BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Hukum Tentang Perkawinan Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan Pasal 26 Burgerlijk wetboek, artinya bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) , dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.3 Menurut Pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. Syarat-syarat perkawinan Adapun syarat-syarat sahnya perkawinan ialah: 1. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-undang, yaitu seorang lelaki 18 tahun dan seorang perempuan 15 tahun; 2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak; 3. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama; 3
Subekti, 2003.Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT.Internasa, hlm.23-24
9
4. Tidak ada larangan dalam Undang-undang bagi kedua pihak; 5. Untuk pihak masih dibawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya. Berdasarkan Pasal 6 syarat-syarat perkawinan adalah: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang belum mencapai 21 tahun harus mendapat izin kedua orang; 3. Dalam hal salah seorang kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya; 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyataan kehendaknya; 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Ayat (2), (3), dan (4) Pasal ini atau salah seorang lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam Ayat (2), (3), dan (4) Pasal ini;
10
6. Ketentuan tersebut Ayat (1) sampai dengan Ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menetukan lain. 2. Perjanjian perkawinan Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUHper. Yang dimaksud dengan perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin itu harus dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaris. Tujuannya adalah: 1. Keabsahan perkawinan; 2. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawinan itu untuk seumur hidup; 3. Demi kepastian hukum; 4. Alat bukti yang sah; 5. Mencegah adanya penyeludupan hukum. Disamping diatur didalam keduan ketentuan itu, perjanjian kawin juga diatur dalam pasal 45 dengan Pasal 51 Inpres No. 1 tahun 1991. Halhal yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah seperti berikut ini: 1. Perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan; 11
2. Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya bentuk perjanjian lain ini adalah tertulis dan disahkan oleh pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan; 3. Isi perjanjian kawin meliputi percampuran harta pribadi, yang meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam perkawinan
maupun
yang
diperoleh
masing-masing
selama
perkawinan, pemisahan harta pencarian; 4. Kewenangan masing-masing pihak untuk melakukan pembeban atas hipotek atau hak tanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.4 B. Definisi Perkawinan serta akibat Hukumnya Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang dengan sendirinya tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum, yaitu adanya hak dan kewajiban diantara para pihak yang melangsungkan perkawinan. Dengan perkataan lain suatu perkawinan menimbulkan adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami istri yang terikat perkawinan tersebut.5 Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan sangat penting, tidak saja dalam hubungan kekeluargaan tetapi juga dalam bidang harta kekayaannya, akibat hukum dalam hubungan kekeluargaan diatur oleh 4
Salim, 2009.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 72-73 J. andy hartanto,2012.hukum harta kekayaan perkawinan,Jogjakarta, Laksbang grafika, hlm. 1
5
12
hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam bidang harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan.6 Ketentuan dalam KUHPerdata yang menempatkan istri dalam keadaan tidak cakap (handelings onbekwaan) tidak hanya dalam hal menikah dengan persatuan harta secara bulan, tetapi juga dalam hal kawin dengan pemisahan harta dan bahkan dalam keadaan pisah meja dan ranjang.hal itu menurut Poul Scholten didasarkan pada dua alasan. Alasan Pertama, demi untuk persatuan harta dalam keluarga maka seorang istri ditempatkan berada di bawah kekuasaan suami. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tidaklah mungkin dalam satu kapal (bahtera) rumah tangga terdapat dua orang nahkoda. Kedua, adanya anggapan bahwa seorang isteri adalah lemah dan kemampuan berpikirnya kurang, sehingga perlu ditaruh di bawah kekuasaan suami.7 C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Suami istri yang setia satu sama lain, bantu membantu, berdiam bersama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anakanak. Perkawinan oleh Undang-undang dipandang suatu “perkumpulan” (echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi kepala atau pengurusnya, suami mengurus kekayaan mereka bersama disamping juga berhak mengurus
kekayaan si istri, menentukan tempat kediaman bersama,
melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan
6
Ibid Poul Scholten, 1934, Algemeen Deel, Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 231. Di dalam bukunya J. andy hartanto,2012.hukum harta kekayaan perkawinan,Jogjakarta, Laksbang grafika, hlm. 12 7
13
(bijstand) kepada si istri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum.8 Kekuasaan suami yang sedemikian luas dalam mengurus luas dalam mengurus harta benda perkawinan dengan sistem percampuran tersebut dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana yang tercantum dalam pasal 124 ayat 3 dan 4 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “Ia
(suami)
tidak
dapat,
dengan
jalan
penghibaan,
memindahtangankan, baik barang-barang yang tidak bergerak dari percampuran harta benda maupun seluruhnya atau sebagian atau beberapa dari barang-barang yang bergerak, lain dari pada untuk memberikan kedudukan kepada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka”. “Ia
bahkan
tidak
dapat,
dengan
jalan
penghibaan,
memindahtangankan sepotong barang yang diistimewakan, apabila penghibaan itu dilakukan dengan syarat, bahwa hak untuk bmemungut hasil dari barang itu tetap dinikmati olehnya”. Apabila isteri melakukan perbuatan hukum terhadap barang-barang dari percampuran harta benda tanpa mendapat kuasa dari suaminya, maka perbuatan tersebut dapat dibatalkan (Pasal 116 KUHPerdata). Sedangkan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, perbuatan hukum yang dilakukan oleh isteri untuk memenuhi keperluan tersebut dianggap telah dilakukan
dengan
mendapatkan
izin
dari
suaminya
(pasal
109
KHUPerdata). Adalah sangat sulit jika untuk setiap perbuatan peralihan 8
Ibid. hlm.28
14
dan perolehan harta benda untuk keperluan sehari-hari isteri harus memperoleh persetujuan suami. Oleh karena itu diberlakukan suatu fiksi hukum bahwa untuk bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehari-hari maka isteri dianggap telah mendapatkan ijin dari suaminya. Adapun hak kewajiban suami istri yaitu: Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah Pasal 32 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap; (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami dan isteri. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bentuan lahir bahtin yang satu kepada yang lain.
15
Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Suami-isteri dalam perkawinan juga dapat mengatur harta benda mereka terpisah setelah masuk dalam perkawinan. Dengan pemisahan harta benda ini maka konsekuensinya adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik di peroleh D. Pengaturan Hukum Harta Kawin Sebagaimana diketahui KUH Perdata (BW) menganut asas yang dinamakan
“percampuran
bulat”
(bahasa
Beland
a:
“algehele
gemeenschap van goerderen”) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 119, yang berarti bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Ditegaskan pula dalam Pasal 119 Ayat 2 bahwa persatuan (percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami istri.9 Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama mereka dan apabila mereka
9
KUH Perdata pasal 119 ayat 2
16
bercerai (meskipun baru satu bulan kawin), maka kekayaaan bersama itu harus dibagi dua sehingga masing-masing akan mendapat separuh. Pengaturan harta kawin yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu diatur dalam Pasal 85, Pasal 86 ayat (1) dan (2), Pasal 87 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 94 Ayat (1) dan (2). Pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri, Pasal 86 Ayat (1) pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan, Ayat (2) harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya, Pasal 87 Ayat (1) harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Ayat (2) suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya ntuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah, atu lainnya. Pasal 94 Ayat (1) harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Ayat (2) pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat 1, dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau keempat. Suami-isteri dalam perkawinan juga dapat mengatur harta benda mereka terpisah setelah masuk dalam perkawinan. Dengan pemisahan 17
harta benda ini maka konsekuensinya adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan maupun pada saat dan selama perkawinan berlangsung. Sedang untuk membiayai keperluan rumah tangga bisa menjadi beban suami sendiri atau ditanggung bersama diantara kedua belah pihak. Pemisahan harta benda perkawinan juga dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung, di mana harus didasarkan pada kesepakatan belah pihak suami dan isteri. Biasanya pemisahan harta benda ini dituangkan dalam suatu perjanjian kawin yang secara khusus dibuat untuk itu. E. Kajian Permasalahan Sosial Dalam Berbagai Perspektif Pada dasarnya sasaran kajian ilmu sosial adalah fenomena kehidupan masyarakat. Walaupun demikian dalam perkembangan dari objek studi yang sama tersebut orang dapat memberikan fokus perhatian yang berbeda dan mempunyai sudut pandang yang berbeda pula. Dari pernyataan tersebut dapat dimengerti apabila terdapat pemahaman dan penjelasan yang berbeda terhadap fenomena sosial tertentu, oleh karena orang berangkat dari fokus perhatian yang berbeda atau dari sudut pandang yang berbeda.10 Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika berfikir berdasarkan suatu teori tertentu. Oleh karena setiap 10
Soetomo 2013. Masalah Sosial dan upaya Pemecahannya, Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal 6970
18
teori mempunyai asumsi dan pemahaman tertentu terhadap realita sosial, maka masing-masing akan memberikan penjelasan dan pemahamanpemahaman yang berbeda terhadap fenomena sosial yang menjadi objek studinya, termasuk fenomena yang disebut masalah sosial.11 Hal ini dihubungkan dengan fakta sosial tentang permasalahan hak isteri kedua dalam perkawinan poligami yang sering kali dikesampingkan berdasarkan pandangan sosial yang saat ini terjadi. Dipandang dari sudut kajian tentang masalah sosial sebagai suatu fenomena yang komplek dan mengandung banyak dimensi, hadirnya berbagai perspektif tadi juga dapat dipetik segi positifnya. Apabila masing-masing perspektif melakukan kajian masalah sosial dari sudut pandangnya maka akan dihasilkan penjelasan dan analisis yang cukup fokus dan mendalam dari dimensi tertentu. F. Kontemplasi dan Analisis Kritis Terhadap Hukum Positif Dalam Realita Sosial Kontemplasi merupakan proses merenung dalam menghasilkan suatu pola fikir yang berutjuan membahsa nilai nilai, tujuan, terhadap suatu kebaikan. Pengkajian hukum tidak memerlukan rancagan dan pendekatan lain kecuali pendekatan normatif atau dogmatif sebagai metode yang paling memadai. Pendekatan ini mengakibatkan hukum telah tercukupi
dengan
kebutuhannya
sendiri
(self-sufficent)
dengan
terkodifikasi sehingga menjadi bidang yang esoterik, artinya yang hanya
11
Ibid hal 70-71
19
bisa dimasuki oleh mereka yang dipersiapkan untuk itu. Kondisi semacam ini, menuntut bidang hukum penuh akan hal-hal yang berbau teknik, penggunaan istilah istilah yang khas, bersifat procedural, pengambilan keputusan dan sebagainya. Positifisme telah membawa dunia hukum untuk dilakukan diperlakukan secara otonom dan terlepas kaitannya dari bidangbidang lain dalam masyarakat sehingga resiko yang timbul adalah terjadinya pengucilan hukum terhadap peroses kemasyarakatan. Positifisme hukum sangat mempercayai hukum tertulis dan tidak perlu input bidang lain. Hukum ada dalam dogma, asas-asas, norma, peraturan-peraturan. Aliran hukum positif yang menekan pada kodifikasi dan membebaskan ini dari anasir sosiologi, politik, ekonomi bahkan etika dan moral menjadikan hukum sebagai bidang yang terisolir dari interaksinya dengan masyarakat. Jika hukum sudah melahirkan UndangUndang yang telah ditentukan, maka hukum sudah bekerja dengan baik. Akan tetapi manakala persoalan-persoalan yang berada diluar hukum mempengaruhi proses bekerjanya hukum, positifisme hukum menganggap hal itu garapan hukum lagi. Disinilah sebenarnya letak kelemahan analitikal yuriprudensi bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya bersifat tertutup. Sistim yang tertutup sama sekali akan menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah hukum terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan-perubahan itu menyebabkan timbulnya kebutuhan-kebututhan baru, lagipula suatu sistim hukum tidak akan bertahan hidup lama jika tidak mendapat dukungan
20
sosial yang luas. Dengan demikian sistim hukum haruslah bersifat terbuka, karena sistim hukum tidak dapat dilepaskan dari sistim sosial lainnya. Sistim sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat bagi tumbuh dan berkembangnya hukum yang hidup dalam masyarakat (yang bersifat fleksibel dan dinamis). Memisahkan hukum dengan moral seperti rasa keadilan yang dianut positifisme hukum tidak dapat dianut lagi oleh karena rasa keadilan tersebut merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan hukum yang termuat dalam kodifikasi tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas. Menyadari hukum positif hidup dalam masyarakat, maka secara langsung atau tidak langsung kehidupan hukum positif yang otonom tersebut mengalami kontaminasi dengan bidang-bidang lain diluar hukum. Suasana akan menjadi lain manakala cara-cara mengkaji dan menerapkan hukum dihadapkan pada suatu kondisi perubahan dan perkembangan masyarakat misalnya terjadi penyimpangan-penyimpangan hukum positif dalam masyarakat seperti dikenal dengan istilah patologi hukum. Disinilah hukum positif tidak mampu menjawabnya, situasi kritis hukum semacam ini mengakibatkan timbulnya beragam pertanyaan tentang interaksi hukunm positif dengan masyarakat. Suasana perubahan hukum dalam masyarakat dengan sekalian problemnya tersebut membutuhkan suatu disiplin ilmu yang berangkat dari metode observasi teradap kenyataan.12 G. Kekayaan Campuran/Harta Bersama
12
Saifullah,2007. Refleksi sosiologi hukum, Bandung,P.T Refika Aditama, hlm. 70-73
21
Berdasarkan KUHPer (BW)
menganut asas yang dinamakan
“percampuran bulat” yang berarti bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya kedalam perkawinan itu dicampur menjadi satu, sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami dan isteri. Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama mereka dan apabila mereka bercerai (meskipun baru satu bulan kawin), maka kekayaan bersama itu harus dibagi dua sehingga masing-masing akan mendapat separuh. Sebagaimana juga diketahui maka dalam dalam hukum adat berlaku “asas perpisahan harta”, yang berarti yang dibawa oleh masingmasing kedalam perkawinan (dinamakan “barang asli”) tetap menjadi milik masing-masing. Yang dicampur menjadi satu hanyalah karta yang diperoleh dari usaha (karya) bersama selama perkawinan.13 Menurut Heny Tanuwidjadja14 bahwa dalam harta campur juga, maka pembagiannya adalah sebagai berikut: 1. Seluruh harta campur dicatat/diinventarisir baik yang berasal dari suami maupun dari isteri-isteri. 2. Dilunasi apa-apa yang menjadi beban budel. 3. Sisanya dibagi secara adil (separuh-separuh) 4. Harta warisan ini dikurangi dengan ongkos-ongkos yang menjadi beban warisan. 13
Subekti, 2002.Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta, Intermasa, hlm.7 Ibid. hlm 8
14
22
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur bahwa: a. Harta benda yeng diperoleh selam perkawinan menjadi harta bersama; b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta bawaan yang diperoleh mesing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Menurut M. Yahya Harahap15 (mantan Hakim Agung RI), harta benda yang diperoleh suami-istri yang dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Perinciannya adalah sebagai berikut: a. Harta yang dibeli selama perkawinan tidak dipersoalkan siapa yang membeli, apakah suami atau istri. Tidak dipersoalkan pula atas nama siapa harta itu terdaftar. Pokoknya semua harta yang dibeli dalam suatu perkawinan yang sah, adalah termasuk kategori harta bersama. b. Harta yang dibeli sesudah perceraian terjadi yang dibiayai dari harta bersama. Misalnya selama masa perkawinan suami-istri itu mempunyai uang tabungan di bank, kemudian terjadi perceraian sedangkan uang tabungan yang berasal dari usaha bersama yang diperoleh selama dalam perkawinan itu masih dalam penguasaan suami, dan belum dilakukan pembagian di antara mereka. Dari uang tersebut kemudian suami membangun sebuah rumah dan membeli satu unit mobil.
15
Anshary MK, Hukum Perkawinan Di Indonesia. hlm.133
23
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan. Semua harta yang diperoleh selama masa perkawinan dihitung sebagai harta bersama, tetapi itu harus dibuktikan. Tidak dipermasalahkan harta itu terdaftar atas nama siapa, termasuk terdaftar atas nama orangtua, saudara kandung suami atau istri atau sekalipun, apabila dapat dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama masa perkawinan suami-istri itu, maka hukum menganggap bahwa harta itu merupakan harta bersama suami-istri tersebut. d. Segala penghasilan yang didapat dari harta bersama dan harta bawaan masing-masing. Harta bawaan dapat berupa warisan, hibah, wasiat yang diterima oleh masing-masing suami istri dari orang tuanya atau dari selainnya. Begitu pula harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebelum terjadi perkawinan, adalah harta bawaan. Penghasilan yang diperoleh dari harta bawaan itu dihitung sebagai harta bersama. e. perkawinan. Suami yang berprofesi sebagai pedagang dan istri sebagai pegawai negeri/PNS, penghasilan masing-masing mereka jatuh menjadi harta bersama. Bagaimana jika misalnya hanya suami saja yang bekerja dan mendapat penghasilan, sementara si istri berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang tugas sehari-harinya hanya mengurus anak dan tidak mempunyai penghasilan. Dapatkah penghasilan suami itu dianggap senagai harta bersama? Jawabannya adalah dapat, sebab segala penghasilannya yang diperoleh selama dalam perkawinan, dihitung sebagai harta bersama. Tidak dipermasalahkan siapa yang mencari, atas
24
hasil usaha siapa. Selama harta itu diperoleh dalam perkawinan yang sah, maka ia jatuh menjadi harat bersama.16 Undang-Undang perkawinan hanya mengatur masalah harta bersama ditinjau dari cara perolehannya, tetapi tidak membicarakan harta bersama dari aspek lainnya seperti harta bersama dalam bentuk benda berwujud dan benda tidak berwujud. Benda berwujud meliputi: a. Benda tidak bergerak. Seperti rumah, tanah,pabrik. b. Benda bergerak, seperti perabot rumah tangga, mobil. c. Surat-surat berharga, seperti obligasi deposito, cek, bilyet gro, dll. Adapun benda yang tidak berwujud, dapat berupa: a. Hak, seperti hak tagih terhadap piutang yang belum dilunasi, hak sewa yang belum jatuh tempo; b. Kewajiban, seperti kewajiban membayar kredit, melunasi hutanghutang. berdasarkan Pasal 35 (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 mengatur masalah harta benda yang tidak termasuk harta benda yang tidak termasuk harta bersama berikut. 1. Harta bawaan masing-masing suami-istri. Yang dimaksud dengan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami-istri sbeelum terjadinya ikatan perkawinan sah. Misalnya: uang tabungansuami atau istri sebelum nikah yang kemudian itu dibawa kedalam perkawinan. 16
Ibid.134-135
25
2. Harta yang dioperoleh masing-masing suami istri dalam bentuk hibah, wasiat, warisan yang diterima suami atau istri sebelum atau setelah mereka melakukan perkawinan.17 Semua harta yang tersebut dalam poin 1 dan 2 diatas adalah harta bawaan masing-masing suami-istri yang penguasaannya berada pada masingmasing suami-istri yang tersebut, yang tidak termasuk harta bersama, kecuali menentukan lain dengan suatu perjanjian bahwa harta bawaan itu dijadikan sebagai harta kesatuan bulat. Dari ketentuan Pasal 35 (b) di atas dapatb diketahui bahwa asas yang terkandung dalam Undang-Undang perkawinan tentang harta dalam perkawinan di Indonesia adalah menganut asas terpisah. Artinya bahwa setiap harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan tidak secara otomatis menjadi harta kesatuan bulat dengan harta yang diperoleh selama perkawinan, tetapi masing-masing harta bawaan tersebut terpisah dan menjadi penguasaan dari masing-masing suami-istri. Dalam Pasal 86 dan Pasal 87 Komplikasi Hukum Islam diatur bahwa paada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri kearena perkawinan. Artinya bahwa harta bawaan masing-masing suami istri tidak
secara
otomatis
merupakan
harta
kesatuan
bulat
karena
perkawinaan.Tetapi harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh oleh suami.Demikian pula harta bawaan istri tetap menjadi hak dan dikuasai
17
Ibid. 136
26
penuh oleh istri.Dan terhadap harta bawaan tersebut suami atau istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum. Termasuk arta yang diterima dalam perkawinan dalam bentuk hibah, wasiat, waris. Perlu diingat bahwa seluruh hasil dari harta bawaan tersebut yang diperoleh selama ikatan perkawinan, maka jatuh menjadi harta bersama.18
18
Ibid.137
27