9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyeri Sendi 1. Pengertian Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensial untuk menimbulkan kerusakan jaringan (Dharmady, 2004). Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Sendi adalah pertemuan antara dua tulang atau lebih, sendi
memberikan adanya segmentasi pada rangka manusia dan memberikan kemungkinan variasi pergerakan diantara segmen-segmen serta kemungkinan variasi pertumbuhan (Brunner & Sudarth, 2002). Nyeri sendi adalah suatu akibat yang diberikan tubuh karena
pengapuran atau akibat penyakit lain. 2. Etiologi Penyebab utama penyakit nyeri sendi masih belum diketahui secara pasti. Biasanya merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikroplasma dan virus. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab nyeri sendi yaitu:
9
10
a.
Mekanisme imunitas. Penderita nyeri sendi mempunyai auto anti body di dalam serumnya yang di kenal sebagai faktor rematoid anti bodynya adalah suatu faktor antigama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG titer yang lebih besar 1:100, Biasanaya di kaitkan dengan vaskulitis dan prognosis yang buruk.
b.
Faktor metabolik. Faktor metabolik dalam tubuh erat hubungannya dengan proses autoimun.
c.
Faktor genetik dan faktor pemicu lingkungan. Penyakit nyeri sendi terdapat kaitannya dengan pertanda genetik. Juga dengan masalah lingkungan, Persoalan perumahan dan penataan yang buruk dan lembab juga memicu pennyebab nyeri sendi.
d.
Faktor usia. Degenerasi dari organ tubuh menyebabkan usia lanjut rentan terhadap penyakit baik yang bersifat akut maupun kronik (Brunner & Sudarth, 2002).
3. Patofisiologi Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit nyeri sendi. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan. Setiap sendi sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal. Kartilago artikuler membungkus ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresikan cairan kedalam ruang antara-tulang. Cairan sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat. Sendi merupakan bagian tubuh yang sering terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri sendi.
11
Meskipun memiliki keaneka ragaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga kelainan multi sistem yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan degenerasi dalam derajat tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat pada persendian yang mengalami pembengkakan. Pada penyakit reumatik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan sinovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun. Sebaliknya pada penyakit nyeri sendi degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang sekunder.pembengkakan ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit yang lanjut. Pembengkakan dapat berhubungan dengan pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari karilago artikuler yang mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat (Brunner & Sudarth, 2002).
4. Manifestasi Klinis Ada banyak sekali sebab mengapa persendian sakit, nyeri sendi dapat merupakan gejala tunggal atau menjadi bagian banyak gejala lain yang dialami. Manifestasi nyeri sendi dapat bervariasi, seperti kelembutan atau tidak nyaman ketika di sentuh, pembengkakan, peradangan, kekakuan, atau pembatasan gerakan. 5. Penatalaksanaan Sendi yang meradang di istirahatkan selama eksaserbasi, periodeperiode istirahat setiap hari, kompres panas dan dingin bergantian, aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya, atau steroid sistemik, pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium (Corwin, 2001). B. Lanjut Usia 1. Pengertian Lanjut Usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik
12
dan psikologis yang semakin menurun. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Nugroho, 2000). Menurut WHO dan Undang- Undang No 13 Tahun 1998 menjelaskan lansia adalah sesorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut WHO dalam (Nugroho, 2000) lanjut usia meliputi: a. Usia pertengahan ( middle age), ialah kelompok usia 45 tahun sampai 59 tahun. b. Lanjut usia (ederly) , antara 60 tahun – 74 tahun. c. Lanjut usian ( old ), antara 75 tahun – 90 tahun. d. Usia sangat tua ( very old), diatas 90 tahun. Berdasarkan Smith dan Smith dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009) menggolongkan usia lanjut menjadi tiga, yaitu : young old (6574 tahun) ; middle old ( 75-84 tahun); dan old ( lebih dari 85 tahun). Setyonegoro dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009) menyebutkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang berusia lebih 65 tahun, selanjutnya terbagi dalam usia 70 – 75 tahun ( young old) ; 75 – 80 tahun ( old ), dan lebih dari 80 tahun ( very old ). 2. Perubahan fisiologi pada lanjut usia dengan nyeri sendi Perubahan Fisiologis Muskuloskeletal (Otot). Lansia Menua merupakan proses alamiah yang akan dialami oleh setiap individu. Hal ini ditandai oleh penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap perubahan – perubahan terkait usia. Perubahan tersebut diantaranya adalah perubahan fisik, mental, sosial, dan spiritual yang akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pada usia di atas 60 tahun. Perubahan fisik yang disebabkan oleh umur salah satunya adalah perubahan pada otot lansia (Rokim, 2009). Perubahan ini dapat menyebabkan mobilitas lansia terganggu, terutama jika terjadi pada otot tungkai bawah. Beberapa perubahan fisiologis pada otot lansia akan dijelaskan di bawah ini. Secara alamiah
13
aliran darah ke otot berkurang sebanding dengan bertambahnya umur seseorang. Hal ini menyebabkan jumlah oksigen, nutrisi, dan energi yang tersedia untuk otot ikut menurun, sehingga menurunkan kekuatan otot manusia. Penurunan pencapaian suplai tersebut juga dipengaruhi oleh serat otot rangka yang berdegenerasi, sehingga terjadinya fibrosis ketika kolagen menggantikan otot. Penurunan massa tonus dan kekuatan otot menyebabkan otot lebih menonjol di ekstremitas yang juga menjadi kecil dan lemah. Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, yaitu: terjadinya atrofi dan menurunnya jumlah beberapa serabut otot dan fibril, meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril, dan sklerosis pada otot (Brunner & Sudarth, 2002). Perubahan – perubahan tersebut juga dapat menjadi dampak negatif, yaitu: menurunnya kekuatan otot, menurunnya fleksibilitas, meningkatkan waktu reaksi dan menurunkan kemampuan fungsional otot yang dapat mengakibatkan perlambatan respon selama tes refleks tendon. Usia 60 tahun terjadi kehilangan kekuatan otot total sebesar 10-20% dari kekuatan yang dimiliki pada umur 30 tahunan. Pemerosotan ini dimulai sekitar umur 40 tahun, dan semakin dipercepat di tahun ke-60 usia seseorang. Penurunan kekuatan otot – otot pada tungkai bawah dapat dilihat pada orangtua ketika sedang melakukan
gerakan
aktifitas
naik
tangga
(kesulitan
dalam
melakukannya), kekakuan tungkai pada saat berlari-lari. Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh. Pinggang, lutut dan jarijari pergelangan terbatas dan persendian membesar dan menjadi kaku (Brunner & Sudarth, 2002). Serabut-serabut otot mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban otot-otot kram dan menjadi tremor. Salah satu penyakit lansia yang mengganggu sistem muskulokeletal adalah nyeri sendi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena
14
adanya endapan kristal, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah (hiperurisemia) (Rokim, 2009). C. Karakteristik lanjut usia Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia adalah: 1. Usia Usia mempunyai pengaruh pada lansia dalam setiap cobaan, hal ini di dukung denngan teori aktivitas yang menyatakan bahwa hubungan antara sistem sosial denga individu bertahan stabil pada saat individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua. Membutuhkan suatu kompensasi terhadap kehilangan, seperti pensiun dari peran sosial karena menua (Noorkasiani, 2009). Menurut (Wahyuni, 2013) usia mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam pemenuhan pelayanan kesehatan, hal ini mungkin dikarenakan lansia mengalami perubahan atau kemunduran dalam berbagai aspek kehidupannya, baik secara fisik maupun psikis. 2. Jenis kelamin Perbedaan gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk adaptasi yang digunakan (Darmojo, budi, & pratomo, 1999). Lansia wanita lebih siap dalam menghadapi masalah dibandingkan lansia laki – laki, karena wanita lebih mampu menghadapi masalah daripada laki- laki yang cenderung lebih emosional. jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Wahyuni, 2013). 3. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah. Jika individu berpendidikan tinggi maka semakin banyak
15
pengalaman hidup dilaluinya, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. (Noorkasiani, 2009). 4. Pekerjaan Masalah usia lanjut merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu para usia lanjut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kependudukan dan merupakan unsur penting dalam proses pembangunan ekonomi (Hardywinoto, 2007) 5. Status perkawinan Umur harapan hidup pada lansia wanita lebih tinggi daripada lansia pria, jumlah penduduk lansia wanita yang mempunyai status menikah lebih kecil dari pada penduduk lansia pria. Menurut Email salim (1984), yang dikutip oleh (Hardywinoto, 2007), jumlah penduduk lansia wanita yang berstatus menikah hanya 25 % dibandingkan denganjumlah penduduk lansia pria yang besarnya 84%, karena tingkat pendidikan mereka rendah dan partisipasi angkatan kerja golongan ini tidak tinggi mereka harus menanggung beban ekonomi lebih berat setelah suaminya meninggal. Banyak diantara mereka tidak dapat hidup secara mandiri lagi dan terpaksa menjadi tangunggan anak serta keluarganya (Henniwati, 2008). D. Dukungan Keluarga 1. Pengertian (Friedman, 1998) mengemukakan, keluarga meupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan klien penerima asuhan keperawtan, keluarga berperan dalam menentukan cara assuhan keperawatan yang diperlukan bagi angggota yang mengalami masalah kesehatan. Bila salah satu dari anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, maka sistem di dalam keluarga akan teganggu. Burgess dkk (1963) dalam Friedman (1998), mengemukakan tentang definisi keluarga adalah sebagai berikut :
16
a.
Keluarga terdiri dari orang- orangyang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi.
b.
Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama- sama dalam iktan satu rumah tangga atau, jika mereka hidup secara terpisa, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebuah rumah mereka.
c.
Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami- istri, ayah dan ibu, saudara kandung.
d.
Penggunaan kultur yang sama didalam keluarga.
2. Tugas dari sebuah keluarga menurut Friedman,(1998) adalah: a.
Mengenal masalah, keluarga dituntut mampu mengenali masalah kesehatan yang terjadi dikeluarga.
b.
Mampu mengambil keputusan yang tepat bila menemukan masalah pada keluarga tersebut.
c.
Merawat anggota keluarga.
d.
Memelihara lingkungan.
e.
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Fungsi Dukungan Keluarga (Friemand,1998) mengemukakan bahwa fungsi keluarga sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari dukungan keluarga yaitu: a. Dukungan informasi. Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Dukungan informasi dari
17
keluarga dalam bentuk nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi diharapkan dapat memberikan perasaan nyaman dan suasana yang kondusif di lingkungna keluarga sehingga daoat mendukung progran pengobatan anggota keluarga yang menderita sakit (Friedman, 1998). b. Dukungan penilaian. Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan
vasidilator
identitas
angggota
keluarga
diantaranya
memberikan support, penghargaan, perhatian. Perhatian anggota keluarga berupa support dan penghargaan diharapkan dapat memberikan efek psikologis yang positif sehingga lansia memiliki semangat untuk beraktivitas sehari- hari (Friedman, 1998). c. Dukungan instrumental Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan yang berupa penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung, keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya : kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum,
istirahat,
terhindarnya
penderita
dan
kelelahan.
Ketersediaan berbagai fasilitas yang nyaman di dekat penderita gagal ginjal harus semaksimal mungkin dapat disediakan oleh keluarga sebagai wujud dukungan instrumental. Kebutuhan asupan gizi yang baik, makanan, minumna dan tempat
istirahat yang
nyaman merupakan fasilitas yang minimal bisa dirasakan oleh lansia di dalam rumahnya (Friedman, 1998). d. Dukungan emosional Dukungan emosional adalah bentuk dukungan yang memuta individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperlukan dan dicintai oleh
suumber
dukungan
sosial
sehingga
individu
dapat
menghadapi masalah dengan lebih baik. Keluarga sebagai tempat
18
yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek- aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Perhatian terhadap keluhankeluhan yang dirasakan oleh lansia yang disampaikan kepada keluarga harus mendapatkan respon yang baik. Sehingga lansia merasa diperhatikan dan tidak merasa diacuhkan sehinggga timbul keyakinan dan semangat untuk menjalani aktifitas kesehariannya (Friedman, 1998). 4. Faktor- faktor yang mempengaruhi Dukungan Keluarga Feiring dan Lewis (1984) dalam (Friedman, 1998) mengemukakan, faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga antara lain : a. Bentuk keluarga. Terdapat bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif mengambarkan pengalaman – pengalaman perkembangan. Anak- anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak- anak dari keluarga yang besar. Dukungan yang diberikanoleh keluarga khususnya orant tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga egosentris dibandingkan ibu- ibu yang lebih tua. b. Tingkat sosial ekonomi. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dantingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mugkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih ototjrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tigkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tiggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah.
19
E. Obat 1. Pengertian PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993 mengemukakan bahwa obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan (Ansel (1985). Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit (Universitas Indonesia, 2000). Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Departemen Kesehatan RI, 2005). Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit (Universitas Indonesia, 2000).
20
2. Penggolongan Obat Obat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu: a.
obat bebas, merupakan obat yang ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat bebas umumnya berupa suplemen vitamin dan mineral, obat gosok, beberapa analgetik-antipiretik, dan beberapa antasida. Obat golongan ini dapat dibeli bebas di Apotek, toko obat, toko kelontong, warung (Notoatmodjo, S 2007).
b.
obat bebas terbatas, merupakan obat yang ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat-obat yang umunya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas
pada
saat
demam
(analgetik-antipiretik),
beberapa
suplemen vitamin dan mineral, dan obat-obat antiseptika, obat tetes mata untuk iritasi ringan. Obat golongan ini hanya dapat dibeli di Apotek dan toko obat berizin (Ansel (1985). c.
obat keras, merupakan obat yang pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter (Notoatmodjo, S 2007).
d.
obat narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU.RI No. 22 Th 1997
21
tentang Narkotika). Obat ini pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat palang (+) berwarna merah. e.
obat narkotika bersifat adiksi dan penggunaannya diawasi dengan ketet, sehingga obat golongan narkotika hanya diperoleh di Apotek dengan resep dokter asli (tidak dapat menggunakan kopi resep). Contoh dari obat narkotika antara lain: opium, coca, ganja/marijuana, morfin, heroin, dan lain sebagainya. Dalam bidang kesehatan, obat-obat narkotika biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetik/obat penghilang rasa sakit (UU.RI No. 22 Th 1997 tentang Narkotika)..
3. Peran Obat Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut: penepatan diagnosa, untuk pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, memulihkan (rehabilitasi) kesehatan, mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu, peningkatan kesehatan dan mengurangi rasa sakit (Ansel (1985). F. Perilaku 1. Pengertian Berdasarkan Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoatmodjo.S., 2007).
22
Perilaku dilihat dari sudut pandang biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri. Pandangan behavioristik mengatakan bahwa perilaku sebagai respon terhadap stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya, dan individu atau organisme tidak akan mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya (Notoatmodjo.S., 2011). Hubungan stimulus dan response akan bersifat
mekanistis.
Pandangan kognitif mengenai perilaku, yaitu bahwa perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri individu itu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya (Yetti, A dan Eko, S, 2005). Menurut
Skinner
(1938),
dalam
Notoatmodjo
S.,
(2010)
mengemukakan seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku merupakan
respons
atau
reaksi
seseorang
terhadap
stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau StimulusOrganisme-Respons. (Skinner, 1938), Skinner membedakan adanya dua respons: a. Respondent respons, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalanya : makanan-makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons inijuga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah manjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.
23
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau
reinforcer, karena memperkuat respons. Misalnya apabila
seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respons
terhadap uraian
tugasnya) kemudian memperoleh
penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo S, 2010). 2. Jenis perilaku Teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Perilaku tertutup (Convert behavior). Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
Karena
itu
disebut
Covert
behavior
atau
unobservable behavior. b. Perilaku terbuka (Overt behavior). Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar “observable behavior (Notoatmodjo,S 2005). 3. Teori Perilaku Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Hal ini ada beberapa teori yang dikemukakan, antara lain : a. Teori naluri (instinct theory) Menurut Mc Dougall seorang pelopor dari psikologi sosial, perilaku itu disebabkan oleh nurani, nurani merupakan perilaku
24
yang innate, perilaku yang bawaan, dan naluri akan mengalami perubahan karena pengalaman. Pendapat Mc Dougall ini mendapat tanggapan yang cukup tajam dari F. Aulport yang menerbitkan buku psikologi sosial pada tahun 1924, yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu disebabkan karena banyak faktor, termasuk orang-orang yang ada di sekitarnya dengan perilakunya. b. Teori dorongan (drive theory) Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongandorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong organisme berperilaku. Bila organisme itu mempunyai
kebutuhan,
dan
organisme
ingin
memenuhi
kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam diri organisme tersebut. Bila organisme berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan tersebut. Karena itu teori ini menurut Hull juga disebut teori drive reduction. c. Teori insentif (incentive theory) Insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku. Insentif atau disebut juga sebagai reinforcement ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcement yang positif adalah berkaitan dengan hadiah, sedangkan reinforcement yang negatif berkaitan dengan hukuman (Notoatmodjo S, 2010). d. Teori atribusi Teori ini dikemukakan oleh Fritz Helder. Isinya menjelaskan tentang sebab-sebab
perilaku orang.
Apakah perilaku itu
disebabkan oleh disposisi internal maupun eksternal (Yetti, A dan Eko, S, 2005).
25
4. Perilaku Kesehatan 1. Pengertian Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo S, 2010). Unsur-unsur dalam perilaku kesehatan. Perilaku terhadap sakit dan penyakit merupakan respons internal dan ekstrenal seseorang dalam menanggapi rasa sakit dan penyakit, baik dalam bentuk respons tetutup (sikap, pengetahuan) maupun dalam bentuk respons terbuka (tindakan nyata). Perilaku terhadap sakit dan penyakit dapat diklasifikasikan menurut tingkat pencegahan sebagai berikut: a.
Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (healt promotion behavior). Perilaku seseorang untuk memelihara dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap masalah kesehatan. Sebagai contoh, melakukan senam pagi setiap hari jum’at bagi pegawai negeri, kebiasaan sarapan pagi, makan-makanan bergizi seimbang, dan melakukan meditasi.
b.
Perilaku pencegahan penyakit (healt prevention behavior). Segala tindakan yang dilakukan seseorang agar dirinya terhindar dari penyakit, misalnya imunisasi pada balita, melakukan 3M, dan pendekatan spiritual untuk mencegah seks bebas pada remaja.
c.
Perilaku pencarian pengobatan (healt seeking behavior). Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan, mulai dari mengobati sendiri (self-treatment) sampai mencari bantuan ahli. Contohnya individu pergi ke pelayanan kesehatan saat
26
sakit, membeli obat dari warung atau toko obat, dan berobat ke pelayanan tradisional. d.
Perilaku pemulihan kesehatan (healt rehabilitation behavior). Pada proses ini, diusahakan agar sakit atau cacat yang diderita tidak menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental, dan sosial. Sebagai contoh, penderita DM melakukan diet dengan mengurangi konsumsi makanan manis, dan melakukan kontrol rutin seminggu sekali.
e.
Perilaku terhadap pelayanan kesehatan. Perilaku ini merupakan respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern dan atau tradisional, meliputi respons
terhadap
fasilitas
pelayanan,
cara
pelayanan
kesehatan, perilaku terhadap petugas, dan respon terhadap pemberian obat-obatan. Respons ini terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, dan penggunaan fasilitas, sikap terhadap petugas, dan obat-obatan (Notoatmodjo,S 2003). 2. Klasifikasi perilaku kesehatan. Menurut Becker (1979) seperti dikutip (Notoatmodjo,S 2003), perilaku yang berhubungan dengan kesehatan diklasifikasikan sebagai berikut: a.
Perilaku hidup sehat Perilaku hidup sehat merupakan perilaku yang berkaitan dengan
upaya
mempertahankan
dan
meningkatkan
kesehatannya. Hal ini mencakup makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minumminuman keras dan narkoba, istirahat cukup, mengendalikan stres. Selain itu, perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan (misalnya, tidak gonta-ganti pasangan, adaptasi dengan lingkungan).
27
b.
Perilaku sakit Perilaku ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan usaha-usaha untuk mencegah penyakit.
c.
Perilaku peran sakit Perilaku peran sakit adalah segala aktivitas individu yang menderita sakit untuk memperoleh kesembuhan. Dari segi sosiologi, orang sakit mempunyai peran yang meliputi hak dan kewajiban orang sakit. Perilaku peran sakit meliputi halhal berikut: 1.
Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
2.
Mengenal
atau
mengetahui
fasilitas
atau
sarana
pelayanan atau penyembuhan penyakit yang layak. 3.
Mengetahui hak (misalnya, memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan) dan kewajiban orang sakit
(memberitahu penyakitnya pada orang lain
terutama
petugas
kesehatan,
tidak
menularkan
penyakitnya pada orang lain). 3. Perilaku Masyarakat Sehubungan dengan pencarian Pelayanan Kesehatan. Menurut Notoatmodjo,S (2007) masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit (disease but no illness) tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut: a.
Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action). Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu
kegiatan
atau
kerja
mereka
sehari-hari.
anggapan bahwa tanpa bertindak gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya, fasilitas kesehatan yang
28
diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsive, dan sebagainya, akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya. b.
Tindakan mengobati sendiri (self treatment) Alasan orang atau masyarakat percaya kepada diri sendiri, dan karena pengalaman yang lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan
pencarian
pengobatan
keluar
tidak
diperlukan. c.
Mencari
pengobatan
ke
fasilitas-fasilitas
pengobatan
tradisional (traditional remedy). Masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding masih menduduki tempat teratas disbanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Masyarakat yang masih sederhana, masalah sehatsakit adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguangangguan fisik. Identik dengan pencarian pengobatan pun lebih berorientasi kepada sosial-budaya masyarakat dari pada hal-hal yang dianggapnya masih asing. Dukun melakukan
pengobatan
tradisional
merupakan
yang bagian
masyarakat, berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat dari pada dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obatnya juga merupakan kebudayaan mereka. d.
Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warungwarung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ketukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan
29
pada umumnya adalah obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol. e.
Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan
swasta,
yang
dikategorikan
kedalam
balai
pengobatan, Puskesmas, dan rumah sakit. Batas minimal masuk rumah sakit 3 hari yang mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh. f.
Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine). Uraian-uraian
di
atas
tampak
jelas
bahwa
persepsi
masyarakat terhadap sehat-sakit sangat berbeda pada setiap individu, kelompok dan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian
pengobatan,
berdasarkan
perbedan
persepsi
mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang diberikan, (Notoatmodjo, S 2007). 4. Macam-Macam Perilaku Kesehatan. a. Perilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokan menjadi dua, yaitu : a) Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah atau menghindar dari penyakit dan penyebab penyakit atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatkan kesehatan (perilaku promotif). Contohnya, makan
dengan
gizi
seimbang,
olah
raga
teratur,
30
menghindari gigitan nyamuk, cuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. b) Perilaku orang-orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan,
untuk
memperoleh
penyembuhan
atau
pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang atau anaknya bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas
dari
masalah
kesehatan
yang
dideritanya
(Notoatmodjo,S 2005). b. Rangsangan dari perilaku kesehatan terdiri dari 4 unsur pokok yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan, maka secara terinci perilaku kesehatan mencakup: 1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakitnya. Perilaku ini sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yaitu : a.
Perilaku
sehubungan
dengan
peningkatan
dan
pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior). Misalnya, makan makanan yang bergizi, olah raga dan sebagainya. b.
Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) yang merupakan respons untuk melakukan pencegahan penyakit. Misalnya : tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk demam berdarah, perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Termasuk
juga
perilaku
menularkan penyakit kepada orang lain.
untuk
tidak
31
c.
Perilaku sehubungan dengan rencana pengobatan (health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari penyakitnya. Misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan.
d.
Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang berhubungan
dengan
usaha-usaha
pemulihan
kesehatan. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya. 2) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obatobatnya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap, penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan. 3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior). Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita. 4) Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior) adalah respons seseorang terhadap lingkungan
sebagai
determinan
kesehatan
manusia.
Perilaku ini antara lain: a.
Perilaku sehubungan dengan air bersih, air kotor, yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya.
b.
Perilaku sehubungan dengan limbah padat maupun cair, termasuk sistem pembuangan dan dampak pembuangan limbah yang tidak baik.
32
c.
Perilaku sehubungan dengan rumah sehat, yang meliputi
ventilasi,
pencahayaan,
lantai
dan
sebagainya. d.
Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarangsarang nyamuk (vektor) dan sebagainya (Yetti, A dan Eko, S, 2005).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Menurut Green (1980), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: faktor predisposisi ( predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor) (Notoatmodjo, S 2003; Green, 1980). 1.
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors). Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai-nilai. a.
Pengetahuan Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pada umumnya klien yang asam urat atau tidak asam urat menganggap bahwa perilaku pencegahan asam urat selama tidak dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, S 2003).
b.
Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu
33
(Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999). Tingkatan respon adalah menerima (receiving), merespon (responding), enghargai (valuing), dan bertanggung jawab (responsible) (Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999 ). c.
Kepercayaan Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya ( Green, 1980).
d.
Keyakinan Suatu hal yang dianggap benar dan dianut sebagai aturan yang dilakukan oleh masyarakat.
e.
Nilai-nilai Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang ( Green, 1980 ).
2.
Faktor-faktor pendukung (enabling factors). Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik (Green, 1980).
Faktor
pendukung
(enabling
factor)
mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin. 3.
Faktor-faktor penguat atau pendorong (reinforcing factors). Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi,
sebaliknya
hukuman
dan
pandangan
negatif
34
seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku. Termasuk didalamnya adalah: a.
Petugas kesehatan adalah sebagai narasumber bagi keluarga didalam mengatasi masalah kesehatan dan melakukan bimbingan antisipasi kepada keluarga sehingga dapat terwujud keluarga yang sejahterah, bertanggung jawab memeberikan pendidikan tentang keperawatan keluarga kepada sesama perawat dan tim kesehatan lain bila diperlukan (Mubarak: 2006)
b.
Keluarga adalah Kesatuan yang terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Anggota keluarga tersebut saling interelasi dan interdependensi untuk mencapai tujuan yang sama (Mubarak: 2006).
c.
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama,
mengenal
satu
sama
lainnya,
dan
memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Mubarak, Santoso, Rozikin, & Patonah, 2006). d.
Masyarakat adalah
suatu organisasi manusia yang saling
berhubungan satu sama lain (Mubarak, Santoso, Rozikin, & Patonah, 2006).
35
G. Kerangka Teori Faktor presdisposisi: 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Tingkat pendidikan 4. Pekerjaan 5. Status perkawinan Faktor pendukung:
Perilaku
1. Dukungan keluarga a. Informasi b. Penilaian c. Instrumental
penggunaan obat
d. Emosional
nyeri sendi
Faktor pendorong: 1. 1. Petugas 2. kesehatan 2. Keluarga 3. Kelompok 4. masyarakat
Bagan 1. Kerangka Teori penelitian Sumber: (Friedman, 1998, Hardywinoto (2007), (Notoatmodjo, S 2003; Green, 1980) dimodifikasi.
36
H. Kerangka Konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Karakteristik Lansia 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Tingkat pendidikan 4. Pekerjaan 5. Status perkawinan
Penggunaan
obat
nyeri
sendi
Dukungan keluarga
Bagan 2. Kerangka Konsep I. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri atas : 1.
Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas atau independen merupakan suatu variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2008). Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah karakretistik lansia meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan, dukungan keluarga. Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung dari variabel bebas terhadap perubahan (Hidayat, 2008). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penggunaan obat nyeri sendi.
37
J. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1.
Ada hubungan antara usia dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.
2.
Ada hubungan antara jenis kelamin dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.
3.
Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.
4.
Ada hubungan antara pekerjaan dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.
5.
Ada hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.
6.
Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.
7.
Ada hubungan antara karakteristik lansia yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan dukungan keluarga dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.