BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Agribisnis Peternakan Agribisnis menurut Davis dan Goldberg (1957) merupakan suatu sistem, apabila dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada di dalamnya. Pengembangan agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Salah satu subsistem yang terdapat dalam agribisnis lazimnya adalah agroindustri. Agroindustri adalah usaha untuk mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen (Austin 1981). Kemajuan dalam bidang agribisnis ditandai dengan semakin menyempitnya spesialisasi fungsional dan semakin jelasnya pembagian kerja berdasarkan fungsi-fungsi sistem agribisnis. Fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri) dan pemasaran. Agroindustri berperan sebagai jembatan yang menghubungkan sektor pertanian dengan sektor industri. Pengembangan agroindustri juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi pengolahan, meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha kecil, menambah lapangan pekerjaan dan memenuhi permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri dengan produk-produk bermutu sehingga dapat meningkatkan penerimaan devisa (Saragih 2001 diacu dalam Puspita 2007). Sutawi (2007) mengungkapkan bahwa pertanian berperan penting pada perekonomian di negara berkembang. Di Indonesia sektor pertanian masih merupakan sektor andalan perekonomian nasional. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya Program Revitalisasi Pertanian
sebagai salah satu strategi pembangunan Kabinet Indonesia
Bersatu yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu 19% pendapatan nasional merupakan hasil pertanian, 50% tenaga kerja bekerja di sektor
6
pertanian, 62% pendapatan masyarakat pedesaan berasal dari pertanian dan 55% pendapatan rumah tangga dibelanjakan untuk membeli hasil-hasil pertanian. Subsektor peternakan yang merupakan bagian dari sektor pertanian merupakan subsektor strategis dalam menopang perekonomian regional maupun nasional. Pada tahun 2004 subsektor peternakan menyumbang 12,71% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dan 1,94% terhadap PDB nasional. PDB subsektor peternakan dan hasil-hasilnya mengalami kenaikan dari Rp 25,2 trilyun tahun 2000 menjadi Rp 37,4 trilyun tahun 2003 dan akhirnya mencapai Rp 43,1 trilyun tahun 2005 (Daryanto 2007). Subsektor peternakan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumberdaya peternakan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Industri di bidang peternakan memiliki keterkaitan (backward and forward lingkages) yang kuat dengan industri-industri lainnya. Ketiga, industri peternakan berbasis sumberdaya lokal atau dikenal dengan istilah resources based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di bidang peternakan sebagaimana tercermin dari potensi sumberdaya ternaknya. Untuk mendukung potensi-potensi tersebut dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) peternakan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, memiliki jiwa kewirausahaan serta siap menghadapi kompetensi bisnis, baik pada tataran lokal, regional, nasional maupun global (Daryanto 2007). Peranan kewirausahaan dapat ditunjukkan dalam tiga bidang yaitu, inovasi, jumlah pemula bisnis baru dan penciptaan pekerjaan. Perusahaan yang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurial firms) dapat bertindak sebagai agen perubahan dengan menyediakan sumber ide baru dan unik yang oleh perusahaan lain mungkin diabaikan. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh para pemimpin agribisnis peternakan adalah bagaimana menciptakan suatu agribisnis peternakan yang berdayasaing dan memiliki kemampuan merespons perubahan selera konsumen secara cepat dan efisien. Mereka harus mampu menghasilkan produk yang efisien dan sesuai dengan atribut yang dituntut oleh konsumen dalam era persaingan global.
7
B. Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging Agribisnis perunggasan khususnya ayam pedaging merupakan yang paling maju di bidang peternakan. Agribisnis ayam pedaging merupakan usaha komersial yang dapat dilakukan secara massal, intensif dan hemat lahan, sehingga peningkatan produksinya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat dan murah dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Pesatnya produksi ayam pedaging selama ini dipicu oleh teknologi pemeliharaan yang relatif mudah, masa pemeliharaan yang singkat, konversi pakan yang efisien dan pemasaran yang mudah. Ayam pedaging dipasarkan pada bobot hidup antara 1,3 hingga 1,6 kg per ekor ayam dan dilakukan pada usia 5-6 minggu (Rasyaf 2001). Dalam produksi ayam pedaging hanya memiliki satu tujuan yaitu, produksi daging yang sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai dalam rencana yang telah ditentukan. Bila dalam rencana semula ditetapkan sasaran bobot hidup rata-rata 1,6 kg di usia enam minggu dengan jumlah jual 1.800 ekor dari jumlah masuk 2.000 ekor, maka itulah sasaran yang hendak diusahakan. Sasaran berguna untuk pegangan atau arah pengelolaan peternakan. Dengan berpegang pada sasaran itulah dilakukan pengawasan dalam pemberian ransum. Perkembangan konsumsi ransum dan pertambahan bobot tubuh ayam diawasi setiap minggu, lalu dibandingkan dengan sasaran produksi. Dengan fungsi pengawasan pemberian ransum, penurunan konsumsi ransum dan mortalitas yang tidak wajar dapat dipantau, kemudian diambil tindakan pembedahan bangkai ayam, untuk mengetahui penyebab masalah. Uraian di atas menunjukkan adanya unsur teknis yang harus diperhatikan dalam usaha peternakan ayam pedaging yaitu, produksi, pakan dan pencegahan penyakit. Di samping itu juga ada unsur bukan teknis yang mendukung unsur teknis. Kedua unsur ini harus berjalan selaras dan saling mendukung. Unsur bukan teknis meliputi administrasi, pemasaran, keuangan dan pengadaan (Rasyaf 2001). Administrasi adalah suatu bagian yang sangat penting dan bisa diumpamakan sebagai jantung suatu peternakan. Banyak peternakan yang gagal karena administrasinya buruk. Dalam skala yang tidak besar, bagian administrasi sering digabungkan dengan bagian keuangan, karena fungsi pengawasan dan pengendalian berlaku ketat dalam aktivitas keuangan. Pemasaran
8
adalah bagian yang menentukan untung atau ruginya suatu peternakan. Pemasaran juga menentukan berat ayam yang dipelihara, jumlahnya dan sasaran penjualan. Bagian yang tidak kalah pentingnya yaitu bagian pengadaan. Bagian inilah yang memesan DOC, ransum, obat, vaksin dan alat-alat peternakan beserta jadwal pengiriman dan negosiasi harganya. Bagian ini penting karena dari sinilah tercermin biaya produksi. Bagian pengadaan yang baik akan mendapatkan biaya produksi yang murah melalui negosiasi harga yang baik. Semua unsur tersebut harus bekerja dengan optimal dan berkoordinasi dengan baik, karena masing-masing unsur memiliki fungsi yang saling terkait. Satu unsur saja tidak bekerja optimal akan mempengaruhi kinerja usaha peternakan yang dijalankan. Dalam agribisnis peternakan ayam ras seorang peternak akan selalu berpikir bagaimana
memperoleh
produksi
(output)
yang
sebanyak-banyaknya
dengan
penggunaan sarana produksi (input) yang sekecil-kecilnya. Dalam ilmu ekonomi, cara berpikir demikian sering disebut profit maximization. Tujuan tersebut dapat tercapai jika peternak dapat mengalokasikan penggunaan sarana produksi yang dimilikinya secara efisien. Menurut Sutawi (2007), ada tiga macam ukuran efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (allocative efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Pengertian efisiensi ini sangat relatif. Efisiensi teknis dapat diartikan sebagai upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi sebesarbesarnya. Efisiensi teknis tercapai jika produksi rata-rata setiap unit input mencapai maksimum. Efisiensi harga adalah upaya untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan tingkatan penggunaan input tertentu. Efisiensi harga tercapai kalau nilai produksi marjinal (produksi marjinal dikalikan harga produksi) untuk suatu input sama dengan harga input tersebut, atau jika produksi marjinal sama dengan nisbah antara harga input dengan harga output. Efisiensi ekonomis merupakan gabungan antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Pada usaha peternakan ayam pedaging baik petelur maupun pedaging, produksi daging maupun telur sangat ditentukan oleh banyaknya pakan. Secara ekonomis keuntungan yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh biaya pakan, karena biaya pakan
9
mencapai 70-80% dari biaya produksi total (Sutawi 2007). Harga pakan sendiri dipengaruhi oleh harga bahan baku yang digunakan, dimana bahan baku yang digunakan dalam industri makanan ternak sebagian besar masih diimpor dari luar negeri seperti bungkil kacang kedelai, jagung, meat bone meal (MBM), tepung ikan serta suplemen penunjang lainnya. Ketergantungan akan bahan baku pembuatan pakan ini menyebabkan harga pakan akan terus naik seiring dengan kenaikan harga bahan baku yang digunakan. Kenaikan harga pakan akan membuat harga jual ayam di tingkat peternak menjadi meningkat pula. Pada peternakan ayam pedaging, efisiensi teknis untuk pakan dihitung dari bobot badan dibagi dengan jumlah pakan yang dihabiskan. Semakin tinggi nilai perbandingan (nisbah) antara output dengan input tersebut, berarti secara teknis penggunaan pakan semakin efisien. Cara lain untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis pakan adalah dengan melihat angka konversi pakan (feed conversion ratio). Konversi pakan adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu kilogram berat ayam hidup (Fadilah 2005). Semakin kecil angka konversi pakan berarti secara teknis penggunaan pakan semakin efisien. Pada ayam pedaging angka konversi terkecil terjadi pada minggu pertama pertumbuhan. C. Kemitraan Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Blessing 2007). Kemitraan usaha bukanlah suatu konsep baru. Kemitraan usaha mengandung pengertian adanya hubungan kerja sama usaha di antara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Prinsip kerja sama seperti itu dapat mengatasi pembatas potensi usaha yang melekat pada satu unit usaha. Dengan menjalin kemitraan, produsen memperoleh manfaat antara lain: (1) stabilitas pendapatan (income stability), karena berkurangnya resiko produksi dan
10
pemasaran, (2) peningkatan efisiensi (improved efficiency) melalui bimbingan teknis, manajemen, pengetahuan pasar dan akses teknologi, (3) keamanan pasar (market security) berkaitan dengan grade dan standar produk yang dihasilkan, (4) akses terhadap kapital (access to capital) lebih mudah karena sebagian sarana produksi dipenuhi oleh kontraktor sehingga produsen dapat memperbesar skala usahanya (Sutawi 2007). Bagi perusahaan, manfaat yang diperoleh antara lain: (1) terjadinya stabilitas produksi yang menjamin kontinuitas suplai (controlling input supply), (2) meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan, baik tenaga kerja maupun permodalan, (3) menciptakan perluasan pasar dan memperkuat posisi persaingan pasar dan (4) memperluas kesempatan melakukan ekspansi dan diversifikasi operasional perusahaan (Sutawi 2007). Kemitraan ada yang bersifat vertikal (antarskala usaha), yaitu antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dan ada pula yang bersifat horisontal pada skala usaha yang sama. Namun, yang pada umumnya dimaksud dengan kemitraan adalah antar skala usaha. Dalam praktek bisnis internasional dewasa ini (era 1990-an) kemitraan usaha telah menjadi bagian strategi bisnis perusahaan terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang tidak lagi dapat mengandalkan pada strategi internalisasi aktivitas usaha melalui akuisisi dan merger dalam rangka integrasi vertikal dan horisontal. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi yang sarat dengan persaingan, kemitraan usaha dipandang sebagai suatu cara untuk mengurangi resiko usaha serta meningkatkan efisiensi dan dayasaing usaha. Dalam suasana persaingan yang ketat, hanya usaha yang lentur, lincah dan cepat tanggap terhadap perubahan permintaan pasar yang dapat memenangkan persaingan. Untuk
itu
perusahaan-perusahaan
besar
cenderung
melakukan
restrukturisasi,
perampingan dan konsentrasi pada bisnis utamanya, serta melakukan kemitraan usaha baik secara vertikal maupun horisontal. Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumberdaya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra. Selain dapat memberikan kelenturan dan kelincahan bagi usaha besar, kemitraan usaha juga dapat menjawab masalah diseconomies of scale yang sering
11
dihadapi oleh usaha besar. Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni. Bagi usaha kecil, kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil. Kemitraan usaha bukanlah penguasaan yang satu atas yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil, melainkan menjamin kemandirian pihak-pihak yang bermitra, karena kemitraan bukanlah proses merger atau akuisisi. Kemitraan usaha yang diinginkan bukanlah kemitraan yang bebas nilai, melainkan kemitraan yang tetap dilandasi oleh tanggung jawab, moral dan etika bisnis yang sehat, yang sesuai dengan demokrasi ekonomi. Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berpikir pembangunan ekonomi, bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan. Kemitraan yang dilandasi motif belas kasihan cenderung mengarah kepada inefisiensi sehingga tidak akan berkembang secara sinambung. Sebagai suatu strategi pengembangan usaha kecil, kemitraan telah terbukti berhasil diterapkan di banyak negara, antara lain di Jepang dan empat negara macan Asia, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Di negara-negara tersebut kemitraan umumnya dilakukan melalui pola subkontrak yang memberikan peran kepada industri kecil dan menengah sebagai pemasok bahan baku dan komponen industri besar. Proses ini menciptakan keterkaitan antar usaha yang kukuh tanpa harus melakukan integrasi vertikal atau konglomerasi. Jika kita pelajari secara seksama, kunci sukses berkembangnya kemitraan di negara-negara yang telah lebih maju adalah, karena kemitraan usahanya terutama didorong oleh adanya kebutuhan dari pihak-pihak yang bermitra itu sendiri, atau diprakarsai oleh dunia usahanya sendiri, sehingga kemitraan dapat berlangsung secara alamiah. Hal ini dimungkinkan mengingat iklim dan kondisi ekonomi mereka telah cukup memberikan rangsangan ke arah kemitraan yang berjalan sesuai dengan kaidah ekonomi yang berorientasi pasar.
12
Di negara kita, kondisi ideal itu belum sepenuhnya tercipta. Kenyataan menunjukkan masih kuatnya kecenderungan usaha besar untuk menguasai mata rantai produksi dan distribusi dari perekonomian nasional, bahkan sampai kepada lembaga pembiayaannya. Hal ini dapat menghambat perkembangan usaha kecil, dan jika tidak terkendali, bahkan dapat merugikan kepentingan ekonomi nasional secara keseluruhan. Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat melebarnya kesenjangan sosial ekonomi sehingga menyebabkan timbulnya kerawanan dan kecemburuan sosial. Kemitraan masih belum melembaga dalam dunia usaha nasional kita. Kemitraan yang sudah berjalan selama ini pada umumnya masih berlangsung karena ada himbauan dari pemerintah. Dalam kenyataan, kemitraan usaha yang benar-benar didasarkan pada adanya kebutuhan dan dilandasi oleh motivasi ekonomi relatif masih sedikit jumlahnya. Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, maka peran pemerintah tampaknya masih diperlukan, setidaknya pada tahap-tahap awal yang sifatnya memotivasi (memicu) atau mendorong (memacu), bukan memaksa. Peran pemerintah yang pertama dan paling utama adalah menciptakan iklim usaha yang sehat bagi kemitraan usaha. Salah satu instrumennya adalah sistem insentif dan disinsentif yang tepat dan proporsional. Dalam hubungan ini perlu dicari bentuk dari sistem insentif serta disinsentif yang efektif dan yang tidak counter productive terhadap kemitraan, misalnya dalam bentuk insentif fiskal, moneter atau bentuk-bentuk lainnya seperti perizinan, kebijaksanaan harga dan penyanggaan (buffer program). Selanjutnya, pemerintah dapat berperan dalam memberikan pedoman dan ramburambu tentang kemitraan melalui peraturan perundangan, misalnya bagaimana kemitraan itu dapat dijalankan secara saling menguntungkan, apa saja kriteria yang menjamin penanggungan resiko dan pembagian keuntungan secara adil, serta bagaimana mengatasi perselisihan yang terjadi di antara pihak-pihak yang bermitra. Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi peluang kemitraan dan bantuan teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan negosiasi bisnis. Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan prasarana-sarana dan
memperkuat
kelembagaan
pendukung
kemitraan
antara
lain
dengan
mengembangkan sistem dan lembaga keuangan yang efektif bagi usaha kecil. Hal ini
13
penting mengingat akses kepada dana, khususnya kredit perbankan dengan persyaratan teknisnya, masih menjadi kendala bagi usaha kecil dalam pengembangan usahanya. Bagi usaha kecil lapisan bawah yang belum laik bank (bankable), barangkali patut dipikirkan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan konvensional, termasuk pengembangan lembaga keuangan alternatif yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan usaha kecil. Namun pada akhirnya, kemitraan haruslah berdasarkan asas sukarela dan suka sama suka. Dalam kemitraan harus dijauhkan “kawin paksa.” Oleh karena itu, pihakpihak yang bermitra harus sudah siap untuk bermitra, baik kesiapan budaya maupun kesiapan ekonomi. Jika tidak, maka kemitraan akan berakhir sebagai penguasaan yang besar terhadap yang kecil atau gagal karena tidak bisa jalan. Artinya, harapan yang satu terhadap yang lain tidak terpenuhi. Oleh karena itu meskipun telah kita nyatakan bahwa kemitraan merupakan salah satu instrumen yang strategis bagi pengembangan usaha kecil, tetapi ini tidak berarti bahwa semua usaha kecil bisa segera secara efektif dikembangkan melalui kemitraan. Bagi pengusaha informal atau yang sangat kecil skala usahanya (gurem) dan belum memiliki dasar kewirausahaan yang memadai, kemitraan dengan usaha besar belum tentu efektif karena belum tercipta kondisi saling membutuhkan, karena usaha kecil membutuhkan usaha besar sedangkan usaha besar tidak merasa membutuhkan usaha kecil. Usaha kecil yang demikian barangkali perlu dipersiapkan terlebih dahulu, misalnya dengan memperkuat posisi transaksi melalui wadah koperasi atau kelompok usaha bersama (prakoperasi) dan pembinaan kewirausahaan. Dengan memahami berbagai aspek kewirausahaan dan bergabung dalam wadah koperasi, usaha-usaha yang sangat kecil atau informal tersebut secara bersama-sama akan memiliki kedudukan dan posisi transaksi yang cukup kuat untuk menjalin kemitraan yang sejajar, saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dengan usaha besar mitra usahanya itu. Sumardjo (2001) menyatakan, dalam sistem agribisnis terdapat lima bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar. Kelima jenis kemitraan tersebut adalah:
14
1. Pola Inti Plasma Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara petani/kelompok tani atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen serta menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi. Perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaannya, sedangkan kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. 2. Pola Subkontrak Pola ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bahan dari produksinya. Bentuk kemitraan semacam ini biasanya ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama di antaranya mencakup volume, harga, mutu dan waktu. Pola kemitraan ini dalam banyak kasus ditemukan sangat bermanfaat dan kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. 3. Pola Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum merupakan pola hubungan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Pada dasarnya pola kemitraan ini adalah hubungan jual-beli sehingga memerlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik perusahaan maupun usaha kecil. 4. Pola Keagenan Merupakan bentuk kemitraan dengan peran pihak perusahaan besar/menengah memberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan atau usaha kecil mitra usaha. Perusahaan besar/menengah bertanggungjawab atas mutu dan volume produk atau jasa tersebut. Di antara pihak-pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi.
15
5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis merupakan pola hubungan bisnis, dimana kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga. Sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. Di samping itu, perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk, di antaranya juga mengolah produk tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan. D. Kemitraan Usaha Peternakan Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan produsen peternakan melalui penguatan dayasaing (competition power), pemerintah Indonesia telah mengarahkan para produsen peternakan untuk saling menjalin kerjasama kemitraan (Sutawi 2007). Berdasarkan PP No.44/1997 tentang kemitraan, menjelaskan bahwa kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha besar disertai pembinaan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Menurut Kepmentan No. 940/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. Bertindak sebagai kelompok mitra antara lain petani/nelayan, kelompok tani nelayan, gabungan tani/nelayan, koperasi dan usaha kecil. Sedangkan perusahaan mitra terdiri perusahaan menengah dan besar pertanian serta perusahaan menengah dan besar di bidang pertanian (Sutawi, 2007). Pada kemitraan ayam pedaging perusahaan mitra menyediakan sarana produksi berupa bibit ayam, pakan dan obat-obatan, memberi bimbingan teknis dan manajemen, menampung, mengolah dan/atau memasarkan hasil produksi peternakan, mengusahakan permodalan, sedangkan peternak plasma menyediakan tenaga kerja, kandang dan peralatan untuk melaksanakan budidaya. Dalam agribisnis ayam pedaging, pada tahun 1990 pemerintah mencoba melakukan restrukturasi dengan menerbitkan Keppres nomor 22/1990 tentang
16
Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, yang pada intinya membebaskan usaha ayam pedaging tidak hanya untuk usaha peternakan rakyat, tetapi juga mengijinkan untuk skala perusahaan dengan catatan mereka harus melakukan kemitraan dengan peternakan rakyat. Lebih lanjut, menurut Kepmentan nomor 472/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, kemitraan dapat dilaksanakan dengan pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat), pola pengelola atau pola penghela. Berbagai pola kemitraan usaha peternakan sudah banyak diterapkan pada kegiatan agribisnis di Indonesia. Pola inti-plasma telah banyak dilakukan pada kegiatan agribisnis usaha perkebunan antara lain PIR Perkebunan, PIR Transmigrasi, PIR Bun-KPPA dan PIR Perunggasan. Beberapa komoditas yang diusahakan dan cocok dalam kemitraan tersebut antara lain kelapa sawit, karet, teh, kopi dan ayam pedaging. Dalam perjalanannya, kemitraan ayam pedaging mengalami berbagai tentangan dan tantangan. Tahun 1996, setahun sebelum krisis ekonomi, kemitraan di berbagai daerah hanya dilaksanakan oleh 30% peternak, sedangkan 70% sisanya lebih suka berusaha secara mandiri. Krisis ekonomi tahun 1997 yang telah menghancurkan 80% usaha budidaya ayam pedaging, dan 20% yang bertahan adalah peternakan rakyat yang menjalin kemitraan. Meski bertahan menghadapi krisis perekonomian yang berkepanjangan, kemitraan ayam pedaging belum juga diterima oleh seluruh peternakan rakyat. Bahkan organisasi peternakan ayam rakyat (PPUI), dalam berbagai kesempatan selalu mengusulkan agar kemitraan ayam pedaging dihentikan atau setidaknya ditangguhkan, karena dinilai tidak berpihak dan tidak mampu memberdayakan peternakan rakyat. E. Analisis Usaha Peternakan Ayam Pedaging Menurut Mubiyarto (1984), pada umumnya petani mengadakan perhitunganperhitungan ekonomi dalam keuangan menyangkut input (biaya) yang dibutuhkan dan output (penerimaan) yang akan diperoleh nantinya, namun perhitungan-perhitungan yang dilakukan hanyalah perhitungan sederhana. Besarnya penerimaan dari proses produksi dapat ditentukan dengan mengalikan produk yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Secara umum semakin besar
17
produksi yang dihasilkan, akan menyebabkan semakin besar pula penerimaan atau sebaliknya (Bishop & Toussaint 1997). Menurut Soekartawi (2002), pendapatan bersih usaha adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran total. Penerimaan suatu usaha adalah sebagai produk total suatu usaha dalam produk tertentu baik dijual maupun tidak dijual. Penerimaan dihitung dengan mengalikan produk total dengan harga yang berlaku. Sedangkan pengeluaran total suatu usaha adalah nilai semua masukan yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan bersih dari suatu usaha mengukur imbalan yang diperoleh dari penggunaan faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan. Untuk mendapatkan keuntungan dari usahaternak ayam pedaging pedaging yang penting adalah kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Jadi jelaslah bahwa pertumbuhan pada ayam pedaging pedaging merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dari peternak, karena pemeliharaan pada saat pertumbuhan akan dapat menentukan hasil produksinya kelak (Rasyaf 1992). Winter dan Funk (1962) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi keuntungan dalam peternakan ayam di antaranya adalah biaya dan pengolahan ransum, efisiensi tenaga kerja, biaya pemasaran, harga DOC, tingkat kematian dan besarnya skala usaha. Rasyaf (1992) menyatakan bahwa biaya yang tetap dikeluarkan tanpa memperdulikan keberadaan ayam di dalam kandang dinamakan biaya tetap. Biaya tersebut antara lain biaya pembuatan kandang, tenaga kerja dan listrik. Sedangkan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan jumlah ayam yang dipelihara dinamakan biaya tidak tetap atau biaya variabel. Biaya ini antara lain terdiri dari biaya pembelian DOC, pakan, pemeliharaan dan obat-obatan. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Isbandi (1988), menunjukan bahwa usaha ayam pedaging pedaging menguntungkan pada skala lebih dari 750 ekor per periode. Faktor sosial tidak berpengaruh pada tingkat pendapatan peternak, sedangkan faktor ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan peternak adalah berat ayam, harga jual, jumlah ayam terjual dan biaya pengeluaran ayam pedaging pedaging. Manurung dan Djafar (1988), mengatakan bahwa analisa “Break Event” (BE) adalah suatu cara atau teknik untuk mengetahui kaitan antara volume produksi, volume
18
penjualan, harga jual, biaya produksi, biaya lainnya yang variabel atau yang tetap serta laba rugi. Kegunaan-kegunaannya antara lain: 1. Sebagai dasar untuk merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba tertentu. 2. Sebagai dasar untuk mengendalikan kegiatan operasi yang sedang berjalan, yaitu untuk pencocokan antara realisasi dengan angka-angka dalam perhitungan BE. 3. Sebagai bahan pertimbangan dalam harga jual setelah diketahui hasil perhitungan menurut analisa BE dan laba yang ditargetkan. 4. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Untuk melihat kelayakan usaha peternakan ayam broiler dapat dihitung dengan metode cash flow analysis. Metode ini dilakukan setelah komponen-komponen biaya dan manfaat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat atau penerimaan (benefit; inflow) dan biaya atau pengeluaran (cost; outflow). Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit), untuk tingkat investasi menggunakan beberapa kriteria penilaian kelayakan yaitu, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit Cost (B/C) (Gittinger 1986). Net Present Value (NPV) atau manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh pananaman investasi. Jika NPV bernilai positif (NPV>0), maka usaha layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika NPV bernilai negatif (NPV<0), maka usaha tersebut merugikan dan lebih baik untuk tidak dilaksanakan. Jika NPV sama dengan nol, maka usaha tersebut tidak mendapat untung maupun mengalami kerugian (Gittinger 1986). Internal Rate of Return (IRR) menurut Gittinger (1986) adalah tingkat diskonto yang dapat membuat manfaat sekarang neto (NPV) dari arus manfaat neto (NPV) tambahan atau arus uang tambahan sama dengan nol. IRR merupakan tingkat bunga yang menggambarkan bahwa antara benefit (penerimaan) yang telah dipresent-valuekan sama dengan nol. Dengan demikian, IRR ini menunjukkan kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan return atau tingkat keuntungan yang ingin dicapainya. Kriteria IRR ini memberikan pedoman bahwa usaha akan dipilih apabila IRR lebih dari social
19
discount rate. Begitu pula sebaliknya, jika diperoleh IRR kurang dari social discount rate, maka usaha sebaiknya tidak dijalankan. Net Benefit Cost Ratio merupakan perbandingan antara net benefit yang telah didiskonto positif (+) dengan net benefit yang telah didiskonto negatif (-). Jika nilai Net B/C lebih besar dari satu berarti gagasan usaha tersebut layak untuk dikerjakan. Jika Net B/C sama dengan satu berarti cash in flows sama dengan cash out flows, dalam present value disebut Break Even Point (BEP) yaitu total revenue sama dengan total cost. F. Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Feed Conversion Ratio (FCR) Konversi pakan FCR adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu kilogram berat ayam hidup (Fadilah 2005). Feed Conversion Ratio merupakan cara untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis pakan. Nilai FCR yang semakin kecil berarti secara teknis penggunaan pakan semakin efisien (Sutawi 2007). Perhitungan FCR dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
(Total kilogram pakan yang diberikan- Total kilogram pakan sisa) FCR = Total kilogram ayam dijual Pada usaha peternakan ayam pedaging baik petelur maupun pedaging, produksi daging maupun telur sangat ditentukan oleh banyaknya pakan, dan secara ekonomis keuntungan yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh biaya pakan, karena biaya pakan mencapai 70-80% dari biaya produksi total (Sutawi 2007). Konversi pakan pada usaha peternakan ayam pedaging dengan pola kemitraan merupakan suatu prestasi yang harus didapatkan oleh peternak plasma. Peternak plasma yang mampu menekan angka konversi pakan akan mendapatkan keuntungan ganda, karena selain mendapatkan keuntungan dari penghematan biaya produksi, peternak plasma juga akan menerima insentif dari inti sesuai dengan besarnya selisih FCR standar dikurangi FCR yang berhasil dicapai. Selisih FCR yang semakin besar akan memperbanyak insentif yang akan diterima oleh peternak plasma.
20
G. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Ayam Pedaging dengan Pola Kemitraan Untuk merumuskan strategi peternak plasma dalam melaksanakan usahanya maka dilakukan analisis Strengths, Weakness, Opportunity dan Threats (SWOT). Analisis SWOT dilakukan untuk memformulasikan strategi yang harus diterapkan. Analisa ini menggolongkan faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh peternak plasma sebagai kombinasi atas faktor kelemahan (weakness) dan ancaman (threats), kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities). Kekuatan merupakan sumberdaya, keterampilan atau keunggulan-keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin dilayani oleh perusahaan. Kekuatan adalah kompetensi khusus (distinctive competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi peternak plasma. Kekuatan dapat terkandung dalam sumberdaya keuangan, citra, kepemimpinan pasar, hubungan pembeli dengan pemasok dan faktor-faktor lain (Pearce dan Robinson 1997). Kelemahan menurut Pearce dan Robinson (1997), merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang dapat menghambat kinerja efektif perusahaan. Sumber-sumber kelemahan tersebut dapat meliputi fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial, keterampilan pemasaran dan citra produk. Peluang merupakan situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan industri (Pearce dan Robinson 1997). Perkembangan trend merupakan salah satu sumber peluang. Dalam hal ini identifikasi segmen pasar yang terabaikan, perubahan situasi persaingan atau peraturan dan perubahan teknologi. Ancaman merupakan suatu situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan industri (Pearce dan Robinson 1997). Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi peternak plasma. Masuknya pesaing baru, lambatnya pertumbuhan pasar, meningkatnya kekuatan tawar-menawar konsumen, perubahan teknologi dan/atau peraturan baru yang direvisi dapat sebagai ancaman bagi keberhasilan peternak plasma. Analisis yang dilakukan adalah mengevaluasi keragaan umum peternak plasma serta mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal peternak. Kemudian dari hasil
21
identifikasi tersebut akan dikembangkan beberapa alternatif strategi. Alternatif strategi ini dipilih dengan skala prioritas untuk kemudian dicari alternatif strategi yang terbaik. Matriks SWOT dapat membantu analisis strategi untuk melakukan pemaduan antara kekuatan dan peluang (strategi SO), kekuatan dengan ancaman (strategi ST), kelemahan dengan peluang (strategi WO), serta kelemahan dengan ancaman (strategi WT). Ilustrasi matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks SWOT (Rangkuti 2003) Internal Eksternal Opportunities (O) Faktor-faktor Peluang eksternal
Threats (T) Faktor-faktor ancaman eksternal
Strengths (S) Faktor-faktor Kekuatan internal Strategi S-O (Strategi Agresif) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi S-T (Strategi Diferensiasi) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk meminimalkan ancaman.
Weakness (W) Faktor-faktor Kelemahan internal Strategi W-O (Strategi Diversifikasi) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi W-T (Strategi Konsolidasi/ Defensif) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
22