Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dijelaskan tentang proses pembuatan pulp, proses pemutihan pulp, penggunaan enzim dari jamur pelapuk putih dalam mendegradasi lignin dan produksi enzim dari jamur pelapuk putih.
II.1
Pembuatan Pulp
Bahan utama untuk membuat pulp adalah biomassa yang banyak mengandung selulosa. Biomassa tersebut dapat berupa tanaman kayu maupun bukan kayu (nonwood). Komponen kimia terbesar dalam biomassa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignin merupakan komponen yang tidak disenangi dalam pembuatan pulp dan kertas. Oleh karena itu, lignin perlu dihilangkan atau diputihkan sesuai dengan tingkatan pulp yang diinginkan (Smook, 1992). Selulosa merupakan polimer rantai panjang yang tersusun atas glukosa pada ikatan β-1,4 glukosidik. Rumus kimia selulosa adalah (C6H10O5)n dengan n adalah jumlah pengulangan unit gula atau Derajat Polimerisasi (DP) seperti pada gambar II.1. Berbeda dengan selulosa yang hanya terdiri atas glukosa, hemiselulosa terdiri atas 5 macam gula yang berbeda yaitu glukosa, mannosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Bersama dengan selulosa, hemiselulosa membentuk holoselulosa. Dalam sel kayu selulosa dan hemiselulosa banyak terdapat pada lapisan sekunder (S1 dan S2) (Kocurek, 1993).
Gambar II.1. Struktur selulosa (Kocurek, 1993) Struktur molekul lignin seperti pada gambar II.3. sangat berbeda dengan polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) karena terdiri dari sistem aromatik yang tersusun atas unit fenilpropan. Lignin merupakan zat amorf dimana berat
7
molekulnya sulit ditetapkan. Dalam sel kayu lignin berfungsi sebagai perekat antar serat dan banyak terdapat pada lapisan lamela tengah seperti disajikan pada gambar II.2.
Gambar II.2. Struktur serat tunggal (Kocurek, 1993)
Gambar II.3. Struktur lignin (Kocurek, 1993)
8
Pulping
adalah proses pengubahan kayu menjadi serat dengan kandungan
selulosa tinggi dengan menghilangkan lignin. Proses komersial pulping diklasifikasikan menjadi proses mekanis, kimia dan semikimia (Smook, 1992).
II.1.1
Proses Mekanis
Pembuatan pulp dengan proses mekanis terdidri atas dua cara yaitu dengan penggilingan
(refining)
dan
penggerindaan
(grinding).
Proses
mekanis
menghasilkan rendemen tinggi (sampai 95%) dan kertas dengan bulk tinggi, opasitas dan kemampuan cetak yang baik. Namun, proses tersebut menggunakan energi yang banyak dan menghasilkan kertas dengan kekuatan yang rendah dan kandungan pitch yang tinggi (Smook, 1992). Proses ini terbagi atas : (1) Stone Groundwood Pulp (SGW), yaitu pulp yang dihasilkan dari pemotongan kayu log (biasanya panjang 4 feet) menjadi serat-serat pendek (2) Refiner Pulp (RMP), yaitu pulp yang dihasilkan dari chip kayu dan atau residu yang terbuang (3) Thermomechanical pulp, yaitu pulp yang memiliki riap tinggi (high-yield) yang dihasilkan melalui proses dimana partikel-partikel kayu dihaluskan melalui pemanasan yang bertekanan sebelum diproses pada tahap pemurnian bertekanan. TMP umumnya digunakan pada pabrik-pabrik yang menghasilkan kertas koran dan kertas cetak mekanis. Beberapa pabrik tua telah mengganti proses operasinya dari sebelumnya menggunakan operasi SGW dan sulfit menjadi TMP. (4) Chemitermomechanical pulp (CTMP), merupakan jenis pulp yang dihasilkan melalui proses dimana chip kayu diperlakukan dengan bahan kimia sebelum dipanaskan dan dimurnikan. Pabrik kertas yang terintegrasi umumnya menggunakan proses CTMP tanpa pemutihan.
Sedangkan CTMP dengan
pemutihan dan kering dijual sebagai market pulp, yang saat ini tumbuh pesat dan umum digunakan dalam produksi berbagai jenis/grade kertas, termasuk kertas non-kayu (woodfree paper).
9
II.1.2
Proses Kimia
Tujuan dari proses kimia adalah mendegradasi dan melarutkan lignin tanpa menghilangkan selulosa dan hemiselulosa dalam pembuatan serat. Dalam prakteknya, proses kimia berhasil menghilangkan banyak lignin, namun juga mendegradasi hemiselulosa dan selulosa dalam jumlah tertentu. Oleh karena itu, rendemen yang dihasilkan relatif rendah, sekitar 40-50 %. Pada proses kimia, serpih kayu dimasak menggunakan bahan kimia dalam bentuk larutan pada suhu dan tekanan tertentu. Ada dua metode utama proses ini yaitu proses kraft (alkali) dan proses sulfit (asam). Proses kimia yang paling banyak digunakan adalah proses kraft. Pada proses kraft, serpih kayu dimasak dalam larutan NaOH dan Na2S. Alkali merusak molekul lignin menjadi bagian yang lebih kecil yang larut dalam cairan pemasak. Perubahan struktur lignin selama proses pemasakan kraft disajikan pada gambar II.4. Proses kraft menghasilkan kertas yang kuat. Proses kraft merupakan pengembangan dari proses soda. Pada proses soda hanya menggunakan NaOH sebagai cairan pemasak. Konversi natrium sulfida dalam cairan hasil pemasakan menunjukkan perbaikan dalam kinetika reaksi dan sifat pulp selama pemasakan terutama untuk kajujarum (softwood). Natrium sulfida hanya sedikit berpengaruh pada pembuatan pulp dari kayudaun (hardwood). Pulp dari kayudaun masih dibuat dengan proses soda. Proses ini juga biasa disebut proses sulfat karena natrium sulfat biasanya digunakan sebagai make-up bahan kimia selama pemasakan (Kocurek, 1993).
II.1.3
Proses Semikimia
Proses semikimia merupakan kombinasi proses kimia dan mekanis. Serpih kayu mengalami perlakuan awal berupa pelunakan dan penghancuran dengan bahan kimia, kemudian baru dilakukan proses mekanis. Rendemen pulp semikimia terletak antara rendemen dan pulp mekanis yaitu antara 55%-90%. Perbandingan proses pembuatan pulp disajikan dalam tabel II.1.
10
PEMASAKAN
Lignin setelah pemasakan proses kraft
Lignin dalam kayu
Gambar II.4. Perubahan struktur lignin selama pemasakan proses kraft (Gullichsen, 2000) Tabel II.1. Perbandingan proses pembuatan pulp (Smook, 1992) Mekanis
Semikimia
− Proses dengan energi mekanis (sedikit atau tanpa bahan kimia dan panas) − Rendemen* tinggi (90-95%) − Serat pendek dan kotor ♦ kekuatan rendah ♦ tidak stabil − Kualitas cetak baik − Pemutihan sulit − Contoh : ♦ pulp kayuasah ♦ pulp RMP ♦ pulp TMP *
II.2
Kimia
Proses dengan kombinasi Proses dengan bahan bahan kimia dan kimia dan panas (sedikit perlakuan mekanis atau tanpa energi mekanis) Rendemen sedang (55- Rendemen rendah (4090%) 55%) Sifat pulp sedang Serat panjang, murni - kuat - stabil
Contoh : - pulp NSSC - pulp Kraft rendemen tinggi
Rendemen =
Kualitas cetak buruk Pemutihan mudah Contoh : - pulp Kraft - pulp sulfit - pulp soda
berat kering pulp yang dihasilkan berat kering kayu mula - mula
Pemutihan Pulp
Pulp yang dihasilkan dari proses kimia masih berwarna kecoklatan sehingga untuk mendapatkan produk kertas yang berwarna putih maka pulp tersebut perlu diputihkan (bleaching). Tujuan utama dari proses pemutihan adalah untuk
11
meningkatkan derajat putih, sehingga pulp tersebut sesuai untuk dibuat kertas dengan jenis tertentu. Proses pemutihan pulp tidak hanya membuat pulp menjadi lebih putih atau cerah, tetapi juga membuatnya stabil sehingga tidak menguning atau kehilangan kekuatan dan derajat putih selama penyimpanan. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam pemutihan pulp yaitu (1) penghilangan lignin (delignifikasi) dan (2) perlindungan lignin. Pendekatan pertama digunakan untuk pulp kimia. Lignin sisa pemasakan dihilangkan melalui serangkaian proses pemutihan. Pendekatan kedua untuk pulp rendemen tinggi (pulp mekanis), yang biasanya hanya memberikan kenaikan derajat putih sedang (Sjöström, 1995). Pada bagian ini hanya akan mengulas proses pemutihan dengan cara delignifikasi (pendekatan pertama) menggunakan bahan kimia dan enzim.
II.2.1 Tahap-tahap Pemutihan Konvensional Pemutihan modern biasanya dilaksanakan dalam rangkaian langkah yang bijaksana dengan menggunakan bahan kimia dan kondisi yang berbeda dalam tiap tahap, diselingi pencucian diantara tahapan tersebut. Perlakuan kimia yang umumnya digunakan dan singkatan istilah perlakuan tertera sebagai berikut : Klorinasi (C)
: reaksi dengan gas klor dalam media asam
Ekstraksi yang bersifat basa (E)
: pelarutan hasil reaksi dengan NaOH
Hipoklorinasi (H)
: reaksi dengan hipoklorit dalam larutan basa
Klordiksida (D)
: reaksi dengan ClO2 dalam media asam
Peroksida (P)
: reaksi dengan peroksida dengan media alkali
Oksigen (O)
: reaksi dengan oksigen pada tekanan tinggi dalam media alkali
(Dc) atau (Co)
: campuran gas klor dan klordioksida
Pada tahap klorinasi, klor dapat mengubah lignin dalam pulp menjadi senyawa yang dapat larut dalam air atau basa. Klor tidak pernah dipakai sendiri tetapi selalu dipakai bersamaan dengan ekstraksi alkali dan pada umumnya selalu diikuti dengan bahan pemutih lainnya seperti hipoklorit, klordioksida atau hidrogen
12
peroksida. Klorinasi biasanya berlangsung dalam konsistensi rendah, sekitar 2,5 4% dan pada suhu kamar. Klor bereaksi sangat cepat dengan pulp dan dikonsumsi selama beberapa menit, waktu retensi biasanya antara 30-60 menit. Pada tahap klorinasi, klor bereaksi dengan senyawa organik (sisa lignin) dan kecepatan rekasinya tergantung pada jenis senyawa tersebut. Reaksi yang biasa terjadi adalah adisi, substitusi dan oksidasi (Dence dan Reeve, 1996). Pada pH rendah terjadi reaksi substitusi dan adisi, sedangkan pada pH tinggi terjadi reaksi oksidasi. Reaksi substitusi dan adisi berlangsung lebih cepat daripada reaksi oksidasi. Reaksi substitusi merupakan reaksi yang dikehendaki karena dalam reaksi substitusi, klor lebih banyak bereaksi dengan lignin menghasilkan klorlignin. Dalam reaksi oksidasi, disamping lignin, karbohidrat lainnya juga dapat diserang sehingga mengakibatkan turunnya kekuatan pulp. Dalam reaksi substitusi, klor menggantikan hidrogen pada molekul organik dengan pembentukan serempak molekul asam klorida seperti pada persamaan (II.1) berikut ini : RH + Cl2
R Cl + HCl
........................ (II.1)
Oksidasi dapat digambarkan sebagai pembentukan atom oksigen yang kemudian dibebaskan untuk bereaksi dengan pulp seperti pada persamaan (II.2) berikut ini : H2O + Cl2
O + 2 HCl
.......................... (II.2)
Jumlah HCl yang terbentuk selama klorinasi merupakan petunjuk kesetimbangan reaksi. Pada umumnya lebih dari 50% klor yang digunakan bereaksi secara substitusi, yang merupakan mode reaksi yang dikehendaki. Tahap ekstraksi alkali dipakai setelah tahap klorinasi atau tahap asam lainnya. Dampak pertama pengolahan alkali adalah penetralan asam atau pembentukan gugus asam dalam tahap sebelumnya. Beberapa senyawa yang dibentuk pada
13
tahap klorinasi tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam alkali. Kandungan klorolignin dari gugus asam dapat larut dalam senyawa anionik, beberapa senyawa klor hancur oleh alkali menjadi senyawa dengan berat molekul rendah dan larut dalam proses ekstraksi. NaOH merupakan alkali yang biasa dipakai untuk mengekstraksi pulp. Hipoklorit adalah bahan kimia pemutih yang dapat menghancurkan senyawa warna tertentu dari lignin dan telah digunakan dalam pemakaian terbatas untuk pemutihan pulp rendemen tinggi. Pada pemutihan pulp kimia, hipoklorit menyerang lignin. Senyawa ini kurang selektif terhadap lignin sehingga selulosa juga ikut diserang hingga tingkat tertentu. Lignin yang terdegradasi bersifat kurang reaktif dan lebih terkondensasi. Derajat putih yang tinggi tidak dapat diperoleh untuk pulp kraft menggunakan hipoklorit tanpa menyebabkan degradasi selulosa, pemakaian biasanya dibatasi hingga produksi pulp semi putih hingga derajat putih 75% GE. Kontrol pH sangat penting untuk melindungi selulosa dari degradasi. Biasanya soda yang berlebih ditambahkan dengan larutan hipoklorit untuk menjamin pH akhir sekitar 9 atau lebih tinggi (Smook, 1992). Penggunaan klordioksida pada saat ini sangat meluas. Penggunaan klordioksida menjadi standar bagi teknologi pemutihan ECF. Bahan kimia ini mempunyai tingkat selektivitas yang tinggi sebab klordioksida hanya bereaksi dengan lignin dan tidak bereaksi secara luas dengan karbohidrat. Reaksi klordioksida dengan lignin sesuai dengan persamaan (II.3) berikut ini : ClO2 + lignin
lignin teroksidasi + HClO3 + HClO2
………….. (II.3)
Selain selektivitas yang tinggi, klordioksida juga dipakai untuk mencapai derajat putih pulp akhir yang tinggi tanpa penurunan kekuatan pulp. Pemakaian klordioksida pada tahap awal pemutihan tanpa menggunakan klor (ECF) telah banyak digunakan pabrik pulp. Derajat putih yang tinggi pada kraft pulp dapat diproses dengan dua tahap klordioksida dengan memakai ekstraksi alkali di antara dua tahap tersebut (Smook, 1992).
14
Untuk memperoleh tingkat derajat putih antara 89% hingga 91% GE bagi pulp kraft kayujarum, pemutihan biasanya dilakukan dalam lima hingga enam tahap, menggunakan CEDED, CEHDED, atau OCEDED. Tingkat derajat putih 65% GE dapat diraih secara mudah dengan tahapan CEH, tingkat sedang dicapai dengan CED, CEHH, atau CEHP (Smook, 1992). Secara normal, pulp sulfit dan kraft kayudaun lebih mudah diputihkan daripada pulp kraft kayujarum, karena kandungan ligninnya yang rendah. Sebagai akibatnya, proses yang agak sederhana digunakan untuk mencapai tingkat derajat putih yang sebanding.
II.2.2 Teknologi Pemutihan Pulp Ramah Lingkungan Banyak pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh produksi pulp putih terutama pada bagian pemutihan (bleaching). Secara konvensional pemutihan pulp dilakukan dengan menggunakan senyawa klor karena sifatnya yang sangat efektif menyerang dan menghilangkan lignin. Banyak sedikitnya bahan pemutih yang diperlukan tergantung pada kandungan lignin pulp yang biasanya dinyatakan sebagai Bilangan Kappa. Bila kandungan ligninnya rendah maka pulp akan mudah diputihkan dengan bahan kimia pemutih yang sedikit. Saat ini juga sedang dikembangkan proses pemasakan yang berorientasi pada Bilangan Kappa yang rendah dan degradasi selulosa serendah mungkin.
Penggunaan klor ini akan mengarah kepada terbentuknya senyawa organik terklorinasi dalam air limbah buangannya. AOX atau halida yang bereaksi atau terserap merupakan suatu pengukuran jumlah total bahan organik yang terhalogenasi dalam conto air. Halida yang terdapat dalam industri pulp dan kertas adalah klor. Senyawa organik terklorinasi yang berbahaya adalah 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (2,3,7,8 TCDD), dan 2,3,7,8 tetrachlorodibenzofuran (2,3,7,8 TCDF). Biasa juga disebut sebagai dioksin dan furan seperti disajikan pada gambar II.5 dan II.6.
15
Gambar II.5. Struktur dioksin (Smook, 1992)
Gambar II.6. Struktur furan (Smook, 1992)
Sejak adanya isu tentang efek negatif yang ditimbulkan oleh dioksin dan furan, penggunaan klor sebagai bahan pemutih pulp berkurang secara drastis dan berubah menjadi pemutihan dengan Elementally Chlorine Free (ECF) dan Totally Chlorine Free (TCF). Pemutihan dengan ECF menggunakan senyawa klor dalam bentuk ClO2 sedangkan pemutihan dengan TCF tidak menggunakan klor baik dalam bentuk klor bebas maupun senyawanya. Bahan kimia pemutih yang digunakan pada pemutihan TCF adalah oksigen, peroksida dan ozon, disamping bahan kimia lain yang tidak dikategorikan sebagai bahan pemutih seperti enzim (Smook, 1992).
II.3
Penggunaan Enzim pada Pemutihan Pulp
Banyak peneliti mengupayakan alternatif baru sebagai pengganti proses penghilangan lignin (delignifikasi) menggunakan senyawa klor. Salah satu proses yang sangat menjanjikan yaitu penerapan bioteknologi terutama penggunaan enzim dalam proses pemutihan. Meskipun pemutihan menggunakan enzim merupakan proses yang ramah lingkungan, hemat energi dan mampu menghasilkan pulp dan kertas dengan kualitas baik namun dibandingkan dengan
16
proses kimia, proses ini sangat lambat. Hal ini mengakibatkan aplikasi proses ini dalam skala industri masih sangat jarang dilakukan (Widjaja dkk., 2004). Viikari dkk. (1986) mendapatkan bahwa xylanase efektif sebagai agen prebleaching untuk pulp. Penggunaan xylanase untuk prebleaching pulp proses kraft merupakan salah satu langkah sukses penggunaan enzim dalam industri pulp dan kertas. Penggunaan enzim membantu menyelesaikan masalah lingkungan terkait penggunaan klor dalam pemutihan. Mekanisme xylanase dalam pemutihan masih diteliti. Penggunaan xylanase dapat memperbaiki ekstraksi lignin, mengubah asosiasi antara karbohidrat dan lignin atau memotong xylan. Salah satu material pengabsorb sinar ultra violet (UV), hexenuronic acid, terbentuk selama proses kraft dari residu 4-metil-glucuronoic acid dengan adanya xylan. Pemotongan xylan akan menghilangkan grup tertentu, kemudian menghemat bahan kimia yang akan diperlukan untuk memutihkan sisa residu. Penambahan asam lemah juga secara selektif menghilangkan komponen warna. Penghilangan hexenuronic acid oleh xylanase juga membantu untuk mencegah pembalikan warna pulp proses kraft (Keneally dkk., 2003). Penelitian lain tentang modifikasi serat menunjukkan bahwa perlakuan dengan xylanase memberikan alkali jalan masuk menuju lignin lebih baik. Hal ini mempermudah lignin untuk dihilangkan dan memperbaiki efisiensi pemutihan sisa lignin dalam serat. Xylanase dapat menghilangkan xylan yang menghalangi akses ke lignin, atau xylan dapat mengendapkan pada permukaan serat selama proses pulping secara kraft, dengan cara demikian mencegah ekstraksi lignin. Hal ini memperbaiki penghilangan lignin dan penghilangan hexenuronic acid mungkin merupakan penjelasan mekanisme tahap awal pemutihan menggunakan xylanase.
Penggunaan
xylanase
pada
tahap
awal
pemutihan
mampu
menghilangkan xylan sebanyak 20% dan menghemat bahan kimia dalam proses pemutihan sampai 25%.
17
Selain xylanase, penggunaan enzim oksidatif seperti lakase, lignin peroksidase dan manganese peroksidase juga dapat digunakan sebagai perlakuan awal (pretreatment) pemutihan pulp. Kelompok enzim ini memiliki kemampuan untuk mendegradasi lignin. Bajpai (1999) mendapatkan bahwa penggunaan lakase untuk pemutihan pulp kraft kayujarum (softwood) dan kayudaun (hardwood) dapat menurunkan bilangan kappa dan meningkatkan derajat putih pulp. Kondisi operasi pemutihan menggunakan lakase biasanya dilakukan pada temperatur 40-65 °C, tekanan 1-14 bar, pH 4-7, konsistensi 1-20%. Bila derajat putih yang diinginkan belum tercapai maka proses dapat dilanjutkan dengan tahapan pemutihan kimia Totally Chlorine Free (TCF) dengan menggunakan NaOH dan hidrogen peroksida.
II.4
Mekanisme Biodegradasi Lignin
Penggunaan enzim-enzim tersebut berdasarkan pelapukan pada kayu yang dilakukan oleh jamur pelapuk yaitu pelapuk putih, pelapuk coklat dan pelapuk lunak. Mekanisme biodegradasi lignin dapat dilihat pada gambar II.7.
Gambar II.7. Mekanisme biodegradasi lignin (Martinez dkk., 2005)
18
Degradasi lignin dan/atau modifikasi oleh jamur kelompok Basidiomycetes merupakan tahapan kunci penguraian lignoselulosa. Oleh karena itu, enzim dan mekanisme yang terlibat dalam penguraian lignin dijelaskan dibawah ini. Lakase diketahui terdapat dalam tanaman, jamur, dan serangga, yang mempunyai bermacam-macam peran penting, termasuk sintesis pigmen, morfogenesis badan buah
dan
detoksifikasi.
Produksinya
dalam
kultur
jamur
pada
plate
dipertimbangkan sebagai karakteristik yang unik dari jamur pelapuk putih Basidiomycetes, walaupun beberapa jamur pelapuk coklat menghasilkan lakase dalam kultur cair. Fenoloksidase tersebut memiliki potensial redoks rendah sehingga hanya mengoksidasi unit fenol lignin, yang biasanya lebih rendah dari 10% dari total polimer. Aplikasi lakase dalam bioteknologi semakin menarik dengan ditemukannya kemampuan lakase mengoksidasi substrat dengan potensi redoks tinggi karena adanya mediator sintetis, yang dapat mendegradasi senyawa xenobiotic dan pemutihan bebas klor pada pulp kertas. Mediator alami yang terlibat dalam biodegradasi lignin masih diidentifikasi, walaupun beberapa fenol turunan lignin dapat berperan efektif sebagai mediator lakase. Lignin peroksidase (LiP) dan Manganese peroksidase (MnP) telah ditemukan sekitar pertengahan tahun 1980 dalam P. chrysosporium dan merupakan “true ligninase” karena mempunyai potensial redoks yang tinggi. LiP mendegradasi unit non-fenol lignin (sampai 90% dari total polimer), sementara MnP menghasilkan Mn3+, yang berperan sebagai oksidator pendifusi pada unit fenol dan non-fenol lignin melalui reaksi peroksidasi lipid. Informasi terbaru, Versatile Peroksidase (VP) terdapat dalam Pleurotus dan jamur lainnya sebagai tipe ketiga ligninolitik peroksidase yang menggabungkan sifat-sifat katalitik LiP, MnP, dan peroksidase tanaman/mikroba pengoksidasi senyawa fenol. Enzim ekstraseluler lainnya yang terlibat dalam degradasi lignin kayu adalah oksidase penghasil H2O2 dan dehidrogenase penghubung miselium yang mengurangi senyawa turunan lignin. Enzim pembentuk termasuk Aryl-alcohol Oksidase (AAO) yang terdapat dalam Pleurotus eryngii dan jamur lainnya, dan
19
glyoxal oxidase (GLOX) dalam P. chrysosporium. Aryl-alcohol dehidrogenase (AAD) dan quinon reduktase (QR) juga terlibat dalam degradasi lignin. Biodegradasi lignin disajikan dalam gambar II.7, lakase atau ligninolitik peroksidase (LiP, MnP dan VP) yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih mampu mengoksidasi polimer lignin, dengan menghasilkan radikal aromatis (a), kemudian berkembang dengan reaksi non-enzimatis, termasuk pemutusan C4ether (b), pemutusan cincin aromatis (c), pemutusan Cα – Cβ (d) dan demetoksilasi (e). Senyawa aldehid aromatis terbentuk karena pemutusan Cα – Cβ pada lignin atau sintesis de novo oleh jamur (f, g), merupakan substrat untuk menghasilkan H2O2 oleh AAO dalam reaksi redoks siklik yang juga melibatkan AAD. Radikal fenoksi dari pemutusan C4-ether (b) dapat membentuk polimer lignin lagi (repolimerisasi) (h) jika tidak direduksi dulu oleh oksidase menjadi senyawa fenol (i) oleh AAO. Senyawa fenol yang terbentuk dioksidasi kembali oleh lakase atau peroksidase (j). Radikal fenoksi dapat juga menyebabkan pemutusan Cα – Cβ (k), menghasilkan p-quinon. Quinon dari g dan/atau k memiliki kontribusi untuk aktivasi oksigen dalam reaksi redoks siklik yang melibatkan QR, lakase dan peroksidase (l, m). Hasil dari reduksi ion besi (III) yang terdapat dalam kayu dengan salah satu dari radikal kation superoksida atau radikal semiquinon, dan reoksidasinya bersamaan dengan reduksi H2O2 menjadi radikal bebas hidroksil (OH·) (o). Bentuk terakhir merupakan oksidator sangat kuat yang dapat memulai degradasi lignin (p) pada tahap awal pelapukan kayu, saat ukuran kecil pori-pori dalam dinding sel utuh menghalangi penetrasi enzim ligninolitik. Kemudian degradasi lignin mengikuti rute seperti dijelaskan diatas. Pada tahap akhir, produk sederhana dari degradasi lignin masuk dalam hifa jamur dan bergabung dalam rute katabolis intraseluler (Martinez dkk., 2005)
II.5
Produksi Lakase dalam Bioreaktor
Berdasarkan informasi di atas maka pada penelitian ini akan diproduksi lakase yang akan digunakan sebagai perlakuan awal (pretreatment) pemutihan pulp. Produksi enzim ini perlu dilakukan karena tidak mungkin menggunakan jamur pelapuk putih dalam pemutihan pulp. Penelitian produksi lakase telah banyak
20
dilakukan pada berbagai spesies jamur pelapuk putih, jenis kultivasi dan jenis bioreaktor yang digunakan. Salah satu karekteristik dalam memproduksi lakase adalah adanya hambatan yang disebabkan oleh tegangan geser (shear stress) yang dialami kultur jamur. Oleh karena itu jenis bioreaktor yang banyak digunakan adalah bioreaktor dengan tegangan geser yang rendah. Bioreaktor yang dapat digunakan adalah bioreaktor dengan sistem temporary immersion cultivation atau dikenal dengan bioreaktor sistem RITA (Récipient à Immersion Temporaire Automatique). Bioreaktor sistem RITA seperti disajikan pada gambar II.8 terdiri dari dua kompartemen yaitu kompartemen untuk pertumbuhan mikroorganisme dan kompartemen untuk medium cair. Kedua kompartemen tersebut dihubungkan dengan selang silikon atau selang kaca. Udara tekan steril dari kompresor dialirkan ke dalam kompartemen medium untuk mendorong medium tersebut masuk ke dalam kompartemen tempat tumbuh mikroorganisme. Keadaan ini akan menyebabkan mikroorganisme dapat menggunakan nutrisi yang terdapat di dalam medium. Kondisi mikroorganisme yang terendam dijaga beberapa saat kemudian udara tekan steril dialirkan ke dalam kompartemen mikroorganisme untuk mendorong medium kembali ke kompartemen medium. Keadaan ini akan memberikan kesempatan mikroorganisme mendapatkan pasokan oksigen dari udara. Proses ini dilakukan berulang-ulang (Artiles, 2003).
Gambar II.8. Skema temporary immersion bioreactor (www.bioplantas.cu)
21
Prinsip temporary immersion bioreactor tersebut telah digunakan oleh Couto dkk. (2004) untuk memproduksi lakase menggunakan Trametes hirsuta yang diimobilisasi dalam spon stainless steel. Perendaman kultur jamur terimobilisasi dengan mencelupkannya ke dalam medium cair. Pada periode waktu tertentu kultur diangkat dari medium cair (Couto dkk., 2004). Skema bioreaktor imersi disajikan dalam gambar II.9.
kompresor
sistem pneumatik
saringan steril
pengambilan conto keluaran gas
tempat kultur jamur
medium cair
Gambar II.9. Skema bioreaktor imersi produksi lakase (Couto dkk, 2004) Pada penelitian ini juga akan digunakan prinsip dari temporary immersion bioreactor yang dimodifikasi. Pemindahan medium cair dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya tidak menggunakan udara tekan melainkan dengan memanfaatkan beda ketinggian kedua kompartemen. Bajpai (1999) mendapatkan bahwa penggunaan lakase untuk pemutihan pulp kraft kayujarum (softwood) dan kayudaun (hardwood) dapat menurunkan bilangan kappa dan meningkatkan derajat putih pulp. Kondisi operasi pemutihan menggunakan lakase biasanya dilakukan pada temperatur 40 °C -65 °C, tekanan 1-14 bar, pH 4-7, konsistensi 1% - 20%. Bila derajat putih yang diinginkan belum tercapai maka proses dapat dilanjutkan dengan tahapan pemutihan kimia Totally Chlorine Free (TCF) dengan menggunakan NaOH dan hidrogen peroksida.
22