1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Tujuan Hukum Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan ini hukum bertugas membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.1 Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan (justification) penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya adalah teori absolut dan teori relatif sebagai berikut :2 a. Teori Absolut (Vergeldingstheorie) Menurut teori ini hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan para pelaku karena telah melakukan kejahatan
1
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, hal. 57 Leden Marpaung, 2009, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4 2
2 yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat. b. Teori Relatif Teori ini dilandasi oleh tujuan (doel) sebagai berikut : 1)
Menjerakan; Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa apabila melakukan suatu perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie);
2)
memperbaiki pribadi terpidana; Berdasarkan
perlakukan
dan
pendidikan
yang
diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna; 3)
membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya; Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan
membuat
terpidana
tidak
berdaya
3 dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup. Dalam literatur dikenal juga tentang teori tujuan hukum yakni teori etis, teori utilitis dan teori campuran. Teori etis sebagaimana didukung oleh Geny L.J. Van Apeldorn, memandang hukum semata-mata bertujuan keadilan. Teori utilitas yang didukung oleh Jeremy Bentham memandang bahwa tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah hidup yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan teori campuran sebagaimana didukung oleh Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa tujuan hukum selain ketertiban juga keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya3 Sama halnya dengan teori tentang tujuan hukum, teori tentang fungsi hukum juga beragam sebagaimana dipaparkan sebagai berikut : 4 Menurut pandangan AG Peters, paling tidak ada 3 (tiga) perspektif fungsi hukum, yakni perspektif social control, social engineering dan emansipasif.
3 4
Ibid, hal. 57-71 Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, hal. 117
4 Dalam kerangka perspektif social control, fungsi utama sistem hukum bersifat integratif, maksudnya hukum untuk mengatur dan memelihara regulasi sosial. Tanpa hukum, masyarakat bisa menjadi homo homini lupus (manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya). Tiada masyarakat yang bisa hidup lama tanpa kontrol sosial dari hukum sebagai sarananya. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum sebagai sarana kontrol sosial mengandung arti bahwa hukum bertugas untuk menjaga masyarakat tetap berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Konsep hukum sebagai tool of social engineering memberikan dasar bagi kemungkinan hukum dipergunakan untuk mengadakan perubahan masyarakat. Hukum sebagai perspektif
social
engineering
lah
yang
paling
banyak
dipergunakan oleh para pejabat untuk menggali sumber-sumber kekuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan menggunakan hukum sebagai mekanismenya. Upaya pengendalian sosial dengan menggunakan hukum sebagai sarananya itulah yang oleh
5 Roscou Pound disebut sebagai Social engineering (rekayasa sosial)5 Konsep hukum perspektif emansipatif merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom up view of the law). Hukum dalam perspektif ini meliputi objek studi, misalnya bagaimana
hukum
sebagai
sarana
penunjang
aspirasi
masyarakat, budaya hukum, kesadaran hukum, penegakkan hukum dan lain-lain.6 Berbagai pakar di bidang ilmu hukum maupun di bidang sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing tentang tujuan hukum, sesuai dengan titik tolak serta sudut pandang mereka.. Tujuan hukum Kodrat dari Thomas Aquino ialah hukum yang terlepas dari kehendak manusia, terlepas dari positivering oleh manusia, berlaku pada semua zaman dan disemua tempat. Ajaran Hukum Thomas Aquino, meliputi beberapa unsur yaitu Lex aeterna ialah hukum abadi, Lex naturalis (hukum kodrat), Lex positive (hukum positif) dan Lex Divina (hukum Tuhan). Tujuan hukum menurut Paul Scholten adalah 5
mencari
keseimbangan
antara
Persoonlijkheid
Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat, Bandung; Alumni. Hal. 46 6 Edi Setiadi, 2004, Pemberdayaan Peran dan Kompleksitas Interaksi Advokat dalam Proses Penegakan Hukum untuk Mewujudkan Keadilan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang: hal. 69
6 (kepribadian) dan gemeenchap (masyarakat), yang kedua mencari keseimbangan antara gelijkheid en gezag (kesamaan manusia dan kewibawaan) dan yang terakhir memisahkan goed en kwaad (baik dan jahat). Tujuan hukum menurut Radbruch berorientasi pada kepastian hukun, keadilan dan daya guna. Achmad Ali mengemukakan bahwa dalam persoalan tujuan hukum, dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masingmasing adalah sebagai berikut: 1.
Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatik, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya;
2.
Dari sudut pandang filsafat hukum, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan;
3.
Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya7. Namun dari keseluruhan pendapat tentang apa yang
merupakan
tujuan
hukum
itu
sendiri,
Achmad
Ali
mengklasifikasikannya ke dalam dua kelompok teori masingmasing8
7
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Fiolosofis dan Sosiologis), Jakarta: Penebrit PT Toko Gunung Agung, Tbk, hal. 72 8 Ibid, hal. 73-85
7 1.
Ajaran Konvensional a.
Ajaran Etis, yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan;
b.
Aliran utilitis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga;
c.
Ajaran normatif-dogmatik, yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
2.
Ajaran Modern a.
Ajaran Prioritas Baku Gustav Radbruch, seorang filosof Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur hukum yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tiga tujuan hukum. Dengan perkataan
lain
kemanfaatan
tujuan
dan
hukum
kepastian
adalah hukum.
keadilan, Radbruch
mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu keadilan, barulah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian, jadi
asas
prioritas
yang
ditawarkan
Radbruch
8 merupakan asas prioritas baku di mana yang prioritas nomor satu selalu keadilan, kemudian kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian. b.
Ajaran Prioritas yang Kasuistis Pada mulanya ajaran prioritas baku dari Gustav Radbruch dirasakan jauh lebih maju ketimbang ajaran etis, utilitas dan normatif dogmatik, tetapi lama kelamaan, karena semakin kompleksnya kehidupan manusia di era multi modern, pilihan prioritas yang sudah dibakukan seperti ajaran Radbruch kadangkadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu, sebab ada kalanya untuk suatu jenis kasus memang yang tepat adalah keadilan yang
diprioritaskan
ketimbang
kemanfaatan
dan
kepastian, tetapi ada kalanya tidak mesti demikian. Mungkin untuk kasus-kasus lain justru kebutuhan menuntut
kemanfaatan
lah
yang
ketimbang keadilan dan kepastian.
diprioritaskan
9 A. Teori Pertanggungjawaban Korporasi Korporasi, menurut Kamus Hukum Fockema Andreae disebut sebagai Corporatie, dengan istilah ini kadang-kadang dimaksudkan suatu badan hukum, sekumpulan manusia yang menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap sebagai suatu kesatuan.9 Sedangkan menurut The Council Dictionary of Law, Corporation (body corporate) adalah An entity that has legal personality, i.e. it is capable of enjoying and being subject to legal right and duties10. Kata korporasi itu sendiri sebenarnya merupakan sebutan yang digunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang lazim dalam hukum perdata sebagai badan hukum (rechtpersoon, legal entities). Sama halnya dengan yayasan, korporasi adalah badan hukum karena keduanya memiliki unsurunsur sebagai berikut : a. Mempunyai harta sendiri yang terpisah; 9
N.E. Algra, H.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, Boehanoeddin St. Batoeah, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Bandung: Binacipta, hal. 83 10 Elizabeth a. Martin (ed.), Martin R. Baham dkk, 1988, The Concise Dictionary of Law, Grew Britain, Oxford Univerity Press, hal. 89
10 b. Ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan dimana kekayaan terpisah itu diperuntukkan; c. Ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya11. Teori mengenai pertanggungjawaban korporasi terdiri dari beberapa teori sebagai berikut : 12 1.
Teori Identifikasi Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orangorang yang berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu,
pertanggungjawaban
korporasi
tidak
bersifat
pertanggungjawaban pribadi; 2.
Strict LiabilityTeory Strict liability diartikan sebagai suatu pertanggungjawaban pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus, Strict Liablity
11
ini
merupakan
pertanggungjawaban
tanpa
Rudy Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 23-24 November 1989, hal. 2 12 Barda Nawawi Arief, 2002, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: hal. 154
11 kesalahan. Di sini pelaku tindak pidana sudah dapat dipidana manakala ia telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat sikap batin si pelaku. Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan, ini berarti bahwa pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Menurut L.B. Curzon, doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: a.
adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu;
b.
pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat;
c.
tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.
3.
Vicarious Liability Teory Dalam teori ini dikatakan bahwa pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilaukan orang lain, kedua orang tersebut harus mempunyai
12 hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja harus masih dalam ruang
lingkup
pekerjaannya.
pertanggungjawaban
ini
disebut
Secara
singkat
pertanggungjawaban
pengganti. Undang-Undang
dapat
menentukan
Vicarious
Liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut: a.
Seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila
seseorang
kewenangannya orang
lain.
syarat/prinsip
itu
menurut
Dalam
hal
tanggung
telah
mendelegasikan
undang-undang kepada ini
diperlukan
jawab
yang
suatu bersifat
dilimpahkan (the delegation principle). b.
Seorang
majikan
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan.
13 Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. “Vicarious Liability” yang merupakan
suatu
pertanggung jawaban pidana dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain, misalnya dalam hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan majikan. Dengan demikian dalam pengertian “Vicarious Liability” ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan. Menurut The Concise Dictionary of Law Corporation (body corporate) is an entity that has legal personality, I. eit is capable of enjoying and being subject to legal rights and duties.13 Beberapa pengertian atau rumusan mengenai korporasi sebenarnya menggambarkan kenyataan sosiologis berbagai aktifitas ekonomi pada ratusan tahun yang lampau. Dapat disebut antara lain Generale Verenigde Geoctroyeerde Oost 13
Elizabeth A Martin (ed), Martin R. Baham dkk, 1988, The Concise Dictionary of Law Great Britain, Oxford University Press, hal, 89
14 Indische Compagine (Persatuan Umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda) yang lazim disebut sebagai Verenigde Oos Indische Compagnie (VOC) sebagai korporasi yang sepak terjangnya luar biasa dalam sejarah kolonial Indonesia. Dalam kehidupan bisnis orang Cina di zaman Belanda, dikenal dengan pengertian Kongsi. Kongsi adalah pengelola (si) atas milik bersama atau usaha umum (kong). Dalam hukum dagang Hindia Belanda, kongsi dagang termasuk firma dan juga persekutuan komanditer.14 Pengertian korporasi dalam hukum pidana positif di Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep yang dijelaskan di atas. Beberapa peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan pengertian korporasi yang beraneka ragam, misalnya pada Pasal 1 butir 19 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memberikan pengertian korporasi sebagai kumpulan yang terorganisir, orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
14
JI. Vleming Jr., 1988, Kongsi dan Spekulasi; Jaringan Kerja Bisnis Cina (Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch Indie) Disadur oleh Bob Widya Hartono) Grafiti, Jakarta, hal. 59
15 B. Korban Korban atau victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Di sini jelas yang dimaksud dengan orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.15 Selaras dengan pendapat di atas, Arif Gosita menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmani dan rohani (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.16 Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dinyatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan 15 16
Abdusalam, 2005, hal 5 Arif Gosita, 1989, hal., 75
16 atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah : 1.
Setiap orang;
2. mengalami penderitaan fisik, mental dan atau; 3. kerugian ekonomi; 4. akibat tindak pidana.17 Kongres PBB VII/1985 di Milan, Italia membahas mengenai The prevention Crime and the Treatment of Offenders mengemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims rights should be perceived as an integral aspects of the total criminal justice system)18 Demikian
besarnya
perhatian
dunia
internasional
terhadap masalah ini sehingga pada kongres ke-7 PBB mengajukan rancangan resolusi tentang perlindungan korban ke Majelis Umum PBB. Rancangan Resolusi ini kemudian menjadi Resulosi Majelis Umum PBB Nomor 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power” 17
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi; Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 10 18 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 53
17 Pengertian perlindungan korban menurut Barda Nawawi Arief, dapat dilihat dari 2 (dua) makna. Pertama, dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana” (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia atau kepentingan hukum seseorang). Kedua, dapat diartikan sebagai „perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana”, jadi identik dengan penyantunan korban. Bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik atau rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya19. Restitusi dan kompensasi adalah salah satu bagian dalam upaya mengurangi kerugian dan atau penderitaan korban. Oleh Karmen dikatakan Restitution and Compensation are alternative methods of repaying losses”. Restitusi dan kompensasi merupakan suatu istilah yang sering dipakai secara bergantian yang sebenarnya menggambarkan dua titik pandang yang berbeda. Restitusi dalam perspektif viktimologi berkaitan dengan perbaikan atau restorasi perbaikan atas kerugian fisik, 19
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 56
18 moral maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas serangan pelaku tindak pidana/kejahatan. Kompensasi dalam perspektif viktimologi berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat tersebut merugikan korban, oleh karena itu, dapat disebut kompensasi atas kerugian fisik, moral maupun hara benda yang diderita korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi juga merupakan suatu indikasi pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang berkarakter berbeda. Dengan demikian tergambar suatu tujuan non pidana dalam kasus pidana.20 Rincian tentang pengertian korban dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korban diartikan sebagai : (1) pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dan sebagainya.), (2) orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya.), (3) orang yang sudah mati, (4) orang yang mati karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan sebagainya.21
20
Angkasa, 2000, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana (Pendekatan Viktimologis terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan), Disertasi Universitas Diponegoro, Semarang: hal. 119 21 WJS Poerwadarminta, 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan Departemen Pendidikan
19 Berdasarkan atas beberapa pengertian tentang korban sebagaimana di atas maka pada hakikatnya konsepsi tentang korban dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya menjadi dua yakni korban yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat supranatural misalnya korban untuk persembahan para dewa atau dalam rangka ritual keagamaan dan yang tidak termasuk dalam pengertian pertama antara lain korban akibat tindak pidana, bencana alam, pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya. Konsepsi korban yang terakhir ini oleh Mendelson disebut sebagai korban dalam konsepsi keilmuan (scientific) atau victimological.22 Selain dari kamus, para viktimolog juga memberikan pengertian tentang korban. Tampaknya terdapat aspek lain yang dinyatakan oleh para viktimolog, tidak hanya sebatas pengertian umum juga karakteristik yang melekat pada pengertian korban. Karakteristik yang dimaksud terdiri dari dua hal yakni adanya penderitaan (suffering) dan ketidakadilan (injustice). Hal ini tampak sebagaimana pendapat dari Stanciu yang menyatakan “..The victim in the broad sense, is he who suffer unjustice (from dan Kebudayaan Republik Indonesia Cetakan ke-6, Penerbit PN Balai Pustaka, Jakarta, hal. 523 22 V.V. Stanciu, 1976. Victim-Producing Civilizations and Situations, dalam Victim and Society Part I (Consceptual Issues) Emilio C. Viano (ed) Visage Inc/Washington DD, hal. 29
20 the Land Victima, which signifies the creature offered in sacrifice to the gods),. Thus, the two characteristic traits of the victim are : suffering and unjustice, suffering must be unjust and not necessary illegal”.23 Dari uraian di atas yang dimaksud dengan korban haruslah
mengandung
karakter
adanya
penderitaan
dan
ketidakadilan. Pengertian tentang korban khususnya korban kejahatan juga dirumuskan dalam instrumen internasional meliputi berbagai aspek sebagaimana tertuang dalam The Protection of Human Rights in the Administration of criminal Justice a Compendium of Unites National Norms and Standart.24 Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and abuse of Power dinyatakan sebagai berikut: 1. Victims means persons who individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economi loss or substantial of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of
23
Ibid M. Cherif Bassiouni, 1994. The Protection of Human Rights in the Administration of criminal Justice A Compendium of United Nations Norms and Standarts. Transnational Publishers, Inc. Irving on Hudson, New York, 24
21 criminal law operative within member states, including those law proscribing abuse of power 2. A person may be considered a victim under this Declaration, regardless
of
whether
the perpetrator
is
identified,
apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim. The terms victim also includes where appropriate, the immediate family or dependents of the victim and person who have suffered harm in interventing to assist victims in distress or to prevent victimization 3. The provisions contained herein shall be applicable to all, without distinction of any kind such as race, colour, sex age, language, religion, nationallity, political or other opinion, cultural beliefs or practice, property, birth or family status, ethnic or social origin and disability25 Berdasarkan atas definisi di atas maka dapat terlihat bahwa yang dimaksud dengan korban adalah seseorang baik sendiri ataupun bersama-sama menderita kerugian, termasuk luka fisik, maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi ataupun kerusakan hak-hak dasarnya yang disebabkan karena
25
Ibid, hal. 276-277
22 perbuatan yang melanggar hukum pidana pada suatu negara baik disengaja maupun karena kelalaian.26 Deklarasi tersebut tampaknya juga memasukkan orang sebagai korban tidak peduli apakah pelakunya diketahui, ditahan, dituntut hukum ataupun tidak dan tidak peduli apakah terdapat hubungan keluarga antara pelaku dengan korbannya ataupun tidak. Pengertian korban juga mencakup bilamana mungkin adalah keluarga dekat dari para pelaku serta orang-orang yang mengalami penderitaan dan atau kerugian yang disebabkan karena ikut serta dalam menolong seseorang korban yang kesulitan atau ketika mencegah terjadinya korban. Kongres PBB VII/1985 di Milan, Italia membahas mengenai The prevention Crime and the Treatment of Offenfers mengemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims rights should be perceived as an integral aspects of the total criminal justice system)27 Proses
pelaksanaan peradilan pidana menghendaki
adanya proses hukum yang adil dan layak sebagai lawan dari
26
Angkasa, 2004, Op Cit, hal. 31 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 53 27
23 proses yang sewenang-wenang atau berdasarkan semata-mata kuasa penegak hukum. Pengalaman penegakkan hukum melalui peradilan menunjukkan bahwa proses hukum yang adil dan layak ini lebih ditekankan pada penghormatan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam suatu rangkaian proses peradilan pidana sejak dimulainya tindakan-tindakan kepolisian berupa penyelidikan dan penyidikan sampai proses penuntutan, peradilan dan eksekusi pelaksanaan putusan pengadilan28. Menurut Reksodipuro, terdapat kekeliruan pemahaman proses hukum yang adil atau layak berupa pemahaman bahwa proses itu sering hanya dikaitkan pada penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada tersangka atau terdakwa, padahal arti proses hukum yang adil atau layak lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal. Ada kesan bahwa proses hukum yang adil atau layak itu hanyalah berlaku bagi tersangka atau terdakwa. Sepanjang
ketentuan-ketentuan
hukum
acara
menyangkut
tersangka atau terdakwa sudah diikuti atau dilaksanakan pada tahap-tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan eksekusi putusan peradilan, proses hukum yang adil atau layak dianggap
28
Yusuf Shofie, Op Cit, hal. 59
24 sudah dipenuhi. Di situ tidak dihiraukan sebab-sebab atau akibatakibat tindak pidana (kejahatan) pada korban. Ada kesan proses itu sudah berhenti, ketika putusan pengadilan sudah dieksekusi. Sementara itu biaya-biaya sosial (social cost) akibat tindak pidana atau kejahatan itu misalnya penderitaan dan kerugian korban serta berbagai stigma terhadap korban, belum atau tidak diakomodasi. Selesainya proses peradilan pidana dianggap sudah memulihkan biaya-biaya sosial akibat tindak pidana itu29. Di mata hukum, peran korban yang diwakili oleh jaksa/penuntut umum hanyalah terbatas menjadi saksi korban, sebutan yang lazim digunakan dalam praktik penegakan hukum, baik pada proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sebutan dan batasan saksi korban ini tidak dikenal di dalam Hukum Acara Pidana. Pasal 108 KUHAP menyatakan bahwa setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengadilan kepada penyelidik dan penyidik baik lisan maupun tertulis. Sedangkan Pasal 160 ayat (1) butir b KUHAP menentukan bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya
29
Mardjono Reksodipuro, Op Cit, hal. 39
25 adalah korban yang menjadi saksi. Keterangan saksi korban, baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan mungkin merupakan bukti yang paling membahayakan bagi tersangka atau terdakwa. Seorang saksi korban yang memberikan keterangan dalam setiap tingkat proses peradilan pidana berarti sudah memperhitungkan untung-ruginya memberikan keterangan. Menurut Mulyana W. Kusumah, saksi korban semestinya diberikan hak untuk menolak memberikan kesaksian dengan dasar pembenaran sebagai berikut : 1. Atas keterangan-keterangan/kesaksian yang diberikan, saksi korban mengambil risiko penderitaan fisik atau psikis yang mungkin dialaminya karena tindakan-tindakan pembalasan yang dilakukan pendukung-pendukung sub kebudayaan tertentu misalnya gang-gang; 2. Pengungkapan di muka umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tersangka atau terdakwa barangkali membawa akibat-akibat yang lebih jauh menimbulkan hambatan-hambatan masif bagi perkembangan psikologis saksi.30
30
Mulyana W. Kusumah, 1981, Aneka Permasalahan dalam ruang Lingkup Krominologi, Bandung: alumni, hal. 112
26 Sedangkan Reksodipuro mengemukakan lima macam korban sebagai berikut 31: 1. Yang sama sekali tidak bersalah; 2. Yang menjadi korban karena kelalaiannya; 3. Yang sama salahnya dengan pelaku; 4. Yang lebih bersalah daripada pelaku; 5. Yang satu-satunya bersalah (dalam hal pelaku dibebaskan). Konsumen sebagai korban tindak pidana korporasi dapat menjadi salah satu dari kelima macam korban di atas, meskipun demikian ukuran konsumen menjadi korban di sini lebih pada perspektif hukum pidana. Kerugian yang dialami konsumen pada tindak pidana korporasi tak hanya dalam bentuk fisik, seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penyembuhan luka-luka fisik, hilangnya pendapatan/keuntungan yang akan diperoleh, melainkan juga non fisik,
yang
sulit
dinilai
dengan
uang.
Sementara
itu
perkembangan tindak pidana korporasi menunjukkan sistem peradilan pidana mengalami kesulitan menentukan secara pasti korbannya berikut kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, yang sering disebut sebagai korban yang sifatnya abstrak (abstract
31
Mardjono reksodipuro, Op Cit, hal. 70
27 victims), sehingga terbuka peluang diskresi kepolisian bahkan peluang hukum untuk melakukan penghentian penyidikan. Hazel Croall mengemukakan betapa seriusnya kerugiankerugian yang dialami korban tindak pidana korporasi ini, bahwa The phrase white collar is often associated with scandals in the financial and business world and the sophiscated frauds of senior executives. It also incorporated what is popularly known as corporate crime, which includes the many activities of powerful corporations which expoit relatively powerless consumers, workes and citizens.. criminologist have often argued that these kinds of crimes are made wide-spread, more serious, and more damaging to society than many other common crimes like robbery, burglary of theft32.
C. Korporasi Kata korporasi sendiri sebenarnya merupakan sebutan yang digunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang lazimnya didalam hukum perdata disebut sebagai badan hukum (rechtspersoon, legal entities) atau corporation. Namun demikian, korporasi sendiri tidak identik dengan badan hukum. Sama halnya 32
Hazel Croall, 1992, White Collar Crime: Criminal Justice and criminology, Buckingham, Philadelphia, Open University Press, hal. 3
28 dengan yayasan, korporasi adalah badan hukum karena keduanya memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 33 a. Mempunyai harta sendiri yang terpisah; b. Adanya suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan di mana kekayaan terpisah tersebut diperuntukan; c. Adanya pengurus yang menguasai serta mengurusi harta kekayaan tersebut. Penggunaan istilah badan hukum sebagai subjek hukum semata-mata untuk membedakan dengan manusia (natulijk persoon) sebagai subjek hukum. Dalam pada itu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sendiri mengatur sebutan korporasi dalam Penjelasan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi tidak memberikan batasannya. Rumusan pasal tersebut adalah bahwa Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan
hukum
yang
melakukan
kegiatan,
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”
33
Yusuf Shofie, Op cit, hal. 14
29 Korporasi, menurut Kamus Hukum Fockema Andreae disebut sebagai Corporatie, dengan istilah ini kadang-kadang dimaksudkan suatu badan hukum, sekumpulan manusia yang menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap sebagai suatu kesatuan.34 Sedangkan menurut The Council Dictionary of Law, Corporation (body corporate) adalah An entity that has legal personality, i.e. it is capable of enjoying and being subject to legal right and duties35. Kata korporasi itu sendiri sebenarnya merupakan sebutan yang digunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang lazim dalam hukum perdata sebagai badan hukum (rechtpersoon, legal entities). Sama halnya dengan yayasan, korporasi adalah badan hukum karena keduanya memiliki unsurunsur sebagai berikut : 1.
34
Mempunyai harta sendiri yang terpisah;
N.E. Algra, H.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, Boehanoeddin St. Batoeah, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Bandung: Binacipta, hal. 83 35 Elizabeth a. Martin (ed.), Martin R. Baham dkk, 1988, The Concise Dictionary of Law, Grew Britain, Oxford Univerity Press, hal. 89
30 2.
Ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan di mana kekayaan terpisah itu diperuntukkan;
3.
Ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya36.
D. Kejahatan Korporasi Sebuah korporasi menurut hukum perdata adalah suatu legal person. Dengan demikian korporasi yang dalam hukum perdata merupakan badan hukum memiliki sifat sebagai legal personality, artinya suatu korporasi sebagai badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum, memiliki harta kekayaan sendiri, memiliki hak dan kewajiban yaitu serupa halnya dengan seorang manusia sehingga oleh karena itu, pula korporasi dapat menggugat dan dapat digugat di pengadilan perdata atas namanya sendiri. Namun beberapa sarjana mengemukakan beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Pertanggungjawaban atas kejahatan
36
Rudy Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 23-24 November 1989, hal. 2
31 pidana kepada korporasi selain tanggung jawab dengan alasanalasan sebagai berikut : 37 1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi perusahaanperusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya para pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindakan pidana kejahatan yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan; 2. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut suatu perusahaan daripada para pegawainya; 3. Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah perusahaan atau korporasi lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai perusahaan tersebut; 4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong
para
pemegang
saham
untuk
melakukan
pengawasan terhadap kegiatan-kehidupan di mana mereka telah menanamkan investasinya; 5. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu 37
Sutan Remy Sjahdeni, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: GrafitiPers, hal. 55-56
32 pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan; 6. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaanperusahaan untuk menekan para pegawainya baik secara langsung maupun tidak langsung agar para pegawainya mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan kegiatan usaha yang illegal; 7. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang ilegal di mana hal ini tidak terjadi bila yang dituntut adalah para pegawainya. Pengertian
kejahatan
korporasi
sering
dikacaukan
dengan berbagai macam istilah kejahatan seperti occupational crime (kejahatan jabatan), professional crime (kejahatan profesional), organized crime (kejahatan terorganisasi), crime against corporation (kejahatan terhadap korporasi) dan criminal corporation (korporasi sebagai sarana untuk melakukan kehatan). 38
38
Muladi, 1989, Fungsionalitas Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi. Semarang: Fakutas Hukum Universitas Diponegoro, hal. 1
33 Mendasarkan hal tersebut maka tepat jika dikatakan bahwa suatu perumusan tindak pidana korporasi (corporate crime) sampai saat ini masih suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Edwin H, Sutherland. Setelah pidato bersejarah Sutherland pada tahun 1939 . Menurut Sahetapy, muncul setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda dan dalam ruang lingkup yang tidak sama pula.39 Terdapat
tiga
hal
yang
menjadi
tujuan
utama
pengungkapan white collar crime dalam pidato Sutherland. Pertama, ia ingin menegaskan bahwa white collar criminality adalah kejahatan nyata. Kedua, ia mengingatkan bahwa yang melanggar hukum, melakukan kejahatan bukan saja mereka golongan kecil yang tidak mampu melainkan juga mereka dari kalangan atas yang terhormat dan berkedudukan sosial tinggi. Ketiga, ia ingin memberikan dasar yang lebih kokoh bertalian dengan teori yang telah dikembangkan yaitu teori asosiasi deferensial (Differential association)40 Pemikiran Sutherland ini dikritik oleh Paul Tappan dalam sebuah tulisan yang berjudul Who is the criminal? Yang 39 40
JE Sahetaoy, 1994. Kejahatan Korporasi, Eresco Bandung: hal. 25 Ibid
34 dimuat dalam American Sociological Review Vol. 12 Tahun 1947, di mana ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang tidak melanggar hukum bukanlah kejahatan dan orang-orang yang tidak dituduh melakukan kejahatan bukanlah penjahat. Tappan menggunakan kata-kata against the law, dan bukan against the criminal law. Bila semula Sutherland memberikan batasan bahwa white collar crime sebagai criminal acts committed by persons of the middle and upper socio economics group in connection with their occupations |(Sutherland, 1949), suatu pemikiran yang membatasi white collar crime pada tindak pidana, ternyata kemudian para ahli kriminologi termasuk Tappan memperluas batasan white collar crime keluar dari batasan hukum pidana.41 Menanggapi Tappan, Sutherland mengakui bahwa meskipun
pelanggaran-pelanggaran
hukum
administrasi
(administrative law violations) bukanlah tuduhan kriminal itu sendiri, namun perintah/putusan lembaga administratif akibat adanya pelanggaran-pelanggaran hukum termasuk di dalamnya hukum pidana yang diterapkan pemerintah, dapat dibenarkan,
41
Loc Cit
35 jadi, pelanggaran yang dilakukan itu sama (equivalent) dengan kejahatan (crimes).42 Dalam memahami perbedaan pendapat antara Sutherland dan Tappan ini, Sahetapy menggarisbawahi bahwa persoalan di sini sesungguhnya bukan permasalahan apakah pendirian Sutherland itu sosiologis dan Tappan itu yuridis, melainkan Sutherland mempersoalkan perbuatan (yang tidak bermoral dan tidak etis) dan Tappan menekankan pada aspek prosedur hukumnya, yaitu diadili dan dinyatakan bersalah atau tidak.43 Menurut Sahetapy, pendapat Tappan tersebut tak disetujui oleh Ernest W. Burgess karena terlalu legalistik dan kurang sosiologis. Karena dengan pendapat Burgess ini perdebatan konsep white collar crime menjadi perdebatan segitiga. Pendirian Burgess ini meniadakan apa yang disebut white collar criminals, sebab mereka yang disebut kriminal ini adalah orang-orang yang terpandang di masyarakat, dihormati dan berkuasa.44 Hazel Croal memulai uraiannya tentang white collar crime yang sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia
42
JE Sahetapy, 1994, Op cit, hal. 21-22 Loc cit 44 Loc Cit 43
36 keuangan dan bisnis (financial and business world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophicasted frauds of senior executive). Di dalamnya termasuk apa yang secara populer dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime)45 Reksodipuro berpendapat bahwa kejahatan korporasi yang diterjemahkan sebagai corporation crime merupakan sebagian dari white collar crime. Kejahatan korporasi selalu berhubungan dengan kehidupan ekonomi atau kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis (business related activities).
46
dan ditegaskan bahwa kejahatan korporasi sebagai bagian dari white collar crime harus dibedakan antara corporate crime dengan small business offenses (kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau usaha-usaha dagang yang berlingkup kegiatan dengan skala kecil atau terbatas) sebagai
mana
pernyataan
Reksodipuro
bahwa
konsepsi
kejahatan korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh big business dan jangan dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh small scale business seperti 45
Hazel Croal, 1992. White Collar Crime : Criminal Justice and Criminology, Great Britain: hal. 3 46 Mardjono Reksodipuro, 1995. Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan (Kumpulan Karangan Buku Kesatuan). Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Jakarta: hal. 66
37 penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman atau bengkel reparasi kendaraan bermotor dan sebagainya.47 Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya, penyebaran tanggung jawab serta struktur hirarkis dari
korporasi
besar dapat
membantu
berkembangnya kondisi-kondisi yang kondusif bagi kejahatan korporasi. Anatomi kejahatan korporasi yang sangat kompleks dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas bermuara pada motif-motif yang bersifat ekonomi, yaitu tercermin pada tujuan korporasi (organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan korporasi
dengan
kepentingan
berbagai
pihak,
seperti
kompetitor (pesaing), buruh, konsumen, masyarakat dan negara. Berdasarkan motif-motif tersebut korban kejahatan korporasi tersebar pada spektrum yang amat luas. Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager memberikan pengertian kejahatan korporasi sebagai berikut : “A Corporate crime is any act commited by corporation that is punished by the state,
regardless
of
wheather
it
is
punished
under
administrative, civil or criminal law” (Kejahatan korporasi
47
Ibid
38 adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana). Agar tidak terjadi kerancuan dengan berbagai istilah yang berkaitan dengan korporasi, maka harus diadakan perbedaan antara (1) crimes for corporation, (2) crimes against corporation dan (3) criminal corporation.48 Crimes for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi (corporate crime). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa corporate crime are clearly commited for the corporate and not against. Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi yang sering dinamakan dengan employee crimes, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja
terhadap
korporasi,
misalnya
penggelapan dana
perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut. Pelaku kejahatan ini (crimes against corporation) tidak hanya terbatas pada pejabat atau karyawan dari badan hukum atau korporasi yang bersangkutan, tetapi masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan terhadap korporasi ini49. 48
Setiyono, 2003. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 20 49 Ibid, hal. 20
39 Mengenai hal yang terakhir, yaitu criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporation hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan atau sebagai topeng untuk menyembunyikan wajah asli dari suatu kejahatan. Dikatakan masuk akal adalah bahwa badan hukum secara sah dapat ditentukan untuk melibatkan diri dalam kriminalitas, namun hal ini memerlukan adanya penipuan secara besar-besaran, begitu pula korupsi dengan skala yang sangat tinggi. Pola yang biasa adalah suatu badan hukum mencari agar ditentukan untuk tujuan-tujuan yang sah dan kemudian mengembangkan dalam batas-batasnya suatu organisasi yang tidak sah yang ditujukan untuk kejahatan. Penipuan-penipuan korporasi
tersebut
hanya
sekedar
melaksanakan
tugas
berdasarkan pembagian pekerjaan yang telah ditentukan para pejabat. Badan-badan hukum yang sah tersebut diatur oleh para penjahat sebagai benteng kegiatannya atau usahanya.50 Hal penting untuk membedakan antara crime for corporation atau corporate crime atau kejahatan korporasi dengan criminal corporations adalah berkaitan dengan pelaku 50
Soedjono Dirjosisworo, 1985. Kuliah Prof Donald R. Cressy tentang Kejahatan Mafia. Armico, Bandung: hal. 55
40 dan hasil kejahatan yang diperoleh. Pelaku kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah korporasi itu sendiri. Sedangkan pelaku dalam criminal corporation, utamanya adalah penjahat di luar korporasi dan korporasi itu hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Hasil kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri. Keadaan seperti ini tidak terjadi dalam criminal corporation, karena korporasi ini hanya sekedar sebagai alat untuk melakukan tindak kejahatan.51 Atas dasar pembedaan ketiga pengertian hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan korporasi (crimes for corporation) adalah suatu perbuatan yang dilakukan korporasi yang dapat dijatuhi hukuman oleh negara, berdasarkan hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Pengertian inilah yang dimaksud dalam fokus penelitian ini. Bentuk-bentuk kejahatan dan korban kejahatan korporasi ini sangat beraneka ragam. Pada umumnya kejahatan korporasi bernilai ekonomi. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut antara lain adalah pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan di bidang perpajakan dengan sakala
51
Setiyono, 2003. Op Cit. hal. 21
41 dan ruang lingkup korban yang sangat luas, yaitu konsumen, masyarakat dan negara Melihat subjek tindak pidana yang terdapat dalam hukum pidana positif di Republik Indonesia yakni pada Pasal 15 Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 39 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, Pasal 24 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 108 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 61 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Pasal 46 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), maka kejahatan korporasi ini bisa dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan
orang,
yayasan
atau
organisasi-organisasi.
Pengertian kejahatan korporasi tersebut merupakan pengertian
42 normatif, yaitu pengertian yang mendasarkan pada ketentuanketentuan hukum positif.52 Kejahatan korporasi juga dimaknai secara lebih luas baik secara sosiologis, kriminologis dan viktimologis. Hal ini antara lain disampaikan oleh Sahetapy bahwa kejahatan korporasi merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif dan mengandung variabilitas, dinamis serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan antisosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu 53 Melihat pengertian kejahatan yang tidak terbatas pada pengertian normatif, maka ruang lingkup kejahatan korporasi itu lebih luas. Praktik-praktik korporasi sering bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan skala korban yang cukup luas dan kadang-kadang masih belum terjangkau oleh hukum. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan jika dalam pembahasan kejahatan korporasi, kejahatan ini sering dilihat dalam pengertian yang terakhir. 52 53
Ibid, hal. 22 JE Sahetapy, 1994. Kejahatan Korporasi, Eresco: Bandung,: hal. 23
43 Dengan kata lain kejahatan korporasi dalam perspektif sosiologis, kriminologis dan viktimologis adalah setiap kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan skala korban yang cukup luas dan terlepas apakah tindakan tersebut sudah diatur dalam hukum positif ataupun belum.
E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada BAB VI Pasal 19 menjelaskan tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha yang dirumuskan sebagai berikut : a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
44 c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi; d. Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan pembuktian
adanya lebih
tuntutan
lanjut
pidana
mengenai
berdasarkan
adanya
unsur
kesalahan; e. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang
perbuatan
melawan
hukum
terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :
mengharuskan
45 a. adanya perbuatan; b. adanya unsur kesalahan; c. adanya unsur kerugian yang diderita; d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat. Tampak disini bahwa beban pembuktian terbalik diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, pembuktian hukum terbalik juga diterapkan dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Perlindungan Konsumen pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22 dan 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
46 terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut. Kendati demikian ada pula ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab
mutlak
adalah
prinsip
tanggung
jawab
yang
menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya prinsip tanggung jawab mutlak adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan antara keduanya pada ada atau tidak adanya
hubungan
kausalitas
antara
subjek
yang
bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada prinsip tanggung jawab, hubungan itu harus selalu ada, sementara pada
47 tanggung jawab mutlak hubungan itu tidak selalu ada54. Maksudnya pada tanggung jawab mutlak dapat saja pihak tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan pihak pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam). 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai clausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 6. Product Liability : Professional Liability Dua prinsip penting dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah
tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional. Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsipprinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas terpisah karena perlu diberikan penguraian tersebut. Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang 54
melekat pada
E. Saefullah Wirapradja, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional. Yogyakarta : Liberty, 1989. Hal. 51
48 produk tersebut55. Kata produk oleh Agnes M. Toar diartikan sebagai barang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir.
F. Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada BAB VI Pasal 19 menjelaskan tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan 55
Agnes M. Toar. Tanggung jawab produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara. Makalah dalam Penataran Hukum Perikatan II di Ujung Pandang, 17-19 Juli 1989. Hal. 1
49 dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi; 4. Pemberian
ganti
kemungkinan
rugi
adanya
tersebut
tidak
tuntutan
pidana
menghapuskan berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; 5. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa
kesalahan
tersebut
merupakan
kesalahan konsumen. Tanggung jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan dalam sistematika hukum yang berbeda. Ada yang mengatakan tanggung jawab produk sebagai bagian dari hukum perikatan, hukum perbuatan melawan hukum, hukum kecelakaan dan ada yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum konsumen. Pandangan yang lebih maju menyatakan tanggung jawab produk ini sebagai bagian hukum tersendiri. Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya hal-hal sebagai berikut : 1. pelanggaran jaminan (breach of warranty); 2. kelalaian (negligence);
50 3. tanggung jawab mutlak (strict liability). Pengertian tersebut memperlihatkan bahwa tanggung jawab produsen terhadap kerugian konsumen dapat terjadi karena perjanjian maupun karena perbuatan melawan hukum. Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan pengusaha, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Menurut R. Setiawan, wanprestasi sama artinya dengan ingkar janji. Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu : 1. tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2. terlambat memenuhi prestasi; 3. memenuhi prestasi secara tidak baik. Dasar hukum pemberian ganti rugi akibat tidak dipenuhinya suatu perikatan adalah Pasal 1248 KUH Perdata, yaitu bahwa “Penggantian biaya, ganti rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila pihak
berhutang
setelah
dinyatakan
lalai
memenuhi
perikatannya tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”
51 Menurut Pasal 1246 KUH Perdata, ganti rugi terdiri atas dua faktor, yaitu : 1. Kerugian yang nyata-nyata diderita; dan 2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh. Perlindungan hukum bagi konsumen akibat wanprestasi tercantum dalam Pasal 1267 KUH Perdata, yaitu : “Pihak terhadap siapa perikatan dipenuhi, dapat memilih apakah ia jika hal itu masih dapat dilaksanakan atau memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga”. Kemudian Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan tentang tanggung jawab pelaku usaha dan pelaksanaannya, yaitu : 1.
Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
52 mengkonsumsi barang dan/atau yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;
4.
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
5.
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 27 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 sendiri
disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
53 1.
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
2.
Cacat barang timbul pada kemudian hari;
3.
Cacat
timbul
akibat
ditaatinya
ketentuan
mengenai
kualifikasi barang; 4.
Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
5.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang telah ditentukan.
H. Penyelesaian Sengketa
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yakni pada BAB X Pasal 45, diatur mengenai Penyelesaian Sengketa yang mengatur sebagai berikut : a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum;
54 b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa; c. Penyelesaian sengketa di luar pengadillan tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang; d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau oleh pihak yang bersengketa.