BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka Padi merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai sekarang menjadi tanaman utama dunia. Bukti sejarah di Provinsi Zeijing, Cina Selatan, menunjukkan bahwa padi di Asia sudah ada 7000 tahun yang lalu. Diduga tanaman padi berasal dari bagian utara Benggala India kemudian meluas ke Tiongkok, Jepang, Birma, Thailand, Laos hingga Persia dan Mesopotamia. Sedangkan di Jawa tanaman padi telah dipertanam orang jauh sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia (Soemartono, dkk., 1997).
Padi merupakan bahan makan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun sebagai bahan makanan pokok padi dapat digantikan/disubsitusi oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain (AAK, 1990).
Hingga saat ini dan puluhan tahun ke depan, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Pada tahun 2004 rata-rata kebutuhan beras per
kapita sebesar 141 kg/tahun, yang terdiri dari
konsumsi langsung rumah tangga 120 kg dan penggunaan industri pengolahan pangan 21 kg. Selama periode 2005-2010, permintaan beras diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 52,3 juta ton menjadi 55,8 juta ton setara gabah (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).
11 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Perkiraan neraca ketersediaan padi berdasarkan trend 2000-2010, (GKG) Tahun Luas Produktivitas Produksi Permintaan Neraca panen (ton/ha) (000 ton) (000 ton) (000 ton) (000 ha) 2004 11.875 4.58 54.430 52.258 +2.172 2005 11.768 4.63 54.480 52.836 +1.643 2006 11.662 4.68 54.529 53.421 +1.108 2007 11.557 4.72 54.579 54.021 +567 2008 11.453 4.77 54.629 54.61 +19 2009 11.350 4.82 54.678 55.214 -536 2010 11.248 4.87 54.728 55.825 -1.097 Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005
Produksi beras mendapat prioritas dibandingkan produk pangan bukan beras, karena potensi produksinya yang besar dalam perekonomian Indonesia. Apabila kemantapan produksi dapat dicapai dan laju kenaikan konsumsi dapat ditekan, pada masa yang akan datang kemungkinan Indonesia berpotensi tinggi menjadi pengekspor beras. Namun masalahnya ialah pasaran beras dunia yang relatif terbatas (Haryadi, 2008).
Surplus beras di Indonesia dicapai pada tahun 1985, namun pada tahun berikutnya pertumbuhan produksi hanya mencapai 0,9%. Pertumbuhan produksi pada dua tahun sebelumnya sebenarnya juga cukup rendah,yaitu 2% dan 1%. Pertumbuhan produksi ini ternyata lebih rendah daripada pertumbuhan jumlah penduduk, yaitu sekitar 2,15% per tahun pada kurun waktu 1980 -1985. Dengan demikian, mudah dimengerti apabila pada tahun-tahun berikutnya kecukupan beras merupakan masalah yang berat (Haryadi, 2008).
Tingkat konsumsi beras di Indonesia paling besar dibandingkan komoditi pangan lainnya seperti gandum, beras, jagung, sorgum dan millet. Hal ini terbukti dengan
12 Universitas Sumatera Utara
ditetapkannya Indonesia sebagai negara dengan urutan kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras terbesar. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999 (dalam kg per kepala per tahun) Wilayah
Gandum
Beras
Jagung
Sorgum
Millet
Amerika Tengah dan Utara
70,90
10,80
40,10
1,20
0,00
Amerika Serikat
86,80
8,60
13,80
1,10
0,00
Amerika Tengah
37,10
9,40
112,10
1,80
0,00
Amerika Selatan
55,50
31,80
21,80
0,00
0,00
Brazil
47,40
39,50
18,00
0,00
0,00
Eropa Barat
97,60
4,80
5,80
0,00
0,00
Rusia
131,70
4,90
0,30
0,00
2,90
Afrika
46,30
17,80
41,40
19,50
12,90
Sekitar sahara
15,90
17,50
38,90
24,90
16,90
Asia
69,90
86,40
13,90
2,80
3,00
Cina
82,60
91,60
19,70
1,10
0,80
India
57,30
75,80
8,80
8,00
9,10
Indonesia
16,30
151,00
34,40
0,00
0,00
Bangladesh
19,00
161,00
0,30
0,00
0,40
Pasifik
66,90
15,20
3,40
0,60
0,00
Rata-rata Dunia 70,80 57,80 Sumber: Data FAO, 2001 (Childs, 2004)
19,00
4,30
3,50
Luasan panen, produksi dan produktivitas padi di Sumatera Utara berfluktuasi dari setiap tahun. Namun tetap dalam kondisi tinggi, hal ini terbukti dari terus meningkatnya produktivitas padi di Sumatera Utara. Tabel 4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011-2013 Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas TM (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 2011 757547 3607403 47.62 2012 765099 3715514 48.56 2013 742968 3727249 50.17 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2014
13 Universitas Sumatera Utara
2.2 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Hakim (2014) tentang daya saing usahatani padi sawah dengan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di provinsi Lampung. Berdasarkan analisis policy analysis matrix usahatani padi sawah SLPTT di Provinsi Lampung memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam produksi padi sehingga usahatani padi layak untuk terus dikembangkan, hal ini dilihat dari nilai PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0,3734 dan DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) sebesar 0,2747. Analisis sensitivitas terhadap keunggulan kompetitif pada usahatani padi sawah dengan sistem PTT menunjukkan bahwa kenaikan harga benih, harga pupuk urea, pupuk NPK, pupuk TSP, pupuk organik, pupuk KCL dan pupuk kandang sebesar seratus persen bersifat inelastis. Adapun penurunan harga output padi sebesar sepuluh persen bersifat elastis terhadap keunggulan kompetitif.
Penelitian Dewi (2011) tentang dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan ushatani padi di Kabupaten Tabanan. Hasil analisis menunjukkan besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masingmasing adalah 0,70 dan 0,69. Dengan demikian usahatani padi sawah di Kabupaten
Tabanan
mempunyai
keunggulan
kompetitif,
karena
untuk
menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan biaya domestik yang lebih kecil dari satu unit. Dampak kebijakan subsidi pupuk pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan antara lain (1) terjadi kebijakan pajak terhadap input tradabel usahatani padi sawah pada musim kemarau, hal ini ditunjukkan dengan divergensi input tradable sebesar Rp 167.907,63, (2) petani membayar komponen input
14 Universitas Sumatera Utara
tradable usahatani padi sawah pada musim kemarau lebih mahal dari harga sosialnya sebesar 15 %, sebaliknya pada musim hujan petani terproteksi dengan membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya, serta (3) usahatani padi sawah baik musim kemarau maupun musim hujan sama-sama menerima insentif positif dari pemerintah, dimana besarnya insentif positif (nilai tambah) dari usahatani padi pada musim kemarau adalah 143 % dari nilai tambah pasar persaingan sempurna, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar 125 %.
Penelitian Daryanto (2009), tentang posisi daya saing pertanian Indonesia dan upaya peningkatannya. Hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif untuk komoditi padi dengan menggunakan ilustrasi nilai koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PRC (Private Cost Ratio). Hasil penelitian menunjukkan (1) Nilai koefisien DRCR padi daerah Sentara produksi di Pulau Jawa dengan mengambil kasus di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Jawa Barat diperoleh nilai kisaran antara 0.78 – 0.99. Sedangkan di Klaten, Jawa Tengah berkisar antara 0.74 – 0.96. Sementara itu di Kediri dan Ngawi, Jawa Timur berkisar antara 0.74 – 1.00. (2) koefisien PRC padi daerah Sentra produksi di Pulau Jawa dengan mengambil kasus di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Jawa Barat diperoleh nilai kisaran antara 0.70 - 0.88. Sedangkan di Klaten, Jawa Tengah berkisar antara 0.76 – 0.94. Sementara itu di Kediri dan Ngawi, Jawa Timur berkisar antara 0.69 - 94. (3) Nilai koefisien DRCR beberapa wilayah Sentara produksi di luar Pulau Jawa, untuk Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar antara 0.56 – 0.88; sedangkan di Kabupaten Agam Sumatera Barat berkisar antara 0.70 – 0.98; dan (4) Nilai koefisien PRC padi beberapa wialyah sentra produksi luar Jawa, untuk Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar
15 Universitas Sumatera Utara
antara 0.55 – 0.87; sedangkan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat berkisar antara 0.68 – 0.79. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif padi atau beras relatif rendah, keunggulan komparatif tersebut masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena masih adanya proteksi pemerintah baik berupa subsidi input maupun kebijakan tarif impor beras.
2.3
Landasan Teori
2.3.1 Konsep Usahatani Pengertian Usahatani Usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya (Suratiyah, 2009).
Sarana Produksi dalam Usahatani Padi Sawah Sarana produksi yang diperlukan dalam usahatani padi sawah selain lahan, dan tenaga kerja umumnya adalah bibit, pupuk, dan obat-obatan agar produksi padi baik sehingga keuntungan yang maksimum dapat tercapai perlu dilakukan pemberian input yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, cara pemberian, waktu pemberian dan dosis juga harus tepat. Semuanya itu juga ditambahkan dengan pemilihan bibit, penyemaian, pengolahan tanah, penyiangan, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Semua hal tersebut diatas lazimnya disebut dengan teknologi. Penggunaan input produksi dengan teknologi yang ada dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan produksi yang diinginkan. Tujuan produksi tersebut adalah tingkat keuntungan yang maksimum. Proses produksi usahatani
16 Universitas Sumatera Utara
padi diperlukan beberapa macam masukan yang biasa disebut sarana produksi (Daniel, 2002).
Sarana produksi yang digunakan dalam usahatani padi sawah adalah sebagai berikut : - Lahan Menurut Hanafie (2010), penggunaan lahan/tanah dalam usahatani tanaman padi adalah berupa lahan sawah. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetakpetak
dan
dibatasi
oleh
pematang
(galengan),
saluran
untuk
menahan/menyalurkan air yang biasanya ditanami padi sawah. Lahan sawah dibedakan menjadi : a) Lahan sawah irigasi (berpengairan), yaitu lahan sawah yang mendapatkan air dari sistem irigasi, baik bangunan penyadap dan jaringannya yang dikelola oleh instansi pemerintah seperti Dinas Pengairan maupun oleh masyarakat. b) Lahan sawah tanpa irigasi (tak berpengairan) yang meliputi sawah tadah hujan (sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan), sawah pasang-surut (sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut), dan sawah lainnya (misalnya, lebak, polder, lahan rawa yang ditanami padi, dan lain-lain).
Luas lahan sawah di Sumatera Utara setiap tahunnya cenderung menurun. Hal ini terbukti pada data tabel 5 perkembangan luas lahan sawah di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013. Semakin menurunnya luas lahan sawah di Sumatera Utara mempengaruhi produktivitas padi sawah di Sumatera Utara.
17 Universitas Sumatera Utara
Tabel 5. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Sumatera Utara Tahun 20082012 Tahun Luas Lahan Sawah (Ha) 2008 478.521 2009 464.256 2010 468.724 2011 468.442 2012 423.19 Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekertariat Jenderal Kementerian Pertanian, 2013 - Pupuk Pupuk merupakan kunci dari kesuburan tanah karena berisi satu Pemberian pupuk dengan komposisi yang tepat dapat menghasilkan produk kualitas. Pupuk yang sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik (Firdauzi, 2013).
Dewasa ini perkembangan produksi dan produktivitas padi di Sumatera Utara cukup memprihatinkan. Menurut data BPS (2007) produksi padi Sumatera Utara selama periode 1998-2006 mengalami penurunan rata-rata sebesar 23% per tahun. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya produksi padi sawah (rata-rata 1,13% per tahun), sedangkan produksi padi ladang menurun rata-rata sebesar 3,14% per tahun. Rendahnya produksi padi di Provinsi Sumatera Utara antara lain disebabkan oleh kelangkaan faktor produksi, di antaranya adalah pupuk. Masalah yang sering terjadi menjelang musim tanam adalah langkanya pupuk tunggal dan penggunaan pupuk yang tidak berimbang (Ramija, dkk., 2010).
Sejak empat tahun terakhir, penggunaan pupuk bersubsidi di Sumatera Utara juga terus meningkat, yaitu 200.000 ton pada tahun 2007, menjadi 298.299 ton pada tahun 2008, lalu 300.000 ton pada tahun 2009 dan kemudian sebanyak 300.000 ton, dan kemudian 498.399 ton pada tahun 2010 (DISTAN Sumut, 2009).
18 Universitas Sumatera Utara
Berbagai pihak sering menyatakan bahwa ada keterkaitan yang erat antara permasalahan produksi padi dengan kebijakan subsidi pupuk, baik yang terkait dengan harga, distribusi maupun dosis penggunaan. Dosis penggunaan pupuk, terutama Urea untuk tanaman padi, telah banyak rekomendasi, namun banyak petani di beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti kabupaten Karo, Simalungun, Langkat dan Deli Serdang, yang menggunakan dosis pupuk melebihi anjuran yaitu sekitar 400-500 kglha, padahal yang direkomendasikan adalah sekitar 250-300 kg/ha (DISTAN Sumut, 2009). Kelebihan dosis penggunaan pupuk dapat menimbulkan rendahnya efektifitas dan efisiensi biaya input produksi, sehingga pendapatan petani dalam usahatani padi kurang maksimal (Ramija, 2010).
- Benih Menurut Hakim (2004), benih padi adalah gabah yang di hasilkan dengan cara dan tujuan khusus untuk disemaikan menjadi pertanaman. Kualitas benih itu sendiri akan ditentukan dalam proses perkembangan dan kemasakan benih. Berdasarkan mutu benih padi dibagi dua antara lain benih bersertifikasi (yang dibeli) yaitu sistem perbenihan yang mendapatkan pemeriksaan lapangan dan pengujian laboratoris dari instansi yang berwenang memenuhi standar yang telah ditentukan dan benih tak bersertifikasi (bibit yang dibuat sendiri) yaitu bibit yang dikelola petani yang biasanya petani menyisihkan hasil panen yang lalu untuk bibit tanaman berikutnya. Kalau tidak petani membeli gabah dari petani yang lain untuk bibit. Bibit yang dibuat petani kurang berkualitas dan kadang hasil produksinya kurang standar (jika dilihat dari luas lahan).
19 Universitas Sumatera Utara
- Pestisida Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah penyakit pada tanaman dan hasil pertanian (Hakim, 2014).
- Air Air merupakan faktor lain yang juga penting dalam usaha peningkatan produksi. Air dapat berasal dari air hujan atau irigasi (pengairan yang diatur oleh manusia). Bila masalah irigasi ini dapat diatasi dengan baik, misalnya dengan pembuatan waduk beserta saluran-salurannya maka ada kemungkinan frekuensi penanaman dapat ditingkatkan, yang semula hanya dapat ditanami sekali setahun, akhirnya dapat ditanami dua atau bahkan tiga kali dalam setahun. Dengan kemajuan teknologi, masalah air pada lahan-lahan pasang-surut, rawa, serta lahan tadah hujan dapat diatasi. Dengan jaringan irigasi yang sesuai, tanah rawa yang semula hanya dapat ditanami pada musim kemarau kini dapat ditanami sepanjang tahun. Ini akan memperluas area persawahan secara keseluruhan yang dapat meningkatkan produksi pangan dan menyukseskan pembangunan pertanian. Usaha ini memerlukan biaya, waktu, tenaga dan keterampilan yang tinggi (Hanafie, 2010).
Ketersediaan air irigasi untuk pengairan pada usahatani padi sawah akan mempengaruhi penggunaan masukan-masukan produksi, seperti penggunaan benih, pupuk, obat-obat kimia pengendali hama, penyakit dan gulma, tenaga kerja dan biaya usahatani lainnya. Secara agronomis benih padi varietas unggul sangat responsif terhadap pemupukan, dengan syarat apabila tersedia air yang cukup. Hal
20 Universitas Sumatera Utara
ini berarti, tersedianya air irigasi yang cukup akan mampu meningkatkan produktivitas padi (Puspito, 2011).
Ketersediaan air sangat berpangaruh dalam biaya operasional pengairan. Lahan sawah dimana air irigasi dapat diperoleh dari jaringan irigasi, seperti di bagian hulu jaringan irigasi, petani cukup membayar iuran irigasi sedangkan jika air irigasi sulit atau tidak dapat diperoleh dari jaringan irigasi maka petani harus menggunakan pompa air untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan iuran irigasi (Puspito, 2011).
- Tenaga Kerja Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, ketrampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP (Hermanto, 1989).
Biaya Produksi dalam Usahatani Biaya produksi dapatlah didefinisikan sebagai semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi perusahaan tersebut (Sukirno, 2013).
21 Universitas Sumatera Utara
Menurut Sukirno (2013), biaya produksi di bagi 2 yaitu : - Biaya tetap dan biaya variabel Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang tidak dapat diubah jumlahnya. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang dapat diubah jumlahnya. - Biaya rata-rata dan biaya marginal Biaya produksi rata-rata meliputi biaya produksi total rata-rata, biaya produksi tetap rata-rata, dan biaya produksi berupa rata-rata. Biaya rata-rata dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut : AC =
TC Q
Dimana : AC
: Biaya rata-rata
TC
: Total biaya
Q
: Jumlah output
Sedangkan biaya produksi marginal yaitu tambahan biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk menambah satu unit produksi. Biaya marginal dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut : MC =
∆TC ∆Q
Dimana : MC
: Biaya marginal
∆TC
: Perubahan total biaya
∆Q
: Perubahan jumlah output
22 Universitas Sumatera Utara
Penerimaan Penerimaan adalah semua penerimaan produsen dari hasil penjualan barang atau outputnya. Penerimaan dalam rumus dapat ditulis sebagai berikut : TR = P.Q Dimana : TR = Total Penerimaan petani padi sawah (Revenue) (Rp) P = Harga beras di pasar lokal (Price) (Rp/Kg) Q = Jumlah beras yang dihasilkan (Quantity) (Kg) Pendapatan Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya usahatani. Pendapatan dapat ditulis dalam rumus sebagai berikut : = TR – TC Dimana : = pendapatan/keuntungan petani padi sawah (RP) TR = Total Penerimaan petani padi sawah (Revenue) (Rp) TC = Total biaya usahatani padi sawah (Rp)
2.3.2 Konsep Daya Saing Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah. Sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh harga laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992).
23 Universitas Sumatera Utara
Keunggulan daya saing suatu negara mencakup tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara-negara yang mempengaruhi daya saing ditingkat internasional. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan (Porter, 1998).
Keunggulan Kompetitif Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Michael E. Porter pada tahun 1980, bertitik tolak
dari kenyataan-kenyataan perdagangan
internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain didalam perdagangan internasional secara spresifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu subsektor tertentu di suatu negara, dengan meningkatkan produktivitas
penggunaan
sumberdaya-sumberdaya
yang
ada
(Waar, 1994 dalam Suryana, 1995).
Menurut Porter (1990) dalam Halwani (2002), suatu negara secara nasional dapat meraih keunggulan kompetitif apabila memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau prasarana 2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu 3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional
24 Universitas Sumatera Utara
4. Strategi perusahaan itu sendiri dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan
Selain keempat
faktor penentu
dalam
tingkat persaingan internasional
(international competitiveness) tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan (penemuan baru, melonjaknya harga, perubahan kurs dan konflik keamanan antar negara) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Dimana semakin tinggi tingkat persaingan perusahaan di suatu negara maka semakin tinggi tingkat daya saing internasionalnya. Semakin kaya atau banyak sumber daya alam sebuah negara, semakin besar permintaan domestik serta semakin banyak industri pendukung atau pelengkap di suatu negara, maka semakin kuat daya saing negara tersebut di tingkat internasional (Porter, 1990).
Konsep keunggulan kompetitif yang ditawarkan dapat diciptakan, antara lain melalui akumulasi pekerja berketerampilan dan industri tertentu yang bernilai tambah tinggi. Karena itu pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi menjadi faktor utama dalam menerapkan konsep keunggulan kompetitif (Halwani, 2002).
Keuggulan Komparatif Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi ke-dua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk
25 Universitas Sumatera Utara
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
Analisis keunggulan komparatif adalah analisis ekonomi (sosial). Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif berarti pula efisien secara ekonomi, dimana perhitungan dengan nilai ekonomi selalu memakai harga bayangan (shodow price) yang menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya dari unsur biaya atau hasil. Salah satu alat ukur keunggulan komparatif / komoditas adalah Domestic Recource Cost (DCR) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) merupakan ukuran biaya alternatif sosial (Social Opportunity Cost) dari penerimaan satu unit marginal devisa bersih suatu aktivitas ekonomi dimana pengukurannya dilakukan didalam bentuk input domestik langsung dan tidak langsung digunakan. Rumusan BSD merupakan penurunan dari Keuntungan Sosial Bersih (KSB). KSB yaitu keuntungan bersih dari suatu aktivitas dinilai berdasarkan harga bayangannya sehingga efek distorsi pasar dan eksternalitas lainnya dapat diminimumkan pengaruhnya. Dalam hal ini seluruh output dan input dinilai berdasarkan harga bayangannya (Rustam 2009).
Keunggulan komparatif suatu negara akan bergeser apabila jumlah, macam dan kualitas sumber daya ekonominya berubah. Keunggulan komparatif juga dapat berubah sebagai akibat “kebijaksanaan pemerintah” dan juga dapat berubah jika keunggulan produksi dan daya saing negara patner dagangnya berubah. Biasanya
26 Universitas Sumatera Utara
keunggulan komparatif suatu negara bergeser atau berubah sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan negara tersebut (Halwani, 2002).
Daya Saing Usahatani Padi Keunggulan komparatif akan dapat dicapai suatu produk dari komoditas yang sama mampu dihasilkan dengan nilai input yang lebih rendah, sedangkan keunggulan kompetitif terjadi manakala dalam suatu luasan lahan yang sama mampu dihasilkan produk yang menghasilkan pendapatan relatif tinggi, yang perlu dipertimbangkan disini fokusnya tidak hanya pada aspek produktifitas saja melainkan juga aspek kualitas, agar nilai jualnya relatif tinggi. Faktor harga input dan harga output menjadi kunci dalam keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif ini (Hendayana, 2003).
Pada hakekatnya, keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor teknis, ekonomis dan sosialkelembagaan. Beberapa faktor teknis yang mempengaruhi diantaranya : (a) iklim, yang sangat mempengaruhi ketersediaan dan akses petani ke sumberdaya air, (b) infrastruktur irigasi, yang mempengaruhi ketersediaan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya air, (c) aksesibilitas lokasi terhadap sarana dan prasarana ekonomi, dan (d) tingkat adopsi teknologi, seperti penggunaan pupuk berimbang, pestisida dan benih berlabel, yang akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas hasil. Beberapa Faktor ekonomi yang sangat berpengaruh adalah harga input dan output, nilai tukar rupiah, tingkat upah dan tingkat suku bunga, di mana faktorfaktor tersebut sangat terkait dengan mekanisme pasar input, tenaga kerja dan pasar modal di pedesaan (Rachman dkk., 2001).
27 Universitas Sumatera Utara
Tingkat daya saing usahatani padi sangat sensitif terhadap penurunan produktivitas, tingkat harga di pasar dunia, dan perubahan nilai tukar rupiah. Ketiga faktor ini merupakan kendala yang sulit ditangani dalam mempertahankan keunggulan komparatif usahatani padi. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah perbaikan efisiensi usahatani melalui: (a) penerapan teknologi spesifik lokasi, (b) rasionalisasi penggunaan sarana produksi, (c) perbaikan kelembagaan pasar
input
dan
output,
dan
(d)
perbaikan
manajemen
usahatani
(Rachman, 2001).
Untuk komoditas padi, meskipun hingga saat ini tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namun keunggulan yang dimiliki semakin rendah dan rentan terhadap perubahan eksternal. Sebagai ilustrasi nilai koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio) untuk komoditas padi pada berbagai tipe irigasi dibeberapa wilayah memberikan gambaran bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif padi atau beras relatif rendah, keunggulan komparatif tersebut masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena masih adanya proteksi pemerintah baik berupa subsidi input maupun melalui kebijakan tarif impor beras (Daryanto, 20009; Rachman, dkk., 2004 dalam Susilowati, dkk., 2010).
2.3.3 Kebijakan Pemerintah Definisi Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah adalah pemilihan sebuah alternatif terbaik dari sekian banyak alternatif yang bersaing satu sama lain untuk mendominasi yang lainnya,
28 Universitas Sumatera Utara
kegiatan ini berlangsung terus menerus. Hal ini sangat penting untuk mengatasi keadaan pemerintah, pembangunan dan kemasyrakatan (Gunawan, 2011).
Menurut Bakti (2011), sesuai dengan sistem administrasi Negara Republik Indonesia kebijakan dapat terbagi 2 (dua) yaitu : - Kebijakan internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri. - Kebijakan eksternal (publik), suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum. Sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis
Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh PemerintahDaerah akan melahirkan Surat Keputusan (SK), Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain (Bakti, 2011).
Konsep Kebijakan Pemerintah Menurut Pearson, dkk (2005), terdapat empat komponen utama kerangka kebijakan (Policy Framework) yaitu pertama tujuan (objectives), tujuan yang diharapkan bisa dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Kedua kendala (constrains), suatu kedaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Ketiga kebijakan (policies), sebuah kebijakan yang efektif akan mengubah perilaku produsen, pedagang dan konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Keempat strategi (strategies), seperangkat instrument kebijakan yang yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi
29 Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Keempat kerangka kebijakan tersebut disajikan pada Gambar 1. di bawah ini. Terdiri atas Strategi
Kebijakan Dilaksanakan Melalui
Evaluasi Tujuan
Kendala Mendukung atau menghambat
Gambar 1. Grafik Alur Kerangka Kerja (Framework) Kebijakan Sumber : Pearson et al, 2005
Tujuan Kebijakan Pemerintah Tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam tiga tujuan utama yaitu, efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuatan kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui dirtribusi pendapatan yang lebiha baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan merupakan aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijkanlah (secara tidak langsung juga pemilih (voters) dalam sebuah system demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan akan meningkat apabila stabilitas politik
maupun
ekonomi
memungkinkan
produsen
maupun
konsumen
meminimumkan biaya penyesuaian (adjustment costs) (Pearson, dkk., 2005).
30 Universitas Sumatera Utara
Konsep Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanian Pemerintah perlu campur tangan untuk mempengaruhi keputusan produsen, konsumen dan para pelaku pemasaran agar terlaksana pembangunan pertanian sesuai dengan yang direncanakan. Campur tangan pemerintah inilah yang kemudian disebut sebagai “politik pertanian” (agriculture policy) atau “kebijakan pertanian” (Hanafie, 2010).
Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi dan kesejahteraan menjadi lebih merata (Hanafie, 2010).
Tujuan umum politik pertanian di Indonesia meliputi peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian, peningkatan produksi pertanian dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan petani serta pemerataan tingkat pendapatan. Ruang lingkup politik pertanian meliputi kebijakan produksi (production policy), kebijakan subsidi (subsidy policy), kebijakan investasi (investment policy), kebijakan harga (price policy), kebijakan pemasaran (marketing policy) dan kebijakan konsumsi (consumption policy) (Hanafie, 2010).
Kebijakan Pertanian di Sektor Pangan Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan sangat diperlukan, khususnya kebijakan
dalam
ketersediaan
beras.
Menurut
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian (2006), beras merupakan tumpuan utama ketahanan pangan nasional yang sebagian besar (>90%) dipasok dari lahan sawah di 18
31 Universitas Sumatera Utara
provinsi penghasil utama padi. Setelah tahun 1984, Indonesia kembali berswasembada beras pada tahun 2004 dan diharapkan dapat terus dipertahankan. Meskipun demikian, produksi padi nasional berfluktuasi akibat berbagai hal, terutama anomali iklim, gangguan hama penyakit, inovasi teknologi, ketersediaan sarana produksi.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2006), salah satu sarana produksi yang sangat vital peranannya dalam mendukung upaya peningkatan produksi padi nasional adalah pupuk, terutama N, P dan K. Varietas unggul (modern) yang kini mendominasi areal pertanaman padi nasional umumnya responsif terhadap ketiga pupuk makro tersebut. Namun efisiensi dan efektivitasnya tergantung pada lokasi setempat. Hingga saat ini rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah masih bersifat umum, sehingga pemupukan belum rasional dan efisien. Sebagian petani menggunakan pupuk dengan takaran yang berlebihan, dan sebagian lainnya dengan takaran yang lebih redah sehigga produksi padi tidak optimal.
Permasalahan pangan di Indonesia muncul karena adanya ciri-ciri di bidang produksi dan konsumsi. Ciri produksi pangan Indonesia antara lain adanya ketimpangan antara tempat yang berkaitan dengan kerumitan dalam pemasaran dan distribusinya. Selain produksi pangan tidak merata menurut tempat, juga tidak merata menurut waktu, yang pada akhirnya akan menimbulkan kendala tambahan dalam struktur distribusi, serta secara langsung akan berpengaruh terhadap harga yang akan diterima petani dan yang harus dibayarkan oleh konsumen. Produksi pertanian, khususnya produksi padi-padian setiap tahun selalu berfluktuasi,
32 Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi oleh kondisi cuaca, serangan hama dan penyakit, banjir, bencana alam, dan lain-lain. Produksi berada di tangan jutaan petani kecil yang tersebar tidak merata dan umumnya mereka hanya mengusahakan lahan relative sempit yaitu kurang dari 0,5 Ha, sehingga menyulitkan dalam pengumpulan untuk didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan (Hanafie, 2010).
Sementara itu, konsumsi pangan di Indonesia mempunyai ciri-ciri yaitu adanya perbedaan dalam pola konsumsi antar tempat. Secara umum pola konsumsi pangan di Indonesia digolongkan menjadi 2, yaitu daerah yang masyarakatnya merupakan konsumen beras utama atau mengarah ke beras dan daerah yang masyarakatnya disamping mengkonsumsi beras juga mengkonsumsi bahan bukan beras sebagai bahan pokoknya. Tingkat konsumsi yang berbeda antar tempat lebih mempersulit keadaan dalam alokasi dan distribusi pangan. Konsumsi pangan meningkat terus, khususnya beras. Jumlah penduduk yang cukup besar dan meningkat terus membawa konsekuensi untuk terus meningkatkan penyediaan kebutuhan pangan. Tidak meratanya penyebaran penduduk antar daerah membawa dampak terhadap masalah distribusi pangan (Hanafie, 2010).
Untuk menunjang keberhasilan program peningkatan produksi pangan guna mencapai swasembada pangan, pemerintah telah mengantisipasinya dengan serangkaian kebijakan-kebijakan yaitu kebijakan bidang pembenihan, sarana produksi, pupuk dan pestisida, kebijakan bidang perkreditan, kebijakan bidang pengairan, kebijakan diversifikasi usahatani, kebijakan bidang penyuluhan, kebijakan harga input dan output, dan kebijakan penanganan pasca panen (Hanafie, 2010).
33 Universitas Sumatera Utara
Kendala-Kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian Menurut Pearson, dkk (2005), cakupan kebijakan pertanian dibatasi oleh tiga kendala utama yaitu pertama penawaran, produksi nasional, dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Kedua permintaan, konsumsi nasional, dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera dan harga output. Ketiga harga dunia, harga dunia untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan suplai domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik.
Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian Menurut Pearson, dkk (2005), kebijkan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga katagori yaitu : a) Kebijakan harga komoditas pertanian Setiap instrument kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen
kepada
konsumen
komoditas
bersangkutan
maupun
anggaran
pemerintah, atau sebaliknya. Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah, sementara dalam hal subsidi transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi produksi langsung (direct production subsidy) merupakan transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen. Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasai impor atau ekspor. Hambatan impor menaikkan harga dalam negeri
34 Universitas Sumatera Utara
di atas rata-rata harga dunia, sementara hambatan ekspor menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia.
b) Kebijakan makroekonomi Ada tiga katagori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, kebijakan harga faktor domestik, sumberdaya alam, dan tataguna lahan. Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter kebijakan pemerintah dalam mengendalikan pasokan (suplai) uang yang kemudian mempengaruhi permintaan agregrat. Bila suplai uang meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregrat barang dan jasa, maka timbul tekanan inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut.
Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah konversi mata uang domestik terhadap terhadap mata uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional. Hampir semua negara melakukan impor atau ekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga dunia akan menentukan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan perdagangan.
35 Universitas Sumatera Utara
Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing).
Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang bisa mempengaruhi niali sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku di seluruh wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor domestik lainnya seperti upah minimum atau tingkat bunga maksimum, akan lebih berpengaruh terhadap satu sektor dibandingkan sektor lainnya. Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengatur penggunaan lahan atau mengendalikan eksploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral.
c) Kebijakan investasi publik Invesatasi publik yang didanai dari anggaran pemerintah yaitu infrastruktur, sumberdaya manusia, serta penelitian dan pengembangan teknologi. Infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Investasi publik dalam bentuk infarstruktur bisa meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi.
36 Universitas Sumatera Utara
Investasi publik dalam sumberdaya manusia antara lain berbagai jenis pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keahlian atau keterampilan serta kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolahsekolah formal, pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan gizi masyarakat, klinik, dan rumah sakit.
Investasi publik dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi untuk negara-negara yang mengalami pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi, biasanya melakukan investasi seperti penggunaan penggunaan bibit unggul, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan.
Kebijakan Perberasan Indonesia Masa Lalu Aplikasi kerangka kebijakan meliputi strategi perberasan (“strategy”), instrument kebijakan perberasan (“kebijakan”), peubah-peubah ekonomi utama (“kendala”), dan tujuan utama kebijakan pangan (“tujuan”). Kerangka kebijakan tersebut dapat disajikan pada Gambar 2.
37 Universitas Sumatera Utara
STARTEGI DAN TARGET 4 % pertumbuhan–reguler exports 1 % pertumbuhan–regular imports 2.5% pertumbuhan-swasembada on trend
TUJUAN DASAR KEBIJAKAN PANGAN - Ketahanan pangan dan stabilitas harga - Pertumbuhan ekonomi yang cepat - Distribusi pendapatan yang lebih merata
INSTRUMENT KEBIJAKAN Tingkat harga Stabilitas harga Investasi publik Kebijakan Ekonomi Makro Regulasi pedesaan
PEUBAH EKONOMI UTAMA - Output (beras) - Pendapatan pedesaan hubungan dengan beras - Kesempatan kerja pedesaaan hubungan dengan beras
Gambar 2. Kerangka Kebijakan Perberasan Masa Lalu Sumber : Pearson et al, 2005 Sasaran kegiatan perberasan Indonesia, seperti tertera pada gambar di atas, terdiri atas tiga alternatif. Pertama, berupaya menjadi pengekspor beras melalui tingkat pertumbuhan produksi beras sebesar 4% per tahun. Kedua, tetap melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 1% per tahun. Ketiga, pertumbuhan produksi 2,5% per tahun dengan sasaran mempertahankan swasembada on trend (mengimpor beras ketika produksi jelek dan mengekspor ketika produksi bagus) (Pearson, dkk., 2005).
Keberhasilan Indonesia dalam melakukan Revolusi Hijau (the Green Revolution) pada periode 1970-an dan 1980-an. Selama periode tersebut secara perlahan-lahan Indonesia berubah dari yang semula sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang mampu berswasembada (on trend) beras selama kurang lebih satu dekade, mulai tahun 1984. Strategi pembangunan perberasan
38 Universitas Sumatera Utara
pada masa Revolusi Hijau adalah memperkenalkan teknologi baru dalam bentuk varietas unggul, perbaikan pengelolaan sistem pengairan, penggunaan pupuk kimia, sistem pemasaran yang lebih baik, serta pembangunan irigasi. Subsidi pupuk, harga beras yang stabil, air irigasi tanpa bayar, jalan yang lebih baik dan kondisi makroekonomi yang stabil (Pearson, dkk., 2005).
Instrument kebijakan harga mengubah tingkat harga beras dalam negeri dengan kebijakan yang bersifat netral. Pemeritah saat itu berkeinginan untuk memilki sistem perberasan yang efisien, yang senantiasa menjaga agar harga beras dalam negeri tidak terlalu jauh dari trend harga beras dunia, sehingga dapat dikatakan kebijakan itu tidak mem-proteksi petani, tetapi juga tidak men-disproteksi petani. Namun untuk merangsang petani agar mampu mengadopsi penggunaan teknologi penggunaan teknologi baru, termasuk di dalamnya penggunaan varietas unggul, maka pemerintah memberikan subsidi harga pupuk kimia yang amat besar untuk menurunkan biaya produksi (Pearson, dkk., 2005).
Kebijakan stabilitas harga beras memiliki dampak yang amat positif. Badan Urusan Logistik Nasional (Bulog) menstabilkan harga dalam negeri sehingga fluktuasi harga beras di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional. Badan tersebut memelihara stok penyangga (buffer stock) beras melalui pembelian padi dari petani pada tingkat harga dasar dan melepaskannya ke pasaran ketika harga beras di pasar dalam negeri
mengalami
kenaikan
sampai
pada
tingkat
harga
tertentu
(Pearson, dkk., 2005).
39 Universitas Sumatera Utara
Investasi publik di bidang infrastruktur pedesaan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanaian merupakan komponen kunci dari keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi sampai tiga kali lipat dan berpengaruh terhadap pencapaian swasembada beras meskipun swasembada tersebut hanya berjalan selam kurang lebih 10 tahun. Pemerintah melakukan investasi yang paling amat besar dalam bentuk jalan di pedesaan, pelabuhan , jaringan irigasi, dan pada periode tertentu investasi untuk infrastruktur pedesaan dan penelitian pertanian mencapai 30% dari seluruh investasi (Pearson, dkk., 2005).
Regulasi pemilihan tanaman merupakan satu-satunya kebijakan yang memiliki dampak negatif terhadap produksi padi ere tahun 1970-an dan 1980-an. Di sebagaian Jawa Timur dan Jawa Tengah, para petani “dipaksa” menanam tebu, meskipun sebenaranya mereka lebih suka menanam padi. Kebijakan ini menyebabkan produksi menjadi menurun, pendapatan lebih rendah, dan kesempatan kerja lebih rendah dibandingkan dengan ketika petani diberikan kebebasan untuk memilih pola tanam yang mereka sukai (Pearson, dkk., 2005).
Semua instrumen kebijakan di atas mempengaruhi tingkat produksi beras melalui pengaruhnya atas tiga peubah ekonomi, yaitu jumlah beras yang diproduksi dalam negeri, tingkat pendapatan pedesaan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh peningkatan produksi beras ataupun secara tidak langsung melalui investasi ataupun konsumsi dari produk-produk yang ada hubungannya dengan beras, serta tingkat kesempatan kerja pedesaan yang baik secara langsung maupun tidak langsung diciptakan oleh proses produksi padi. Masing-masing dari ketiga peubah
40 Universitas Sumatera Utara
ekonomi ini pada gilirannya mempengaruhi ketiga tujuan utama kebijakan pangan. Peningkatan produksi padi dalam negeri berkonstribusi terhadap ketahanan pangan dan stabilitas harga dengan mengurangi dampak fluktuasi harga yang terjadi di pasar dunia. Penciptaan pendapatan dengan cara yang efisien melalui pengembangan usahatani padi mengarah kepada peningkatan pendapatan yang cepat, baik lokal maupun nasional. Penciptaan lapangan kerja di pedesaan, scara lngasung dari proses produksi maupun secara tidak langsung dari aktivitas yang berhubungan dengan produksi padi, meningkatkan distribusi pendapatan antara daerah pedesaan dan perkotaan (Pearson, dkk., 2005).
Kebijakan Perberasan Saat Ini Kebijakan perberasan saat ini berupaya menciptakan harga beras dalam negeri 30% lebih tinggi dibanding harga beras yang membebaskan impor. Strategi ini dimaksudkan untuk membantu produsen pada saat harga dunia sedang rendah, yaitu seperempat kali lebih rendah dari trend harga jangka panjang. Namun strategi ini menghalangi konsumen beras dalam negeri dari manfaat yang mungkin diterima dari rendahnya harga dunia, dan dengan sendirinya bisa berdampak
buruk
terhadap
tingkat
gizi
dan
pengetasan
kemiskinan
(Pearson, dkk., 2005).
Instrument kebijakan yang digunakan untuk menjalankan strategi ini adalah tarif impor (spesifik) sebesar Rp 430,00/kilogram. Bila tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif harga beras dalam negeri akan 30% lebih tinggi dari tingkat harga tanpa kebijakan tersebut, dan ternyata harga beras dalam negeri yang terjadi saat ini sekitar 25-30% lebih tinggi. Tingginya ketidakpastian , baik
41 Universitas Sumatera Utara
ekonomi maupun politik, menyebabkan para importir beras membebankan baiaya tambahan sebesar 10-20% untuk menanggulangi risiko perubahan nilai tukar dan tambahan biaya perbankan (Pearson, dkk., 2005).
Secara teoritis pemerintah bisa membantu petani padi dengan instrument kebijakan subsidi produksi langsung, dimana petani akan menerima subsidi yang nilainya sesuai dengan jumlah produksi yang dipasarkan. Kebijakan ini tidak akan menyebabkan naiknya harga beras dalam negeri dan menghilangkan trade-offs antara produsen dan konsumen. Namun kebijakan ini sulit diterapkan dan akan memberikan
beban
yang
amat
besar
kepada
anggaran
pemerintah
(Pearson, dkk., 2005).
Kebijakan investasi publik untuk sektor perberasan masih tetap dijalankan seperti sebelumnya, namun dalam jumlah dan efektivitas yang jauh lebih rendah. Banyak jaringan irigasi dan sarana transportasi yang harus direhabilitas dan dipelihara, namun membutuhkan biaya yang amat besar. Regulasi pola tanam di pedesaan telah dihapuskan (Pearson, dkk., 2005).
Kebijakan Subsidi Menurut Hanafie (2010), subsidi diartikan sebagai pembayaran sebagian harga oleh pemerintah sehingga harga dalam negeri lebih rendah daripada biaya ratarata pembuatan suatu komoditi atau harga internasionalnya. Ada 2 macam subsidi, yaitu : a) Subsidi harga produksi Subsidi ini bertujuan melindungi konsumen dalam negeri, artinya konsumen dalam negeri dapat membeli barang yang harganya lebih rendah daripada biaya
42 Universitas Sumatera Utara
rata-rata pembuatan suatu komoditas dengan harga internasionalnya. Untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian, khususnya beras, pemerintah memberikan subsidi harga faktor produksi, seperti pupuk, pestisida dan bibit. Subsisdi untuk usahatani padi yang ditanggung oleh pemerintah sangat besar, misalnya biaya yang ditanggung pemerintah untuk mengimpor atau memproduksi pupuk dalam negeri. Faktor produksi seperti pupuk ini harus didistribusikan ke seluruh pelosok dengan biaya yang tidak kecil. Biaya transportasi ini ditanggung oleh pemerintah supaya pupuk dapat tersedia secara lokal dengan harga relatif murah. Dalam hal ini, pemerintah memberikan subsidi angkutan.
b) Subsidi harga faktor produksi Untuk memiliki uang tunai. Untuk itu, petani dapat memperoleh kredit dengan bunga yang relatif rendah. Selisih antara bunga bank sesungguhnya dengan bunga yang harus ditanggung petani, dibayarkan oleh pemerintah dalm bentuk subsisdi kepada petani.
Subsidi Pupuk Di Indonesia, pemberian subsidi input kepada petani yang disertai dengan penetapan harga dasar merupakan opsi kebijakan yang telah ditempuh sejak awal Repelita (tahun 1969/1970) pada era pemerintahan Orde Baru untuk menunjang Revolusi Hijau dan program intensifikasi padi dalam upaya mencapai swasembada beras. Jenis input yang disubsidi pada saat itu adalah benih unggul, pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, KCI), pestisida dan suku bunga kredit usahatani. Subsidi input tersebut dimaksudkan untuk membantu petani yang sebagian besar miskin dengan kepemilikan modal dan akses sumber modal sangat terbatas yang
43 Universitas Sumatera Utara
menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan usahataninya (Hadi., dkk, 2009).
Dalam kebijakan subsidi pupuk dan pendistribusiannya terdapat kalangan yang berpendapat bahwa subsidi itu tidak sehat sehingga berapapun besarnya, subsidi harus dihapuskan dari APBN. Sementara pihak lain berpendapat bahwa subsidi masih diperlukan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar. Subsidi pupuk bertujuan untuk menjaga stabilitas harga, membantu masyarakat kurang mampu dan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi sebagian kebutuhannya, serta membantu BUMN yang melaksanakan tugas pelayanan umum. Subsidi pupuk ini pada umumnya disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang menghasilkan dan menjual barang atau jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga harga jualnya dapat lebih rendah dari pada harga pasarnya dan dapat terjangkau oleh masyarakat (Handoko dan Patriadi, 2005).
Pemberian subsidi pupuk dalam jangka panjang dapat meningkatkan jumlah konsumsi pupuk. Peningkatan tersebut di satu sisi memberikan efek positif berupa peningkatan produksi pertanian, tetapi di sisi lain dapat meningkatkan anggaran subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Penggunaan pupuk
yang
berlebihan
juga
berdampak
negatif
terhadap
lingkungan
(Wijonarko, 1998).
Saat ini terdapat lima BUMN produsen pupuk yang menerima subsidi pupuk urea (PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, dan PT Pupuk Iskandar Muda) dan satu BUMN produsen pupuk yang mendapat subsidi pupuk non-urea yaitu PT Pupuk Petrokimia Gresik.
44 Universitas Sumatera Utara
Pola pemberian subsidi pada tahun 2006 direncanakan dilakukan melalui pemberian subsidi atas harga gas sebagai bahan baku produksi pupuk, dan diberikan untuk jenis pupuk urea, ZA, SP-36, dan NPK yang diproduksi BUMN produsen pupuk bersubsidi. Perubahan pola dari subsidi gas ke subsidi harga diharapkan akan dapat mencegah kenaikan HET pupuk serta mengatasi persoalan pasokan gas yang sering dialami oleh industri pupuk (Mantau, dkk., 2008). Perkembangan subsidi pupuk menunjukkan pada kurun waktu 2003 – 2006 menunjukkan peningkatan. Dari hanya Rp 1.3 triliun pada tahun 2003 atau ratarata 0.06% terhadap PDB selama 2003 – 2005 menjadi Rp 2.0 triliun atau 0.07% terhadap PDB pada tahun 2006 (Handoko dan Patriadi, 2005).
Kondisi Kebijakan Subsidi Pupuk Sebelum Tahun 1999 Kebijakan pemberian subsidi pupuk telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1971. Sejak itu pula beragam kebijakan mengenai subsidi pupuk baik yang tertuang dalam keputusan pemerintah ataupun keputusan menteri keluar. Kebijakan subsidi pupuk didasari dari posisi penting pupuk yang merupakan input penting dalam produksi pertanian dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Subsidi tersebut diberikan langsung melalui mekanisme harga jual pupuk, terutama pada kegiatan usahatani tanaman pangan. Tujuannya adalah agar harga yang beredar di pasar tidak memberatkan petani sehingga petani masih tetap dapat berproduksi (Kariyasa, 2004).
Sebelum digulirkannya paket kebijakan pupuk Desember 1998, secara reguler (setiap bulan Oktober) pemerintah melakukan penyesuaian Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk (urea). Pada tahun 1990 HET urea tercatat Rp 185/kg,
45 Universitas Sumatera Utara
kemudian terus mengalami penyesuaian harga menjadi Rp 330/kg. Selanjutnya, pada tahun 1997 pemerintah kembali menaikan HET pupuk urea menjadi Rp 400/kg yang berlaku hingga awal Desember 1998 (Rachman, 2003). Kondisi Kebijakan Penghapusan Subsidi Pupuk Tahun 1999 – 2001 Kondisi yang terjadi saat penghapusan subsidi memberikan dampak positif bagi petani antara lain : (1). Pupuk tersedia dalam jumlah yang cukup di tingkat petani, dan jarang terjadi kelangkaan pupuk, (2). Harga pupuk relative stabil, dan (3). Berkembangnya kios-kios pengecer pupuk dengan harga kompetitif. Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan penghapusan subsidi adalah: (1). Dengan mahalnya harga pupuk, membawa konsekuensi munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun diragukan kualitasnya, (2). Menurunnya penggunaan pupuk SP-36, KCL, dan ZA oleh petani karena harganya relatif mahal, (3) Sudaryanto dan Adnyana (1999) menyatakan bahwa adanya pasar pupuk yang mengarah ke oligopolistik, dan (4). Terjadi distorsi harga akibat tidak bekerjanya pasar secara efesien (Mantau, dkk., 2008).
Paket kebijakan Desember 1998 berupa penghapusan subsidi berdampak besar terhadap peningkatan harga pupuk di tingkat petani. Adnyana dan Kariyasa (2000) menyatakan bahwa penghapusan subsidi pupuk tersebut mengakibatkan harga eceran tertinggi KUT untuk pupuk urea naik dari Rp 450/kg menjadi Rp 1.115/kg (kenaikan 147%), SP-36 dari Rp 675 menjadi Rp 1.600/kg (137%), KCL Rp 1.650/kg (sebelum kebijaksanaan Desember 1998, tidak ditetapkan harganya), dan
pupuk
ZA
naik
dari
Rp
506/kg
menjadi
Rp
1.000/kg
(98%)
(Mantau, dkk., 2008).
46 Universitas Sumatera Utara
Kondisi Kebijakan Subsidi Pupuk Setelah Tahun 2001 Peningkatan harga pupuk dunia akibat peningkatan harga gas sejak tahun 2000 telah mendorong pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk pada tahun 2001. Selama juga tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk insentif gas domestik (IGD) sebagai bahan baku utama untuk produksi pupuk Urea. IGD memang tidak disebut sebagai subsidi pupuk dan jumlahnya juga tidak begitu besar (PSEKP 2008 dikutip Hadi., dkk 2009).
Di sisi lain, peningkatan harga pupuk dunia memaksa pemerintah untuk mengendalikan harga pupuk domestik dalam rangka membantu petani dan mencegah dampak negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian. Oleh karena itu, sejak tahun 2003 pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak hanya subsidi gas untuk Urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya (SP36, ZA dan NPK) (Ramija, 2010).
Kebijakan subsidi pemerintah yang mulai berlaku pada Agustus 2003 adalah subsidi input produksi pupuk, yaitu gas. Karena gas adalah bahan baku utama dalam memproduksi pupuk. Perubahan pola subsidi ini berarti menjadi subsidi tidak langsung karena subsidi harga gas akan diberikan kepada industri (Mantau, dkk., 2008).
Subsidi yang diberikan pemerintah saat ini bukanlah subsidi pupuk langsung bagi petani, namun subsidi gas dari pemerintah bagi pabrik-pabrik penghasil pupuk. Padahal harga pupuk di tingkat petani tidak berkaitan langsung dengan harga pokok pabrik pupuk domestik. Pada tatanan pasar terbuka, seperti saat ini, harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh harga paritas impornya. Pengalaman
47 Universitas Sumatera Utara
membuktikan bahwa jika harga pupuk di pasar internasional meningkat, maka untuk mengejar laba yang lebih tinggi, pabrik pupuk domestik cenderung mengekspor produknya. Akibatnya adalah pasokan pupuk di tingkat petani menjadi langka dan harganya pun meningkat seiring dengan peningkatan harga pupuk internasional. Sebagai perusahaan komersial, produsen pupuk tentunya tidak dapat disalahkan mengekspor pupuk untuk mengejar laba sebesar-besarnya (Simatupang, 2002).
Ketika subsidi diberikan secara langsung, harga pupuk yang diberlakukan ditingkat petani, masing-masing untuk urea Rp.1.150,00/Kg, pupuk ZA Rp 1.000,00/Kg, TSP Rp 1.500,00/Kg, dan pupuk majemuk Rp 1.750,00/Kg. Dengan subsidi gas maka harga urea turun menjadi Rp 1.050,00/kg, ZA Rp 950,00/kg, TSP Rp 1.400,00/kg, dan pupuk majemuk Rp 1.500,00/kg. Menteri Pertanian RI, Bungaran Saragih mengkalkulasikan bahwa selain menurunkan harga pupuk di tingkat petani, subsidi yang dikeluarkan pemerintah menjadi sangat berkurang. Dengan menghemat anggaran sebesar Rp 350 miliar hingga Rp 500 miliar pada APBN 2003. Namun pada kenyataannya, pengeluaran pemerintah baik dalam besaranya subsidi yang dikeluarkan maupun persentase dalam APBN mulai tahun 2003 justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu hingga tahun 2002 pada saat menerapkan pola subsidi harga pupuk bukan subsidi gas. Hal ini jelas menunjukan bahwa perhitungan pemerintah belum tepat. Pada tahun 1997 dan 1998 subsidi pupuk memang meningkat tajam, hal ini dipicu oleh adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia (Mantau, dkk., 2008).
48 Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah. Tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian, menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost), dan menghitung transfer effects sebagai dampak dari sebuah kebijakan (Pearson, dkk., 2005).
Beberapa identitas dalam Policy Analysis Matrix yaitu identitas keuntungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identity). Identitas keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keuntungan privat pada PAM selisih dari pendapatan privat dengan biaya privat. Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan sosial (social revenues) dengan biaya sosial (social costs). Langkah-langkah dalam membuat analisis keuntungan yaitu membuat bujet privat, menentukan representatif sistem komoditas yang akan dianalisis, membuat bujet usahatani, dan membuat bujet pasca usahatani (post farm) (Pearson, 2005).
Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matriks. Divergensi menyebabkan harga privat suatu komoditas berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik karena pengaruh kebijakan yang distortif, yang menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya, atau karena kekuatan pasar gagal menghasilkan harga efisiensi (Pearson, 2005).
49 Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Pemikiran Kebijakan pemerintah khususnya kebijakan pertanian di sektor pangan yaitu padi/beras memiliki peran penting. Peran penting tersebut memberikan pengaruh terhadap usahatani padi sawah. Kebijakan pemerintah akan berpengaruh terhadap volume input, harga input dalam negeri dan harga input internasional. Pada saat pemerintah memberikan subsisdi input berupa subsidi pupuk, maka akan menurunkan biaya produksi padi sawah. Karena menggunakan harga pupuk dalam negeri yang sudah di subsidi oleh pemerintah. Sebaliknya pada saat pemerintah mencabut subsidi pupuk, maka akan meningkatkan biaya produksi padi sawah. Karena menggunakan harga pupuk di tingkat internasional yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga pupuk yang disubsidi. Kedua hal ini akan mempengaruhi usahatani padi sawah dengan sistem irigasi setengah teknis dan irigasi non teknis dalam menghasilkan ouput berupa gabah/beras. Pada irigasi setengah teknis kebutuhan air di peroleh melalui saluran irigasi yang berasal dari sungai dan terdapat iuran air yang harus dibayarkan petani sedangkan pada sawah dengan irigasi non teknis kebutuhan air berasal dari air irigasi namun ketersediaan air irigasinya sangat sedikit sehingga petani membutuhkan pompa air atau bahkan petani mengharapkan air hujan sebagai sumber pengairan dan tidak terdapat iuran air.
Volume input dan output menjadi indikator suatu usahatani padi sawah memilki keunggulan komparatif atau tidak. Sedangkan keunggulan kompepetif suatu usahatani padi sawah dapat diketahui melalui pendapatan dan penerimaan petani. Pendapatan dan penerimaan petani dengan harga input dalam negeri akan dipengaruhi oleh biaya produksi padi sawah yang menggunakan harga input
50 Universitas Sumatera Utara
dalam negeri dan output. Sebaliknya pendapatan penerimaan petani dengan harga input internasional akan dipengaruhi oleh biaya produksi padi sawah dengan harga internasional dan output. Jika suatu usahatani padi sawah memperoleh pendapatan dan penerimaan petani dengan harga input dalam negeri maka akan memiliki keunggulan kompetitif atau tidak. Sedangkan jika suatu usahatani padi sawah memperoleh pendapatan dan penerimaan petani dengan harga internasional maka akan memiliki keunggulan kompetitif atau tidak. Kedua hal tersebut dapat dijadikan rekomendasi untuk pemerintah dalam merumuskan kebijakan, apakah tetap menggunakan input dengan harga lokal yang sudah disubsidi atau sebaliknya menggunakan input dengan harga internasional. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
51 Universitas Sumatera Utara
Kebijakan Pemerintah
Volume Input
Harga Input dalam Negeri :
Keunggulan Komparatif
Biaya Produksi Padi Sawah
Usahatani Padi Sawah
Irigasi Setengah Teknis Irigasi Non Teknis
- Pupuk - Air - Peralatan - Benih - Tenaga - Pestisida Kerja Harga Input Internasional : - Pupuk - Benih - Pestisida
Output
Pendapatan dan Penerimaan Petani dengan Harga Input dalam Negeri Keunggulan Kompetitif Pendapatan dan Penerimaan Petani dengan Harga Input Internasional
52 Universitas Sumatera Utara
2.5 Hipotesis Sesuai dengan landasan teori yang telah diuraikan, berikut ini diajukan hipotesis yang akan diuji sebagai berikut : 1.
Usahatani padi sawah dengan irigasi setengah teknis dan irigasi non teknis di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai memiliki keunggulan kompetitif dan memiliki keunggulan komperatif.
2.
Kebijakan pemerintah pada harga input-output terhadap usahatani padi sawah berdampak nyata terhadap pendapatan usahatani padi sawah dengan irigasi setengah teknis dan irigasi non teknis di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai
53 Universitas Sumatera Utara