8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Roadmap penelitian Dari penelitian mengenai authority control yang pernah dilakukan antara lain oleh Dalrymple & Younger (1991), CannCasciato & Wise (2005), Jung-ran (2007) dan Lovins (2008). Dalrymple & Younger, menyarankan penggabungan antara authority control dengan pola penelusuran yang telah ada (Boolean), agar informasi yang didapat dari hasil penelusuran lebih relevan. Namun, untuk menghasilkan sebuah indeks subjek yang baik, diperlukan adanya evaluasi pada pustakawan yang menanganinya. CannCasciato & Wise (2005), menyarankan perlunya evaluasi terhadap pustakawan yang membuat indeks subjek, sehingga ada kesepakatan antara pengguna dan pustakawan dalam hal penanganan struktur subject authority. Selain itu, Jung-ran (2007) juga mengemukakan konsep crossreference antar bahasa dan budaya untuk nama dan subjek akses. Hal ini dilakukan dengan membuat metadata terstruktur pada katalog perpustakaan, sehingga baik nama atau subjek yang ditelusur dapat saling terhubung meskipun ada perbedaan bahasa. Lovins (2008) menyebutkan perlu adanya suatu kerjsama internasional yang menangani authority control, dengan dibentuknya Virtual International
Authority
File
(VIAF)
diharapkan
dapat
meminimalisasi
ketidakkonsistenan dalam hal penamaan orang atau nama lembaga dan ketepatan subjek sebagai titik akses pada perpustakaan. Dari uraian tersebut, penulis melakukan kajian mengenai authority control, ditambah lagi penelitian tentang authority di Indonesia masih sangat minim dan baru dilakukan satu kali oleh Hariyadi (1986) dan itupun masih bersifat tradisional yakni tentang pemakaian authority control pada kartu katalog yang ada di perpustakaan fakultas-fakultas di Universitas Indonesia. Mengingat Perpustakaan Nasional Indonesia juga memiliki tugas sebagai pengendali dan pengawas bibliografis di Indonesia, maka sudah seharusnya memiliki authority file yang baik. Selain itu, banyaknya suku bangsa di Indonesia juga seharusnya merupakan tantangan tersendiri untuk mengembangkan name authority yang khas Indonesia. Dari kajian Jung-Ran (2007) penulis mendapatkan ide untuk melakukan kajian
9
temu kembali informasi melalui subject authority, mengingat pengguna biasanya lebih sering melalukan pencarian melalui subjek, yang menjadi kajian utama penelitian ini adalah struktur keterkaitan antar istilah pada authority perpustakaan nasional. Dengan adanya keterkaitan antar istilah diharapkan dapat menuntun pengguna untuk menemukan informasi yang diperlukan, dengan struktur hierarki yang melekat pada authority pengguna dituntun agar tidak kesulitan dalam proses temu kembali. Ditambah lagi dengan adanya perubahan trend pencarian informasi yang dilakukan oleh pengguna seperti dikemukakan oleh Denholm (2008) dalam penelitiannya, ia menyebutkan adanya perubahan pola penelusuran informasi oleh pengguna dari menemukan informasi ke mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk mendapatkan informasi yang sesuai tentu dibutuhkan suatu sistem yang dapat membedakan satu istilah dengan istilah lainnya, yakni dengan authority control. Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan analisis keterkaitan istilah dan untuk menguji ketepatan dilakukan perhitungan efektivitas terhadap hasil temu kembali informasi pada dua pangkalan data yang berbeda, yakni pada OPAC PNRI yang belum mengintegrasikan authority control dan OPAC Library of Congress yang telah terintegrasi dengan authority control.
2.2. Authority Control Istilah authority control adalah istilah yang dipakai dalam ilmu perpustakaan. Dari literatur tidak diperoleh keterangan kapan istilah authority control pertama kali digunakan, namun konsep authority control ini sudah sejak lama dikenal oleh pustakawan. Dikutip dari Hariyadi (1986), Charles Amy Cutter dalam bukunya Rules for a Dictionary Catalog telah mengemukakan istilah authority control ini. Namun demikian, istilah authority control lebih dikenal dengan istilah authority file dan authority list. Library of Congress sudah membuat daftar dan melakukan kegiatan authority ini sejak tahun 1889. Dalam kegiatan authority control ini, karya penulis baik itu penulis tunggal atau badan korporasi akan terkumpul pada satu lokasi tertentu. Sehingga akan memudahkan pustakawan dalam pencariannya. Istilah authority control sendiri belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Istilah Perpustakaan dan Dokumentasi hanya terdapat
10
beberapa istilah yang menggunakan kata authority, yaitu author authority list (Daftar kendali pengarang), authority card (Kartu kendali), authority entry (Entri kendali), name authority file (Jajaran kendali nama). Authority control merupakan bentuk temu balik yang konsisten dari istilah unik yang digunakan sebagai istilah kendali dan penggunaan cross reference dari istilah yang tidak digunakan namun saling terkait. Dalam penelusuran dengan bantuan authority control, pengguna diarahkan pada karya penulis, judul seri dan subjek yang memiliki kesamaan topik. Melalui fasilitas see dan see also, authority control menciptakan struktur yang saling terhubung satu dengan lainnya dan memandu pengguna untuk menemukan istilah dan dokumen yang dicari. Referensi see memberitahukan pengguna bahwa informasi yang sedang dicari akan ditemukan tidak dalam istilah atau kosakata yang dimaksud, tetapi dapat ditemukan pada istilah berbeda yang digunakan sebagai istilah kendali pada pangkalan data. Referensi see also menunjukkan hubungan antar subjek. Dua konsep ini, istilah kendali dan cross reference merupakan pilar utama authority control. Adanya kedua konsep ini membuat akses pencarian dokumen semakin efisien dan akurat pada pangkalan data. 2.2.1. Definisi Avram, seperti dikutip dari Hariyadi (1986) mendefinisikan authority control sebagai berikut : “Authority control is a process for insuring consistency of headings in a library catalog…“ Menurut Avram, proses authority control mencakup tiga kegiatan, yaitu : 1. Menetapkan bentuk nama yang akan dipakai sebagai tajuk, berpedoman pada standar atau peraturan tertentu 2. Memperlihatkan adanya bentuk nama-nama yang berhubungan karena penggunaan bentuk nama yang berbeda-beda oleh satu orang, dan karena pemakaian nama lama atau nama baru. 3. Mendokumentasikan keputusan-keputusan yang diambil (seperti disebut pada butir 1 dan 2) dengan cara membuat kartu kendali.
11
Dalam penelitiannya, Hariyadi (1986) juga mengutip dari Bulaong yang mendefinisikan authority control sebagai berikut : Authority control can be defined as the functions involved in establishing, maintaining and using authority files which contain authoritative forms of headings for access points used in bibliographic records. Hariyadi (1986) sendiri mendefinisikan authority control sebagai berikut : Authority control adalah suatu proses yang meliputi kegiatan menetapkan, membuat dan menggunakan jajaran kendali, yaitu suatu jajaran tajuk atau titik cari yang otoritasnya terpercaya. Titik cari yang dimaksud adalah titik cari yang ditetapkan dalam rekaman bibliografis, dalam hal ini katalog perpustakaan. Library of Congress sendiri dalam situs resminya (http://authorities.loc.gov) tidak menggunakan istilah authority control tetapi menggunakan istilah authority records. Library of Congress mendefinisikan authority records sebagai berikut : An authority record is a tool used by librarians to establish forms of names (for persons, places, meetings, and organizations), titles, and subjects used on bibliographic records. Authority records enable librarians to provide uniform access to material in library catalogs and to provide clear identification of authors and subject headings. Dengan kata lain, authority record merupakan alat atau sarana bagi pustakawan untuk menentukan keseragaman akses pada katalog dan untuk memberikan identitas yang jelas dari penulis dan subjek. Selain itu, authority record juga menyediakan referensi silang untuk mengarahkan pengguna ke istilah kendali yang digunakan dalam katalog, misalnya pencarian dengan menggunakan kata hewan, margasatwa akan diarahkan ke istilah resmi yang digunakan, yaitu binatang.
2.2.2. Fungsi dan kegunaan Dalam penelitiannya, Elvina (2008) menyebutkan bahwa authority control bertujuan untuk meningkatkan temu kembali dengan menyediakan konsistensi pada bentuk-bentuk tajuk yang digunakan untuk mengidentifikasi pengarang, nama tempat, judul seragam, seri dan subjek.
12
Disebutkan pula oleh Elvina (2008) fungsi dari authority control adalah : -
Memastikan titik-titik temu unik dan konsisten dalam isi dan bentuk.
-
Menyediakan suatu jaringan yang menghubungkan berbagai tajuk dan tajuk yang berhubungan pada katalog.
-
Meningkatkan ketepatan dan perolehan dalam penelusuran pangkalan data.
Selain itu, dalam bukunya, Ferguson (2005) menyebutkan bahwa : Authority control identifies the establish form for heading for persons, corporate bodies, geographical names, uniform titles, series titles, subject headings off all types including topical, and any combination of these. It provides the reasons for the particular heading chosen and for alternate forms of the heading, terms used previously, and broader, narrower, and/ or related term Disebutkan juga bahwa dengan adanya keseragaman istilah akan membuat penelusuran di perpustakaan menjadi semakin efisien dan akurat. Dengan mengaplikasikan authority control pada katalog online (OPAC) memungkinkan pengguna untuk menelusur dengan pengarang atau istilah yang umum meskipun bukan merupakan istilah kendali. Dengan adanya authority control akan memudahkan pengguna dalam menelusur informasi. Authority control memiliki beberapa kegunaan, dalam bukunya Olson (2001) menyebutkan beberapa kegunaan dari controlled vocabularies. Meskipun tidak menggunakan istilah authority control, namun hal ini sesuai dengan kegunaan authority control, yaitu : -
It increase the probability that both indexer and inquirer will express a particular concept in the same way, so as to improve the matching process, and enable the inquirer to find what is being looked for. It increase the probability that both and searcher can be led to a desired topic by the syndetic features : “broader term”, ”narrower term”, “related term” or “see” and “see also”. It increase the probability that the same term will be used by different indexer at different times, to ensure (inter-indexer) consistency. It helps searchers to focus their thoughts when they approach the information system without a full and precise realization of what information they need. Dari uraian diatas dapat disebutkan beberapa kegunaan dari authority
control yaitu sebagai pengendali istilah dalam pencarian informasi. Dengan adanya istilah kendali memungkinkan keseragaman dalam menentukan tajuk
13
subjek di katalog. Dengan adanya keseragaman, membuat adanya konsistensi dari pustakawan dalam penentuan titik akses informasi. Selain itu, adanya fasilitas cross reference dan istilah kendali pada authority control akan membuat temu kembali informasi menjadi semakin efisien. Marais (2004) mengutip dari Taylor (1984) mendefinisikan authority control as the process of maintaining consistency in headings in bibliographic file through reference ton an authority file, sedangkan Clack (1990) dan McDonald (1985) menyebutkan bahwa viewed uniqueness, standardization and links between variant forms of heading as the foundation for authority control. Dalam
penelitiannya,
Marais
(2004)
mengidentifikasikan
beberapa
keuntungan dari authority control, yaitu : 1. Authority files lead to better recall Dengan menggunakan authority file hasil penelusuran pada pangkalan data menjadi lebih tepat dan akurat 2. Authority files link access points Aschman (2003) seperti dikutip oleh Marais (2004) The use of an authority file is the only way to link or ensemble related search points. 3. Authority files promote bibliographic control Mengutip dari Svenonius (1987), Marais menyebutkan bahwa authority control diperlukan untuk efektivitas pengawasan bibliografis, dan authority file berfungsi untuk memastikan jumlah dokumen yang tertelusur semakin banyak. 4. Authority files contribute to good quality catalogue Mengutip dari Henderson, Marais (2004) menyebutkan bahwa authority file merupakan faktor utama dalam terbentuknya pangkalan data berkualitas. Dengan authority file kataloger harus mengikuti aturan dan prosedur, sehingga meminimalisasi kesalahan dan duplikasi data 5. Keuntungan lainnya antara lain : -
Identification of pseudonyms (Mengidentifikasi nama samaran)
-
Tracing of name change (Melacak perubahan nama)
-
Grouping of related subject (Pengelompokan subjek yang saling terkait)
14
Selain itu, Marais (2004) menyebutkan pengguna dari authority control, yaitu : 1. Kataloger 2. Staf Akuisisi 3. Pustakawan referensi 4. Pengguna perpustakaan 5. Pengguna lainnya, antara lain : arsiparis dan pengembang software perpustakaan
2.2.3. Komponen Authority Control Authority control memiliki tiga komponen utama, yakni : 1. Authority form, Auld (1982) seperti dikutip oleh Marais (2004) menjelaskan bahwa authority form adalah bentuk yang digunakan untuk titik akses dari sebuah dokumen, dapat juga disebut sebagai tajuk. 2. Authority records Hine (1991) ; Buchinski (1978) seperti dikutip oleh Marais (2004) mendefinisikan authority record as a unit of authoritative information representing an individual heading in an authority file. It includes the authoritative form of the heading, references to and form the heading, cataloguing notes, historical information and references to the source of the heading. 3. Authority file Marais (2004) menyatakan bahwa the authority file provides structure within a catalogue are consistent and unique. Adapun kegiatan authority file yang dilakukan diperpustakaan biasanya bertujuan untuk : Authority records, yakni mengidentifikasikan bentuk baku sebuah titik akses Membuat referensi silang antar titik akses Menghubungkan antara istilah lama dan istilah yang digunakan Menghubungkan istilah luas dan istilah sempit pada istilah Membuat informasi mengenai catatan ruang lingkup istilah
15
2.2.4. Perkembangan Authority Control Sejak awal keberadaannya authority control selalu menjadi bahan perdebatan, ada yang menganggap bahwa authority control berbeda dengan titik akses pada katalog (Gorman, 1979). Meskipun pada kenyataanya kegiatan authority file telah dilakukan sejak lama, namun kegiatan ini merupakan kegiatan tersendiri yang tidak berhubungan dengan penelusuran informasi di perpustakaan. Pada awalnya kegiatan authority hanya untuk pengawasan bibliografiss pada suatu perpustakaan, seperti yang dilakukan oleh Library of Congress. Library of Congress telah melakukan kegiatan authority file sejak tahun 1889, meskipun masih dilakukan secara sederhana. Kegiatan ini dilakukan untuk mengendalikan karya yang dibuat oleh pengarang tertentu. Pada perkembangan selanjutnya, Tillet (1991) mengemukakan ide untuk penggabungan antara bibliographic records dan authority records, dalam makalahnya Tillet menyebutkan “access control records could be linked to bibliographic records to collocate all manifestations of a work, and the other related access control records to collocate related headings”. Hal ini sejalan dengan pendapat Barnhart (1992) yang menyatakan bahwa titik akses harus dilihat melalui authority records. Prinsip keseragaman kemudian mulai menimbulkan banyak masalah, terutama untuk negara-negara tertentu yang memiliki perbedaan bahasa dan tidak menggunakan huruf roman dalam penulisannya, seperti Jepang, Korea, Arab, Israel, Rusia, dll. Melalui serangkaian diskusi di tingkat internasional, kemudian dibuatlah format standar untuk mengatasi adanya perbedaan tersebut. Cikal bakal format standar dimulai dari Taylor (1989) yang mengeluarkan ide untuk membuat International Standard Authority Data Number (ISADN) atau yang kemudian lebih dikenal dengan International Standard Author Number (ISAN) yang berfungsi untuk mengidentifikasi nama pengarang. Kemudian oleh Bourdon (1991) direkomendasikan pada kongres IFLA agar ISADN ditetapkan sebagai standar internasional, dan merekomendasikan perubahan kerjasama internasional dalam authority data. Dengan keputusan ini, masing-masing perpustakaan negara diperbolehkan untuk membuat authority sendiri-sendiri.
16
Pada penelitian selanjutnya, Tillet (1996) merekomendasikan dibentuknya jaringan yang saling terhubung antar database authority dan dibuat sistem kendali yang terpusat. Pada tahun 1998, IFLA membentuk working group yang pada tahun berikutnya menyatakan FRANAR (Functional Requirements and Numbering Authority Records) yang dikembangkan oleh Plassard (2001) sebagai revisi atas ISADN. IFLA working group ini kemudian membentuk UBCIM (Universal Bibliographic Control and International MARC Programme), UBCIM ini dibentuk untuk memfasilitasi kerjasama internasional dalam authority data yang kemudian diusulkan agar setiap agen bibliografis dalam hal ini diwakili oleh perpustakaan negara membuat authority file yang sudah tersedia di internet dengan menggunakan homepage IFLA dan berbayar. Sampai dengan saat ini, beberapa pangkalan data authority yang telah dibuat antara lain : 1. CoBRA+ (Computerised Bibliographic Records Actions) yang mulai dikembangkan pada tahun 1993 oleh European Comission. CoBRA+ bertujuan untuk menyebarkan informasi dan pengembangan koleksi, sebagai legal deposit, bibliographic control dan mempromosikan penggunaan informasi bersama dalam sebuah jaringan. 2. LEAF (Linking and Exploring Authority File). Proyek ini merupakan konsorsium negara-negara eropa dan dimotori oleh European Commission Information Society Technologies Programmme. LEAF mengembangkan model arsitektur sistem pencarian informasi untuk mengumpulkan dan menemukan nama orang atau institusi/lembaga, model ini dikembangkan untuk melestarikan warisan budaya eropa. Sistem ini dirancang tidak hanya untuk perpustakaan namun dapat digunakan juga pada lembaga kearsipan, museum, dan pusat dokumentasi. 3. NACO (Name Authority Co-operative Programme) yang dikembangkan oleh Library of Congress melalui Programme for Cooperative Cataloging (PCC) sejak tahun 1995. PCC merupakan program internasional yang dikembangkan LC dengan dukungan dari berbagai perpustakaan di dunia dan memiliki 4 komponen kegiatan, yaitu : (1) Name Authority Cooperative Programme (NACO) ; (2) Subject Authority Cooperative
17
Programme (SACO) ; (3) Bibliographic Record Cooperative Programme (BIBCO) ; (4) Cooperative Online Serials Programme (CONSER). Program yang paling berhasil adalah NACO, dimana sekarang ini NACO telah berkembang menjadi VIAF. 4. VIAF (The Virtual International Authority File) merupakan program kolaborasi antara Library of Congress, The Deutsche Nationalbibliothek, the Bibliothėque national de France dan OCLC. Tujuan dikembangkannya VIAF ini adalah terkumpulnya data authority hasil kolaborasi dari beberapa perpustakaan dan dapat diakses secara bebas melalui web (http://viaf.org). Dengan menghubungkan nama yang berbeda untuk orang yang sama dan atau organisasi yang sama, VIAF menyediakan sarana yang dapat saling terhubung meskipun terdapat perbedaan bahasa. Organisasi perpustakaan yang berpartisipasi dalam program VIAF ini berjumlah 14 lembaga, yaitu : Library of Congress, The Deutsche Nationalbibliothek (German National Library), the Bibliothėque national de France (National Library
of
France),
OCLC
Online
Computer
Library
Center,
Kungl.biblioteket – Sveriges nationalbibliotek (National Library of Sweden), Narodni knihovna Česke republiky (National Library of the Czech Republic), National Library of The State of Israel, Bibliotheca Alexandrina (Library of Alexandria, Egypt), Biblioteca Nacional de Espana (National Library of Spain), Biblioteca Apostolica Vaticana (Vatican Library, Vatican City), Swiss National Library, National Library of Portugal, Central Institute for the Union Catalogue of Italian Libraries and for Bibliographic Information, Italy dan National Library of Australian. 2.3. Hubungan Antar Istilah Menurut Sulistyo-Basuki (2009) dalam authority control dikenal tiga macam hubungan yakni : 1. Hubungan ekuivalensi Hubungan ekuivalensi menunjukkan hubungan antara istilah terpilih dan tidak terpilih. Hubungan ini dinyatakan dengan sebutan Use atau Gunakan dan Used For atau Gunakan Untuk (GU) digunakan untuk
18
istilah tidak terpilih. Hubungan umum ini mencakup dua jenis istilah, yakni sinonim dan kuasisinonim (sinonim semu) Sinonim adalah istilah-istilah yang memiliki makna yang dapat dianggap bermakna sama dalam konteks yang luas sehingga istilah-istilah tersebut bisa tertukar. Sinonimitas terdiri dari : a. Istilah yang memiliki asal usul bahasa yang berbeda, seperti multilingual/polyglot b. Nama populer dan nama ilmiah, seperti burung/ornithology c. Ejaan yang berlainan, seperti archaeology/ archeology d. Istilah
yang
berasal
dari
kultur
yang
berlainan,
seperti
flats/apartemen/rumah susun e. Singkatan dan nama lengkap, seperti PVC/polyvinyl chloride f. Istilah majemuk yang muncul dalam bentuk berunsur dan tak berunsur, seperti coal mining/coal & mining Sedangkan kuasisinonim adalah istilah yang secara umum dianggap berbeda dalam penggunaan sehari-hari, namun diperlakukan sebagai sinonim untuk keperluan pengindeksan, misalnya kaya dan miskin 2. Hubungan hierarkis Sophia dan Sundari (2001) mendefinisikan hubungan hierarki sebagai hubungan antara konsep-konsep generik dan spesifik, yang dinyatakan dalam BT (Broader Term) atau IL (Istilah Luas) dan NT (Narrower Term) atau IS (Istilah Sempit), 3. Hubungan asosiatif Hubungan ini mencakup hubungan antara deskriptor yang bukan ekuivalen atau hierarkis namun secara semantik dan konseptual istilah-istilah tersebut saling berhubungan, yang dinyatakan dalam RT (Related Term) atau IB (Istilah Berkait).
19
Contoh untuk hubungan hierarkis dan hubungan asosiatif dapat di lihat seperti berikut : Biokimia IL Biologi Kimia IS Biologi molekuler Kimia botani Metabolisme IB Analisis kombinasi Genetika biokimia Rekayasa biokimia
Dalam kajiannya, Mustangimah (1998) mengutip dari Livonen (1995) menuliskan pembagian tingkat keluasan pada sebuah konsep pencarian yang dinyatakan pada Gambar 1, disebutkan bahwa suatu istilah pencarian yang berbeda dikatakan mempunyai konsep yang sama bila merupakan variasi dari dekriptor atau istilah dalam teks bebas (free-text term), merupakan bentuk tunggal /jamak dari satu istilah, merupakan pemangkasan yang berbeda dari suatu istilah, saling berhubungan secara ekuivalen, saling berhubungan secara hierarki, saling berhubungan secara koordinatif atau saling berhubungan secara asosiatif.
4 3 2 1
Gambar 1. Keluasan cakupan konsep pencarian
20
Deskripsi masing-masing keluasan konsep pencarian adalah sebagai berikut : Tingkat 1 : Istilah pencarian sama karakter demi karakter Tingkat 2 : -
Istilah pencarian merupakan variasi dari dekripsi atau istilah dalam text bebas
-
Istilah perncarian merupakan bentuk tunggal / jamak dari suatu istilah
-
Istilah pencarian merupakan pemangkasan yang berbeda dari suatu istilah
-
Istilah pencarian saling berhubungan secara ekuivalen
Tingkat 3 : Istilah pencarian saling berhubungan secara hierarki Tingkat 4 : -
Istilah pencarian saling berhubungan secara koordinatif
-
Istilah pencarian saling berhubungan secara asosiatif
Disebutkan pula bahwa dengan penggunaan konsep yang diperluas dapat meningkatkan ketaatazasan dalam pemilihan istilah pencarian.
2.4. MARC MARC merupakan akronim untuk Machine Readable Cataloging. Istilah ini dipakai ketika Library of Congress (LC) mulai mengerjakan format standar untuk menyimpan data pengkatalogan dalam pita magnetik. Pita LCMARC sudah diperjualbelikan sejak tahun 1966-67. LCMARC kemudian dikenal sebagai USMARC karena telah menjadi standar nasional untuk Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian, negara-negara lain juga mengembangkan format MARC mereka sendiri, seperti UKMARC (Inggris), AUSMARC (Australia), CANMARC (Kanada), MALMARC (Malaysia) dan INDOMARC (Indonesia). Spesifikasi konversi telah dilakukan untuk memungkinkan dikonversikannya data dari satu format MARC ke format MARC lainnya. Dengan demikian, pemakaian format INDOMARC juga memungkinkan dilakukannya pertukaran data di tingkat internasional. Format INDOMARC
pada awalnya dirancang dengan mengacu pada
USMARC. Format MARC lainnya (misalnya UKMARC, MALMARC) memberi
21
kemungkinan penentu data pengkatalogan yang lebih khusus, termasuk kemungkinan untuk katalogisasi multitingkat (multilevel cataloging) dan keluaran semua tanda baca ISBD. Semua rincian tersebut belum dianggap perlu untuk pengkatalogan di Indonesia pada saat itu karena sebagian besar cantuman MARC asing yang akan digunakan di Indonesia sudah tersedia dalam format USMARC. USMARC kemudian disempurnakan dengan berbagai penambahan, terutama
untuk
mengikuti
perkembangan
teknologi
informasi.
Hasil
penyempurnaan termutakhir terhadap format USMARC dinamakan MARC21. Format ini diharapkan dapat menjadi standar pada lingkup internasional untuk pembuatan katalog terbacakan mesin. Dengan adanya perubahan tersebut, dilakukan pula revisi dan perubahan terhadap format INDOMARC dengan mengacu ke format MARC21 (Concise Format for Bibliographic Data, 2003 Concise Edition, Update No. 4 (October 2003)). Pada saat dikembangkan pertama kali, pedoman INDOMARC hanya berisi ruas-ruas dan contoh yang sesuai untuk katalog buku, kemudian ditambahkan ruas-ruas dan contoh yang sesuai untuk katalog terbitan berseri, dan selanjutnya ditambahkan ruas dan contoh untuk katalog sumber elektronik, partitur musik, bahan audio-visual, dan bahan kartografis. Perpustakaan Nasional RI menggunakan INDOMARC dalam pembuatan cantuman bibliografiss untuk terbitan Indonesia dalam Bibliografis Nasional Indonesia (BNI) dan untuk pengkatalogan terbitan lain yang ditambahkan pada koleksinya. Keseluruhan cantuman ini akan menjadi landasan bagi terciptanya pangkalan data (bibliografiss) nasional.
Format Authority Records Format authority records, merupakan pengembangan format MARC yang dikhususkan untuk authority control. Format yang ditetapkan oleh UNIMARC ini berfungsi untuk menghubungkan data dari pangkalan data authority dengan pangkalan data bibliografis. MARC authority berbeda dengan MARC bibliografiss, MARC authority dirancang untuk mengarahkan pengguna kepada bentuk atau istilah kendali yang digunakan dalam sistem, baik nama pengarang, subyek atau subdivisi dari subjek. MARC authority menjadi akses untuk
22
menemukan bentuk atau istilah baku yang digunakan, sehingga pengguna dapat menemukan informasi yang dimaksud. Seperti telah dijelaskan bahwa dalam authority terdapat hubungan hierarkis dan asosiatif yang berupa See/Lihat, See Also (SA)/Lihat Juga (LJ), Scope Note (SN)/Ruang Lingkup (RL), Used For (UF)/Gunakan Untuk (GU), Broader Term (BT)/Istilah Luas (IL), Narrower Term (NT)/Istilah Sempit (IS), dan Related Term (RT)/Istilah Berkait (IB). Hubungan ini kemudian dinyatakan dalam kode angka (tag indicator) dalam MARC authority. Format authority record yang ditetapkankan oleh OCLC (2010) terbagi dalam beberapa bagian : 1. Variabel Setiap variabel memiliki dapat memiliki 1 dan 9.999 karakter. Setiap ruas variable terdiri dari 3 bagian Kode tiga digit yang disebut tengara Dua indikator satu digit Satu atau lebih subruas 2. Kelompok Tengara Pengelompokan bidang variabel menggunakan MARC 21. Tengara dimulai dengan digit dan fungsi yang sama. Dalam tabel berikut tanda xx berlaku untuk setiap nilai numerik (00-99) (Tabel 1) 3. Indikator Indikator merupakan sumber data yang digunakan tukar menukar data dan pengindeksan. Setiap angka pada indikator memilki arti tersendiri, dan dalam beberapa ruas kosong (0) bahkan sangat bermakna. Variasi indikator variabel bisa berupa : Nomor yang sama pada kedua posisi Satu nomor pada salah satu posisi, dan ruas kosong pada salah satunya Keduanya berisikan bidang kosong 4. Subruas Subruas merupakan unit terkecil dalam variabel. Kode subruas (berupa angka atau huruf) mengidentifikasi subruas dan biasanya didahului oleh
23 pembatas subruas (‡). Tanda pembatas ini bisa ditentukan oleh masingmasing negara. Subruas biasanya memiliki deskripsi dan arti yang mengandung informasi tertentu
Tabel 1. Kelompok Tengara Tag Group
Function
0xx
Control numbers, call numbers, coded data
1xx
Established headings
260
Complex see reference (subject)
360
Complex see also reference (subject)
4xx
See from reference
6xx
Series treatment information, notes, source citation
7xx
Heading linking entries
856
Electronic location and access
9xx
Locally defined headings 5. Kendali Subruas (‡w) Subruas ‡w hanya muncul pada ruas 4xx, 5xx, (Tabel 2) and 7xx. (Tabel 3). Ruas 4xx and 5xx, kendali subruas ‡w pada ruas 4xx and 5xx berisikan empat karakter posisi (ditetapkan ‡w/0, ‡w/1, dll). Hal ini menunjukkan informasi adanya hubungan saling merujuk/melacak (pada ruas 4xx atau 5xx) dengan istilah kendali (bidang 1xx ). ‡ w digunakan
untuk menunjukkan apakah instruksi khusus
berlaku untuk tampilan referensi pada ruas 4xx atau 5xx. ‡ w digunakan untuk menunjukkan apakah melacak dibatasi dengan struktur referensi jenis tertentu dari istilah kendali. Setiap posisi karakter memiliki daftar nilai-nilai kode yang berkaitan dengan itu. Definisi kode tergantung dari posisi subruas. Jika diartikan masing-masing kode memiliki arti tersendiri. Berikut disajikan tabel yang berisi keterangan masingmasing ruas.
24
Tabel 2. Kode ruas 4XX dan 5XX Position 0
Code
a b d f g n 1
n 2
a e n 3
a b c d n
Description Special Relationship Specifies the relationship between the tracing and the heading Earlier heading Later heading Acronym (pre-1981 records only) Musical composition (pre-1981 records only) Broader term Not applicable Tracing Use restriction Indicates the authority reference structure in which the tracing is appropriate Not applicable Earlier Form of Heading Indicates whether the 4xx field is an earlier form of the heading established in the relevant national authority file or in an authority file other than the national authority file. Pre-AACR2 form of heading (national name authority file) Earlier established form of heading (national authority file) Not applicable Reference Display Enables the generation or suppression of a cross reference from a 4xx or 5xx tracing. Reference not displayed Reference not displayed, field 664 used Reference not displayed, field 663 used Reference not displayed, field 665 used Not applicable
Tabel 3. Kode ruas 7XX Position 0
Code
a b c n 1
Description Link Display Code • Controls the suppression of a link display Link not displayed Link not displayed, field 788 used Link not displayed, non-7xx field used Not applicable Replacement Complexity Code Indicates whether heading replacement
25
requires review Heading replacement does not require review Heading replacement requires review Not applicable
a b n Untuk
kepentingan
penelusuran
pada
OPAC,
Plassard
(2001)
merepresentasikan pertukaran data antara Bibliographic record dengan authorities dalam UNIMARC seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Ruas pertukaran data antara authority dan bibliografis UNIMARC/ Authorities Heading Fields
Heading Usage in UNIMARC Bibliographic Fields
200 Personal name
700, 701, 702 4-- with embedded 700, 701, 702 600 604 with embedded 700, 701, 702
210 Corporate or meeting name
710, 711, 712 4-- with embedded 710, 711, 712 601 604 with embedded 710, 711, 712
215 Territorial or geographic name
710, 711, 712 4-- with embedded 710, 711, 712, 601, 607 604 with embedded 710, 711, 712
216 Trademark
716 [Reserved for future use]
220 Family name
720, 721, 722 4-- with embedded 720, 721, 722 602 604 with embedded 720, 721, 712
230 Title
500 4-- with embedded 500
240 Name and title (embedded 200, 210, 215, or 220 and 230)
605 4-- with embedded 7-- and 500 7-604 with embedded 7-- and 500 500 4-- with embedded 7-- and 501
245 Name and collective title (embedded 200, 210, 215,
26
or 220 and 230)
604 with embedded 7-- and 501 7--
250 Topical subject
501 606 620 608
260 Place access 280 Form, genre or physical characteristics 2.5. Tajuk Subjek
Tajuk subjek adalah kata yang digunakan dalam katalog perpustakaan untuk meringkas kandungan informasi sebuah dokumen. Istilah tajuk subjek dapat juga diartikan sebagai suatu istilah atau kosakata yang terkendali dan berstruktur untuk menyatakan suatu konsep subyek bahan pustaka. Sebagai kosakata atau frase, karena tidak selalu terdiri atas satu suku kata, melainkan dapat berbentuk dua atau lebih suku kata, tetapi bukan suatu kalimat. Dikatakan terkendali karena diarahkan untuk menggunakan istilah yang tetap untuk menyatakan konsep yang sama, meskipun banyak istilah padanannya. Sedangkan berstruktur karena ada kaitan antara tajuk satu dan tajuk yang lain, sesuai dengan struktur ilmu dan pengetahuan. Tajuk subjek biasanya dicantumkan pada bagian awal entri katalog yang disusun dalam katalog subyek berabjad, baik dalam katalog bentuk kartu, bentuk buku, bentuk mikro, maupun OPAC. Sulistyo-Basuki (2009) menyebutkan tujuan dari pembuatan tajuk subjek, antara lain : 1. Menyediakan akses berdasarkan subjek pada semua materi perpustakaan yang relevan 2. Menyediakan akses subjek pada materi perpustakaan melalui prinsip organisasi subjek yang sesuai, misalnya berdasarkan masalah, proses dan aplikasi 3. Menyatukan rujukan ke materi perpustakaan yang pada dasarnya merupakan subjek yang sama dengan tidak memandang kesenjangan terminologi, disparitas atau perbedaan yang terjadi karena perbedaan nasional, perbedaan antara kelompok spesialis subjek, dan/atau karena perubahan alamiah dari konsep itu sendiri. Misalnya, awam menggunakan istilah ILMU TULANG, sementara spesialis menggunakan istilah
27
OSTEOLOGI. Adanya pengatalogan subjek memungkinkan semuanya itu dirujuk sehingga subjek yang sama dapat ditemu balik oleh pengguna. 4. Menunjukkan afiliasi di antara bidang subjek. Afiliasi tersebut mungkin tergantung pada persamaan masalah, metode, titik pandang yang dikaji, tergantung pada penggunaan atau aplikasi pengetahuan. Sedangkan Kailani (1998) menyebutkan beberapa daftar tajuk subjek yang dikenal sekarang ini, diantaranya adalah : 1. Library of Congress Subject Headings dan Sears List Subject Heading LCSH merupakan daftar tajuk subjek yang paling tua di antara beberapa daftar tajuk subjek yang terkenal lainnya. Daftar tajuk subjek ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1897 dan sengaja dirancang untuk memenuhi kebutuhan Library of Congress dengan ciri koleksinya yang demikian besar. LCSH merupakan daftar tajuk subjek yang sangat komprehensif dan terinci. Selain digunakan oleh Library of Congress, daftar tajuk subjek ini juga digunakan oleh perpustakaan-perpustakaan lain yang koleksinya sudah sedemikian besar. 2. Medical Subject Heading (MeSH) MeSH merupakan tajuk subjek khusus yang disusun oleh National Library of Medicine. MesH banyak digunakan untuk perpustakaan kedokteran 3. Pedoman Tajuk Subjek Untuk Perpustakaan Daftar tajuk subjek ini mula-mula diterbitkan Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 dengan judul Pedoman Tajuk Subjek untuk Perpustakan Umum dan Perpustakaan Sekolah. Dalam perkembangannya, daftar tajuk ini juga digunakan oleh perpustakaan perguruan tinggi, bahkan ada juga perpustakaan khusus yang menggunakannya. Maka pada revisi selanjutnya namanya diubah menjadi Pedoman Tajuk Subjek untuk Perpustakaan. 4. Daftar Tajuk Subjek Perpustakaan Nasional RI Daftar tajuk subjek ini dibuat oleh Perpustakaan Nasional RI mulai tahun 1994 dan banyak digunakan oleh Perpustakaan-perpustakaan di Indonesia.
28
2.6. Thesaurus Thesaurus berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti “sebuah himpunan yang berharga”. Thesaurus memuat kosakata sebuah bahasa dalam relasi kedekatan makna dan dapat mengarahkan pengguna behasa dalam memilih kata yang tepat untuk satu konsep. Dalam thesaurus disajikan kosakata dengan konstelasi relasi makna dengan kata-kata lain, bukan dengan definisi seperti pada kamus. Kata juga memiliki hubungan makna dengan kata lain, baik kesamaan (sinonim) maupun perlawanan (antonim) bahkan kata juga memiliki hubungan hierarki. Misalnya kata mawar, melati dan anggrek menjadi sub ordinat dari kata bunga. Mengutip istilah dari Putu (2008), thesaurus dapat dianggap sebagai sebuah skema klasifikasi untuk istilah-istilah yang saling berkait membentuk struktur bahasa sehingga sebuah kata dapat dipahami dengan kata lainnya. Sebagai sebuah skema klasifikasi, thesaurus dapat dengan sistem simpan dan temu kembali informasi. Dalam sebuah sistem temu kembali informasi, penggunaan thesaurus merupakan sarana untuk meningkatkan perolehan dan ketepatan penelusuran atau Recall and Precision. Terdapat hubungan terbalik (inverse relationship) antara Recall dan Precision yang tidak mungkin dihindari. Peningkatan Recall akan mengurangi Precision dan peningkatan Precision akan mengurangi Recall. Dalam proses temu-kembali informasi, thesaurus digunakan untuk membantu proses pencarian (searching) (Paice, 1991) atau perawakan (browsing) (Pollard, 1993) dokumen yang relevan. Hal ini dimungkinkan karena suatu kelompok istilah dalam thesaurus menyatakan himpunan istilah-istilah yang memiliki hubungan tertentu seperti memperluas, mempersempit atau berhubungan (related). Dengan thesaurus, istilah-istilah dalam query dapat diperbaiki. Perbaikan query dilakukan dengan cara mencari istilah-istilah yang berhubungan dengan istilah query tersebut dalam thesaurus, kemudian digunakan juga istilah berhubungan yang diperoleh digunakan dalam query. Penyusunan thesaurus untuk sistem temu kembali dokumen dapat dilakukan secara manual, semi otomatis atau sepenuhnya otomatis. Cara manual
29
sangat membutuhkan pengetahuan domain subjek tertentu dalan menyusun thesaurus. Penyusunan thesaurus yang otomatis memiliki kelebihan dibandingkan dengan thesaurus yang disusun secara manual, yaitu : 1. Penyusunan dapat dilakukan secara cepat (Salton, 1976). 2. Pembentukan kelas thesaurus dilakukan berdasarkan informasi yang ada dalam dokumen masukan (Salton, 1976). Hal ini dapat mengurangi faktor subjektivitas atau kesalahan penilaian manusia. 3. Mudah diterapkan untuk sejumlah besar dokumen masukan (Salton, 1976). 4. Menjamin penggunaan istilah yang konsisten (Paice, 1991)
2.7. Efektivitas Temu Kembali Lancaster (1980) seperti dikutip oleh Janusaptari (2006) menyatakan bahwa efektifititas dari suatu sistem temu kembali informasi adalah kemampuan dari sistem itu untuk memanggil berbagai dokumen dan suatu basis data sesuai dengan permintaan pengguna. Ada dua hal penting yang biasanya digunakan dalam mengukur kemampuan suatu sistem temu kembali informasi yaitu rasio atau perbandingan dari perolehan (recall) dan ketepatan (precicion). Dalam konsep relevansi, sebuah dokumen atau buku dianggap relevan jika sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kesesuaian ini kemudian ditetapkan sebagai ukuran kuantitatif yang tetap. Recall
adalah
rasio
antara
dokumen
relevan
yang
berhasil
ditemukembalikan dari seluruh dokumen relevan yang ada di dalam sistem, sedang Precision adalah rasio dokumen relevan yang berhasil ditemu kembalikan (Grossman, 2002). Matriks recall dan precision seperti dikutip dari Olson (2001) dapat dilhat pada Tabel 5.
30
Tabel 5. Matriks Recall and Precision A. Relevant documents B. Nonrelevant retrieved documents retrieved
A+B Retrieved documents C+D C. Relevant documents D. Nonrelevant documents Documents not not retrieved not retrieved retrieved A+C B+D Total documents Relevant documents Nonrelevant documents Dari Tabel 5. Precision dapat dirumuskan sebagai berikut : Jumlah dokumen relevan ditemukan x 100 Jumlah dokumen ditemukan atau P = A : ( A + B ) x 100
Dalam evaluasi sistem temu kembali informasi/penelusuran hasil Precision, memberikan gambaran efisiensi penelusuran yang ada pada sistem. Untuk menentukan nilai dari recall dan precision harus didapatkan jumlah dokumen yang relevan terjadap suatu topik informasi. Menurut Rijsbergen (1979) seperti dikutip oleh Ardiansyah (2006), relevansi merupakan sesuatu yang sifatnya subjektif. Setiap orang mempunyai perbedaan untuk mengartikan sesuatu dokumen tersebut relevan terhadap sebuah topik informasi. Menurut Mizzaro (1998) evaluasi pada sebuah sistem temu kembali informasi dengan menggunakan recall dan precision sudah cukup baik untuk menjadi ukuran dari sistem tersebut.