungan lingkungan, (3) investasi pelestarian lingkungan, dan (4) pelatihan lingkungan. Sosial: (1) partisipasi petani dalam koperasi, (2) manfaat ekonomi (harga dan upah yang adil), (3) akses pelayanan publik (kredit, penyuluhan), (4) tenaga kerja, dan (5) kesehatan dan keselamatan kerja. Ekonomi: (1) produktivitas tanaman, (2) pendapatan bersih usahatani, (3) rasio manfaat-biaya, dan (4) produksi bahan pangan per kapita. Sosial: (1) swasembada pangan, (2) pemerataan pendapatan dan distribusi bahan pangan, (3) akses ke sumberdaya, dan (4) pengetahuan petani dan kesadaran konservasi sumberdaya. Ekologi: (1) jumlah pupuk dan pestisida, (2) jumlah air irigasi, (3) kandungan nutrisi tanah, (4) kedalaman air tanah, (5) efisiensi penggunaan air, dan (5) kandungan nitrat air tanah dan tanaman. Kriteria ini relevan untuk merencanakan dan mengevaluasi sektor pertanian, baik pada level rumah tangga petani maupun level sosial yang lebih luas. Ukuran yang digunakan: (1) produktivitas ( hasil per unit lahan atau nilai output dibagi biaya per unit), (2) profitabilitas (manfaat bersih dalam ukuran finansial), (3) stabilitas (koefisien variasi), (4) diversitas (indeks diversitas Simpson), (5) fleksibilitas (tingkat pemanfaatan produk), (6) dispersi waktu (indeks dispersi waktu relatif), (7) keberlanjutan (dari faktor fisik, biologi, ekonomi, dan sosial), dan (7) komplementaritas dan kesesuaian lingkungan (ukuran ordinal --tinggi, rendah, netral atau negatif-- kegiatan atau sistem relatif terhadap faktor fisik, biologi, sosial-ekonomi, budaya yang digunakan.
Claro dan Claro (2003) melakukan kajian keberlanjutan atas tiga dimensi: ekonomi, ekologi dan sosial.
Keberlanjutan dalam pertanian dipicu oleh
profitabilitas usahatani, perlindungan lingkungan, dan kualitas hidup keluarga petani dan masyarakat pedesaan. Zhen dan Routray (2003) mengusulkan indikator operasional untuk mengukur pertanian berkelanjutan secara umum di negara-negara sedang berkembang. Keberlanjutan ekonomi diukur melalui indikator produktivitas tanaman, pendapatan bersih usahatani, rasio manfaat-biaya, dan produksi bahan pangan per kapita. Keberlajutan sosial diukur melalui indikator swassembada pangan, pemerataan pendapatan dan distribusi bahan pangan, akses ke sumberdaya, serta pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
petani dan kesadaran konservasi sumberdaya.
Sementara keberlanjutan ekologi
diukur melalui indikator jumlah pupuk dan pestisida, jumlah air irigasi, kandungan nutrisi tanah, kedalaman air tanah, efisiensi penggunaan air, dan kandungan nitrat. Namun Zhen dan Routray (2003) mencatat bahwa indikator-indikator tersebut tidak dapat digunakan dengan mudah untuk semua wilayah dan waktu. Oleh karena itu, sangat penting mengevaluasi keberlanjutan praktik usahatani spesifik dengan mengembangkan indikator spesifik wilayah dalam kerangka waktu yang spesifik pula. FAO (1997) merilis kriteria yang relevan untuk merencanakan dan mengevaluasi sektor pertanian, baik pada level rumah tangga petani maupun level sosial yang lebih luas.
Kriteria tersebut adalah produktivitas, profitabilitas, stabilitas, diversitas,
fleksibilitas, dispersi waktu, keberlanjutan, serta keseimbangan dan kesesuaian lingkungan.
2.4. Landasan Penelitian Terdahulu Komoditas kopi merupakan produk yang strategis dalam perdagangan internasional, sehingga berbagai penelitian terkait produksi kopi telah dilakukan di beberapa negara, diantaranya oleh Doutriaux et al. (2008), Wollni dan Brümmer (2009), Poudel et al. (2010), Poudel et al. (2011), Nchare (2007), Bote dan Struik (2011), Mauro (2010), Mutsotso dan Chirchir (2005), Safa (2005), Suwarno et al. (2005), Tatlidil et al. (2009), dan Saliu et al. (2010). Ringkasan kajian empiris yang gayut dengan kajian sosial, ekonomi dan ekologi terhadap produksi kopi dideskripsikan pada Tabel 12. Penelitian tentang faktor penentu produksi kopi arabika di tingkat usahatani dari aspek sosial ekonomi, dan lingkungan di Indonesia masih sangat terbatas. Hasil penelitian tentang komoditas kopi yang telah dipublikasi (Kementerian Pertanian RI, 2010), menunjukkan sebagian besar menelaah aspek agronomi, ekonomi, ekologi, dan pascapanen secara terpisah; dan sejauh penelusuran penulis belum ditemukan
Universitas Sumatera Utara
kajian mengenai pengaruh faktor ekonomi, sosial, dan ekologi secara terintegrasi dalam kesatuan analisis. Tabel 12. Hasil penelitian yang gayut tentang faktor sosial ekonomi dan ekologi yang memengaruhi produksi kopi Tipe data/ sampel Survai 209 petani
Negara
Penulis
Vietnam
Doutriaux et al. (2008)
Costa Rica
Wollni dan Brümmer (2009)
Survai 216 petani
Nepal
Poudel et al. (2010)
Survai 280 petani
Nepal
Poudel et al. (2011)
Survai 240 petani
Kamerun
Nchare (2007)
Survai 140 petani
Ethiopia
Bote dan Struik (2011)
Survai
Variabel
Metode
Temuan penelitian
[D]: Pendapatan petani kopi [I]: etnis, pendidikan, tenaga kerja keluarga, tenaga kerja diupah, insentif, dan luas lahan [D]: Produksi buah kopi;[I]: Luas lahan, jumlah jam kerja, intermediate input, umur tanaman, alatalat bermesin, pemangkasan, varietas, tenaga kerja diupah. [D]: Produksi kopi [I]: Ukuran usahatani,jumlah tenaga kerja, pupuk organik, dan modal [D]: efisiensi teknis (produksi) [I]: ukuran rumah tangga, pendidikan, jenis kelamin, pelatihan/penyuluhan, umur petani, pengalaman, akses kredit [D]: efisiensi produksi kopi; [I]: umur, pendidikan, pengalaman, ukuran keluarga, kontak dengan penyuluh, akses kredit, varietas, sistem usahatani Variabel lingkungan, fotosintesis, variabel tanaman, dan kualitas dan produksi
Model Regresi Linier Ganda, Uji beda Rerata
Variabel tenaga kerja diupah dan luas lahan berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Hasil uji beda rerata: Produktivitas*, Pendapatan*, Jumlah tenaga kerja*, dan Luas lahan* (* = signifikan pada =5%) Luas lahan, intermediate input, jumlah jam kerja, penggunaan alat-alat bermesin, dan pemangkasan tahun sebelumnya, berpengaruh nyata terhadap produksi buah kopi.
Fungsi Produksi Translog
Fungsi produksi CobbDouglass Model Regresi Tobit dan Uji beda Rerata
Fungsi Produksi Translog
Uji beda rerata shaded vs sun-coffee
Ukuran usahatani, jumlah tenaga kerja, pupuk organik, dan modal, berpengaruh nyata terhadap produksi kopi. Kecuali umur petani, tidak ada variabel yang berpengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis. Hasil uji beda rerata: Produktivitas*, Pendapatan*, Biaya pupuk*, Luas lahan*, Biaya pengendalian hama dan penyakit* (* = signifikan pada =5%) Tingkat pendidikan dan akses kredit merupakan faktor sosial ekonomi utama yang menentukan efisiensi produksi. Pada gilirannya, perbaikan efisiensi teknis produksi akan meningkatkan produktivitas kopi arabika. Sebagian besar variabel lingkungan*, sebagian besar variabel fotosintesis*, sebagian besar variabel tanaman*, semua variabel kualitas dan produksins (* = signifikan pada =5%, ns = tidak signifikan)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 12 (lanjutan) Negara
Penulis
PNG
Mauro (2010)
Tipe data/ sampel Survai 150 petani
Yaman
Safa (2005)
Survai 150 petani
Kenya
Mutsotso dan Chirchir (2005)
Turki
Indonesia
Variabel
Metode
Temuan penelitian
[D]: investasi usahatani kopi; [I]: Luas lahan, share lahan, likuiditas, biaya transaksi, tenaga kerja keluarga, budaya lokal, penyuluhan, pendidikan [D]: Pendapatan petani kopi (sistem agroforestry) [I]: umur, pendidikan, luas lahan, kepemilikan ternak, ukuran rumah tangga, menaman kopi.
Model Regresi Logit
Luas lahan, likuiditas, biaya transaksi, tenaga kerja keluarga menjadi faktor signifikan dalam menentukan investasi usahatani kopi.
Model Regresi Linier Ganda
Survai 74 petani
Peran perempuan dan pembuatan keputusan pada usahatani kopi
Deskriptif
Tathdil et al. (2009)
Survai 208 petani
Model Regresi Linier Ganda
Suwarno et al. (2005)
Survai 41 petani
[D]: indeks persepsi pertanian berkelanjutan; [I]: sistem usahatani, umur, pendidikan, pendapatan, ukuran usahatani, kepemilikan lahan, investasi usahatani, penggunaan kredit, keanggotaan koperasi, dan perilaku mencari informasi. [D]: produksi kopi [I]: luas lahan, populasi tanaman, varietas, umur tanaman, pemupukan, pengendalian gulma
Pendidikan, luas lahan, kepemilikan ternak, ukuran rumah tangga, dan menanam kopi, berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Rekomendasi: dukungan teknis dan finan-sial dari pemerintah, pengembangan infrastruktur dan GAPs, konservasi tanah. Tenaga kerja diupah diperlukan saat panen kopi. Perempuan menyumbang 80% tenaga kerja dan 60% pendapatan usahatani. Meskipun perannya besar, perempuan masih mengalami kendala dalam mengakses dan mengendalikan sumberdaya produksi terutama lahan, kredit dan teknologi pertanian modern. Kepemilikan lahan, sistem usahatani, pendidikan, investasi usahatani, dan kontak dengan penyuluh merupakan variabel sosial ekonomi yang paling signifikan mempengaruhi persepsi petani akan pentingnya praktik pertanian berkelanjutan.
Model Regresi Linier Ganda
Luas lahan dan populasi tanaman berpengaruh signifikan terhadap produksi; sementara varietas, umur tanaman, pemupukan, pengendalian gulma, tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 12 (lanjutan) Negara
Penulis
Indonesia/ Papua
Ongge et al. (2002)
Tipe data/ sampel Survai, 80 petani
Indonesia/ Sulawesi Selatan
Kadir dan Kanro (2007)
Tanaman kopi arabika
Indonesia
Winoto dan Siregar (2008)
Data sekunder
Variabel
Metode
Temuan penelitian
[D]: Pendapatan petani kopi [I]: Luas tanam, pengalaman kerja, jumlah tanggungan, curahan kerja wanita, pelatihan, pola pengambilan keputusan Jumlah cabang produktif, jumlah dompolan per cabang produktif, jumlah buah per dompolan, dan estimasi produksi Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, usahatani tidak berkelanjutan, kebijakan pertanian dan pembangunan perdesaan
Model Regresi Berganda
Luas tanam, jumlah tanggungan, pelatihan, pengalaman dan curahan kerja wanita berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani. Pola pengambilan keputusan didominasi oleh suami, mencari nafkah didominasi oleh istri. Pemberian pupuk organik berpengaruh terhadap perbaikan komponen pertumbuhan, komponen produksi kopi, dan estimasi produksi.
Rancangan Acak Kelompok
Analisis Data Sekunder
Kebijakan pertanian dan pedesaan komprehensif untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Efektifitas kebijakan tergantung pada keterpaduan terobosan program untuk meningkatkan produktivitas, pengembangan infrastruktur dan sosial ekonomi kelembagaan pedesaan. Nepal Tiwari Petani Review kebijakan Policy Peningkatan produktivitas (2010) kopi, pertanian, review, dan pertambahan luas areal pengolah, Implikasi dan Impact tidak seperti yang diharappelaku dampak kebijakan studies kan karena berbagai kendapasar pertanian la: kurangnya motivasi petani, kurangnya dukungan teknis bagi petani kopi, kondisi lahan marginal, tidak mengadopsi praktek pertanian yang baik. Tanza- Mahdi Data Pertumbuhan Analisis Program di sektor kopi nia (2010) sekunder pertanian, data bertujuan untuk merangsang kemiskinan sekunder pertumbuhan pertanian dan mengurangi kemiskinan. Namun sejumlah inisiatif untuk meningkatkan akses ke input, memperbaiki riset, dan infrastruktur di sektor kopi tidak mampu mengatasi trend negatif produksi dan kualitas. Penyebabnya adalah karena lemahnya kelembagaan dan kebijakan yang rumit dan berjenjang. Keterangan: [D] = variabel terikat (dependent), [I] = variabel bebas (independent)
Universitas Sumatera Utara
Sistem produksi kopi yang berkelanjutan umumnya memiliki tiga dimensi yang saling berkaitan satu sama lain: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Pada tingkat kabupaten untuk jangka pendek (1-5 tahun), urutan prioritas ketiga dimensi di atas berturut-turut adalah: keberlanjutan ekonomi, sosial, dan ekologi.
Namun dalam jangka panjang (10-20 tahun), ketiga dimensi tersebut
memiliki prioritas yang sama pentingnya (Zhen dan Routray, 2003). Pentingnya kajian produktivitas didasari pada pemikiran Fuglie (1999) yang menyatakan bahwa investasi dalam penelitian pertanian merupakan kunci bagi peningkatan produktivitas pertanian.
Lyngbæk et al. (2001) merekomendasikan
pentingnya penelitian tentang produksi kopi di antara berbagai sistem pengelolaan usahatani.
Sementara Naidu (2001) menyatakan pengurangan biaya produksi,
keberlanjutan dan perbaikan kualitas merupakan prioritas utama dalam penelitian kopi.
2.5. Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) Pengembangan ekonomi lokal (PEL) mengacu pada proses dimana pemerintah lokal atau organisasi berbasis masyarakat berusaha menggerakkan dan memelihara aktivitas bisnis dan/atau kesempatan kerja. Tujuan utama PEL adalah merangsang kesempatan kerja lokal pada sektor tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan menggunakan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. PEL berorientasi proses, yaitu pengembangan institusi yang baru, industri alternatif, memperbaiki kapasitas tenaga kerja, identifikasi pasar baru, transfer pengetahuan (knowledge), dan memelihara perusahaan dan usaha yang baru (Blakely, 1994). Tidak ada teori atau seperangkat teori yang cukup menjelaskan PEL atau pengembangan ekonomi wilayah (PEW). Namun ada beberapa teori yang dapat membantu untuk memahami alasan rasional PEL. Gabungan teori-teori dimaksud dinyatakan dalam persamaan berikut (Blakely, 1994):
Universitas Sumatera Utara
PEL/PEW = f (sumberdaya alam, tenaga kerja, modal investasi, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, skala, pasar ekspor, kondisi ekonomi internasional, kapasitas pemerintah lokal, pengeluaran wilayah dan negara, faktor pendukung pembangunan)
Semua faktor di atas mungkin penting dalam PEL, namun para praktisi pembangunan ekonomi tidak pernah yakin faktor mana yang memiliki bobot terbesar dalam suatu kondisi tertentu. PEL dapat dikaji berdasarkan beberapa teori, diantaranya: teori ekonomi neoklasik, teori basis ekonomi, teori lokasi, teori tempat pusat, teori kausasi kumulatif, dan model atraksi. Namun teori-teori pengembangan ekonomi ini tidak cukup menjadi “template” bagi aktivitas PEL, sehingga perlu dilakukan sintesis dan reformulasi alternatif pendekatan PEL seperti pada Tabel 13 (Blakely, 1994). Tabel 13. Pendekatan baru teori pengembangan ekonomi lokal (PEL) Komponen Kesempatan kerja
Konsep lama Lebih banyak perusahaan = lebih banyak pekerjaan
Basis pembangunan
Membangun sektor-sektor ekonomi Keunggulan komparatif berbasis aset fisik Ketersediaan tenaga kerja
Aset lokasi Sumberdaya pengetahuan
Konsep baru Perusahaaan mengembangkan kualitas pekerjaan yang sesuai dengan penduduk lokal Membangun institusi ekonomi yang baru Keunggulan bersaing berbasis kualitas lingkungan Pengetahuan sebagai penggerak ekonomi
Sumber: Blakely (1994)
Kebijakan pembangunan wilayah berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat lokal.
PEL menjadi alternatif akibat
kelemahan top-down policy dan bottom-up policy. Kebijakan pembangunan dari atas dapat menyebabkan disparitas antar-wilayah akibat eksploitasi sumberdaya lokal oleh wilayah yang lebih besar (Gambar 2).
Kebijakan dari bawah seringkali
memiliki muatan yang baik tetapi lemah dalam implementasi sehingga tidak membumi atau bersifat utopia (Adji, 2011; Iqbal dan Anugerah, 2009; Supriyadi, 2007). Dari beberapa definisi PEL dan penyesuaian terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di Indonesia, Adji (2011) mendefinisikan PEL sebagai usaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia
Universitas Sumatera Utara
usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah. Bartik (2003) mendefinisikan PEL sebagai peningkatan dalam kapasitas ekonomi lokal untuk menciptakan kesejahteraan bagi penduduk lokal. Peningkatan dimaksud terjadi apabila sumberdaya lokal, Kebijakan dari atas
seperti
tenaga
kerja
dan
lahan, eksploitasi
dimanfaatkan dengan lebih produktif. Pembangunan ekonomi juga terjadi dengan
peningkatan
Kebijakan PEL
alternatif
produktivitas utopia
tenaga kerja dan lahan.
Kebijakan dari bawah
PEL adalah aktivitas lokal yang merupakan
proses
pembangunan
partisipatif di wilayah administratif lokal
melalui
Pembangunan wilayah
kemitraan
Gambar 2. Kebijakan pembangunan wilayah dengan pendekatan PEL
para
pemangku kepentingan publik dan swasta.
Pendekatan PEL menggunakan
sumberdaya lokal dan keunggulan kompetitif untuk menciptakan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (ILO, 2010). Aktivitas PEL berkaitan dengan masyarakat lokal bekerja bersama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang memberikan manfaat ekonomi dan perbaikan kualitas hidup bagi semua orang. Tujuan PEL adalah menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja (Bank Dunia, 2011). James et al. (2002) melakukan kajian tentang dampak PEL terhadap pertumbuhan kesempatan kerja. Weisbrod et al. (2004) antara lain menggunakan variabel kesempatan kerja dan pendapatan sebagai indikator untuk mengevaluasi strategi PEL. Adji (2011) memperkenalkan fokus PEL dalam peningkatan kandungan lokal dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal dan partisipatif, pendekatan bisnis bukan pendekatan karikatif, optimalisasi kegiatan ekonomi berdasarkan potensi
Universitas Sumatera Utara
wilayah, pewilayahan komoditas, tata ruang, atau regionalisasi ekonomi. Sementara Birkhölzer (2005) menawarkan sejumlah prinsip PEL yaitu: kepentingan bersama, pendekatan holistik terintegrasi, prioritas kebutuhan yang belum terpenuhi, modal sosial, dan pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Kecenderungan perkembangan global mengharuskan pemikiran ulang strategi perencanaan pembangunan. Kebijakan pembangunan tradisional yang dilakukan selama ini perlu mengalami perubahan menjadi kebijakan PEL (Tabel 14). Perbedaan yang utama di antara keduanya dinyatakan oleh Rogerson (2009). Rodriguez-Pose (2001) sebagaimana dirujuk Rogerson (2009) mengidentifikasi sejumlah keunggulan strategi PEL jika dibandingkan dengan program pembangunan tradisional. Keunggulan dimaksud dapat dirinci ke dalam keunggulan sosial dan ekonomi. Tabel 14. Perbedaan utama antara kebijakan pembangunan tradisional dan PEL Kebijakan pembangunan tradisional Pendekatan top-down dimana keputusan tentang wilayah mana yang akan diintervensi tergantung pada kebutuhan pusat Dikelola oleh administrasi pusat
Pembangunan dengan pendekatan sektoral Pembangunan proyek industri besar untuk merangsang aktivitas ekonomi lain Dukungan finansial, insentif dan subsidi sebagai faktor utama untuk menggerakkan aktivitas ekonomi
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) Menggerakkan pembangunan di semua wilayah dengan inisiatif yang seringkali muncul dari bawah Desentralisasi, kerjasama vertikal antara berbagai tingkat pemerintahan dan kerjasama horizontal antara badan-badan publik dan swasta Pembangunan dengan pendekatan wilayah (lokalitas, „milieu‟) Memaksimumkan potensi wilayah untuk merangsang sistem ekonomi lokal yang progresif untuk memperbaiki lingkungan ekonomi Provisi sebagai syarat utama untuk pengembangan aktivitas ekonomi
Keunggulan sosial meliputi: (1) strategi PEL memberdayakan masyarakat lokal dan mendorong adanya dialog lokal, dan (2) strategi PEL membantu menciptakan institusi lokal yang lebih transparan dan akuntabel yang berkontribusi pada pengembangan masyarakat sipil lokal. Sementara dari sisi ekonomi, keunggulan pendekatan PEL merupakan yang paling nyata: (1) karena strategi PEL melekatkan aktivitas ekonomi di suatu wilayah dan membuat aktivitas ekonomi tergantung pada
Universitas Sumatera Utara
keunggulan komparatif dan kondisi ekonomi spesifik wilayah, maka akan tercipta kesempatan kerja yang berkelanjutan dan lebih mampu bertahan dalam perubahan lingkungan ekonomi global, (2) sebagai akibat dari pelibatan para pemangku kepentingan lokal dan mengakar pada aktivitas ekonomi wilayah, strategi PEL juga berkontribusi untuk perbaikan kualitas pekerjaan. PEL mengutamakan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dalam alur berpikir seperti ini, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan di tingkat lokal dan penduduk lokal memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut (Chmura dan Orozobekov, 2009). Peran pemerintah lokal dalam PEL adalah menciptakan kondisi yang baik bagi berkembangnya wirausahawan dan meningkatnya pembangunan lokal.
Peran
pemerintah lokal bukan membentuk perusahaan baru, tetapi meningkatkan kualitas pelayanan publik. Peran pemerintah lokal adalah menciptakan kondisi bagi bisnis lokal untuk bertahan bahkan memperluas aktivitas mereka serta menarik investor dari luar wilayah. Dengan demikian, untuk menggerakkan PEL perlu dilakukan lima tahapan:
(1) pengorganisasian, (2) evaluasi strategi sebelumnya, (3) menyusun
renca-na strategik untuk pembangunan ekonomi lokal, (4) menciptakan sistem PEL dan mengimplemen-tasikan rencana strategik, dan (5) monitoring dan evaluasi. Meskipun terutama sebagai strategi di bidang ekonomi, PEL secara bersamaan berkepentingan untuk mencapai tujuan sosial yaitu pengurangan kemiskinan dan inklusi sosial. Strategi PEL terdiri atas intervensi terpadu untuk: (1) memperbaiki daya saing perusahaan lokal, (2) merangsang masuknya investasi, (3) meningkatkan keahlian tenaga kerja, dan (4) meningkatkan infrastruktur lokal.
Proses PEL
mengikuti tahap: (1) memulai aktivitas dan membangun konsensus, (2) diagnosa teritori dan pemetaan kelembagaan, (3) menggerakkan forum lokal (4) strategi PEL dan perencanan aksi, (5) implementasi pelayanan dan intervensi PEL, dan (6) umpan balik, monitoring dan evaluasi dan keberlanjutan intervensi PEL. Sementara unsur dasar dari PEL terdiri atas: (1) mobilisasi dan partisipasi dari aktor-aktor lokal, (2)
Universitas Sumatera Utara
sikap proaktif pemerintah lokal, (3) keberadaan tim kepemimpinan lokal, (4) kerjasama sektor publik dan swasta, (5) persiapan strategi PEL, (6) promosi usaha mikrokecil-menengah dan pelatihan sumberdaya manusia, (7) koordinasi promosi program dan instrumen, dan (8) institusi PEL (Alburquerque, 2004). PEL merupakan suatu proses partisipatif dimana penduduk lokal dari semua sektor bekerja bersama untuk merangsang aktivitas ekonomi lokal untuk mencapai ekonomi berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesempatan kerja dan memperbaiki kualitas hidup penduduk, termasuk penduduk miskin dan yang termarjinalkan. PEL mendorong sektor publik, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk membangun kemitraan dan kerjasama untuk menemukan solusi lokal bagi tantangan ekonomi bersama. Proses PEL berupaya memberdayakan para pemangku kepentingan untuk mampu menggunakan secara efektif tenaga kerja, modal, dan sumberdaya lokal lainnya untuk mencapai prioritas-prioritas lokal (penyediaan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, stabilitas ekonomi lokal, dan mendorong pajak lokal untuk memberikan pelayanan yang lebih baik).
Rancangan strategi PEL
bersifat terpadu, berorientasi proses, dan sedapat mungkin tidak memberikan petunjuk (non-preskriptif). Pada akhirnya, PEL terkait dengan pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang, dimana diperlukan waktu untuk mengubah kondisi
lokal,
membangun
kapasitas,
mengelola
proses
partisipatif,
dan
memberdayakan para pemangku kepentingan, terutama masyarakat miskin dan yang termarjinalkan (UN-Habitat, 2009). Kebijakan pembangunan lokal tidak selalu terbatas pada wilayah kecamatan, tetapi dapat merupakan kesatuan dari beberapa kecamatan dengan karakteristik yang sama dalam ekonomi, tenaga kerja, dan lingkungan. Sistem produksi lokal semestinya tidak perlu dibatasi oleh batas kecamatan. Konsekuensinya, menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi intervensi yang sesuai dengan mempersiapkan sistem informasi khusus untuk PEL. Studi mengenai kaitan produksi dan lokasi usaha dan aktitivitas merupakan sesuatu yang penting dalam PEL.
Sasaran utama adalah
Universitas Sumatera Utara
mengidentifikasi dan memahami struktur produksi dan pemasaran bagi ekonomi lokal; relasi ekonomi antara produsen dan pelaku pasar; infrastruktur, pelatihan, pusat
penelitian
teknologi,
layanan
bisnis,
dan
elemen-elemen
lainnya
(Alburquerque, 2004). Kriteria aksi dalam inisiatif PEL yang ditawarkan oleh Alburquerque (2004) meliputi: (1) pengembangan pasokan lokal terkait dengan jasa pengembangan bisnis, (2) pembangunan lokal dan kecamatan, (3) PEL bukan semata pegembangan sumberdaya endogen, (4) akses kredit bagi usaha mikro-kecil, (5) promosi asosiasi dan kerjasama antara usaha mikro-kecil, (6) perlunya keterkaitan ilmuwan/ universitas wilayah dan pusat penelitian teknologi dengan sistem produksi lokal, (7) dukungan infrastruktur dasar bagi PEL, (8) adaptasi kerangka juridis dan hukum untuk promosi PEL dan pentingnya tindaklanjut dan mekanisme evaluasi, (9) koordinasi yang efisien antar-lembaga, dan (10) asas komplementer antara investasi sosial dan sumberdaya untuk promosi PEL. Joseph (2002) menyatakan bahwa pemerintah lokal tidak hanya berfungsi sebagai penyedia jasa bagi kepentingan publik, tetapi juga berfungsi bagi pembangunan sosial ekonomi. Kebijakan pemerintah lokal harus bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja. Secara rinci, peran pemerintah lokal dalam PEL adalah untuk memastikan: (1) hasil PEL adalah peningkatan kesempatan kerja, (2) PEL mendukung pembangunan perdesaan berkelanjutan dan perbaikan perkotaan, (3) target PEL adalah memberi manfaat bagi masyarakat miskin dan marginal di kecamatan melalui promosi suatu pendekatan redistributif dan inklusif untuk pembangunan ekonomi. Lebih lanjut, Joseph (2002) menawarkan prinsip utama yang mendasari konsep PEL yaitu: (1) kemiskinan dan pengangguran merupakan tantangan utama dalam suatu wilayah, sehingga strategi PEL harus memrioritaskan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, (2) target awal PEL adalah penduduk miskin, masyarakat marginal, dan usaha mikro-kecil-menengah untuk memampukan mereka
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi penuh dalam perekonomian wilayah, (3) tidak ada pendekatan tunggal untuk PEL, setiap wilayah memerlukan pendekatan tersendiri yang merupakan cara terbaik dalam konteks wilayah yang bersangkutan, (4) PEL mempromosikan kepemilikan lokal, pelibatan masyarakat, kepemimpinan lokal dan pembuatan keputusan bersama, (5) PEL mencakup kemitraan lokal, nasional dan internasioanl antara masyarakat, pebisnis, dan pemerintah untuk mengatasi masalah, menciptakan usaha bersama dan membangun wilayah lokal, (6) PEL memaksimumkan sumberdaya, keahlian, dan peluang lokal untuk manfaat jamak, (7) PEL mencakup integrasi berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu pendekatan komprehensif untuk membangun wilayah lokal, (8) PEL sebagai pendekatan yang luwes untuk merespon perubahan kondisi pada tingkat lokal, nasional, dan internasional. Dari berbagai tinjauan kepustakaan, dapat disimpulkan bahwa peran aktivitas ekonomi dalam PEL setidaknya dapat dilihat dari variabel pendapatan, kesempatan kerja, dan peningkatan aktivitas ekonomi. Fokus PEL dari berbagai rujukan terpilih disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Sasaran PEL dari beberapa kepustakaan terpilih Penulis/institusi
Sasaran
Bank Dunia (2011)
Pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja berkelanjutan, daya saing, dan pemerataan Kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Pendapatan dan kesempatan kerja Pendapatan dan tenaga kerja Penggunaan sumberdaya lokal secara efektif (tenaga kerja, modal, dan sumberdaya lainnya) Peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, pengurangan kemiskinan dan pengangguran Kesempatan kerja dan tingkat pendapatan Peningkatan produktivitas sumberdaya lokal (tenaga kerja, lahan) Pertumbuhan kesempatan kerja Kesempatan kerja, pembangunan perdesaan berkelanjutan, manfaat bagi masyarakat miskin dan marginal Kesempatan kerja
ILO (2010) Supriana dan Nasution (2010) Rustiadi et al. (2009) UN-Habitat (2009) Chmura dan Orozobekov (2009) Weisbrod et al. (2004) Bartik (2003) James et al. (2002) Joseph (2002) Blakely (1994)
Universitas Sumatera Utara
2.6. Kopi Arabika 2.6.1. Sejarah kopi Dewasa ini, kopi merupakan bisnis besar dan menjadi komoditas terpenting kedua dalam perdagangan internasional, setelah minyak bumi. Secara perlahan, tanaman kopi menyebar ke berbagai penjuru dunia. Kopi merupakan tanaman asli dari Ethiopia tetapi sejarah budidaya dan penggunaan kopi sebagai bahan minuman berawal dan berpusat di Arab. Kopi dimasukkan ke Arab dari Ethiopia sekitar abad ke-15. Pada awal tahun 1500-an, kopi dibudidayakan di Yaman. Minuman kopi diperkenalkan ke Eropa oleh orang-orang Turki sekitar tahun 1600 dan cepat menjadi populer di berbagai negara. Dilaporkan telah terjadi penjualan kopi di Roma tahun 1625 dan gerai kopi pertama di Inggris dibuka di Oxford tahun 1650. Tahun 1675 telah terdapat hampir 3.000 gerai kopi di Inggris (Clarke and Macrae, 1985). Sejarah penyebaran budidaya kopi juga sangat mengesankan. Berawal dari Arab, sebagai pemasok tunggal kopi ke seluruh dunia, menyebar ke Sri Lanka tahun 1658 oleh pedagang Belanda (Clarke and Macrae, 1985). Minuman kopi sangat digemari oleh bangsa Ethiopia dan Abessinia karena berkhasiat menyegarkan badan. Ketika mereka mengembara ke wilayah-wilayah lain, buah kopi ikut dibawa dan tersebar ke negara-negara Arab, Irak hingga Yaman (Najiyati dan Danarti, 2008). Kemudian masuk ke Jawa tahun 1699 (ICO, 2010) dan menghasilkan pengapalan komersil pertama kopi Jawa dan berlabuh di Amsterdam tahun 1711 (Clarke and Macrae, 1985). Produksi kopi arabika di Sumatera dimulai sejak abad ke-18 di bawah penjajahan Belanda, pertama kali diperkenalkan ke wilayah Aceh bagian Utara di sekitar Danau Laut Tawar. Tanaman kopi kemudian diproduksi secara meluas ke wilayah-wilayah Utara Aceh (Takengon, Bener Meriah) dan juga ke wilayah sekitar Danau Toba: Lintong Nihuta, Dairi, Siborongborong, Dolok Sanggul dan Saribu Dolok (Sweet Maria, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Amsterdam Botanical Gardens menghasilkan benih dan bibit dari tanaman kopi tersebut, yang kemudian diklasifikasikan sebagai Coffea arabica var. typica, dan salah satunya diperkenalkan kepada Raja Louis XIV dari Francis pada tahun 1714, dan menjadi induk dari milyaran pohon kopi yang kini ditanam di Amerika Tengah dan Selatan, Karibia dan negara-negara lain. Orang-orang Francis secara diam-diam juga telah membangun suatu perkebunan di kepulauan laut Hindia, yang sekarang dikenal sebagai Bourbon pada awal abad ke-18 dari bibit yang diperoleh secara langsung dari Arab. Kopi ini, yang menyebar meluas ke daerah tropis, memunculkan varietas yang berbeda yang dikenal sebagai Coffea arabica var. bourbon. Varietas bourbon dan typica menjadi strain yang penting kopi arabika dunia saat ini (Clarke and Macrae, 1985). Spesies komersial penting lainnya, Coffea canephora (dalam perdagangan sering dikenal sebagai robusta), adalah salah satu jenis kopi yang berasal dari spesies asli Afrika. Sejak awal, spesies ini banyak tumbuh liar di Uganda, lembah Kongo, dan sekitar pantai Barat Afrika dan kini merupakan 20% dari ekspor dunia (Clarke and Macrae, 1985). Terdapat paling tidak 50 jenis tanaman kopi di dunia, namun hanya dua jenis utama yang memiliki nilai ekonomi penting, yaitu kopi arabika (Coffea arabica) dan kopi robusta (Coffea canephora).
Kopi arabika tumbuh baik di dataran tinggi,
sementara kopi robusta dapat tumbuh pada dataran rendah dan lebih resisten terhadap penyakit. Kopi robusta berkembang akibat perkebunan kopi di India dan Timur Tengah terserang penyakit (Adams, 2006). Saat ini, kopi arabika merupakan sekitar 70% dari produksi kopi dunia dan tumbuh terutama di Amerika Tengah dan Selatan. Kopi robusta terutama tumbuh di negara-negara Asia dan Afrika. Beberapa wilayah di Asia juga menghasilkan kopi arabika, wilayah Sumatera dan Jawa dikenal sebagai penghasil kopi arabika berkualitas terbaik di dunia. Namun Vietnam dan Indonesia dikenal sebagai penghasil utama kopi robusta (Adams, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2010, Indonesia menjadi produsen kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Volume ekspor tahun 2010 sebesar 433.595 ton dari produksi total 657.909 ton. Dari jumlah tersebut, 146.641 ton adalah kopi arabika dari
Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Flores, dan Papua.
Produksi total tersebut
dihasilkan dari areal kopi seluas 1,16 juta hektar (Tanaman Menghasilkan [TM] = 884.000 ha), sehingga produktivitas kopi tahun 2010 adalah 780 kg/ha/tahun. Dari luas areal tersebut, hampir seluruhnya (96%) merupakan perkebunan rakyat, sisanya perkebunan negara (2%) dan perkebunan swasta (2%). Sumatera menghasilkan 71% produksi kopi nasional dengan sentra produksi: Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Utara dan NAD. Tanaman kopi merupakan mata pencaharian utama bagi sekitar 1,88 juta rumah tangga petani dengan luas lahan rata-rata 0,62 hektar per rumah tangga (Ditjen Perkebunan, 2012). Sementara luas areal kopi arabika hanya 251.582 ha dengan produksi total 146.641 ton. Dengan demikian, produktivitas nasional kopi arabika di Indonesia pada tahun 2010 adalah 969 kg/ha/tahun (produksi total dibagi luas tanaman menghasilkan [TM]). Jumlah petani yang mengelola usahatani kopi arabika adalah 438.853 rumah tangga. Kepemilikan lahan rata-rata usahatani kopi arabika secara nasional adalah 0,55 ha per rumah tangga (Ditjen Perkebunan, 2012).
2.6.2. Kopi spesialti Kopi spesiati (spesialty coffee) merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan tahun 1978 oleh Erna Knutsen pada konferensi kopi internasional di Francis. Konsepnya sangat sederhana: iklim-mikro geografis khusus yang menghasilkan biji kopi dengan profil citarasa unik (Rhinehart, 2009). Kementerian Pertanian RI (2010a) mendefinisikan kopi spesialti sebagai kopi yang mempunyai cita rasa yang khas, tumbuh pada daerah yang khas dan sudah dikenal oleh masyarakat international.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa tahun terakhir ini, pasar kopi dunia mengalami segmentasi berdasarkan sifat produknya: segmen pasar komersial (commercial) dan segmen pasar khusus (kopi spesialti). Kopi komersial akan membanjiri pasar utama dengan penekanan kuantitas (sering disebut dengan istilah mainstream [arus utama]), sedangkan kopi spesialti mengarah pada pasar-pasar khusus yang mempersyaratkan citarasa sehingga sering disebut dengan market niche (relung pasar). Hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi kopi spesialti di kalangan orang dewasa di Amerika Serikat. Peningkatan sebesar 3% terjadi antara tahun 2007 (14%) dan tahun 2008 (17%).
Kecenderungan peningkatan konsumsi kopi spesialti ini juga terjadi di
negara-negara konsumen lain, dimana kopi spesialti ini telah menjadi bagian dari gaya hidup (life style) yang ditandai dengan menjamurnya gerai-gerai kopi bertaraf global seperti Starbuck Coffee, Coffee Bean, dan lain-lain (Mawardi, 2008a). Negara-negara Uni Eropa merupakan importir terbesar kopi dunia (66%), disusul Amerika Serikat (24%) dan Jepang (7%). Sisanya ternasuk negara-negara Italy, Francis, Spanyol, dan Inggris. Masyarakat di negara-negara di Eropa merupakan penduduk dengan konsumsi kopi per kapita tertinggi seperti Luxemburg (16,2 kg), Finlandia (12,6 kg), Switzerland (9,2 kg), Norwegia (9 kg), Swedia (8,3 kg), dan Denmark (7,7 kg). secara khusus untuk kopi organik, negara-negara importir utama adalah Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Jepang, Belgia, Inggris, dan Kanada (Pay, 2009). Indonesia memiliki cukup banyak kopi spesialti yang sudah punya nama di pasar internasional seperti Java Coffee, Gayo Mountain Coffee, Mandheling Coffee, Lintong Coffee, Toraja/Kalosi Coffee. Disamping itu, masih banyak potensi kopi spesialti seperti Bali Coffee, Flores Bajawa Coffee, Aceh Mountain Coffee, dan Baliem Highland Coffee (Herman, 2003; Khair, 2009).
Ottaway (2007)
memperkirakan bahwa saat ini mayoritas (60-80%) ekspor kopi arabika Indonesia dijual kepada satu pembeli yaitu Starbucks Coffee Company.
Universitas Sumatera Utara
Lewin et al. (2004) menyatakan bahwa kopi spesialti mengacu pada kopi yang berbeda dari kopi biasa karena kualitasnya yang tinggi atau karena proses produksinya (seperti organic, shade, dan fair trade). Sementara van der Vossen (2005) dan Kementerian Pertanian RI (2010b) menyatakan bahwa kopi organik merupakan salah satu jenis kopi spesialti yang dijual dengan harga premium di atas kopi biasa. Kopi spesialti adalah terminologi umum yang mengacu pada kopi premium. Melalui mekanisme promosi, stadarisasi dan sertifikasi, baik dalam aspek usahatani, pemerosesan, dan pemasaran ritel; dapat ditetapkan apakah produk kopi suatu wilayah termasuk “kopi premium” atau “kopi biasa”. Standarisasi dan sertifikasi yang efektif dilakukan untuk memperoleh nilai tambah atau harga yang lebih tinggi (AKSI, 2010). Tidak semua jenis kopi arabika dikategorikan sebagai kopi spesialti. Menurut Spesialti Coffee Association of America (SCAA), hanya kopi arabika dengan kriteria 0 cacat primer dan maksimal 5 cacat sekunder untuk 350 gram kopi biji (green coffee) dan skor > 85 untuk kopi sangrai (cupping roast) disebut sebagai kopi spesiati. Cacat primer jika biji kopi berwarna hitam atau coklat penuh, sementara cacat sekunder jika biji kopi berwarna hitam atau coklat sebagian ( USAID-AMARTA, 2009). Sementara kelas kopi premium harus memenuhi kriteria tidak lebih dari 8 cacat (primer dan sekunder) minimal skor 80 untuk kopi sangrai. Kopi biji disangrai kemudian diuji oleh tiga Q-Grader untuk menilai bau, aroma, cita rasa, body, acidity, after-taste, keseimbangan, rasa manis, keseragaman, dan kebersihan kopi. Nilai sepuluh sifat tersebut dijumlahkan dengan skor maksimal 100 (USAID-AMARTA, 2009). Standar kopi spesialti untuk semua kopi arabika dari SCAA dapat dilihat pada Tabel 16. Kopi spesialti berkaitan dengan citarasa dan aroma kopi khusus. Kopi dengan kategori spesialti ditetapkan melalui suatu prosedur sertifikasi tertentu. Dengan adanya sertifikasi tersebut konsumen akan yakin bahwa kopi yang mereka konsumsi
Universitas Sumatera Utara
telah diproduksi (dibudidayakan) sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sehingga mereka bersedia membayar lebih mahal dalam rangka peduli terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup. Dalam sertifikasi produk kopi ada tiga komponen penting yaitu produsen kopi (petani), lembaga panduan yang menyediakan SOP (Standard Operational Procedure) disebut juga sebagai code of conduct dan lembaga independen yang melakukan sertifikasi. Program-program sertifikasi produk kopi yang telah dikembangkan antara lain adalah: Organic, Fairtrade, Utz Certified, Rainforest Alliance, C.A.F.É. Practices, Common Code for the Coffee Community (4C), Bird Friendly, dan Indikasi Geografis (Mawardi, 2008b).
Tabel 16. Standar kopi spesialti untuk semua kopi arabika Cacat primer Cacat sekunder Kadar air (%) Cup evaluation Quaker Sumber: SCAA (2009)
Standar 0 Maksimum 5 10-12 (optimal 11.5) ≥ 80 poin 0
Syarat 350 g sampel kopi biji 100 g sampel kopi sangrai 100 g sampel kopi sangrai
Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan yang signifikan dalam pasar kopi global sebagai akibat perubahan preferensi konsumen dan pentingnya penerapan praktek-praktek pertanian berkelanjutan, termasuk pada usahatani dan produksi kopi arabika.
Perubahan permintaan konsumen di pasar kopi dunia (dalam konteks
jumlah, kualitas dan keberlanjutan) telah mendorong munculnya berbagai skema sertifikasi yang terkait dengan produksi kopi yang berkelanjutan. Perubahan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap bagaimana kopi diproduksi di tingkat usahatani dan bagaimana kopi diperdagangkan. Permasalahan yang muncul adalah berkaitan dengan pertanyaan, bagaimana perubahan tersebut disikapi oleh petani dan pemerintah serta stakeholder perkopian tingkat lokal, wilayah, dan nasional.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun potensi pasar kopi spesialti terbuka luas; masih sangat sedikit petani kopi arabika di Kabupaten Simalungun yang mampu memanfaatkan potensi tersebut. Beberapa kendala adalah ketidakmampuan untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan kendala teknis dan manajemen yang dihadapi petani untuk memenuhi standar eksportir dan pasar internasional. Secara nasional, kendala komoditas kopi di Indonesia adalah produktivitas dan kualitas yang masih rendah (Ibrahim dan Zailani, 2010). Sebagian petani belum berpengalaman dalam usahatani kopi dan sangat terbatas dalam pengetahuan teknis, kurang dalam pengalaman praktis dalam pertanaman kopi termasuk pemeliharaan tanaman dan manajemen praktis usahatani. Masalah lain adalah tidak tersedia dan tidak efektifnya peran penyuluhan, terutama dalam konteks budidaya dan pemasaran kopi spesialti. Berdasarkan informasi yang diperoleh, hanya sebagian kecil lokasi usahatani kopi arabika di Kabupaten Simalungun dimana kopi yang dihasilkan telah memperoleh sertifikasi. Petani tersebut berlokasi di dua kecamatan: Sidamanik dan Pamatang Sidamanik (tergabung dalam kelompok Karya Bakti). Sertifikasi yang diperoleh adalah C.A.F.É. Practices dari Starbucks Coffee Company.
Informasi
mengenai sertifikasi ini diperoleh dari Dr. Zaenudin (konsultan Bank Dunia) pada pelatihan budidaya kopi dan gender di kelompok Karya Bakti di Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, tanggal 9 Juni 2011. Starbucks Coffee Company merupakan perusahaan peritel kopi terbesar di dunia, memiliki 11 ribu kedai kopi di 37 negara di dunia. Setiap minggunya, sekitar 40 juta konsumen berkunjung ke kedai-kedai Starbucks di seluruh dunia (Biocert, 2011). C.A.F.É. merupakan singkatan dari Coffee and Farmers Equity, dimana ingin dicapai praktek bisnis yang berimbang antara perusahaan dan petani kopi. Produsen kopi yang memasok ke Starbucks diharapkan memenuhi standar C.A.F.É. Practices. Wilayah dataran tinggi Sumatera Utara merupakan penghasil sebagian besar kopi spesialti berkualitas tinggi di Indonesia. Saat ini, sebagian besar kopi yang diekspor dari Indonesia (diperkirakan 60-80%) dijual kepada satu pembeli yaitu Starbucks
Universitas Sumatera Utara
Coffee. Eksportir yang memasok kopi ke Starbucks harus memenuhi persyaratan C.A.F.É. Practices dan mendorong pelatihan di tingkat petani untuk menunjukkan korelasi antara praktik-praktik agronomis yang baik dengan kualitas kopi. Rantai pasok untuk kopi spesialti masih panjang dan hanya sedikit petani yang berhubungan langsung dengan pembeli. Hubungan pasar yang terjadi pada rantai pasok diantara petani dan pembeli adalah: eksportir dan importir, eksportir dan perusahaan dagang internasional (Ottaway, 2007). Verifikasi dilakukan oleh lembaga independen yang telah mendapat persetujuan dari SCS (Scientific Certification System). Dalam standar C.A.F.É. Practices ada beberapa kriteria yang bersifat wajib (zero tolerance) yang harus dipenuhi oleh produsen kopi yaitu upah minimum, tidak ada pekerja anak-anak, dan tracebility. Adapun kriteria lainnya dinilai berdasarkan sistem skoring dan tidak ada batasan skor minimal yang harus dipenuhi. Standar C.A.F.É. Practices terdiri dari 28 kriteria yang terbagi ke dalam lima kelompok.
Sertifikasi Starbuck berbeda dengan
sertifikasi lainnya karena mensyaratkan kualitas produk sebagai syarat mutlak dan pengajuan sertifikasi disertai contoh produk kopi yang akan dipasok ke Starbuck (Zaenudin, 2009). Standar umum C.A.F.É. Practices disajikan pada Tabel 17. Kajian empiris mengenai sertifikasi kopi antara lain dirujuk dari Méndez et al. (2010), Bacon (2005), Ibanez (2010), dan Valkila (2009). Pengaruh sertifikasi kopi Fair Trade dan Organic terhadap kehidupan rumah tangga petani kopi skala kecil di Amerika Tengah dan Meksiko dilakukan oleh Méndez et al. (2010). Dengan uji non-parametrik Kruskal-Wallis, uji non-parametrik Mann-Whitney U, dan uji chisquare Pearson; kajian dilakukan untuk data 469 rumah tangga petani kopi dan 18 koperasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi kopi memberikan harga
dan penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi non-sertifikat. Dampak sertifikasi kopi tidak tampak bagi kehidupan rumah tangga terkait dengan pendidikan dan migrasi, namun berpengaruh positif terhadap tabungan dan kredit. Menjual kopi ke pasar tersertifikasi mendorong petani dan koperasi menerima harga yang lebih
Universitas Sumatera Utara
baik, namun kontribusi premium harga sangat terbatas bagi kehidupan rumah tangga petani. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi kopi bukanlah satu-satunya cara untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan meskipun tetap berkontribusi secara lebih luas untuk kehidupan berkelanjutan, pengembangan desa, dan proses konservasi di wilayah-wilayah kopi.
Kontribusi ini dapat dilakukan melalui
pengembangan kemitraan yang lebih aktif antara petani, koperasi, organisasi pengembangan desa dan lingkungan di wilayah-wilayah kopi dan lembaga sertifikasi. Tabel 17. Panduan umum standar C.A.F.É. Practices No. I II
Standar Kualitas produk (syarat mutlak) Akuntabilitas ekonomi (syarat mutlak)
III
Tanggung jawab sosial (komponen yang dievaluasi)
IV
Tanggung jawab lingkungan dalam proses budidaya kopi (komponen yang dievaluasi)
V
Tanggung jawab lingkungan dalam prosesing kopi
1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3. 4. 1. 2.
Kriteria Kualitas fisik biji kopi Kualitas citarasa Transparansi finansial Kesetaraan manfaat keuangan Viabilitas keuangan Upah pekerja Kebebasan berserikat Jam kerja Pekerja anak/diskriminasi/pekerja paksa Akses perumahan dan air bersih Akses pendidikan/kesehatan Pelatihan dan keamanan kerja Perlindungan sungai Perlindungan kualitas air Sumber air dan irigasi Pencegahan erosi Pemeliharaan kesuburan tanah Perawatan pohon pelindung Perlindungan satwa liar Area konservasi Pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan Manajemen dan monitoring Pengolahan basah: Meminimalkan penggunaan air Mengurangi dampak limbah cair Pengelolaan limbah/daur ulang Pembatasan penggunaan energi Pengolahan kering: Pengelolaan limbah Pembatasan penggunaan energy
Sumber: Starbucks Coffee Company (2007), Zaenudin (2009), SCS (2007)
Kajian yang dilakukan Bacon (2005) mengenai sertifikasi fair trade dan organic di Nikaragua menunjukkan bahwa harga premium tertinggi diperoleh jika koperasi
Universitas Sumatera Utara
petani menjual langsung kepada perusahaan roaster. Harga premium kedua tertinggi apabila menjual kepada koperasi kopi fair trade, kemudian koperasi kopi organic, koperasi kopi konvesional, perusahaan eksportir hasil pertanian, dan yang terendah bila menjual kepada pedagang pengumpul lokal. Ibanez (2010) menyimpulkan bahwa usahatani kopi organik memerlukan biaya produksi yang lebih rendah (31%) dan produksi yang lebih rendah (40%) daripada produksi kopi non-sertifikat. Meskipun dikenakan harga premium, profitabilitas usahatani kopi organik lebih rendah (15%) daripada kopi non-organik. Karenanya, agar produksi kopi organik menjadi menarik bagi petani, maka harga premium kopi organik harus 5 kali lebih tinggi. Penelitian Valkila (2009) menemukan bahwa pendapatan petani tergantung pada dua faktor utama, yaitu harga pasar dan harga premium di tingkat petani. Jika harga pasar rendah tetapi harga premium tinggi, maka pendapatan petani kopi sertifikat organik lebih tinggi dari petani kopi non-sertifikat (konvensional), meskipun produktivitas kopi organik lebih rendah dari kopi konvensional. Sebaliknya jika harga pasar tinggi tetapi harga premium rendah, maka petani kopi spesialti organik akan menerima pendapatan yang jauh lebih rendah dari petani kopi konvensional. Produktivitas kopi spesialti organik yang lebih rendah dari kopi konvensional harus dikompensasi dengan harga premium yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan petani dan keberlanjutan produksi kopi spesialti.
Universitas Sumatera Utara