6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Human Imunodeficiency Virus (HIV) 1. Pengertian HIV Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan mrnggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya
penyebab
munculnya
tanda
dan
gejala
AIDS.
HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus HIV memiliki sifat yang khas karena memiliki enzim reverse transcriptase yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintregasikan kedalam informasi genetic sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang yang memiliki ciri- ciri HIV (DepKes RI, 2003). Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia dengan akibat turunya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit dan meninggal karena infeksi, kangker dan lain- lain. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin 6
7
pencegahannya. Pengobatan yang ada hanya untuk menghambat virus didalam darah. Jangka waktu antara terkena infeksi dan munculnya gejala penyakit HIV umumnya orang dewasa memakan waktu rata- rata 6 - 10 tahun. Cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, tranfusi darah yang terinfeksi HIV dan penularan dari ibu yang terinfeksi HIV ke janinnya dan bayinya. Semua cara penularan HIV berkaitan dengan perilaku sehingga identifikasi perilaku beresiko (KPA Provinsi Jateng, 2008).
2. Penularan HIV HIV dapat ditularkan dengan berbagai cara antara lain hubungan seksual bebas, seperti hubungan seksual dengan pasangan berganti-ganti dan hubungan heteroseksual dengan pasangan yang menderita infeksi HIV tanpa menggunakan pelindung (kondom), HIV juga dapat ditularkan melalui pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi secara bergantian, juga melalui perantara produk darah seperti tranfusi darah atau organ lain (Smeltzer & Bare, 2001)
Penularan HIV juga dapat terjadi dari ibu pada bayinya, penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero), penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara membaran mukosa bayi dengan darah atau sekresi darah saat melahirkan, dan transmisi lain yang dapat ditularkan dari ibu terhadap anaknya pada saat periode post partum melalui ASI. Sedangakan pada alat-alat yang dapat menoreh kulit juga dapat ikut andil dalam penularan HIV misalnya alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet (Nursalam, 2007).
7
8
3. Penderita HIV positif Seseorang yang telah terinfeksi HIV disebut sebagai HIV positif (HIV). Orang HIV positif ini biasanya dalam keadaan asimtomatik maksudnya adalah orang tersebut tidak menunjukkan gejala terinfeksi virus HIV. Pemeriksaan HIV dilakukan tiga kali, jika yang pertama dan kedua hasilnya negatif dimungkinkan virus masih dalam window period atau masa jendela, masa dimana tes serologis untuk antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif sementara virus sudah ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita. Tes ketiga jika orang tersebut masih negatif berarti orang tersebut memang tidak ada virus HIV dalam tubuhnya akan tetapi jika positif berarti ada virus HIV dalam tubuhnya (Yoga, 2010).
Meskipun ada banyak stereotip negatif dari orang yang terinfeksi HIV, mustahil untuk mengatakan bahwa orang tersebut sebagai penderita HIV positif. Banyak orang yang terinfeksi HIV terlihat dan merasa sehat. Tidak sedikit pula penderita HIV pada akhirnya berkembang menjadi AIDS, tanpa pengobatan, jangka waktu antara seseorang dari terinfeksi HIV dan pada akhirnya berkembang menjadi AIDS umumnya delapan sampai sepuluh tahun (Stolley & Glass, 2009).
4. Perjalanan penyakit Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute Roviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan CD4 (Cluster Differential Four) dan peningkatan kadar RNA Nu-HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load ( jumlah virus HIV dalam darah ) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan kemudian 8
9
turun pada suatu level titik tertentu maka viral load secara perlahan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pasien HIV tanpa pengobatan ARV rata – rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (DepKes RI, 2003)
5. Stadium penyakit Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat stadium yaitu: a. Stadium pertama HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahn serologi ketika antibody terhadap virus tersebut berubah dari negative menjadi positif. Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan. b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala ) Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan gejala - gejala. Keadaan ini dapat berlangsungselama 5 – 10 tahun. Pasien yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent Generalized Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung selama satu bulan. d. Stadium keempat AIDS. Keadaan inidisertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain penyakit syaraf, infeksi sekunder dan lain – lain. 9
10
6. Tanda dan gejala Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali masuk dalam tubuh. Pada waktu terjadi infeksi primer, darah pasien menunjukan jumlah virus yang sangat tinggi, ini berarti banyak virus lain dalam darah. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukan sidrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sidrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual muntah, diare, berkeringat dimalam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala itu muncul dan ter jadi 2 – 4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagi influenza atau ninfeksi mononucleosis. Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah linfosit CD4 + yang ada di nodus limfa dan thymus. Keadaan tersebut membuat individu yang ter infeksi HIV rentan terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T (Nursalam, 2007).
B. Perilaku (praktek) Pencegahan HIV 1. Pengertian Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap individu, dan kemudian individu tersebut merespon, maka teori skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner (1938) dalam Notoatmodjo, (2003) membedakan 2 respon perilaku yaitu : a. Respondent respons atau reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciling stimulation karena menimbulkan respon-respon yang 10
11
relative tetap. Misalnya : cahaya terang menyebabkan mata tertutup, minuman yang segar dan dingin menimbulkan keinginan untuk minum dan sebagainya. Respondent respons ini juga menckup perilaku emosional, misalnya
mendengarkan
penyuluhan terkait dengan
perilaku pencegahan DBD sehingga semangat untuk melakukannya. b. Operant respons atau instrumental respons, yaitu respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan tetentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena mendapat respon. Berdasarkan respon yang timbul maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua : 1) Perilaku tertutup (covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2) Perilaku terbuka (over behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2007), sebelum seseorang menghadapi perilaku baru di dalam diri seseoarang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu : a) Awareness (kesadaran), seseorang menyadari dan mengetahui adanya stimulus. b) Interest, mulai tertarik pada stimulus. c) Evaluation,
menimbang-nimbang/mengevaluasi
stimulus tersebut terhadap dirinya. 11
baik
tidaknya
12
d) Trial, orang mencoba perilaku baru. Adoption, telah terjadi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2. Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) ada 3 faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku seseorang atau kelompok yaitu : a. Faktor yang mempermudah (Presdisposing Factor) yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, norma, sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri seseorang maupun masyarakat. b. Faktor pendukung (Enabling Factor) antara lain yaitu umur, status sosial, ekonomi, pendidikan dan sumberdaya manusia. c. Faktor Pendorong (Reinforcing Factor) yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku sesorang yang dikarenakan adanya sikap suami, orang tua, tokoh masyarakat ataupun petugas kesehatan.
3. Perilaku (praktek) pencegahan penularan HIV Satu-satunya cara untuk menghindari penyebaran epidemi HIV adalah dengan mempertahankan gaya hidup yang dapat mengurangi atau menghindari faktorfaktor risiko tinggi. Menurut Silvianti (2010), Nursalam (2007) dan http://www.certi.org/cma/training/module1-5indonesian/Modul2HIV.htm. (2009) perilaku (praktek) pencegahan penularan HIV yang dapat dilakukan oleh penderita HIV positif adalah a. Memeriksa kesehatan secara teratur. b. Setia pada pasangan. c. Kurangi pasangan seksual. d. Menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual lewat anal atau oral
12
13
e. Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. f. Menggunakan kondom dengan benar sesuai dengan ketentuan. a) Sebelum memakai periksa tanggal kadaluarsa kondom. b) Pasang kondom pada kepala penis sisakan ujung reservoarnya. c) Perlahan–lahan lepaskan gulungan kondom ke bawah hingga dasar penis. d) Yakinkan bahwa kondom sudah melindungi seluruh penis dan tarik kondom segera setelah ejakulasi dan penis masih dalam keadaan ereksi. g. Saat melakukan hubungan seksual tidak menggunakan kondom lebih dari satu kali. h. Beritahu pasangan anda jika anda menderita HIV. i.
Tidak berciuman dari mulut ke mulut untuk menghindari kontak dengan cairan yang terinfeksi HIV.
j.
Tidak mendonorkan darah, plasma, organ lain, jaringan lain atau spermanya
k. Tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian dan berulang l.
Tidak menggunakan sikat gigi, alat pencukur, dan alat-alat lain yang dapat terkontaminasi dengan cairan tubuh.
m. Penggunaan KB bagi wanita yang telah terinfeksi HIV positif, untuk menghindari kehamilan. n. Pada wanita yang telah terinfeksi HIV jangan memberi ASI pada bayinya. o. Setelah terjadi kecelakaan yang menimbulkan perdarahan, permukaan yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan sabun yang diencerkan 1 : 10 dalam air. p. Minum ARV secara teratur dan tepat waktu.
13
14
C. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan teori di atas maka dapatlah disusun kerangka teori penelitian sebagai berikut : Skema 1 : Kerangka Teori Penelitian Virus HIV Faktor yang mempengaruhi (presdisposing faktor): Pengetahuan, Kepercayaan, norma, sosial.
HIV Positif
Perilaku praktek penderita HIV dalam pencegahan penularan
Faktor pendukung (enabling factor): Status sosial ekonomi, pendidikan, SDM
praktek penderita HIV dalam pencegahan penularan Faktor pendorong (Reinforcing factor): Sikap pasangan, orang tua, tokoh masyarakat, petugas kesehatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16.
Memeriksa kesehatan secara teratur. Setia pada pasangan. Kurangi pasangan seksual. Menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual lewat anal atau oral Penggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Menggunakan kondom dengan benar sesuai dengan ketentuan. Kondom dipakai tidak boleh lebih dari satu kali. Beritahu pasangan anda jika anda menderita HIV. Tidak berciuman dari mulut ke mulut untuk menghindari kontak dengan cairan yang terinfeksi HIV. Tidak mendonorkan darah, plasma, organ lain, jaringan lain atau spermanya menghindari pemakaian jarum suntik secara bergantian dan berulang Tidak menggunakan sikat gigi, alat pencukur, dan alat-alat lain yang dapat terkontaminasi dengan cairan tubuh. Penggunaan KB bagi wanita yang telah terinfeksi HIV positif, untuk menghindari kehamilan. Wanita yg telah terinfeksi HIV jangan memberi ASI pada bayinya. Cuci permukaan yang terkontaminasi menggunakan sabun yang diencerkan 1 : 10 dalam air setelah terjadi kecelakaan yang menimbulkan perdarahan. Minum ARV secara teratur dan tepat waktu
Skema 2.1 kerangka teori Nursalam (2007), Silvianti (2010), dan Green dalam Notoatmojo 2007) 14
15
D. Kerangka konsep
Praktek penderita HIV positif dalam pencegahan penularan HIV yang dipengaruhi oleh faktor presdisposing,
faktor enabling, dan faktor
Reinforcing. Faktor tersebut akan mempengaruhi apakah praktek pencegahan penularan HIV AIDS baik atau buruk.
E. Variabel Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif yang mempunyai variabel tunggal atau mandiri yaitu gambaran perilaku penderita HIV positif dalam pencegahan penularan HIV. Penelitian diskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variable mandiri yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan variable satu dengan variable lainnya (Sugiono, 2007)
F. Pertanyaan Penelitian Bagaimana gambaran perilaku (praktek) penderita HIV positif dalam pencegahan penularan HIV di kota Semarang.
15