BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karateristik Sapi Bali
Bangsa (breed)) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, ternak-ternak tersebut dapat dibedakan dengan ternak lainnya meskipun masih dalam jenis hewan (species) yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
Menurut Blakely dan Bade (1992), Romans et al. (1994) sapi bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub class
: Theria
Infra class
: Eutheria
Ordo
: Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Infra ordo
: Pecora
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos (cattle)
Group
: Taurinae
1
Spesies
: Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
Sapi bali sangat mudah dikenali dari fenotif warna yang dimiliki, adanya tanduk pada jantan dan betina dengan bentuk yang spesifik, ketahanan terhadap cuaca panas (heat tolerance) yang tinggi, mampu beradaptasi pada situasi pakan yang kurang baik atau kualitas yang rendah (Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Sapi bali adalah jenis sapi lokal yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Kemampuan tersebut merupakan faktor pendukung keberhasilan budidaya sapi bali. Populasi sapi bali yang meningkat akan membantu mensukseskan program pemerintah untuk swasembada daging tahun 2015 (Ni’am et al, 2012).
Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas. (Hardjosubroto dan Astuti, 1993)
2.2 Karakteristik Indukan Sapi Bali
Sapi betina berwarna merah bata, di daerah punggung terdapat garis belut berwarna hitam, dan warna hitam terdapat pula pada bagian ekor dan tanduk (Pusat Kajian Sapi Bali, 2012). Sapi bali adalah sapi terbaik di antara sapi-sapi lokal lainnya, karena kemampuan sapi bali beranak setiap tahun (Nuna, 2009). Sesudah seekor sapi betina mencapai estrus, maka untuk pertama 2
kalinya berahi dan memulai suatu siklus berahi yang berulang setiap 21 hari sekali apabila dalam kondisi tidak bunting (tidak dikawinkan) (Pusat Kajian Sapi Bali, 2012).
Tanda sapi betina berahi pada umumnya adalah (1) menjelang berahi (pre-estrus) (nonstanding heat) : (a) mencium organ kelamin sapi betina lainnya, (b) berupaya menunggangi sapi betina yang ada disekitarnya namun menjauh atau menolak ketika ditunggangi, dan (c) vulva dalam keadaan basah. (2) saat berahi (estrus) (standing heat) : (a) diam ketika dinaiki pejantan atau sapi-sapi betina di sekitarnya, (b) melengkungkan punggung ketika punggung ditekan, (c) vulva memerah dan membengkak, (d) nafsu makan menurun, dan (e) keluarnya lendir (mukus) dari vagina (Pusat Kajian Sapi Bali, 2012).
2.3 Pedet Sapi Bali
Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hingga umur 8 bulan. Pedet yang baru lahir membutuhkan perawatan khusus, ketelitian, kecermatan dan ketekunan dibandingkan dengan pemeliharaan sapi dewasa. Pada saat lahir lambung ruminansia terdiri atas abomasum, sehingga proses pencernaan mendekati hewan monogastrika. Pada pedet yang masih menyusu terdapat 3
sulcus esophagus, yaitu saluran yang berfungsi untuk mengalirkan susu dari cavum oris ke abomasum. Dengan demikian susu terbebas dari fermentasi di rumen. Seiring dengan pertambahan umur pedet, rumen berkembang pesat, sehingga hewan akan berubah dari monogastrika pada saat lahir menjadi poligastrika pada saat dewasa (Mukhtar, 2006).
Kalau dilihat produksi susunya, susu sapi bali rendah antara 0,9-2,8 kg per hari yang memungkinkan pertumbuhan pedet lambat dan angka kematiannya tinggi terutama pada kelahiran musim kering (Soehaji, 1991). Untuk mengurangi tingginya angka kematian pedet sebelum disapih, maka dilakukan penyapihan dini. Pada umumnya pedet sapi Bali disapih pada umur 7 bulan (Bamualim dan Wirdahayati, 2002). Sehingga idealnya pedet sedini mungkin dikenalkan dengan pakan padat selain susu, seperti konsentrat dan pakan hijauan, sehingga pedet dapat disapih umur 6-8 minggu setelah mampu mengkonsumsi pakan starter 500 g/hari (Davis dan Drackley, 1998 dalam Prihantoro, 2012). Kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan menyangkut dengan tinggi rendahnya produksi dan kecepatan pertumbuhan sapi yang sedang tumbuh (Tilman et al, 1991. dalam Yudith, 2010).
2.4 Tata Cara Pemeliharaan Pedet Sapi Bali
Tatalaksana pemeliharaan pedet sapi perah sejak lahir sampai disapih menjadi sangat penting dalam upaya menyediakan bakalan baik sebagai pengganti induk mapun penggemukan sebagai ternak pedaging (Purwanto dan Muslih, 2006).
perawatan terhadap pedet yang baru lahir dilakukan dengan membersihkan lendir pada hidung, mulut, dan lendir yang ada diseluruh tubuhnya karena cairan yang menutupi hidung akan mengganggu pernafasan anak sapi. Selanjutnya pedet dipindahkan ke kandang anak yang sudah 4
diberi alas jerami padi/kain kering yang tidak becek/basah. Untuk mencegah terjadinya infeksi dilakukan pemotongan tali pusar (Purwanto dan Muslih, 2006).
Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hingga umur 8 bulan. Selama 3-4 hari setelah lahir pedet harus mendapatkan kolostrum dari induknya, karena pedet belum mempunyai antibodi untuk resistensi terhadap penyakit. Setelah dipisahkan dari induk sapi, barulah pedet dilatih mengkonsumsi suplemen makanan sedikit demi sedikit sehingga pertumbuhanya optimal (Sanuri, 2010).
Manajemen pemeliharaan pedet merupakan salah satu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Untuk itu maka sangat diperlukan penanganan yang benar mulai dari sapi itu dilahirkan sampai mencapai usia sapih/dara. Penanganan pedet pada saat lahir : semua lendir yang ada dimulut dan hidung harus dibersihkan demikian pula yang ada pada tubuhnya menggunakan handuk yang bersih. Buat pernapasan buatan bila pedet tidak bisa bernapas. Potong tali pusarnya sepanjang 10 cm dan diolesi dengan iodium untuk mencegah infeksi lalu diikat. Berikan jerami kering sebagai alas. Beri kolostrum secepatnya paling lambat 30 menit setelah lahir (Sanuri, 2010).
Balai Embrio Ternak (2011) melaporkan bahwa. untuk dapat melaksanakan program pemberian pakan pada pedet, ada baiknya kita harus memahami dulu susunan dan perkembangan alat pencernaan anak sapi. Perkembangan alat pencernaan ini yang akan menuntun bagaimana langkah-langkah pemberian pakan yang benar.
Sejak lahir anak sapi telah mempunyai 4 bagian perut, yaitu : rumen (perut handuk), retikulum (perut jala), omasum (perut buku) dan abomasum (perut sejati). Waktu kecil pedet hanya 5
akan mengkonsumsi air susu melalui oesophageal groove yaitu langsung dari krongkongan (oesophagus) ke abomasum sedikit demi sedikit dan secara bertahap anak sapi akan mengkonsumsi calf starter (konsentrat untuk awal pertumbuhan yang padat akan gizi, rendah serat kasar dan bertekstur lembut) dan selanjutnya belajar menkonsumsi rumput. Pada saat kecil, alat pencernaan berfungsi mirip seperti hewan monogastrik (Sampurna, 2013).
Dalam kondisi normal, perkembangan alat pencernaan dimulai sejak umur 2 minggu. Populasi mikroba rumennya mulai berkembang setelah pedet mengkonsumsi pakan kering dan menjilat-jilat tubuh induknya. Semakin besar pedet maka pedet tersebut akan mencoba mengkonsumsi berbagai jenis pakan dan akan menggertak komponen perutnya berkembang dan mengalami modifikasi fungsi. Anak sapi/pedet dibuat sedikit lapar, agar cepat terangsang belajar makan padatan (calf starter). Pedet yang baru lahir mempunyai sedikit cadangan makanan dalam tubuhnya. Bila pemberian pakan sedikit dibatasi (dikurangi), akan memberikan kesempatan pedet menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi pakan, tanpa terlalu banyak mengalami cekaman (Sampurna, 2013).
2.5 Pertumbuhan Ternak 2.5.1 Pertumbuhan Prenatalis
Pertumbuhan sebelum lahir (prenatal) terjadi saat embrio, meliputi pembelahan sel dan pertambahan jumlah sel tubuh serta terjadi perubahan fungsi sel menjadi sistem-sistem organ tubuh. Embrio juga mengalami perkembangan sel menjadi lebih besar sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang lebih banyak (Field dan Taylor, 2002 dalam Muhibbah, 2007). Bobot lahir
6
ditentukan oleh kondisi pertumbuhan prenatal, yang ditunjang suplai nutrisi dari induk serta kemampuan induk untuk menggunakannya (utomo et al, 2006). Hafez (1993) dalam Utomo et al (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan prenatal dipengaruhi oleh hereditas, paritas, nutrisi induk, perkembangan embrio dan endometrium sebelum implantasi serta ukuran tubuh. Lebih lanjut Nggobe et al (1994) dalam Utomo et al (2006) dijelaskan bahwa akhir masa kebuntingan terjadi pertumbuhan fetus yang cepat dan mencapai puncak pada dua bulan akhir kebuntingan. Pemberian pakan berkualitas baik selama akhir masa kebuntingan dapat meningkatkan bobot lahir 5 – 8% dari bobot induk. Menurut Anggorodi (1994) dalam Utomo et al (2006) , bahwa pakan dengan kandungan protein yang cukup dapat berfungsi memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi dan merupakan penyusun hormon. Salah satu akibat dari pertumbuhan tulang adalah memanjangnya panjang badan. Ransum berkualitas baik yang dikonsumsi ternak terutama protein dapat merangsang sekresi hormon, diantaranya adalah hormon progesteron. Hasrati (2001) dalam Utomo et al (2006), melaporkan bahwa progesteron berfungsi dalam pertumbuhan masa uterus, sehingga dapat menyebabkan peningkatan hormon laktogen plasenta yang berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan dan hormon tersebut berperan dalam menginduksi panjang badan serta bobot foetus.
2.5.2 Pertumbuhan Postnatalis
Saat pedet baru dilahirkan, pakan pertama yang harus diberikan adalah kolostrum karena pedet hanya mampu memanfaatkan nutrien susu, kemudian meningkat dengan pemberian susu induk atau susu pengganti, pakan padat, dan rumput (Hadziq, 2011).
7
Menurut Salisbury & Van Demark (1985) dalam Hadziq (2011) perkembangan dan pertumbuhan pedet setelah lahir sangat bergantung pada jumlah dan kualitas pakan yang diberikan. Pada saat lahir, perut depan pedet belum berkembang seperti pada ruminan dewasa. Bobot abomasum pedet sekitar setengah berat perut total. Setelah lahir, rumen, retikulum, dan omasum akan terus berkembang hingga berfungsi baik. Pedet memulai tahap transisi pada umur 5 minggu dan berakhir umur 12 minggu. Pada tahap ini, pola metabolisme karbohidrat berubah. Menurut Arora (1989) dalam Hadziq (2011), perkembangan rumen dipengaruhi oleh: (1) pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen, (2) produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papil-papil rumen. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat tinggi, maka bobot rumen menjadi lebih berat daripada ternak yang tidak mengkonsumsi hijauan. Penyapihan dini pada pedet dapat dilakukan pada umur 3-4 bulan (Parakkasi, 1999 dalam Hadziq, 2011). Perpanjangan umur sapih dapat menurunkan keuntungan ekonomis, meningkatkan biaya pakan, dan menghambat perkembangan rumen.
8