BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis 1. Persalinan a. Pengertian 1) Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan kekuatan ibu sendiri atau dengan bantuan (Manuaba, 2010). 2) Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung selama 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, 2010). b. Faktor yang Mempengaruhi Menurut
Oxorn
(2012)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
persalinan antara lain: 1) Passage (Jalan Lahir) Jalan lahir meliputi panggul, pintu atas panggul, rongga panggul, pintu bawah panggul, dan dasar panggul. 2) Power (Kekuatan Ibu) Power terdiri atas his (kontraksi) dan tenaga meneran dari ibu sendiri.
7
8
3) Passenger (Isi Kehamilan) Terdiri dari janin, plasenta, tali pusat, dan air ketuban. c. Fase Persalinan Menurut Winkjosastro (2007) Persalinan dibagi menjadi 4 (empat) kala, yaitu: 1) Kala I Dimulai dari timbul his yang menyebabkan pembukaan dari 1 cm sampai pembukaan lengkap (10 cm). Proses membukanya serviks terbagi dalam 2 (dua) fase, yaitu: a) Fase Laten Fase ini berlangsung selama 8 jam dan pembukaan berlangsung sangat lambat sampai 3 cm. b) Fase Aktif, dibagi menjadi 3 fase, yaitu: i) Fase akselerasi. Terjadi pembukaan dari 3 cm menjadi 4 cm dalam waktu 2 jam. ii) Fase dilatasi maksimal. Pembukaan berlangsung sangat cepat dari 4 cm menjadi 9 cm dalam waktu 2 jam. iii)Fase deselerasi. Pembukaan kembali melambat dari 9 cm menjadi lengkap (10 cm) dalam waktu 2 jam 2) Kala II Dimulai sejak pembukaan serviks lengkap (10 cm) sampai lahirnya bayi. Berlangsung selama 1-2 jam pada primigravida dan 0,5-1 jam pada multigravida (Chamberlain, 2012).
9
3) Kala III Menurut Kusnarman (2010) Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Biasanya plasenta lepas dari tempat implantasinya dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi lahir dan keluar secara spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Menurut Oxorn (2012) kala tiga persalinan terbagi atas 2 fase yaitu (1) pelepasan plasenta dari dinding uterus sampai ke segmen terbawah rahim dan atau vagina, dan (2) pengeluaran plasenta dari jalan lahir. Tanda pelepasan plasenta dari dinding uterus antara lain terjadi perubahan bentuk dan tinggi uterus, tali pusat memanjang, dan semburan darah singkat dan tiba-tiba. Manajemen aktif kala III diperlukan untuk melahirkan plasenta sesuai prosedur secara efektif sehingga mencegah terjadinya perdarahan dan kehilangan darah yang berarti. Menurut Saifuddin (2010) ada 4 langkah inti pada Manajemen aktif kala III, yaitu: a) Penjepitan dan pengguntingan tali pusat sedini mungkin. b) Pemberian suntikan oksitosin. c) Penegangan tali pusat terkendali atau PTT. d) Masase fundus uterus. 4) Kala IV Dimulai saat plasenta lahir sampai dengan 2 jam pertama post partum. Pemantauan selama 2 jam pertama pasca persalinan bertujuan untuk menilai perkiraan pengeluaran darah, keadaan
10
umum dan tanda-tanda vital ibu. Dilakukan setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua pasca persalinan. Tujuan lain pemantauan juga untuk mengetahui apakah ibu mengalami perdarahan (Prawirohardjo, 2010). d. Komplikasi dalam Persalinan Mekanisme persalinan tidak semuanya berjalan normal. Beberapa komplikasi dapat terjadi baik sebelum, saat, maupun sesudah ibu bersalin.
Menurut
Varney dan
Wiknjosastro
(2008)
beberapa
komplikasi yang dapat terjadi selama proses persalinan antara lain: Kala I lama, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, disfungsi uterus (Hipotonik dan Hipertonik), kelelahan ibu, kala II lama, distosia bahu, ruptur uterus, retensio plasenta, inversi uterus, atonia uteri dan syok. Beberapa komplikasi terutama yang terjadi pada kala III persalinan dapat beresiko menyebabkan perdarahan post partum. Perdarahan post partum adalah kehilangan darah secara abnormal. Rata-rata kehilangan darah selama kelahiran pervaginam yang ditolong tenaga medis tanpa komplikasi lebih dari 500 ml, atau kehilangan darah rata-rata selama kelahiran sectio caesarea sekitar 1000 ml (Varney, 2008). Menurut Kayika (2014) perdarahan post partum dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1) Perdarahan post partum primer, yaitu jika perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama pasca persalinan.
11
2) Perdarahan post partum sekunder, yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam, namun masih dalam 6 minggu awal setelah persalinan. Salah satu penyebab perdarahan post partum primer yaitu retensio plasenta (Oxorn, 2013). 2. Retensio Plasenta a. Pengertian 1) Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga
atau
melebihi
waktu
30
menit
setelah
bayi
lahir
(Prawirohardjo, 2008). 2) Retensio plasenta adalah tidak lahirnya plasenta setelah periode waktu
30 menit sampai 1 jam setelah kelahiran bayi (Fraser, 2009). 3) Retensio plasenta didefnisikan sebagai keadaan dimana belum
lahirnya plasenta pada waktu 30 menit sampai 60 menit setelah bayi lahir serta merupakan penyebab yang sering dari perdarahan post partum (Dorr, 2015). b. Etiologi 1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus dapat disebabkan oleh: a) Sebab fungsional: Sebab terpentingnya adalah his yang kurang kuat. Sebab lain diantaranya: (1)Tempatnya: insersi plasenta di sudut tuba.
12
(2) Bentuknya: seperti plasenta anularis (plasenta berbentuk seperti cincin) dan plasenta membranacea (plasenta berbentuk lebar dan tipis hampir memenuhi seluruh korion). (3) Ukurannya:plasenta yang sangat kecil. b) Sebab patologi-anatomis: perlekatan plasenta pada dinding rahim yang terlalu kuat seperti plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta (Saifuddin, 2009). 2) Plasenta sudah lepas tetapi belum dapat dilahirkan, disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak adekuat (atonia uteri), atau karena kesalahan penatalaksanaan kala III yang menimbulkan lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata) (Saifuddin, 2009). Tertahannya sebagian atau seluruh plasenta dalam uterus membuat pembuluh darah terbuka dan menyebabkan perdarahan post partum. Saat sebagian plasenta telah terlepas dari dinding uterus akan menyebabkan darah keluar dari bagian tersebut (Oxorn, 2013). Jika perdarahan terjadi terus menerus karena plasenta belum juga dapat terlepas maka komplikasi seperti syok hingga kematian dapat terjadi. Oleh karena itu tindakan antisipasi harus segera dilakukan. c. Patofisiologi Plasenta yang normal berbentuk bulat, datar, memiliki diameter sekitar 20cm, ketebalan 2,5 cm di bagian pusat, beratnya sekitar seperenam berat bayi cukup bulan (Fraser, 2009). Terdapat tiga lapisan
13
uterus yaitu Endometrium, Miometrium, dan Parametrium. Implantasi normal plasenta yaitu pada dinding endometrium (lapisan otot terdalam uterus) atau biasa disebut desidua (Varney, 2008). Pada masa kehamilan beberapa faktor menyebabkan plasenta melekat terlalu kuat atau terlalu dalam pada dinding rahim yang menyebabkan pada kala III persalinan plasenta ini sulit terlepas dari dinding uterus. Abnormalitas implantasi plasenta ini menurut Saifuddin (2009) dibagi menjadi 3 jenis yaitu, plasenta akreta (plasenta melekat hingga memasuki sebagian lapisan miometrium), plasenta inkreta (perlekatan plasenta hingga memasuki miometrium), dan plasenta perkreta (perlekatan plasenta hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus). Ketiga jenis abnormalitas implantasi ini menyebabkan plasenta tidak dapat lahir seluruhnya dan membutuhkan penanganan lebih khusus yaitu histerektomi. Fase awal kala III persalinan dimulai dengan retraksi serat-serat otot uterus oblik yang memberikan tekanan pada pembuluh darah uterus dan menjadikannya tegang sehingga darah tidak mengalir kembali ke sistem pembuluh darah ibu. Pada kontraksi berikutnya, vena yang terdistensi akan pecah dan darah akan merembes di antara sekat tipis lapisan berspons pada permukaan plasenta dan membuatnya terlepas dari tempat perlekatannya (Fraser, 2009). Kesalahan dari mekanisme ini yang disebabkan oleh kontraksi otot miometrium yang kurang adekuat (his hipotonik) atau tidak ada sama sekali (atonia uteri) menyebabkan plasenta tidak dapat terlepas sebagian atau seluruhnya dari tempat
14
implantasinya sehingga terjadilah retensio plasenta yang selanjutnya dapat menyebabkan perdarahan post partum (Varney, 2008; Oxorn, 2013). Bagan patofisiologi terjadinya retensio plasenta dapat dilihat pada lampiran 5. d. Faktor Risiko Menurut Prawirohardjo (2010) dan Dorr (2015), faktor yang menyebabkan terjadinya retensio plasenta antara lain: 1) Multiparitas Terjadinya penurunan sel-sel desidua pada kehamilan berulang dapat memperbesar akibat terjadinya perdarahan post partum karena retensio plasenta. 2) Kehamilan Ganda Suplay nutrisi untuk bayi dalam kandungan meningkat dua kali lipat sehingga memerlukan implantasi plasenta yang lebih luas. 3) Induksi dalam persalinan 4) Kuret berulang 5) Riwayat retensio plasenta 6) Usia ibu yang terlalu tua 7) Plasenta previa Terjadi karena dibagian isthmus, pembuluh darah sedikit, sehingga perlu lebih masuk kedalam perlekatannya. 8) Bekas sectio caesaria
15
9) Usia Kehamilan Usia kehamilan mempengaruhi lamanya persalinan kala III. Usia kehamilan yang kurang dari 37 minggu beresiko terjadi kala III memanjang yang dapat mengarah ke retensio plasenta tiga kali lebih besar dari kelahiran cukup bulan. Demikian pula dengan kehamilan lebih dari 40 minggu. e. Keluhan Subjektif Pada kasus retensio plasenta kemungkinan ibu mengeluh lemas karena kehilangan darah atau kelelahan, perut tidak terasa mulas lagi karena kontraksi tidak adekuat (Oxorn, 2013). f. Tanda klinis 1) Plasenta belum lahir 30 menit setelah bayi lahir 2) Konsistensi uterus kenyal/lembek 3) Kontraksi uterus kurang baik 4) Tali pusat terjulur sebagian, kemudian masuk lagi ke dalam 5) Terdapat perdarahan sedang-banyak (Saifuddin, 2010). g. Penatalaksanaan Apabila plasenta belum dapat lahir 30 menit atau lebih, maka penatalaksanaan awal pada ibu. Menurut Edozien (2013), Nugroho (2010), dan Saifuddin (2009) penatalaksanaan kasus retensio plasenta berupa:
16
1) Pasang infus uterotonika dalam 500 ml NS/RL dengan 40 tetes per menit. 2) Bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal. 3) Pantau frekuensi nadi, tekanan darah, dan jumlah kehilangan darah. 4) Lakukan manual plasenta secara hati-hati. 5) Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemi. 6) Lakukan transfusi darah apabila diperlukan. 7) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g per IV/Oral ) 8) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, atau syok. Manual plasenta adalah pemisahan plasenta dari dinding uterus dengan menggunakan jari (Fraser, 2009). Jika terjadi perdarahan yang banyak maka plasenta harus dikeluarkan sesegera mungkin (Oxorn, 2013). Menurut Dorr (2015) dan Kemenkes (2015) prosedur pelaksanaan manual plasenta yaitu: 1) Mencuci tangan dan memakai sarung tangan panjang steril 2) Menegangkan tali pusat sejajar lantai 3) Memasukkan tangan dalam posisi obstetri dengan menelusuri tali pusat 4) Tangan
sebelah
dalam
(kanan)
masuk
sampai
kavum
uteri,sedangkan tangan luar (kiri) menahan fundus uteri 5) Setelah sampai di kavum uteri, dengan jari mencari tempat perlekatan plasenta
17
6) Tangan obstetri dibuka seperti memberi salam dan jari tangan dirapatkan 7) Menentukan tempat implantasi plasenta yang telah lepas sebagian 8) Menyisir plasenta ke arah kranial sampai terlepas semua 9) Memegang plasenta dan mengeluarkan dengan tangan. 10) Memindahkan tangan luar ke supra simpisis untuk menahan uterus saat plasenta dikeluarkan 11) Melakukan eksplorasi uterus untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih tertinggal 12) Periksa kelengkapan plasenta Manual plasenta hanya dapat dilakukan pada plasenta adhesiva (plasenta melekat kuat pada dinding rahim) dan plasenta akreta parsialis (sebagian plasenta tertanam dalam). Sedangkan pada plasenta akreta kompleta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan perforasi pada kavum uteri (Lailiyana, 2011). Untuk penanganan plasenta akreta kompleta atau yang tertanam lebih dalam, sebaiknya segera berkolaborasi dengan dokter konsulen karena merupakan bahaya obstetrik dan memerlukan tindakan operatif yaitu histerektomi (Varney, 2007). Bagan penatalaksanaan retensio plasenta dapat dilihat pada lampiran 6.
18
h. Prognosis Prognosis retensio plasenta tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan pasien sebelumnya, serta efektifitas terapi. Semakin lama dan semakin banyak jumlah darah yang hilang dapat merujuk pasien pada keadaan syok (Oxorn, 2013). 3. Syok Hipovolemik a. Pengertian Syok Hipovolemik merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh atau darah (internal ataupun eksternal) yang menyebabkan jantung tidak mampu memompakan cukup darah ke seluruh tubuh yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak adekuat sehingga suplai oksigen tidak mencukupi untuk proses metabolik normal (Tanto, 2014) b. Tanda Syok 1) Perubahan status mental: gelisah, agitasi, letargi, obtundasi 2) Tekanan darah sistolik <110 mmHg 3) Takikardia >90 kali/menit 4) Frekuensi nafas <7 atau >29 kali/menit 5) Urin output <0,5 cc/KgBB/jam (Tanto, 2014) c. Klasifikasi 1) Syok hipovolemik ringan Kehilangan <20% volume darah. Pasien dapat mengalami perubahan tingkat kesadaran misalnya agitasi dan gelisah. Pada pemeriksaan fisik
19
didapatkan tanda-tanda seperti kulit dingin, lembab, hipotensi ortostatik,
takikardia
ringan
dan
tanda
lain
akibat
proses
vasokonstriksi. 2) Syok hipovolemik sedang Kehilangan 20-40% volume darah. Pasien menjadi gelisah, agitasi dan takikardia. Sering ditemui adanya hipotensi postural. 3) Syok hipovolemik berat Kehilangan >40% volume darah. Tekanan darah menurun, takikardia menjadi lebih jelas, oliguria, penurunan kesadaran berupa agitasi dan confusion. (Tanto, 2014) d. Penatalaksanaan Menurut Tanto (2014) penatalaksanaan syok hipovolemik adalah sebagai berikut: 1) Pastikan jalan nafas dalam kondisi baik 2) Lakukan resusitasi cairan segera. Cairan yang diberikan berupa garam seimbang seperti RL. 3) Nilai ketat hemodinamik dan amati tanda-tanda perbaikan syok: TTV, kesadaran, perfusi perifer, pulse oxymetry, urine output. 4) Atasi sumber perdarahan. 5) Kehilangan darah dengan kadar hemoglobin <10 gr/dL perlu pergantian dengan transfusi. Pada kondisi yang sangat darurat,
20
transfusi packed red cell (PRC) sesuai golongan darah dapat diberikan. 4. Anemia a. Pengertian Anemia adalah konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 12 g/dL pada wanita tak hamil dan kurang dari 10 g/dL selama kehamilan atau masa nifas (Cunningham, 2012). b. Derajat anemia ibu hamil menurut Manuaba (2010) : 1) Anemia ringan 9-10 gr% 2) Anemia sedang 7-8 gr% 3) Anemia berat < 7 gr% d. Efek anemia pada kehamilan 1) Keguguran 2) Partus prematurus 3) Inersia uteri dan partus lama ibu. Berpengaruh terhadap kejadian retensio plasenta 4) Atonia uteri dan menyebabkan perdarahan 5) Syok (Pranoto, 2013) e. Penatalaksanaan Menurut Robson (2011) dan Cunningham (2013) penatalaksanaan anemia pada kehamilan, persalinan atau nifas diantaranya:
21
1) Pada pemeriksaan ANC bidan mengkaji penyebab anemia dari riwayat diet untuk mengetahui adakah kemungkinan pica, kebiasaan mengidam berlebihan dan mengonsumsi makanan-makanan tertentu dan riwayat medis yang adekuat dan uji yang tepat 2) Memberikan sulfat ferosa 200 mg 2-3 kali sehari. Sulfat ferosa diberikan 1 tablet pada hari pertama kemudian dievaluasi apakah ada keluhan (misalnya mual, muntah, feses berwarna hitam), apabila tidak ada keluhan maka pemberian sulfat ferosa dapat dilanjutkan hingga anemia terkoreksi. 3) Apabila pemberian zat besi peroral tidak berhasil (misalnya pasien tidak kooperatif) maka bisa diberikan dosis parenteral (per IM atau per IV) dihitung sesuai berat badan dan defisit zat besi 4) Transfusi darah diindikasikan bila terjadi hipovolemia akibat kehilangan
darah
hamil/bersalin/nifas
atau dengan
prosedur anemia
operasi
darurat.
sedang
yang
Ibu secara
hemodinamis stabil, dapat beraktifitas tanpa menunjukan gejala menyimpang dan tidak septik, transfusi darah tidak diindikasikan, tetapi diberi terapi besi selama setidaknya 3 bulan.
B. Teori Manajemen Kebidanan Menurut Varney (2007) Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan
22
dalam rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada klien. a. Langkah I : Pengumpulan data dasar secara lengkap Pada langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah pengkajian dengan mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi klien secara lengkap (Mangkuji, 2012). 1) Identitas Pasien Pengkajian dilakukan untuk mengetahui identitas pasien. Data fokus kasus retensio plasenta pada biodata adalah umur. Wanita yang hamil dengan usia <20 tahun dan yang berusia >35 tahun sangat beresiko mengalami retensio plasenta. Hal ini dikarenakan pada umur <20 tahun organ reproduksi belum cukup matang dan belum dapat berfungsi
dengan
baik.
Ketidakmampuan
miometrium
dalam
berkontraksi dan beretraksi maksimal membuat pelepasan plasenta dari tempat implantasinya terganggu sehingga terjadilah retensio plasenta. Sedangkan pada umur >35 tahun wanita sering mengalami kekakuan jaringan sehingga miometrium juga tidak dapat bekerja dengan maksimal (Zau; Endang, 2012). 2) Anamnesa/Data Subjektif a) Keluhan utama Keluhan utama pada kasus retensio plasenta adalah ibu mengeluh lemas karena kehilangan darah atau kelelahan, perut
23
tidak terasa mulas lagi karena kontraksi tidak adekuat (Oxorn, 2013; Pudiastuti, 2012). b) Riwayat Kehamilan sekarang Riwayat kehamilan sekarang perlu dikaji berkaitan dengan usia kehamilan. Usia kehamilan mempengaruhi lamanya persalinan kala III. Usia kehamilan yang kurang dari 37 minggu memiliki resiko terjadi kala III memanjang yang dapat mengarah ke retensio plasenta tiga kali lebih besar dari kelahiran cukup bulan (Dorr, 2015). c) Riwayat Kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu Riwayat abortus yang megakibatkan kuret berulang, riwayat persalinan dengan sectio caesarea, serta keadaan multiparitas mempengaruhi kejadian retensio plasenta sehingga perlu dikaji (Prawirohardjo, 2010). d) Riwayat Operasi Dikaji untuk mengetahui apakah pasien memiliki riwayat sectio caesarea, pembedahan uterus, atau curretage yang merupakan faktor risiko terjadinya retensio plasenta (Dorr, 2015). 3) Pemeriksaan Fisik/Data Objektif Data
ini
dikumpulkan
untuk
menegakkan
diagnosis.
Pengkajian data objektif meliputi pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi, dan pemeriksaan penunjang (Mangkuji, 2012).
24
a) Pemeriksaan Umum Pemeriksaan umum pada ibu meliputi keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital yang harus selalu dipantau untuk memastikan ibu dalam keadaan baik, juga untuk mendeteksi secara dini apabila keadaan ibu memburuk (terjadi syok) sehingga dapat dilakukan antisipasi tindakan segera (Oxorn, 2010). b) Pemeriksaan Fisik Sistematis (2) Inspeksi Pemeriksaan inspeksi pada kasus retensio plasenta antara lain terlihat adanya perdarahan aktif apabila plasenta sudah lepas sebagian, atau tidak terjadi perdarahan apabila plasenta belum terlepas sama sekali, atau tinggi fundus uteri meningkat apabila terdapat perdarahan tersembunyi.Tali pusat terjulur sebagian, kemudian masuk lagi ke dalam. Kemungkinan cincin konstriksi
juga dapat
terlihat
apabila terjadi
plasenta
inkarserata (Varney, 2008; Saifuddin 2009). (3) Palpasi Uterus dapat teraba keras jika kontraksi baik, atau teraba lembek jika kontraksi buruk dan merujuk pada keadaan atonia uteri. Dalam kasus retensio plasenta fundus masih teraba tinggi apabila plasenta belum terlepas dari tempat implantasinya (Fraser, 2009; Oxorn, 2013).
25
(4) Pemeriksaan Dalam Memastikan plasenta telah lepas atau belum secara pasti dilakukan dengan pemeriksaan dalam. Pada kasus retensio plasenta penting dipastikan apakah plasenta sudah terlepas tetapi masih tertinggal, terpisah tapi terperangkap (plasenta inkarserata), melekat tapi dapat dipisahkan, atau melekat dan tidak dapat dipisahkan (Oxorn, 2013). c) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus retensio plasenta adalah pemeriksaan laboratorium khususnya pemeriksaan darah.Pemeriksaan golongan darah dilakukan untuk kemungkinan transfusi darah. Kadar haemoglobin penting diketahui untuk memberi petunjuk kemungkinan ibu menderita anemia (Dorr, 2015). b. Langkah II.Interpretasi Data Dasar Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap rumusan diagnosis, masalah, dan kebutuhan pasien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Interpretasi data pada kasus retensio plasenta yaitu: “Ny. X GXPXAX umur X tahun inpartu kala III dengan retensio plasenta” DS: Ibu mengatakan ini kehamilan ke X kalinya dan sudah/belum pernah keguguran sebelumnya. Ibu mengatakan berusia X tahun. Ibu
26
mengatakan HPHT tanggal dd-mm-yyyy. Ibu mengatakan bayinya telah lahir pada pukul hh.mm WIB, dan perutnya masih mulas. DO: a. Keadaan Umum: baik b. TTV: TD N
R S
c. Plasenta belum keluar lebih dari 30 menit. d. Palpasi pada daerah perut didapatkan uterus yang tidak teraba bulat, kontraksi lemah, uterus lembek. e. Inspeksi terdapat perdarahan aktif, tali pusat tidak memanjang. f. Pemeriksaan dalam didapatkan hasil plasenta belum terlepas atau telah terlepas sebagian. Masalah : Ibu merasa cemas dengan keadaannya, ibu merasa lemas Kebutuhan
: Beri dukungan moral, penuhi kebutuhan cairan ibu, pantau
TTV (Varney, 2008; Sulistyawati, 2010; Oxorn, 2013) c. Langkah III. Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensialdan Antisipasi Penanganannya Diagnosis potensial yang dapat ditegakkan dari kasus retensio plasenta antara lain terjadi perdarahan post partum yang apabila tidak tertangani dapat merujuk pada keadaan syok. Antisipasi yang harus dilakukan oleh tenaga paramedis adalah observasi ketat keadaan umum dan TTV ibu, memberikan uterotonika, balance cairan oral dan melakukan manual plasenta (Oxorn, 2012; Dorr, 2015; Nugroho, 2010).
27
d. Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Dibutuhkan
kolaborasi
dengan
dokter
apabila
terjadi
kegawatdaruratan atau apabila keadaan plasenta akreta, inkreta atau perkreta. Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan dan penanganan tindakan segera (Saifuddin, 2010). e. Langkah V. Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh 1) Beritahu ibu tentang keadaannya. 2) Beri dukungan moral. 3) Beritahu ibu tindakan yang akan dilakukan. 4) Lakukan informed consent 5) Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 ml NS/RL dengan 40 tetes per menit. 6) Berikan asupan cairan peroral. 7) Lakukan observasi tanda-tanda vital. 8) Lakukan manajemen aktif kala III. 9) Lakukan manual plasenta. 10) Observasi perdarahan dan kontraksi uterus. 11) Lakukan transfusi darah apabila diperlukan. 12) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi. (Permenkes, 2008; Pudiastuti, 2012; Nugroho, 2010; Saifuddin, 2009; Varney, 2009)
28
f. Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman Rencana asuhan menyeluruh yang telah diuraikan pada langkah kelima dilaksanakan secara efisien, efektif dan aman. Dalam situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter, maka keterlibatan bidan adalah tetap bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana bersama yang menyeluruh tersebut (Marmi, 2013). g. Langkah VII : Evaluasi Evaluasi dilakukan untuk mengetahui hasil dari tindakan atau penatalaksanaan yang telah dilakukan. Evaluasi pada kasus retensio plasenta yaitu seluruh asuhan telah diberikan secara efektif dan efisien, plasenta dapat dilahirkan, tidak terjadi kehilangan darah yang berarti, tidak ada sisa jaringan plasenta yang tertinggal, dan uterus berkontraksi dengan baik (Edozien, 2013; Oxorn,2013).
C. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Pasien Model dokumentasi dalam bentuk catatan perkembangan digunakan karena bentuk asuhan yang diberikan berkesinambungan dan menggunakan proses yang terus menerus (progress note) sehingga perkembangan pasiendapat dilihat dari awal sampai akhir. Dokumentasi SOAP ini dicatat pada lembar catatan perkembangan yang ada dalam rekam medik pasien (Marmi, 2013).
29
1. Subjektif Ibu mengatakan senang atas kelahiran anaknya, ibu mengatakan darahnya sudah tidak keluar banyak, ibu mengeluh badannya masih lemas, ibu mengatakan perutnya masih mules (Saifuddin, 2009; Pudiastuti, 2012). 2. Objektif a. Keadaan umum: Cukup b. Kesadaran: Compos mentis c. TTV: TD = 120/80 mmHg, N=92 kali/menit, S=36,5 oC, R=20 kali/menit d. PPV= dalam batas normal e. Kontraksi uterus: baik, keras f. Terpasang infus drip oksitosin dan methergin 20 tpm. (Edozien, 2013; Pudiastuti, 2012) 3. Assesment Ny. X PxAx umur X tahun inpartu kala IV postretensio plasenta Masalah
: Ibu merasa lemas
Kebutuhan
: Lakukan asuhan kala IV, pantau TTV, beri asupan cairan peroral.
Diagnosis potensial : Potensial terjadi perdarahan post partum Dasar
: Perdarahan kala III sebanyak XXX cc
Antisipasi
: Lakukan asuhan kala IV dengan efektif dan efisien
Tindakan segera
: Kolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk terapi antibiotik, uterotonika, dan analgesik.
(Pudiastuti, 2012; Oxorn, 2010; Varney, 2007)
30
4. Planning a. Observasi tanda-tanda vital dan pengeluaran pervaginam. b. Anjurkan ibu untuk istirahat yang cukup c. Anjurkan ibu untuk mobilisasi dini d. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya secara on demand e. Anjurkan ibu untuk makan makanan bergizi tinggi kalori tinggi protein f. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan terapi terapi antibiotik, uterotonika, dan analgesik. Evaluasi: Keadaan umum ibu baik, tanda-tanda vital dalam batas normal, pengeluaran pervaginam dalam batas normal, telah memberikan terapi sesuai advis dokter, asuhan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien, prognosis baik (Pudiastuti, 2012; Varney, 2007).