BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sel Tunam
2.1.1.
Definisi
Sel tunam ialah perangkat konversi energi elektrokimia yang menghasilkan energi listrik dari pasokan bahan bakar (pada anoda) dan oksidan (pada katoda) yang bereaksi karena keberadaan elektrolit. Sel tunam dapat beroperasi kontinu menghasilkan energi selama bahan bakar dan oksidan mengalir dengan jumlah yang cukup (Wikipedia, 2007). Bahan bakar sel tunam dapat berupa hidrogen, alkohol, dan senyawa-senyawa hidrokarbon. Bahan bakar dapat dipasok secara langsung ke dalam sel atau secara tidak langsung melalui reaksi reformasi senyawa lainnya. Oksidan yang digunakan pada umumnya oksigen, baik murni atau tercampur dalam bentuk udara. Selain oksigen, beberapa sel tunam menggunakan gas klorin sebagai oksidan. Saat ini, sel tunam yang umum berada di industri menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar dan oksigen murni sebagai oksidan. (Wikipedia, 2007)
Gambar 2.1 Beberapa contoh sel tunam berbahan bakar hidrogen yang ada di industri. PlugPower 5-kW fuel cell (sel besar), H2ECOnomy 25-watt fuel cell (berwarna perak), dan
4
Avista Labs 30-watt fuel cell (berwarna hitam). (Sumber: National Renewable Energy Laboratory)
Gambar 2.2 Sistem Sel Tunam Mikro pada Laptop (Sumber: Fujitsu Laboratories Ltd, 2004)
2.1.2.
Jenis-jenis Sel Tunam
Sel tunam diklasifikasikan berdasarkan elektrolit dan temperatur operasinya. Perbandingan elektrolit yang digunakan, daya yang dihasilkan, serta efisiensi dari berbagai jenis sel tunam disajikan melalui tabel di bawah ini:
5
Tabel 2.1 Tipe-tipe sel tunam beserta kelebihan dan kekurangannya Tipe Sel Elektrolit Umum Tunam Polymer Polimer organik padat Electrolyte asam Membrane Fuel poliperfluorosulfonat Cell (PEM)*
Temperatur Operasi 50 - 100°C 122 - 212°F
<1kW – 250kW
Efisiensi Elektrik 53-58% (transportasi) 25-35% (diam)
Daya Output
6
Alkaline Fuel Cell (AFC)
Larutan KOH
90 - 100°C 194 - 212°F
10kW – 100kW
60%
Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC)
Larutan asam fosfat
150 - 200°C 302 - 392°F
50kW – 1MW (250kW module typical)
600 - 700°C 1112 - 1292°F
650 - 1000°C 1202 - 1832°F
Molten Larutan litium, natrium Carbonate Fuel dan/atau kalium Cell (MCFC) karbonat
Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
Zirkonium oksida padat dengan penambahan sedikit Yttria
Aplikasi • • • •
Tenaga Cadangan Portable power Generator listrik Transportasi
Kelebihan • Elektrolit padat tidak menyebabkan korosi • Temperatur rendah • Start-up cepat
Kekurangan • Membutuhkan katalis yang mahal • Sangat sensitif terhadap pengotor • Panas buangan bertemperatur rendah • Panas buangan tidak dapat digunakan sebagai CHP (Combined Heat and Power) • Biaya pemisahan CO2 dari aliran udara dan bahan bakar mahal (CO2 dapat merusak elektrolit) • Membutuhkan katalis platina yang mahal • Arus dan daya rendah • Ukurannya besar
• Militer • Luar angkasa
• Reaksi di katoda cepat, performansi tinggi
32-38%
• Generator Listrik
• Efisiensi keseluruhan tinggi dengan CHP • Tidak terlalu sensitif pada pengotor di hidrogen
<1kW – 1MW (250kW module typical)
45-47%
• Perangkat listrik • Generator listirk
• Efisiensi tinggi • Bahan bakar fleksibel • Katalisnya bisa bermacammacam • Sesuai untuk CHP
• Menimbulkan korosi pada komponen-komponen sel • Perawatan larutan elektrolit sulit • Start-up lambat
5kW – 3MW
35-43%
• Daya tambahan • Perangkat listrik • Generator listrik
• • • •
• Menimbulkan korosi pada komponen-komponen sel • Start-up lambat • Elektrolit padat rapuh terhadap pemanasan
Efisiensi tinggi Bahan bakar fleksibel Katalis bermacam-macam Solid electrolyte reduces electrolyte management problems • Sesuai untuk CHP • Dapat diintegrasikan dengan turbin gas
*Direct Methanol Fuel Cells (DMFC) merupakan sub-kategori dari PEM. DMFC umumnya digunakan sebagai small portable power supply yang beroperasi pada temperatur 60 - 90°C dengan daya output di bawah 100kW. (Sumber: USA Department of Energy, 2006)
2.2.
Prinsip Kerja
Molekul bahan bakar terpisah menjadi proton dan elektron saat teraktivasi oleh katalis. Elektron mengalir melalui katoda dan menghasilkan aliran listrik. Proton akan berpindah melewati elektrolit dan bereaksi dengan oksidan dan elektron lainnya serta kemudian menghasilkan panas dan produk samping. Untuk sel tunam berbahan hidrogen, produk samping yang terbentuk ialah air. Pada sel tunam berbahan bakar metanol, produk samping yang terbentuk ialah air dan gas karbondioksida.
Gambar 2.3 Skema sel tunam berbahan bakar hidrogen (Sumber: USA Energy Policy Act of 2005)
Reaksi kimia yang terjadi dalam sel tunam berbahan bakar hidrogen ialah sebagai berikut: Anoda
: 2H2
→ 4H+ + 4e-
(2.1)
Katoda
: O2 + 2H2O + 4e-
→ 4OH-
(2.2)
Reaksi sel
: 2H2 + O2
→ 2H2O
(2.3)
Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) menggunakan metanol langsung sebagai bahan bakar dengan menggunakan oksigen sebagai oksidan. Reaksi kimia yang berlangsung dalam DMFC ialah sebagai berikut:
7
→ CO2 + 6H+ + 6e-
Anoda
: CH3OH + H2O
Katoda
: (3/2) O2 + 6H+ + 6e- → 3H2O
(2.5)
Reaksi sel
: CH3OH + 1.5O2
(2.6)
→ CO2 + 2H2O
(2.4)
Elektrolit pada sel tunam berfungsi untuk memindahkan atom/molekul dari anoda ke katoda. Elektrolit yang digunakan pada sel tunam dapat berupa larutan KOH atau asam fosfat, lelehan karbonat, atau berupa membran padat (polimer atau ZrO). 2.3.
Hidrogen sebagai Bahan Bakar
Hidrogen ialah unsur kimia yang paling sederhana dan merupakan senyawa kimia yang paling banyak terdapat di alam semesta. Hidrogen merupakan senyawa tidak beracun, mudah terbakar, tidak berwarna, dan tidak berbau. Hidrogen dapat diproduksi melalui berbagai macam cara seperti reformasi kukus (metana, propana, metanol, atau etanol), gasifikasi biomassa, elektrolisis air, gasifikasi batubara, reformasi bio-gas, dan bahkan melalui reaksi biokimia dengan menggunakan alga. Konversi hidrogen menjadi energi elektrik melalui sel tunam memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan internal combustion engines (ICE) yang menggunakan bensin atau diesel. Selain produksi polutan yang rendah dan produk samping yang tidak berbahaya, efesiensi konversi hidrogen tidak dibatasi oleh efisiensi Carnot teoritis yang selama ini membatasi efisiensi mesin-mesin yang menggunakan pembakaran internal. Seperti halnya bahan bakar lainnya, hidrogen membutuhkan perlakuan khusus dalam penyimpanan, penggunaan, dan transportasinya. Gas hidrogren didistribusikan dalam bentuk hidrogen bertekanan atau hidrogen cair dimana keduanya membutuhkan biaya yang lebih besar bila dibandingkan dengan distribusi bensin atau diesel. Salah satu solusi penyelesaian masalah tersebut ialah penggunaan liquid-carriers (senyawa beratom hidrogen yang dapat direformasi menjadi gas hidrogen seperti amonia, metanol, atau etanol) sebagai zat antara untuk menyediakan hidrogen pada sel tunam.
8
2.4.
Metanol sebagai Senyawa Penyedia Hidrogen untuk Sel Tunam
Metanol merupakan senyawa alkohol yang memiliki satu atom karbon, satu atom oksigen, dan empat atom hidrogen. Metanol berada pada fasa cair pada tekanan atmosferik dan temperatur ruangan. Sifat fisik metanol tersebut menyebabkan metanol dapat dengan mudah ditransportasikan dan relatif lebih aman daripada hidrogen yang berada pada fasa gas. Metanol dapat direformasi membentuk hidrogen dan digunakan sebagai bahan bakar sel tunam konvensional. Metanol diproduksi dari gas sintesis yang didapatkan dari minyak dan gas bumi, gasifikasi batubara, ataupun gasifikasi biomassa. Sebagai bahan bakar cair, metanol tidak mengandung sulfur, larut baik dalam air, dan dapat direformasi pada temperatur rendah sehinga meminimalisasi hilang yang terjadi selama reaksi (Park dkk., 2004). Namun, metanol juga memiliki beberapa kekurangan seperti sifat metanol yang beracun dan mudah terbakar menghasilkan api yang tidak berwarna. Apabila dibandingkan dengan reaksi reformasi kukus dengan menggunakan alkana atau alkohol lain sebagai umpan, reaksi reformasi kukus dengan umpan metanol memiliki selektivititas CO yang lebih rendah. Selain penggunaan senyawa reformasi, beberapa penelitian baru-baru ini menemukan bahwa salah satu solusi penyelesaian masalah mahal dan sulitnya penyimpanan serta distribusi gas hidrogen untuk sel tunam ialah dengan menggunakan metanol secara langsung sebagai bahan bakar untuk sel tunam (DMFC). Metanol yang berwujud cair pada suhu ruangan akan memberikan banyak kemudahan dalam penyimpanan dan transportasi apabila dibandingkan dengan hidrogen. Namun, efisiensi energi DMFC masih jauh lebih rendah dibandingkan sel tunam berbahan bakar hidrogen. Selain itu, gas karbondioksida juga terbentuk sebagai produk samping reaksi sehingga memerlukan perlakuan tambahan, efisiensi energi DMFC juga masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan sel tunam berbahan bakar hidrogen.
9
2.5.
Jalur-jalur Penyedia Hidrogen dari Metanol
2.5.1.
Reformasi Kukus Metanol (Steam Reforming of Methanol)
Reformasi kukus metanol (SRM) merupakan jalur penyedia hidrogen dari metanol yang paling umum digunakan. Pada proses reformasi kukus, metanol direaksikan dengan kukus (H2O) menghasilkan produk berupa gas hidrogen (H2) dan karbondioksida (CO2) melalui reaksi: ∆HRo = +49,8 kJ/mol
CH3OH + H2O ↔ 3H2 + CO2
(2.7)
Proses reformasi kukus metanol ini memungkinkan perolehan produk campuran gas dengan kandungan 70-75% gas hidrogen. Kekurangan proses reformasi kukus metanol ini ialah lambatnya laju reaksi dan kebutuhan suplai panas untuk keberlangsungan proses. Tinjauan termodinamika reaksi dalam bentuk konversi kesetimbangan metanol pada berbagai temperatur dapat dilihat pada Gambar 2.4.
2.5.2.
Oksidasi Parsial Metanol (Partial Oxidation of Methanol)
Pada proses oksidasi parsial metanol (POM), reaktan yang terlibat yaitu metanol dan oksigen serta menghasilkan produk berupa hidrogen dan karbondioksida. Reaksi yang terjadi yaitu: ∆HRo = -191,9 kJ/mol
CH3OH + 0,5O2 → 2H2 + CO2
(2.8)
Pada konversi metanol 100%, proses ini dapat menghasilkan produk gas yang mengandung sampai 67% gas hidrogen jika menggunakan sumber oksigen murni dan 41% gas hidrogen jika menggunakan udara sebagai sumber oksigen. Keuntungan proses oksidasi parsial metanol ialah laju reaksinya yang cepat dan sifatnya yang eksotermik sehingga panas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk keperluan proses lainnya. Namun, proses ini menyebabkan terbentuknya zona panas pada permukaan katalis sehingga dapat menurunkan aktivitas katalis. Tinjauan termodinamika reaksi dalam bentuk konversi kesetimbangan metanol pada berbagai temperatur dapat dilihat pada Gambar 2.4.
10
2.5.3.
Reformasi Kukus Oksidatif (Autothermal Reforming of Methanol)
Reaksi ini sering disebut reformasi autotermal (ATR) dan merupakan kombinasi antara reformasi kukus dan oksidasi parsial metanol di mana reaktan yang berupa steam dan gas oksigen direaksikan bersama-sama dengan metanol melalui reaksi: 4CH3OH + 3H2O + 0,5O2 ↔ 11H2 + 4CO2
∆H160oC = 0 kJ/mol
(2.9)
Pada suhu 160oC, reaksi berjalan secara autotermal (tidak membutuhkan pasokan energi eksternal). Reformasi kukus oksidatif menghasilkan produk gas yang mengandung 65% gas hidrogen pada suhu 300oC. Penggabungan reformasi kukus metanol dan proses oksidasi parsial metanol diharapkan dapat menghasilkan perolehan hidrogen yang tinggi dan menghindari terbentuknya zona panas (hot spots) pada unggun katalis. Tinjauan termodinamika reaksi dalam bentuk konversi kesetimbangan metanol pada berbagai temperatur dapat dilihat pada Gambar 2.4. 2.5.4.
Dekomposisi Termal (Thermal Decomposition of Methanol)
Reaksi dekomposisi termal metanol (TDM) merupakan reaksi reversibel sintesis metanol dari H2 dan CO. Reaksi bersifat sangat endotermik dan memerlukan panas yang relatif besar dibandingkan dengan reformasi kukus metanol. Selain itu, proses ini juga menghasilkan gas karbonmonoksida yang berbahaya sehingga diperlukan perlakuan intensif. Persamaan reaksi dekomposisi termal metanol ialah: CH3OH ↔ 2H2 + CO
∆HRo = 90,5 kJ/mol
(2.10)
Proses ini jarang digunakan untuk memperoleh gas hidrogen menimbang besarnya kebutuhan energi yang diperlukan dan karena terbentuknya gas CO sebagai hasil reaksi. Tinjauan termodinamika reaksi dalam bentuk konversi kesetimbangan metanol pada berbagai temperatur dapat dilihat pada Gambar 2.4. Di dalam reaktor reformasi kukus metanol yang beroperasi pada suhu di atas 200oC, dekomposisi termal metanol terjadi dan berjalan paralel dengan reaksi reformasi kukus metanol. Penjumlahan stoikiometrik kedua reaksi tersebut dikenal dengan reaksi pergeseran CO (Water Gas Shift Reaction).
11
Gambar 2.4 Konversi kesetimbangan metanol berbagai reaksi penghasil hidrogen dengan umpan stoikiometrik pada kondisi tekanan operasi (P) 1 atm dan rentang temperatur (T) 50oC – 450oC.
2.6.
Reaksi Paralel Reformasi Kukus Metanol (Steam Reforming of Methanol) dan Pergeseran Karbonmonoksida (Water Gas Shift Reaction)
Pada reaktor, reaksi reformasi kukus metanol (SRM) berjalan paralel dengan reaksi pergeseran
karbonmonoksida
(WGSR)
dan
kedua
reaksi
merupakan
reaksi
kesetimbangan. Reformasi kukus metanol merupakan reaksi endoterm sedangkan reaksi pergeseran CO merupakan reaksi eksoterm. CH3OH + H2O ↔ 3H2 + CO2
∆HRo = +49,8 kJ/mol
(2.7)
CO + H2O ↔ H2 + CO2
∆HRo = -42,2 kJ/mol
(2.11)
Sesuai dengan prinsip Le Chatelier, kesetimbangan akan bergeser apabila terjadi perubahan konsentrasi, temperatur, dan tekanan (Wikipedia, 2007). Pada temperatur reaksi yang semakin meningkat, reaksi reformasi metanol akan bergeser ke arah kanan sedangkan reaksi pergesertan CO akan bergeser ke arah kiri. Hal ini menyebabkan penurunan perolehan hidrogen dan peningkatan produksi gas karbonmonoksida seiring dengan kenaikan temperatur reaksi.
12
Gambar 2.3(a) merupakan grafik pengaluran jumlah H2 dan CO pada gas produk reaksi SRM-WGSR terhadap temperatur pada rentang 75°C sampai 425°C. Grafik ini diperoleh melalui simulasi HYSYS® dengan kondisi umpan H2O:CH3OH=1:1 pada tekanan operasi (P) 1 atm. Gambar 2.3(b) merupakan grafik pengaluran konversi metanol terhadap temperatur pada rentang 75°C sampai 425°C. Grafik ini juga diproleh melalui simulasi HYSYS® pada kondisi yang sama.
(a)
(b)
Gambar 2.3 (a) Perolehan hidrogen dan produksi gas karbonmonoksida pada reaksi SRMWGSR (b) Efek keberadaan reaksi paralel (WGSR) pada konversi metanol.
13
2.7.
Katalis
2.7.1.
Definisi
Katalis adalah suatu senyawa yang meningkatkan laju reaksi dengan menurunkan energi aktivasi dan bereaksi tanpa terkonsumsi oleh reaksi itu sendiri. Katalis yang berada pada satu fasa dengan reaktan disebut katalis homogen sedangkan katalis yang berbeda fasa dengan fasa reaktan disebut katalis heterogen. Katalis dapat ditingkatkan keaktifannya melalui penambahan senyawa yang disebut promotor dan dapat teracuni dengan keberadaan senyawa yang disebut inhibitor. 2.7.2.
Prinsip Kerja
Katalis bergabung bersama reaktan membentuk suatu senyawa antara yang dapat bereaksi lebih cepat dengan reaktan lain tetapi tidak mempengaruhi kesetimbangan akhir. Katalis menyerap reaktan-reaktan dengan cara adsorpsi dan bereaksi pada pusatpusat aktif katalis. Produk-produk yang terbentuk akan terlepas dari pusat-pusat aktif katalis dengan cara desorpsi. Adsorpsi dan desorpsi pada katalis dapat terjadi secara fisika maupun kimia. Semakin besar luas permukaan pusat aktif katalis, maka akan semakin baik kinerja katalis tersebut. 2.7.3.
Katalis Reformasi Kukus Metanol
Tembaga (Cu) merupakan bahan yang umum digunakan sebagai fasa aktif dari katalis reformasi kukus metanol. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut ialah lebih ekonomisnya bahan tembaga apabila dibandingkan dengan platina (Pt), paladium (Pd), atau vanadium (V). Bahan penyangga katalis digunakan untuk memperbesar luas permukaan aktif. Bahan penyangga yang umum digunakan untuk katalis ialah γ-alumina (Al2O3). Promotor sering ditambahkan untuk meningkatkan kinerja katalis. Beberapa contoh promotor yang umum ialah zirkonium (Zr) dan cerium (Ce).
14
Shen dkk.. (2002) menunjukkan bahwa katalis dapat dibuat dengan beberapa metode penyiapan, yaitu impregnasi dan kopresipitasi. Penggunaan metode kopresipitasi dengan perbandingan berat Cu(NO3)2:Zn(NO3)2:Al(NO3)3 = 1,34 : 1,73 : 1 memberikan konversi hampir 100% pada temperatur 230oC. Chin dkk.. (2002) menunjukkan bahwa katalis berbahan dasar paladium akan menghasilkan kinerja yang baik. Konversi dari katalis ini mencapai 90% pada suhu kisaran 275oC dan waktu kontak yang sangat singkat (0,1 detik). Katalis ini mempunyai rentang operasi yang cukup jauh dan lebih stabil daripada katalis berbahan dasar tembaga. Namun, karena mahalnya harga paladium, katalis jenis ini jarang digunakan. Agrell, dkk.. (2003) menguji beberapa katalis seperti Cu/ZnO = 43,8 : 56,2 (CZ), Cu/ZnO/Al2O3 = 39,4 : 51,1 : 9,5 (CZA), Cu/ZnO/ZrO2 = 32,3 : 39,5 : 28,2 (CZZ) dan Cu/ZnO/ZrO2/Al2O3 = 30,9 : 50,2 : 14,1 : 4,8 (CZZA). Mereka menemukan bahwa katalis CZZA menunjukkan aktivitas yang lebih baik daripada katalis lainnya. Penelitian Yaakob dkk.. (2005) menunjukkan katalis yang mengandung vanadium (CuZn-Al-V) mempunyai aktivitas yang lebih tinggi daripada katalis yang mengandung tembaga, seng, dan aluminium saja (Cu-Zn-Al) bahkan pada suhu yang rendah. Pada suhu 250oC, katalis yang berkomposisi berat Cu : Zn : Al : V = 1 : 1 : 1 : 2 ini menunjukkan aktivitas yang cukup baik. Penelitian Firmansyah (2006) menunjukkan adanya aktivitas tinggi pada katalis Cu/Zn/Al dengan komposisi 20 : 10 : 1 pada suhu 400oC. Metode penyiapan katalis yang digunakan adalah metode kopresipitasi. Zhang dkk. (2002) menunjukkan bahwa penambahan ZrO2 sebagai promotor dapat meningkatkan meningkatan dispersi tembaga pada katalis dan mengecilkan ukuran kristal hasil pengendapan. Agrell dkk. (2003) memberikan hasil pengamatan yang sama dengan Zhang dkk. (2002). Selain itu mereka juga menemukanbahwa penambahan ZrO2 dapat meningkatan umur katalis tembaga. Zhang dkk. (2003) menunjukkan bahwa penambahan CeO2 sebagai promotor pada batar tertentu dapat meningkatkan aktivitas katalis tembaga.
15
Tabel 2.2 Berbagai Jenis Katalis dari Penelitian Sebelumnya Tahun
Reaksi
Agarwal
2004
SRM
Agrell
2003
SRM
Agrell
2003
ATR
Agrell
2003
SRM
Agrell
2003
ATR
Akaratiwa
2003
SRM
Chin
2002
SRM
Shen
2002
SRM
Shen
2002
ATR
Shen
2002
ATR
Shisido
2004
SRM
Suzuki
2005
ATR
Velu
2003
ATR
16
Peneliti
Katalis
Metode
Cu:Zn:Al= IM-Al2O3 2:1:17 Cu:Zn:Al = CP 4,14:5,38:1 Cu:Zn:Al = CP 4,14:5,38:1 Cu:Zn:Zr:Al = CP 6,4:10,5:2,9:1 Cu:Zn:Zr:Al = CP 6,4:10,5:2,9:1 Cu:Zn = CP 1,04:1 Pd/Zn = IM-ZnO 0,2:1 Cu:Zn:Al = CP 1,34:1,73:1 Cu:Zn:Al = CP 1,34:1,73:1 Cu:Zn:Al = CP 1,34:1,73:1 Cu:Zn:Al = CP 4,5:4,5:1 Cu:Zn:Al = CP 1,42:1,71:1 Cu:Zn:Al = CP 3,2:4,3:1
Luas Area
H2O:CH3OH:O2 Q (mL/menit)
158
1,4:1:0
91,9
1,3:1:0
91,9
1,3:1:0,2
116,2
1,3:1:0
116,2
1,3:1:0,2
TD
1,2:1:0
TD
1,8:1:0
93,7
1,44:1:0
93,7
1,44:1:0,16
94,7
1,44:1:1,48
97,5
1,2:1:0
84
1,3:1:14,322
108
1,3:1:0,25
Inert Q (mL/menit) -
Suhu (°C)
Katalis (g)
SV (h-1)
240
3
TD
89,00%
TD
308
0,05
1
90,00%
TD
324
0,05
1
90,00%
TD
278
0,05
1
90,00%
TD
298
0,05
1
90,00%
TD
350
0,04
TD
100%
0,00%
TD
275
0,1925
36000
90,00%
2,50%
He 80 He 80 He 80 N2 30 Ar 43 Ar 43
230
0,3
5,8
99,56%
0,11%
230
0,3
5,8
99,54%
0,15%
230
0,3
5,8
100,00%
0,05%
250
0,2
TD
97,30%
1,00%
230
0,09
TD
100,00%
0,00%
245
0,1
TD
89,00%
1,00%
N2 228 N2 214 N2 228 N2 214
Konversi Selektivitas (CH3OH) (CO)
17
Peneliti
Tahun
Reaksi
Katalis
Metode
Luas Area
H2O:CH3OH:O2 Q (mL/menit)
Inert Q (mL/menit)
Yaakob
2005
SRM
CP
801
TD
Yaakob
2005
ATR
CP
801
Zhang
2002
SRM
CP
Zhang
2002
SRM
Zhang
2002
SRM
Zhang
2002
SRM
Zhang
2002
SRM
Zhang
2002
SRM
Cu:Zn:Al:V = 1:1:1:2 Cu:Zn:Al:V = 1:1:1:2 Cu:Al:Ce = 0,87:1:0 Cu:Al:Ce = 8,84:10,16:1 Cu:Al:Ce = 4,19:4,81:1 Cu:Al:Ce = 2,64:3,03:1 Cu:Al:Ce = 1,86:2,14:1 Cu:Al:Ce = 1,4:1,6:1
Keterangan TD : tidak disinggung 1 : perkiraan dari grafik 2 : oksigen diperoleh dari udara 3 : pengendap berupa urea CP : kopresipitasi IM : impregnasi SRM : reaksi reformasi kukus ATR : reaksi reformasi kukus oksidatif SV : waktu tinggal (space velocity)
Suhu (°C)
Katalis (g)
SV (h-1)
Konversi Selektivitas (CH3OH) (CO)
TD
250
TD
TD
100,00%
9,00%
TD
TD
250
TD
TD
100,00%
3,00%
TD
1:1:0
TD
250
TD
3,28
81,4%
0,37%
CP
TD
1:1:0
TD
250
TD
3,28
87,5%
0,19%
CP
TD
1:1:0
TD
250
TD
3,28
90%
0,17%
CP
TD
1:1:0
TD
250
TD
3,28
93%
0,15%
CP
TD
1:1:0
TD
250
TD
3,28
95,5%
0,14%
CP
TD
1:1:0
TD
250
TD
3,28
91,8%
0,16%
2.7.4.
Metode Sintesis Katalis Konversi Metanol
2.7.4.1. Metode Kopresipitasi Cara yang paling lazim digunakan untuk membuat katalis tembaga adalah dengan metode kopresipitasi. Penjelasan umum tentang metode kopresipitasi adalah sebagai berikut. Suatu larutan yang mengandung Cu(NO3)2 dan Zn(NO3)2 ditambahkan larutan Na2CO3 di dalam suatu wadah pada temperatur di atas temperatur ambient. Endapan yang terbentuk dibiarkan selama proses pengadukan. Endapan lalu disaring, dicuci dengan air bidistilasi dan dikeringkan pada temperatur tertentu di udara untuk beberapa jam. Hasil yang diperoleh lalu dikalsinasi pada temperatur tertentu. Parameter reaksi seperti pH, kondisi pengadukan, pencucian diketahui mempunyai pengaruh terhadap struktur katalis, dengan kata lain mempengaruhi aktivitasnya. Metode kopresipitasi yang lain adalah kopresipitasi gel oksalat. Penjelasan dari metode kopresipitasi gel oksalat adalah sebagai berikut. Tembaga nitrat, seng nitrat dan alumunium nitrat dilarutkan pada etanol. Larutan asam oksalat lalu ditambahkan pada larutan garam nitrat ini pada kondisi pengadukan cepat. Pada pengadukan perlahan, endapan dibiarkan pada temperatur ruangan selama waktu tertentu. Setelah itu endapan ditempatkan di udara pada temperatur tertentu dengan maksud agar seluruh solven teruapkan. Endapan lalu dikeringkan pada temperatur tertentu dengan waktu sekitar 12 jam dan dikalsinasi di udara. Penelitian yang membandingkan berbagai metoda penyiapan termasuk gel kopresipitasi menunjukkan bahwa katalis yang disiapkan dengan kopresipitasi gel oksalat mempunyai area BET yang lebih tinggi, ukuran partikel yang lebih kecil dan aktivitas tertinggi dibandingkan jika disiapkan dengan metode kopresipitasi konvensional (Zhang dkk., 2005).
18
2.7.4.2. Metode Impregnasi Terdapat dua metoda impregnasi, metoda pertama dilakukan dengan menambahkan larutan Cu(NO3)2 ke material penyangga (serbuk alumina) yang ditempatkan pada bejana yang berotasi. Setelah impregnasi, sampel dikeringkan pada oven dengan temperatur 120oC selama dua jam. Metode kedua adalah material penyangga (serbuk alumina) yang terdapat pada keranjang stainless steel ditambahkan pada larutan tembaga nitrat yang teraduk sempurna. Lama perendaman divariasikan untuk menentukan waktu tercapainya berat konstan dari material penyangga terendam. Larutan dikeluarkan dan serbuk dikeringkan perlahan pada temperatur ambient (70-80% humidity) semalaman. Akhirnya, serbuk dikeringkan di oven pada 120oC selama 2 jam. Impregnasi adalah suatu metode yang mudah untuk menyiapkan katalis tembaga karena sedikitnya parameter yang harus dikendalikan selama penyiapan. Terdapat pebedaan signifikan pada sifat katalis antara katalis yang disiapkan dengan metode ini dan kopresipitasi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa temperatur yang dibutuhkan untuk reaksi dengan katalis impregnasi lebih tinggi daripada katalis kopresipitasi dalam menghasilkan konversi yang sama. Hal ini disebabkan struktur katalis kopresipitasi yang macroporous memudahkan partikel tembaga terdispersi sehingga energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah kontak yang sama lebih rendah (Liu, 2007). 2.7.4.3. Metode Template-Polimer Salah satu metode penyiapan katalis CuO/ZrO2 yaitu dengan`polymer matrix. Metode ini terdiri dari dua tahap yaitu penyiapan gel polimer dan sol-gel nanocoating. Untuk penyiapan gel polimer, surfaktan Tween 60® dilarutkan dalam air kemudian ditambahkan monomer (akrilamida dan glicidilmetakrilat), crosslinker (etilen glikol dimetakrilat), dan inisiator (potasium persulfat). Larutan ini kemudian dituangkan ke dalam tabung reaksi dan mengalami polimerisasi yang dilangsungkan pada temperatur 60oC. Setelah 16 jam, hasil reaksi yang berupa gel dikeluarkan dari tabung reaksi dan dipotong berbentuk cakram. Surfaktan dipisahkan melalui ekstraksi dengan soxhlet (dengan pelarut etanol selama 2 hari) dan dicuci dengan air.
19
Tahap selanjutnya ialah penyiapan sol-gel nanocoating. Zirkonium propoksida dan tembaga (II) asetilasetonat diaduk semalaman. Gel polimer direndam pada larutan ini selama semalam lalu dalam larutan hidrolisis selama 24 jam. Setelah dikeringkan, gel polimer dipisahkan dari oksida logam dengan memanskan material hibrida selama dua jam pada suhu 500oC dalam atmosfer nitrogen; lalu gas ditukar dengan oksigen dan temperatur dijaga selama 10 jam (Purnama, 2003). 2.7.5.
Karakterisasi Katalis
Karakterisasi katalis ialah proses identifikasi katalis yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses sintesis katalis. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan XRD sebagai alat identifikasi struktur kristal dan BET sebagai alat identifikasi luas permukaan. 2.7.5.1. Struktur Kristal Identifikasi struktur kristal pada katalis dilakukan dengan menggunakan XRD (X-Ray Diffraction). Ini didasari atas fakta bahwa gelombang elektromagnetik yang mengenai suatu sistem yang memiliki jarak celah (kisi) sama dengan panjang gelombang yang datang akan mengalami fenomena difraksi. Jarak antar atom pada padatan kristalin ialah sekitar 10-10 m dan ini sesuai dengan panjang gelombang sinar-X. Katalis heterogen merupakan padatan yang strukturnya dapat ditentukan dengan difraksi sinar-X. Hubungan antara panjang gelombang (λ), orde difraksi (n), jarang antar bidang kisi (d), dan sudut difraksi (θ) diungkapkan melalui persamaan Bragg berikut: (2.12)
Data hasil difraksi umumnya berupa kurva intensitas terhadap 2θ. Dengan menggunakan persamaan Bragg dan indeks Miller (hkl), struktur padatan dapat ditentukan. Selainitu, penentuan struktur dapat juga dilakukan dengan membandingkan pola difraksi sampel dengan pola difraksi padatan yang ada pada literatur database Pdf (Powder diffraction file).
20
Penelitian Agrell dkk.. (2003) menunjukkan bahwa katalis CZZA mempunyai struktur kristal yang amorf. Sedangkan identifikasi katalis CZA memperlihaatkan adanya struktur kristal CuO dan sedikit kristal ZnO. Shisido dkk. (2004) menunjukkan bahwa metode kopresipitasi homogen menghasilkan katalis yang berstruktur lebih amorf bila dibandingkan dengan metode kopresipitasi biasa. 2.7.5.2. Luas Permukaan Aktif Apabila fasa katalis berbeda dengan fasa reaktan-reaktan maka katalis tersebut dinamakan katalis heterogen. Pada reaksi konversi metanol, katalis yang digunakan ialah katalis padat dan reaktan-reaktan berada dalam fasa gas. Saat reaksi berlangsung, reaktan yang berada dalam fasa gas akan teradsorpsi ke dalam pusat aktif katalis. Semakin besar luas permukaan aktif katalis, maka semakin baik performa katalis tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruh adsorpsi yaitu interaksi antara adsorbat dan adsorbennya, tekanan (P), temperatur (T), luas permukaan, dan kualitas pengadukan. Penentuan luas permukaan aktif dilakukan dengan pendekatan isoterm adsorpsi BET dengan syarat molekul-molekul teradsorpsi membentuk lapisan tunggal di atas permukaan katalis. Luas permukaan ditentukan dari perbandingan jumlah partikel (dalam volume) teradsorpsi (V) terhadap jumlah partikel (dalam volume) teradsorpsi yang membentuk lapisan tunggal (Vm). (2.13) (2.14)
Dengan P sebagai tekanan gas teradsorpsi, P0 sebagai tekanan gas yang membentuk lapisan tunggal, dan C sebagai konstanta adsorpsi-desorpsi (C=Kads/Kdes). Luas
21
permukaan aktif ditentukan dari nilai Vm dan C yang didapat dari pengaluran 1/V terhadap X. Penelitian Agrell dkk. (2003) menyimpulkan bahwa katalis berbahan dasar tembaga dan seng saja mempunyai luas permukaan sebesar 49 m2/g. Penambahan alumina atau zirconia dapat meningkatkan luas permukaan hingga 92 m2/g. Katalis dengan penambahan kedua zat tersebut memiliki luas permukaan sebsesar 116 m2/g. 2.7.6.
Uji Aktivitas Katalis
Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas katalis ialah temperatur reaksi, komposisi umpan, lama pemakaian, dan waktu kontak. 2.7.6.1. Temperatur Agrell dkk. (2002) menyimpulkan bahwa konversi metanol, selektifitas CO, dan perolehan H2 akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Seperti yang tertera pada Gambar 2.5, semakin tinggi temperatur, konversi metanol dan komposisi gas-gas produk semakin tinggi pula.
Gambar 2.5 Pengaruh temperatur terhadap aktivitas katalis. (Agrell et al, 2002)
22
Kesimpulan yang sama juga didapatkan dari penelitian Zhang dkk. (2003) bahwa konversi metanol, perolehan H2, dan komposisi CO keluaran semakin meningkat seiring dengan peningkatan temperatur.
Gambar 2.6 Pengaruh temperatur terhadap aktivitas katalis (Zhang et al, 2003)
2.7.6.2. Komposisi Umpan Zhang dkk. (2003) mengemukakan bahwa konversi metanol akan meningkat namun selektivitas CO akan berkurang seiring dengan semakin tingginya konsentrasi air dalam umpan. Rasio air terhadap metanol yang disarankan oleh Zhang dkk. ialah 1 : 1,5.
Gambar 2.7 Pengaruh komposisi umpan terhadap aktivitas katalis (Zhang et al, 2003)
23
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Park dkk. (2004) bahwa semakin tinggi rasio air terhadap metanol, semakin tinggi pula perolehan H2 pada gas keluaran. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8, perolehan H2 tertinggi diperoleh pada rasio air terhadap metanol sebesar
2.7.6.3. Stabilitas dan Lama Pemakaian Stabilitas katalis ditentukan oleh signifikansi penurunan performa katalis dalam jangka waktu pemakaian tertentu. Zhang dkk. (2003) mengemukakan bahwa lama waktu pemakaian katalis dalam reaktor akan mempengaruhi aktivitas katalis. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8, semakin lama waktu pemakaian katalis, aktivitas katalis (dinyatakan dalam konversi metanol) akan semakin menurun.
Gambar 2.8 Pengaruh waktu pemakaian terhadap aktivitas katalis (1) w(CeO2) = 20%, (2) w(CeO2) = 0%. (Zhang dkk., 2003)
Hal serupa juga disimpulkan oleh H. Purnama dkk. (2004) bahwa lama pemakaian katalis mempengaruhi aktivitasnya. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.9, semakin besar TOS (Time-on-Stream) konversi metanol semakin berkurang.
24
Gambar 2.9 Pengaruh waktu pemakaian terhadap aktivitas katalis (Purnama dkk., 2004)
2.7.6.4. Waktu Kontak (WHSV) Menurut H. Purnama dkk. (2004), waktu kontak yang semakin besar akan meningkatkan perolehan H2 dan jumlah metanol yang terkonversi akan semakin meningkat.
Gambar 2.10 Pengaruh Waktu Kontak terhadap aktivitas katalis (H. Purnama dkk., 2004)
25
Menurut Zhang dkk. (2003), nilai WHSV yang semakin kecil akan meningkatkan konversi dan selektivitas CO. Sebagai patokan telah dibakukan WHSV senilai 3,28 h-1.
Gambar 2.11 Pengaruh Waktu Kontak (WHSV) terhadap aktivitas katalis (Zhang dkk., 2003)
26