BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Friction Stir Spot Welding (FSSW) Penghematan energi dan masalah pemeliharaan lingkungan menjadi topik
yang sangat sering diperbincangkan saat ini. Seluruh komponen industri dikembangkan dengan berbagai upaya agar dapat berdampak lebih baik bagi lingkungan. Industri otomotif, perkapalan, dan pesawat mencari solusi bagaimana cara untuk memaksimalkan penggunaan energi dan menjadikan sesuatu yang lebih efisien. Bidang industri mendapatkan banyak permintaan untuk membuat sesuatu yang lebih ringan, lebih kuat, dan juga lebih murah. Salah satu cara yang dianggap efisien adalah mengurangi beban dari suatu kendaraan. Untuk mengurangi suatu beban pada kendaraan terdapat pilihan yaitu mengganti penggunaan material yang ringan, contohnya seperti mengganti baja dengan paduan alumunium pada beberapa komponen dari kendaraan. Pada situasi ini beberapa penelitian dilakukan untuk mencari cara yang tepat mengelas paduan alumunium. Karena alumunium diketahui sebagai material yang cukup sulit untuk disambung apabila menggunakan cara pengelasan yang konvensional. Salah satu metode teknologi pengelasan baru ditemukan oleh Mazda Motor Corporation and Kawasaki Heavy Industry yaitu Friction Stir Spot Welding (FSSW) sebuah pengembangan dari Friction Stir Welding (FSW) (Schneider, 2007). Mazda melaporkan sebuah reduksi yang bagus dalam konsumsi bahan bakar dan investasi peralatan jika dibandingkan dengan Resistance Spot Welding (RSW) (Schneider, 2007). FSSW berbeda dengan FSW karena FSSW dilakukan pada sambungan lap-joint tidak seperti FSW yang dilakukan pada sambungan butt-joint. Pada FSSW hanya dilakukan proses pengelasan pada satu titik pengelasan atau yang diketahui sebagai spot welding sehingga tidak ada pergerakan secara alur terhadap material. FSSW cocok untuk digunakan pada alumunium karena pada teknik pengelasan ini tidak terjadi banyak perubahan pada sifat material yang disambung, hal ini disebabkan oleh proses pengadukan dalam pencampuran material dilakukan pada temperatur yang tidak mencapai titik leleh material. Pengelasan ini
5
6
menggunakan pahat berputar yang masuk dan menekan kedalam benda kerja yang akan disambung. Saat masuknya pahat mencapai kedalaman (plunge depth) yang ditentukan, pahat berputar ditahan pada posisi tersebut dengan lama waktu yang sudah ditentukan untuk melakukan proses pengadukan atau yang disebut sebagai dwell-time (Badarinarayan, 2009). Dalam FSSW kedalaman pahat dan lama pengadukan menentukan penimbulan panas, geometri pengelasan, dan sifat mekanikal dari sambungan las tersebut (Badarinarayan, 2009). 2.1.1
Proses pengelasan FSSW
Gambar 2.1 Tiga Tahapan FSSW (Mustafa, 2011)
FSSW memiliki tiga tahapan pada pengerjaannya, tiga tahapan itu adalah plunging, stirring, dan retracting seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1. Proses ini dimulai dengan masuknya tool secara perlahan (plunging). Pada proses plunging pahat yang berputar dengan kecepatan tinggi ditekan pada material dengan sentuhan awal dari ujung pahat yang disebut pin. Pin berfungsi sebagai pembuat panas awal pada material dan membantu pahat untuk menerobos masuk kedalam benda kerja bagian atas. Gesekan pin dengan benda kerja menghasilkan panas dan sedikit proses pengadukan pada benda kerja bagian atas lalu ditekan hingga mencapai kedalaman yang diinginkan. Setelah proses plunging dilakukan maka proses berikutnya yang dilakukan adalah proses stirring. Proses stirring adalah proses pengadukan yang dilakukan dengan menekan benda kerja dan sumber panas utamanya adalah shoulder pahat yang juga digunakan untuk melunakan material. Terjadi pengadukan antara material bagian atas dan bawah dikarenakan panas yang ditimbulkan oleh putaran dan tekanan dari pahat. Proses stirring ditahan dalam beberapa saat yang disebut sebagai dwell-
7
time. Setelah mencapai dwell-time yang ditentukan proses stirring selesai dan berlanjut ke proses ketiga. Proses ketiga yaitu retracting, proses diakhiri dengan melakukan pengangkatan pahat ke posisi awal dengan cepat. Berdasarkan observasi struktur makro, zona sambungan FSSW dapat dilihat pada Gambar 2.2. pada gambar tersebut dapat diamati adanya area sambungan sebesar (x) yang sekaligus sebeagai tebal weld nugget. Tebal plat diidentifikasi sebagai (y) yang dapat diamati pada Gambar 2.2 (a) (Chi Sung, dkk 2007).
Gambar 2.2 (a) Ilustrasi skematik cross section FSSW, (b) Geometri area sambungan (Chi Sung, dkk 2007)
2.1.2
Karakteristik potongan melintang FSSW Pada proses pengelasan dengan menggunakan teknologi FSSW akan
menimbulkan 4 bagian karakteristik hasil lasan pada material yang dilas apabila dilihat dengan cara dipotong melintang pada area sambungan dan dilihat secara makrostruktur. Karakteristik yang dapat dilihat pada Gambar 2.3 adalah Parent Material (PM), Heat Affected Zone (HAZ), Hook, Thermomechanically Affected Zone (TMAZ), dan Stir Zone (SZ) (Mukuna dkk, 2014).
8
Gambar 2.3 Karakteristik potongan melintang FSSW (Mukuna, dkk 2014)
Parent Material (PM) adalah bagian material yang letaknya jauh dari wilayah las dan belum berubah strukturnya. Pada bagian ini mungkin sudah mengalami siklus termal hasil dari proses pengelasan akan tetapi tidak terpengaruh oleh panas baik dalam hal mikro ataupun sifat mekaniknya (Mukuna, dkk 2014). Heat Affected Zone (HAZ) adalah wilayah yang terletak lebih dekat ke bagian pusat pengelasan apabila dibandingkan dengan PM. Pada bagian ini telah mengalami siklus termal selama proses pengelasan dan sudah terjadi perubahan secara mikro atau sifat mekanik (Mukuna, dkk 2014) Thermomechanically Affected Zone (TMAZ) ditemukan pada daerah dimana dimana panas dari tool menyebabkan terjadi deformasi plastis pada material. Pada beberapa material, ini mungkin untuk mendapatkan regangan plastis yang signifikan tanpa rekristalisasi pada bagian tersebut. Terlihat batas yang cukup jelas antara TMAZ dengan SZ (Mukuna, dkk 2014). Stir Zone (SZ) adalah wilayah yang sepenuhnya terjadi rekristalisasi karena pada daerah ini merupakan daerah yang bersentuhan langsung pada bagian material dan tool. Ukuran butir dalam SZ terlihat secara jelas sangat berbeda dan lebih kecil daripada butir yang ada pada PM (Mukuna, dkk 2014). 2.1.3
Perbandingan FSSW dengan pengelasan lain FSSW memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan
pengelasan busur konvensional. Keunggulan FSSW antara lain : -
Memperbaiki kemampuan las
-
Mengurangi distorsi
-
Mengurangi residual stress
9
-
Menghilangkan faktor ketidakcocokan filler metal
-
Meningkatkan kekuatan statik Bersifat ramah lingkungan karena tidak menghasilkan residu
(Mishra dan Ma, 2005) 2.1.4
Penelitian terhadap FSSW Penelitian terhadap teknologi pengelasan FSSW sudah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, salah satunya M.K. Bilici (2012) yang melakukan penelitian FSSW tentang pengaruh dari tool geometry pada pengelasan lembaran polypropylene. Pada penelitian ini bilici menggunakan lembaran polypropylene setebal 4 mm dengan dimensi 60x150 mm. Tool yang digunakan adalah SAE 1040 steel dengan bentuk profil pin yang berbeda – beda (cylindrical, tapered cylindrical, threaded cylindrical, dan square). Kecepatan putaran dilakukan secara konstan pada 900 rpm dan 105s dwell time.
Gambar 2.4 Pembebanan tarik geser dari profil pin yang berbeda (Bilici, 2012)
Hasil penelitian Bilici ditunjukan pada Gambar 2.4 yang menyatakan bahwa bentuk profil pin dengan bentuk tapered cylindrical memiliki kekuatan tarik yang lebih besar daripada profile pin yang lainnya yaitu sebesar 4032 N. Sedangkan pada straight cylindrical memiliki kekuatan tarik yang paling rendah yaitu 3305 N. Penelitian lainnya yang membahas tentang pengaruh profil pin terhadap hasil lasan pada teknologi pengelasan FSSW adalah penelitian yang dilakukan oleh Buffa, dkk (2014). Pada penelitian ini menggunakan lembaran allumunium alloy AA6082-T6 dengan tebal 1,5 mm sebagai material dasarnya. Material dasar
10
ini dipotong dengan dimensi 50 x 150 mm. Material untuk tool menggunakan H13 steel yang berikan quenching treatment pada suhu 1020 oC. Tool yang digunakan memiliki diameter shoulder sebesar 15 mm dengan bentuk profil cylindrical pin (tinggi 2.3 mm dan diameter 4 mm) dan conical pin (tinggi 2.3 mm dan diameter besar 4.2 mm dengan sudut 30o). Penelitian ini menggunakan variasi kecepatan spindle sebesar 900 rpm, 1500 rpm, dan 2000 rpm. Untuk kecepatan masuk, kedalaman masuk, dan dwell time dijaga tetap konstan pada 0,004 mm/rev, 2.5 mm, dan 5s.
Gambar 2.5 Perbandingan hasil lasan dari cylindrical pin dan conical pin (a) Kurva hasil pengujian tarik geser, R=1500 rpm, (b) Nilai pembebanan tarik geser (buffa, dkk 2014)
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa profil pin yang berbentuk conical menghasilkan hasil sambungan yang lebih baik dibandingkan pada cylindrical pin pada kecepatan 1500 rpm dan 2000 rpm. Akan tetapi terjadi penurunan kekuatan pada kecepatan 2000 rpm. Penurunan terjadi diakibatkan oleh terlalu besar panas yang masuk ke material pada saat putaran kecepatan 2000 rpm sehingga menimbulkan kualitas kekuatan yang menurun. Akan tetapi walaupun terjadi penurunan pada kecepatan 2000 rpm, conical pin memiliki kekuatan yang sama pada saat kecepatan pada 900 rpm. Jadi tidak ada penurunan yang berlebihan pada kecepatan 2000 rpm melainkan kembali seperti pada kecepatan 900 rpm. Terdapat pula penelitian tentang teknologi pengelasan FSSW lainnya yang membahas tentang pengaruh plunge depth terhadap hasil lasan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Piccini, dkk (2013) membahas pengaruh tool penetration depth pada paduan alumunium yang berbeda. Penelitian ini menggunakan variasi plunge depth sebesar 0,05 mm, 0,2 mm, 0,6 mm, 1,0 mm dan 1,25 mm. Material
11
yang akan disambungkan pada penelitian ini adalah alumunium 5052-H32 (ketebalan 3 mm) dan 6063-T6 (ketebalan 2 mm). Tool yang digunakan adalah H13 steel dengan diameter shoulder 12 mm, panjang pin 3,8 dan bentuk profil conical pin tanpa ulir berdiameter 3,5 mm. Penelitian ini menggunakan kecepatan spindel 680 rpm, plunge speed 19 mm/s dan dwell time 2s.
. Gambar 2.6 Fracture load efek dari plunge depth (Piccini dkk, 2013)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Piccini menyatakan bahwa plunge depth merupakan parameter yang berpengaruh terhadap hasil sambungan FSSW. Apabila kita lihat dari Gambar 2.6 cukup jelas digambarkan bahwa seiring dalamnya tool menyebabkan kekuatan hasil lasan tersebut juga meningkat, tetapi ada yang berbeda ketika pada saat alumunium 6063 yang menjadi upper sheet pada pengelasan ini, pada plunge depth mencapai 1.2 mm kekuatan hasil lasan tersebut meningkat berbeda dengan pada saat alumunium 5052 yang menjadi upper sheet justru kekuatan meningkat secara signifikan.
2.2
Alumunium 5052-H32 Alumunium 5052-H32 adalah paduan alumunium dengan unsur alloy
utama magnesium (Mg) sekitar 2,2 – 2,8%. Dengan adanya Mg didalamnya material ini merupakan non heat treatable alloys yang memiliki ketahanan korosi yang tinggi. Material ini juga memiliki kemampuan las yang baik dan
12
pembentukan dengan cara cold work yang baik. Material ini memiliki kekutan alloy menengah keatas dengan kekuatan sedikit diatas 5251 baik dari sifat mekanikal maupun fatigue strength. Tensile strength yang dimiliki material ini berkisar antara 210-260 Mpa dengan kekerasan sebesar 61 HB. Komposisi kimia dan sifat mekanis dari Alumunium 5052-H32 dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. Tabel 2.1 Komposisi kimia alumunium 5052-H32 (ASM metals handbook, 2004)
Element
% Present
Magnesium (Mg)
2,20 – 2,80
Chromium (Cr)
0,15 – 0,35
Iron (Fe)
0,0 – 0,40
Silicon (Si)
0,0 – 0,25
Copper (Cu)
0,0 – 0,10
Zinc (Zn)
0,0 – 0,10
Manganese (Mn)
0,0 – 0,10
Other (Each)
0,0 – 0,05
Aluminium
Balance
Tabel 2.2 Sifat mekanis 5052-H32 (ASM metals handbook, 2004)
Property
Value
Density
2,68 g/cm3
Melting Point
605 oC
Thermal Expansion
23,7 x 10-6 /K
Modulus of Elasticity
70 GPa
Thermal Conductivity
138 W/m.K
Eletrical Resistivity
0,0495 x 10-6 Ω.m
Gambar 2.7 Diagram fase Al – Mg (ASM metals handbook, 2004)
13
Terdapat lima cara penguatan mekanisme pada alumunium alloy. Diantaranya adalah grain size control, solid solution alloying, structure of metals, strain hardening (cold work) dan precipitation. A. Grain size control Grain size tidak umum digunakan untuk mengontrol kekuatan di alumunium alloy, walaupun digunakan secara luas dalam mengurangi resiko hot cracking dan kekuatan serta ketangguhan takikan pada C/Mn dan low-alloy steels. Konsekuensi praktis dari hal ini adalah bahwa akan hilangnya kekuatan seiring dijumpai pada HAZ dari lasan karena pertumbuhan butir selama proses pengelasan. Hilangnya kekuatan juga dapat ditemukan dalam logam las yang merupakan struktur dengan ukuran butir lebih besar dari logam induk. Dalam alumunium alloy kehilangan kekuatan karena pertumbuhan butir adalah efek marginal dengan efek lainnya yang mendominasi. Bagaimanapun grain size memiliki efek yang ditandai pada resiko hot cracking, grain size yang kecil memiliki ketahanan yang lebih kuat daripada grain size yang besar seperti yang ditampilkan pada Hall-patch diagram.
Gambar 2.8 Hall-patch Diagram (Mathers, 2002)
B.
Solid solution hardening Solid solution hardening adalah metode penguatan logam dengan cara
menyisipkan satu atau beberapa unsur kedalam base metal. Fungsi dari metode ini adalah memperlambat pergerakan dislokasi disebabkan tahanan yang dihasilkan oleh sisipan alloy yang menempati celah-celah base metal. Dalam alumunium
14
5052, magnesium adalah unsur yang disisipkan kedalam base metal sehingga dapat menghambat pergeseran dislokasi. Selain itu, magnesium juga berfungsi sebagai zat aditif yang berfungsi sebagai anti korosi dalam alumunium 5052. Kebanyakan alumunium alloy mencerminkan solid solution hardening sebagai hasil dari element yang terlarut dalam dasar alumunium, kontribusi tiap elements terhadap kekuatan alloy adalah aditif. Biasanya alloys ini diperkuat lebih lanjut dengan heat treatment dengan work hardening. C.
Strain hardening (cold work) Strain
Hardening
adalah
proses
penting
yang
digunakan
untuk
meningkatkan kekuatan dan kekerasan dari logam dan alloys yang tidak bisa dikuatkan menggunakan heat treatment. Logam cold worked dipanaskan dan temperaturnya mencapai dimana terdapat internal stress kemudian diistirahatkan sehingga terjadi proses pemulihan, hal ini akan banyak merubah sifat fisik dan diketahui merubah ukuran butir atau perubahan yang sangat besar dalam sifat mekanikalnya.
Gambar 2.9 Klasifikasi temper hardening (TALAT Lecturer, 1994)
Strain Hardening adalah metode penguatan dengan cara memberikan tekanan pada base metal sehingga butir-butir logam dapat berdislokasi secara seragam. Contoh dari work hardening adalah rolling, extruding, drawing, bending, dan lain sebagainya. Untuk alumunium 5052 work hardening yang
15
dilakukan adalah rolling yang dilakukan dibawah temperatur rekristalisasi (cold work). Cold working merupakan proses penguatan material pada saat material tidak mencapai suhu rekristalisasi akan tetapi diberikan deformasi plastis yang besar. Proses cold working (rolling) menghasilkan bentuk struktur yang cenderung berbentuk pipih dan panjang. Struktur yang panjang akan menyebabkan meningkatnya nilai kekerasan pada material karena terjadi sebuah dislocation density. Semakin besar suatu dislocation density akan meningkatkan kekuatan dan kekerasan material karena struktur material yang saling tertekan dan membentuk ikatan yang panjang dan lebih solid. D.
Precipitation Mikrostruktur dengan dua atau lebih fase memiliki beberapa jalan yang
mana fase itu dapat dibentuk. Geometri dari fase tergantung pada jumlah relatifnya, yang mana fase minor tersebar dalam butir atau hadir pada batas butir dan ukuran serta bentuk dari fase. Fase yang dibentuk dengan proses yang biasa diketahui sebagai presipitasi, dimana waktu dan temperatur dikontrol dan membutuhkan reduksi pada solid solubility sebagai jatuhnya temperatur. Untuk presipitasi sebuah alloys, pertama logam dipanaskan sampai suhu yang cukup tinggi yang menjadikan fase kedua kedalam larutan. Lalu logam dengan cepat didinginkan, mungkin dengan air atau didinginkan dengan udara (pendinginan disesuaikan dengan tingkat pada sistem paduan). Kebanyakan alumunium alloys didinginkan menggunakan air untuk memberikan kecepatan pendinginann yang tinggi. Kecepatan pendinginan harus cukup cepat sehinggan fase kedua tidak memiliki waktu untuk mengendap. Fase kedua dipertahankan dalam larutan pada suhu kamar sebagai laruan padat super jenuh yang stabil.