BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air 2.1.1. Pengertian Air Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar tiga perempat bagian dari tubuh manusia terdiri dari air. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65 % dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. Beberapa organ tubuh manusia yang mengandung banyak air, antara lain otak 74,5%, tulang 22%, ginjal 82,7%, otot 75, 6%, dan darah 83%. Air digunakan untuk mendukung hampir seluruh kegiatan manusia. Sebagai contoh, air digunakan untuk minum, memasak, mandi,mencuci dan membersihkan lingkungan rumah. Air juga dimanfaatkan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi dan transportasi. Air dibutuhkan organ tubuh untuk membantu terjadinya proses metabolisme, sistem asimilasi, keseimbangan cairan tubuh, proses pencernaan, pelarutan dan pengeluaran racun dari ginjal, sehingga kerja ginjal menjadi ringan (Chandra, 2007). 2.1.2. Siklus Hidrologi Air Siklus hidrologi merupakan suatu fenomena alam. Hidrologi sendiri merupakan suatu ilmu yang mempelajari siklus air pada semua tahapan yang dilaluinya (Chandra, 2007). Menurut Sutrisno (2010), jumlah air di alam ini tetap ada dan mengikuti suatu aliran yang dinamakan siklus hidrologi. Dalam siklus ini dengan adanya
6
Universitas Sumatera Utara
penyinaran matahari, maka semua air yang ada di permukaan bumi akan menguap. Penguapan terjadi pada air permukaan, air yang berada pada lapisan tanah bagian atas, air yang ada di dalam tumbuhan, hewan, dan manusia. Karena adanya angin, maka uap air ini akan bersatu dan berada di tempat yang tinggi yang sering dikenal dengan nama awan. Oleh angin, awan ini akan terbawa makin lama makin tinggi dimana temperatur di atas makin rendah, yang menyebabkan titik – titik air dan jatuh ke bumi sebagai hujan. Air hujan ini ada yang mengalir langsung masuk ke dalam air permukaan (run-off), ada yang meresap ke dalam tanah (perkolasi) dan menjadi air tanah yang dangkal maupun yang dalam, dan ada yang diserap oleh tumbuhan. Air tanah dalam akan timbul ke permukaan sebagai mata air dan menjadi air permukaan. Air permukaan yang mengalir di permukaan bumi, umumnya berbentuk sungaisungai dan jika melalui suatu tempat rendah (cekung) maka air akan berkumpul, membentuk suatu danau atau telaga. Tetapi banyak diantaranya yang mengalir ke laut kembali dan kemudian akan mengikuti siklus hidrologi ini. 2.1.3. Sumber Air Di Alam Menurut Chandra (2007), berdasarkan sumbernya air tawar dimuka bumi ini dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : 1. Air hujan (air angkasa) Walau pada saat prepitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer. 2. Air Permukaan Air permukaan yang meliputi badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk, rawa, air terjun dan sumur permukaan, sebagian besar berasal dari air hujan.
Universitas Sumatera Utara
3. Air Tanah Berasal dari air hujan yang jatuh kepermukaan bumi yang kemudian mengalami perlokasi atau penyerapan kedalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara alamiah. Air tanah memiliki beberapa kelebihan dibanding sumber air lain, pertama air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit sehingga tidak perlu mengalami proses furifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun. Sementara itu beberapa kelemahan dari air tanah dibanding air lainnya adalah mengandung zat-zat mineral dalam kosentrasi yang tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium, dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air (Chandra, 2007). Karakteristik air tanah kadang-kadang sangat berbeda dengan kualitas air permukaan. Pada saat infiltrasi kedalam tanah, air permukaan mengalami kontak dengan mineral-mineral yang terdapat dalam tanah dan melarutkannya, sehingga kualitas air mengalami perubahan karena terjadi reaksi kimia. Kadar oksigen air yang masuk kedalam tanah menurun, digantikan oleh karbondioksida yang berasal dari aktivitas biologis, yaitu dekomposisi bahan organik yang terdapat dalam lapisan tanah pucuk (top soil). Air tanah biasanya memiliki kandungan besi relatif tinggi sehingga jika kontak dengan udara, mengalami oksigenisasi. Ion ferri yang banyak terdapat dalam air akan teroksidasi menjadi ion ferro akan mengalami presipitasi serta membentuk warna kemerahan pada air (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Air tanah terbagi menjadi 3 yaitu : air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air. a. Air Tanah Dangkal Terjadi karena proses peresapan air dari permukaan tanah. Lumpur akan tertahan, demikian pula dengan sebagian bakteri, sehingga air tanah akan jernih tetapi masih banyak mengandung zat kimia (garam-garam yang terlarut) karena melalui lapisan tanah yang mempunyai unsur-unsur kimia tertentu untuk masing-masing lapisan tanah. Lapis tanah disini berfungsi sebagai saringan. Disamping penyaringan, pengotoran juga masih terus berlangsung, terutama pada muka air yang dekat dengan muka tanah, setelah menemui lapisan rapat air, air akan terkumpul merupakan air tanah dangkal dimana air tanah ini dimanfaatkan untuk sumber air minum melalui sumur-sumur dangkal. b. Air Tanah Dalam Terdapat setelah lapis rapat air yang pertama. Pengambilan air tanah dalam, tak semudah pada air tanah dangkal. Dalam hal ini harus digunakan bor dan memasukan pipa kedalamnya sehingga dalam suatu kedalaman (biasanya antara 100-300 m) akan didapatkan suatu lapis air. Jika tekanan air tanah ini besar, maka air dapat menyembur ke luar dan dalam keadaan ini, sumur ini disebut dengan sumur artetis. Jika air tak dapat ke luar dengan sendirinya, maka digunakanlah pompa untuk membantu pengeluaran air tanah dalam ini. Kualitas dari air tanah dalam umumnya lebih baik dari air dangkal, karena penyaringannya lebih sempurna dan bebas dari bakteri.
Universitas Sumatera Utara
c. Mata Air Mata air adalah air tanah yang ke luar dengan sendirinya ke permukaan tanah. Mata air yang berasal dari dalam tanah, hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas. Berdasarkan keluarnya (munculnya permukaan tanah) terbagi atas rembesan, dimana air keluar dari lereng-lereng dan umbul dimana air ke luar ke permukaan pada suatu dataran (Sutrisno, 2010). 2.2. Air Bersih 2.2.1. Pengertian Air Bersih Air yang bersih mutlak diperlukan, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan penyakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan seharihari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. 2.2.2. Persyaratan Biologi Menurut Slamet (2009), sumber-sumber air di alam pada umumnya mengandung bakteri, baik air hujan (air angkasa), air permukaan maupun air tanah. Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Bakteri yang bersifat patogen berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyakit yang ditransmisikan melalui fecal material dapat disebabkan virus, bakteri, protozoa dan metazoan. Oleh karena itu air yang digunakan untuk keperluan seharihari harus bebas dari bakteri patogen. Bakteri golongan Coli (Coliform bakteri) merupakan bakteri flora normal di usus manusia yang membantu proses pembusukan sisa-sisa makanan dan memadatkannya menjadi feses, namun bakteri ini juga
Universitas Sumatera Utara
merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri patogen seperti Salmonella typhi, dan lain-lain. Selain bakteri patogen, bakteri non-patogen juga sebaiknya tidak terdapat di dalam air khususnya air minum. Bakteri non-patogen merupakan jenis bakteri yang tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Namun, dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak, lendir dan kerak pada pipa. Beberapa bakteri non-patogen yang berada di dalam air antara lain Actinomycetes (Moldlikose bacteria), Fecal streptococci, dan Bakteri Besi (Iron Bacteria). Menurut Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, total coliform yang diperbolehkan dalam air perpipaan adalah 10 per 100 ml air sedangkan untuk non perpipaan adalah 50 per 100 ml air. 2.2.3. Persyaratan Fisik Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 416/Menkes/per/IX/1990, menyatakan bahwa air yang layak pakai sebagai sumber air bersih antara lain harus memenuhi persyaratan secara fisik yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh dan tidak bewarna. Adapun sifat-sifat air secara fisik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sebagai berikut: 1. Suhu Air yang baik mempunyai temperatur normal, 8º dari suhu kamar (27ºC). Suhu air yang melebihi batas normal menunjukkan indikasi terdapat bahan kimia yang terlarut dalam jumlah yang cukup besar (misalnya, fenol atau belerang) atau sedang terjadi proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Permenkes No. 416 tahun 1990, suhu air yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebesar suhu udara ± 3 ºC. 2. Bau dan Rasa Bau dan rasa air merupakan dua hal yang mempengaruhi kualitas air secara bersamaan. Bau dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indra penciuman dan pengecap. Biasanya, bau dan rasa saling berhubungan. Air yang berbau busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak. Bau dan rasa biasanya disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik yang membusuk, tipe-tipe tertentu organisme mikroskopik, serta
persenyawaan-persenyawaan
kimia
seperti
fenol.
Bahan-bahan
yang
menyebabkan bau dan rasa ini berasal dari berbagai sumber. Intensitas bau dan rasa dapat meningkat bila di dalam air dilakukan klorinasi. Karena pengukuran bau dan rasa itu tergantung pada reaksi individual, maka hasil yang dilaporkan tidak mutlak. Untuk standard air bersih dan air minum ditetapkan oleh Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, yaitu tidak berbau dan tidak berasa (Depkes RI, 1997). 3. Warna Banyaknya air permukaan khususnya yang berasal dari rawa-rawa dan daerah pasang surut, seringkali bewarna. Warna pada air terjadi karena adanya zat-zat substansi yang terlarut dalam air, dimana zat-zat tersebut dapat terjadinya karena proses dekomposisi dalam berbagai tingkat, asam humus dan bahan yang berasal dari bahan humus serta dekomposisi lignin dianggap sebagai bahan yang memberi warna yang paling utama, demikian juga unsur besi yang berkaitan dengan zat organik dapat menghasilkan warna sedemikian tinggi, warna yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang tersuspensi dikatakan sebagai apparent colour yang berbahaya bagi tubuh
Universitas Sumatera Utara
manusia, sedangkan yang disebabkan oleh mikroorganisme atau kekentalan organis atau tumbuh-tumbuhan yang merupakan kolodial disebut sebagai true colour. Untuk mengukur tingkat warna digunakan satuan TCU (True colour Unit). Berdasarkan Permenkes RI No. 416 tahun 1990 tingkat warna untuk air bersih dianjurkan 15 TCU dan yang diperbolehkan 50 TCU (Depkes RI, 1997). 4. Zat Padat Terlarut Bahan padat adalah bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan pengeringan pada suhu 103ºC-105ºC. Kebanyakan bahan padat terdapat dalam bentuk terlarut (dissolved) dalam air yang berupa bahan-bahan kimia anorganik dan gas-gas yang terlarut. Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan daripada penyimpangan standart dari total solit (padatan terlarut) yakni akan mengakibatkan air tidak enak pada lidah, rasa mual terutama yang disebabkan oleh natrium sulfat dan magnesium sulfat, penyebab serangan jantung (cardiacdisease) serta dapat menyebabkan toxemia pada wanita hamil. Standar untuk zat padat terlarut ditetapkan oleh Permenkes No. 416 Tahun 1990, yaitu dianjurkan 500 mg/l dan diperbolehkan 1500 mg/l (Depkes RI, 1997). 5. Kekeruhan Kualitas air yang baik adalah jernih (bening) dan tidak keruh. Kekeruhan air disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi di dalam air yang menyebabkan air terlihat keruh, kotor, bahkan berlumpur. Bahan-bahan yang menyebabkan air keruh antara lain tanah liat, pasir dan lumpur. Air keruh bukan berarti tidak dapat diminum atau berbahaya bagi kesehatan. Namun, dari segi estetika, air keruh tidak layak atau tidak wajar untuk diminum.
Universitas Sumatera Utara
Kekeruhan pada air merupakan satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyediaan air bagi umum, mengingat bahwa kekeruhan tersebut akan mengurangi segi estetika, menyulitkan dalam usaha penyaringan dan akan mengurangi efektivitas usaha desinfeksi (Sutrisno, 2010). Tingkat kekeruhan air dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium dengan metode Turbidimeter. Untuk standar air bersih ditetapkan oleh Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, yakni kekeruhan yang dianjurkan 5 NTU (Nephelometric Turbidy Unit) dan yang diperbolehkan hanya 25 NTU (Depkes RI, 1997). 2.2.4. Persyaratan Kimia Menurut Slamet (2000), air yang baik adalah air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan antara lain Air raksa (Hg), Aluminium (Al), Arsen (As), Barium (Ba), Besi (Fe), Flourida (F), Kalsium (Ca), Derajat keasaman (pH) dan zat-zat kimia lainnya. Kandungan zat kimia dalam air bersih yang digunakan sehari-hari hendaknya tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan seperti tercantum dalam Permenkes RI No. 416 Tahun 1990. Penggunaan air yang mengandung bahan kimia beracun dan zat-zat kimia yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan berakibat tidak baik lagi bagi kesehatan dan material yang digunakan manusia, contohnya pH. Air yang baik sebaiknya bersifat netral yaitu tidak asam dan tidak basa untuk mencegah terjadinya pelarutan logam berat dan korosi jaringan distribusi air. Menurut Permenkes RI No. 416 tahun 1990, batas pH minimum dan maksimum untuk air bersih adalah 6,5-8,5. Khusus untuk air hujan, pH minimumnya adalah 5,5. Air merupakan pelarut yang
Universitas Sumatera Utara
baik sekali maka dengan dibantu dengan pH yang tidak netral dapat melarutkan berbagai elemen kimia yang dilaluinnya. 2.2.5. Persyaratan Radioaktif Warlina (2004) menyatakan bahwa tidak tertutup kemungkanan adanya pembuangan sisa zat radioaktif ke air lingkungan secara langsung. Ini dimungkinkan karena aplikasi teknologi nuklir yang menggunakan zat radioaktif pada berbagai bidang sudah banyak dikembangkan, sebagai contoh adalah aplikasi teknologi nuklir pada bidang pertanian, kedokteran, farmasi dan lain-lain. Adanya zat radioaktif dalam air lingkungan jelas sangat membahayakan bagi lingkungan dan manusia. Zat radioaktif dapat menimbulkan kerusakan biologis baik melalui efek langsung atau efek tertunda. Dari segi radioaktivitas, apapun bentuk radioaktivitas efeknya adalah sama, yakni menimbulkan kerusakan pada sel yang terpapar. Kerusakan dapat berupa kematian, dan perubahan komposisi genetik. Kematian sel dapat diganti kembali apabila sel dapat beregenerasi dan apabila tidak seluruh sel mati. Perubahan genetis dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker dan mutasi. 2.3. Pengolahan air bersih Air yang dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan karena air merupakan media paling baik untuk berkembangnya mikroorganisme. Pengolahan air untuk memperoleh air yang memenuhi persyaratan perlu dilakukan. Tahapan-tahapan dalam proses pengolahan air adalah penyimpanan, penyaringan dan klorinasi (Chandra, 2007). Air baku yang berupa air sungai, air hujan atau air tanah dialirkan ke dalam bak penampung dan disimpan. Air yang disimpan mengalami proses pemurnian
Universitas Sumatera Utara
secara alami yang meliputi proses fisika, kimia dan biologis. Secara fisika partikel terlarut dengan ukuran cukup besar akan mengendap dan terpisah dari air. Oksigen bebas dalam air digunakan oleh bakteri aerobik untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dan organisme patogen berangsur-angsur mati (Chandra, 2007). Penyaringan dilakukan untuk memisahkan partikel-partikel yang tidak terendapkan selama penyimpanan. Proses penyaringan ini melibatkan proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi. Koagulasi dilakukan dengan penambahan koagulan, misal alum [Al2(SO4)3]. Tujuan flokulasi adalah untuk memperbesar ukuran gumpalan yang terbentuk dengan cara memutar secara pelan. Sedangkan dalam proses sedimentasi terjadi pengendapan gumpalan yang juga mengikat bakteri. Penyaringan dilakukan untuk mengambil sisa-sisa partikel yang masih ikut dalam air (Chandra, 2007). Proses pembunuhan kuman atau disinfeksi disebut klorinasi karena yang dilakukan selama ini adalah penambahan senyawa klor, baik berupa gas klor, senyawa hipoklorit, klor dioksida, bromine klorida ataupun kloramin. Senyawa klor yang sering digunakan adalah kalsium hipoklorit (Chandra, 2007). 2.4. Besi (Fe) Besi atau ferrum adalah metal bewarna putih keperakan, liat dan dapat dibentuk. Unsur-unsur besi dalam air diperlukan untuk memenuhi akan unsur tersebut. Zat besi merupakan suatu unsur yang berguna untuk metabolisme tubuh. Untuk keperluan ini tubuh memerlukan 7-35 mg unsur tersebut perhari, yang tidak hanya di peroleh dari air (Sutrisno, 2010). Didalam air, Fe menimbulkan rasa, warna (kuning), pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan bakteri besi, dan kekeruhan.
Universitas Sumatera Utara
Besi (Fe) seperti juga cobalt dan nikel didalam susunan berkala unsur termasuk logam golongan VII, dengan berat atom 55,85, berat jenis 7,86 dan mempunyai titik lebur 24500 C. Dialam biasanya banyak terdapat didalam biji besi hematile,
magnetite,
limonite
dan
pyrite
(FeS),
sedangkan
didalam
air
umumnyadalam bentuk senyawa garam ferri atau garam ferro (valensi 2). Senyawa ferro yang sering dijumpai dalam air adalah FeO, FeSO4.7H2O, FeCO3, Fe(OH)2, FeCl2, dan lainnya, sedangkan senyawa ferri yang sering dijumpai yakni FePO4, Fe3O3, FeCl3, Fe(OH)3,dan lainnya. (Tatsumi, 1971). 2.4.1. Dampak Besi (Fe) terhadap Kesehatan Unsur besi merupakan unsur yang penting dan berguna untuk metabolisme tubuh. Setiap hari tubuh memerlukan unsur besi 7-35 mg/hari yang sebagian diperoleh dari air. Tetapi zat besi (Fe) yang melebihi dosis yang diperlukan oleh tubuh dapat menimbulkan masalah kesehatan. Depkes RI menetapkan kadar maksimum unsur besi terdapat dalam air minum adalah 0,3 mg/l (Sutrisno, 2010). Besi (Fe) dibutuhkan tubuh dalam pembentukan hemoglobin. Banyaknya besi dalam tubuh dikendalikan oleh fase adsorpsi. Tubuh manusia tidak dapat mengekskresikan besi (Fe), karenanya mereka yang sering mendapat transfusi darah, warna kulitnya menjadi hitam karena akumulasi Fe. Air minum yang mengandung besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis yang besar dapat merusak dinding usus. Kematian sering disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Kadar Fe yang lebih dari 1 mg/l akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam air melebihi 10 mg/l akan menyebabkan air berbau seperti telur busuk. Debu
Universitas Sumatera Utara
Fe juga dapat diakumulasi dalam alveoli dan menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru (Slamet, 2011). Hemokromatis merupakan penyakit akibat kelebihan zat besi. Biasanya penyakit ini memiliki tanda-tanda diantaranya kulit berwarna merah, kanker hati, diabetes, impotensi, kelelahan dan gangguan jantung. Seseorang yang telah mendapat penyakit tersebut akan lebih rentan terhadap serangan jantung, stroke, dan gangguan pembuluh darah (Widowati, 2008). Pada Hemokromatis primer besi yang diserap, disimpan dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh. Feritrin berada dalam keadaan jenuh akan besi sehingga kelebihan mineral ini akan disimpan dalam bentuk kompleks dengan mineral lain yaitu hemosiderin. Akibatnya terjadilah sirosis hati dan kerusakan pancreas sehingga menimbulkan diabetes. Hemokromatis sekunder terjadi karena transfusi yang berulang-ulang. Dalam keadaan ini besi masuk kedalam tubuh sebagai hemoglobin dari darah yang ditransfusikan dan kelebihan besi ini tidak disekresikan. 2.4.2. Teknologi Penurunan Kandungan Besi Pada Air Pengolahan air secara fisika yang mudah dilakukan adalah penyaringan, pengendapan dan absorpsi (Kusnaedi, 2010). Beberapa Metode yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar Fe dalam air adalah : a. Koagulasi Koagulasi merupakan proses penggumpalan melalui reaksi kimia. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai zat terlarut. Koagulan yang banyak digunakan adalah kapur, tawas dan kaporit.
Universitas Sumatera Utara
Pertimbangannya karena garam-garam seperti Ca, Fe dan Al bersifat tidak larut dalam air sehingga mampu mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa. b. Aerasi Aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapam O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses. Pemasukan oksigen ini bertujuan agar oksigen dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air olahan. Reaksi kation dan oksigen menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga dapat mengendap. c. Oksidasi dengan khlorine (khlorinisasi) Khlorin, CL2 dan ion hipokrit (OCL)- adalah merupakan oksidator yang kuat meklipun pada kondisi Ph rendah dan oksigen terlarut sedikit tetap dapat mengoksidasi dengan cepat. Untuk melakukan khlorinasi, chlorine dilarutkan dalam air yang jumlahnya diatur dengan melalui flowmeter atau dosimeter yang disebut khlorinator. Pemakaian kaporit atau kalsium hipoklorit untuk mengoksidasi atau menghilangkan Fe relatip mudah, karena kaporit berupa serbuk atau tablet yang mudah larut dalam air. d. Penghilangan Fe Dengan Cara Pertukaran Ion Penghilangan besi dan mangan dengan cara pertukaran ion yaitu dengan cara mengalirkan air baku yang mengandung Fe melalui suatu media penukaran ion. Sehingga Fe akan bereaksi dengan media penukaran ionnya. Sebagai media penukaran ion yang sering dipakai zeolite alami yang merupakan senyawa hydrous silikat aluminium dengan calsium dan natrium (Na).
Universitas Sumatera Utara
e. Penghilangan Fe dengan Mangan Zeolit Air baku yang mengandung besi dan mangan dialirkan melalui suatu filter beda yang media filternya terdiri dari mangan-zeolite (K2Z.MnO.Mn2O7). Mangan Zeolit berfungsi sebagai katalis dan pada waktu yang bersamaan besi yang ada dalam air teroksidasi menjadi bentuk ferri-oksida
yang tak larut dalam air.
Reaksi penghilangan besi mangan zeolite tidak sama denganp roses pertukaran ion, tetapi merupakan reaksi dari Fe2+ dengan oksida mangan tinggi (higher mangan oxide). Filtrat yang terjadi mengandung mengandung ferri-oksida dan mangan-dioksida yang tak larut dalam air dan dapat dipisahkan dengan pengendapan dan penyaringan. Selama proses berlangsung kemampunan reaksinya makin lama makin berkurang dan akhirnya menjadi jenuh. Untuk regenerasinya
dapat
dilakukan
dengan
menambahkan
larutan
kalium
permanganat kedalam zeolite yang telah jenuh tersebut sehingga akan terbentuk lagi mangan zeolit (K2Z.MnO.Mn2O7). f.
Filtrasi Penyaringan merupakan proses pemisahan antara padatan/koloid dengan cairan. Proses penyaringan bisa merupakan proses awal (primary treatment) atau penyaringan dari proses sebelumnya, misalnya penyaringan dari hasil koagulasi. Apabila air yang akan disaring berupa cairan yang mengandung butiran halus atau bahan-bahan yang larut sebelum proses penyaringan sebaiknya dilakukan proses koagulasi atau netralisasi yang menghasilkan endapan. Dengan demikian bahan-bahan tersebut dapat dipisahkan dengan filtrasi (Kusnaedi, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses penjernihan air minum diketahui dua macam filter, yaitu saringan pasir lambat ( slow sand filter) dan saringan pasir cepat (rapid sand filter). 1). Saringan Pasir Lambat ( slow sand filter) Saringan pasir lambat dapat digunakan untuk menyaring air keruh ataupun air kotor. Saringan pasir lambat sangat cocok untuk komunitas skala kecil atau skala rumah tangga. Hal ini tidak lain karena debit air bersih yang dihasilkan relatif kecil. Ada dua jenis proses penyaringan yang terjadi pada saringan pasir lambat, yakni secara fisika dan secara biologi. Partikel-partikel yang ada dalam sumber air yang keruh secara fisik akan tertahan oleh lapisan pasir, disisi lain, bakteri-bakteri dari genus pseudomonas dan trichoderma akan tumbuh dan berkembang biak. Saat proses filtrasi pathogen yang tertahan oleh saringan akan dimusnahkan oleh bakteri tersebut. Secara berkala pasir dan kerikil harus dibersihkan, hal ini untuk menjaga kualitas air bersih yang dihasilkan selalu terjaga dan yang terpenting adalah tidak terjadi penumpukan patogen/kuman pada saringan. Untuk disenfeksi kuman dalam air dapat digunakan berbagai cara seperti brominasi, ozonisasi, penyinaran ultraviolet ataupun menggunakan aktif karbon (Aimyaya, 2009). 2). Saringan Pasir Cepat ( rapid sand filter) Merupakan saringan air yang dapat menghasilkan debit air hasil penyaringan yang lebih banyak daripada saringan pasir lambat. Walaupun demikian, saringan ini kurang efektif untuk mengatasi bau dan rasa yang ada pada air yang disaring. Secara umum bahan lapisan saringan pasir cepat sama dengan pasir lambat yakni pasir, kerikil dan batu. Perbedaan yang terlihat jelas adalah
Universitas Sumatera Utara
pada arah aliran air ketika penyaringan. Saringan pasir lambat arah aliran airnya dari atas kebawah, sedangkan pada saringan pasir cepat dari bawah keatas (up flow). Selain itu saringan pasir cepat umumnya dapat melakukan backwash atau pencucian saringan tanpa membongkar saringan (Aimyaya, 2009). 2.4.3. Proses Pengolahan Air Dengan Filter Karbon Aktif Penyaringan dengan karbon aktif adalah penyaringan dengan menggunakan karbon aktif sebagai media absorpsi yang merupakan proses penyerapan bahanbahan tertentu. Dengan penyerapan tersebut air menjadi jernih karena zat-zat didalamnya diikat oleh absorben. Media filter yang digunakan adalah pasir, kerikil, dan karbon aktif. Pengisian media filter kedalam saringan atau filter adalah sebagai berikut : lapisan paling bawah yakni kerikil (diameter 5-10mm) dengan ketebalan 10-15 cm. Di atas lapisan kerikil adalah lapisan pasir dengan ketebalan 20 cm , dan diatas lapisan pasir adalah lapisan karbon aktif dengan ketebalan 45-60 cm. Pengisian diusahakan agar merata dan lebih baik lagi sebelum dimasukkan kedalam filter media filter dicuci terlebih dahulu. Sedangkan ketebalan lapisan media filter yang efektif umumnya berkisar 80-120 cm (Asmadi, 2011). Absorpsi dalah proses dimana suatu partikel terperangkap kedalam suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Karbon aktif memiliki pori-pori yang sangat banyak yang berguna untuk menangkap partikel partikel (molekul) dan menjebaknya disana (Puspita, 2008). Digunakan karbon aktif
Universitas Sumatera Utara
karena berfungsi menghilangkan zat organik, bau, rasa serta polutan mikro lainnya, ( Said, 2005). Dengan mengkombinasikanya bersama pasir dapat menurunkan Fe sampai 92,57% ( Ridwan, 2005). 2.5. Tanaman Durian (Durio zibethinus) Durian atau Durio zibethinus adalah nama tumbuhan tropik yang berasal dari asia tenggara sekaligus nama buahnya yang biasa dimakan. Nama ini diambil dari ciri khas kulit buahnya yang keras dan berlekuk-lekuk tajam sehingga menyerupai duri. Varian namanya yang juga populer adalah duren. Orang-orang menyebutnya kadu. Tanaman durian banyak tumbuh di hutan-hutan yang memiliki ketinggian kurang dari 800 m diatas permukaan laut, jenis tanah yang gembur, dan kedalaman lapisan tanah atas lebih dari 1 meter. Tanaman durian banyak diperbanyak secara generatif (biji) atau secara vegetatif (misalnya okulasi, sambung, dan susun). (Kanisius, 1997) Kulit durian
mengandung unsur selulose yang tinggi (50-60 %) dan
kandungan lignin (5 %) serta kandungan pati yang rendah (5 %). Hasil utama tanaman durian ialah buahnya (Fadli, 2010). Produksi buah durian terbanyak menurut provinsi per tahun adalah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah produksi 128.803 ton, diikuti Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah masing-masing dengan jumlah produksi 91.097 ton, 91.078 ton dan 65.019 ton, sementara total produksi buah durian di Indonesia adalah 682.323 ton. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagai daerah yang banyak memproduksi buah durian, berarti banyak pula sampah biji dan kulit durian yang dihasilkan.
Universitas Sumatera Utara
Tanaman durian memberikan beberapa manfaat dan hasil ikutan, antara lain sebagai berikut. 1. Tanaman durian dapat dimanfaatkan sebagai pencegah erosi di lahan-lahan miring, terutama tanah yang miring ke timur karena intensitas sinar matahari pagi yang diterima akan lebih banyak. Perakaran durian akan mencengkram lapisan tanah atas sehingga tanah tersebut terbebas dari erosi. Adapun sisa-sisa tanaman akan tertahan oleh batang-batang durian sehingga dapat menyuburkan tanah. 2. Batang durian dapat digunakan untuk bahan bangunan atau perkakas rumah tangga. Kendati tidak termasuk kelas istimewa kayu durian dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Kulit durian setaraf dengan kayu sengon sebab kayu durian cenderung lurus. Disamping itu, kayu durian bisa diolah menjadi kayu lapis olahan dan mudah dibubut serta dibentuk menjadi perkakas rumah tangga, seperti rak gelas dan piring, sendok nasi, alu, lumpang, dan lain-lain. 3. Biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai alternatif pengganti bahan makanan. Biji durian sebagai bahan makanan memang belum dimasyarakatkan di Indonesia. Di Thailand, biji duria sudah cukup memasyarakat untuk dibuat bubur dengan cara diberi campuran daging buahnya. Bubur biji durian ini menghasilkan kalori yang cukup potenisal bagi manusia. 4. Kulit durian dapat dipakai sebagai bahan baku abu gosok dan briket yang bagus. Caranya adalah dengan dijemur sampai kering, kemudian dibakar sampai hancur. Lalu dibentuk menjadi briket. Untuk menjadi abu gosok, harus dibakar hingga menjadi abu, kemudian abu itu dipakai untuk mencuci piring dan gelas. Abu ini
Universitas Sumatera Utara
juga dapat digunakan sebagai media tanaman di dalam pot, baik tanaman indoor maupun bunga-bungaan (Kanisius, 1997). Kulit durian adalah salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan kembali, dengan membuatnya menjadi briket. Menurut penelitian Samsudin, Anis (2006) dapat diketahui bahwa briket kulit durian mempunyai nilai kalor diatas nilai kalor briket arang kayu, yaitu 5.010 kal/gr. Beberapa keunggulan briket kulit durian adalah nilai kalorinya relatif tinggi, tak berbau, tidak bersifat polutan, tidak menghasilkan gas SO, dan bisa langsung menyala jika digunakan sebagai bahan bakar (Green Action, 2009) 2.6. Karbon Aktif Arang adalah padatan berpori yang terdiri dari karbon yang berbentuk amorf (Silalahi, 1996). Arang aktif adalah sejenis adsorben (penyerap) yang berwarna hitam dan berbentuk granula, bulat, pelet atau bubuk. Sumber arang aktif antara lain kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras dan batubara (Sembiring, 2003). Arang aktif dipakai dalam proses pemurnian udara, gas, larutan, penyerap rasa dan bau dari air, menghilangkan senyawa-senyawa organik dalam air. Hanya dengan 1 g arang aktif akan didapatkan suatu material yang memiliki luas permukaan sekitar 500 m2. Dengan luas permukaan yang sangat besar, arang aktif memiliki kemampuan menyerap zat-zat yang terkandung dalam air dan sangat efektif dalam menyerap zat terlarut dalam air baik organik maupun anorganik (Kusnaedi, 2010). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang dilakukan aktivasi dengan bahan-bahan
Universitas Sumatera Utara
kimia atau dengan pemanasan pada suhu tinggi sehingga akan mengalami perubahan sifat-sifat fisik dan kimia. Beberapa keuntungan arang aktif dibandingkan dengan adsorben – adsorben lain yaitu: a. Penyerapan yang dilakukan untuk proses pemisahan dan pemurnian umumnya tanpa terlebih dahulu melakukan penghilangan kelembapan. b. Karena luasnya untuk mencapai permukaan bagian dalam dapat menyerap dengan banyak molekul non polar. c. Panas adsorpsi atau kekuatan ikatan, pada arang aktif lebih rendah dibandingkan penyerap yang lain karena kekuatan Vander Waals merupakan kekuatan utama dalam adsorpsi sehingga pelepasan molekul–molekul yang terserap relatif lebih mudah (Ralph, 2003). Menurut Silalahi (1996), proses pembuatan arang dibagi atas 4 (empat) tahapan sebagai berikut : 1. Pada permulaan pemanasan, air menguap, kemudian selulosa terurai pada suhu antara 200-2600C. 2. Pada suhu 260-3100C selulosa terurai secara intensif, pada tingkatan ini banyak 3. dihasilkan cairan piroligneous, gas, dan ter. 4. Pada suhu 310-5000C lignin terurai dan ter yang dibentuk lebih banyak, sedangkan cairan piroligneous dan gas menurun. 5. Pada suhu lebih besar dari 5000C, diperoleh gas hidrogen yang sukar dikondensasikan dan tahapan ini merupakan proses pemurnian arang. Arang dapat dibedakan menurut penggunaannya dan jenisnya, sebagai berikut (Kusnaedi, 2010) :
Universitas Sumatera Utara
1. Bentuk Sebuk Karbon aktif berbentuk serbuk dengan ukuran lebih keci dari 0,18 mm. Karbon aktif ini digunakan dalam aplikasi fase cair dan gas. Umumnya karbon aktif jenis
ini dimanfaatkan pada indrustri pengolahan air minum , industri farmasi,
terutama untuk pemurnian monosodium glutamat, bahan tambahan makanan, penghilang warna asam furan, pengolahan pemurnian jus buah, penghalus gula, pemurnian asam sitrat, asam tartarat, pemurnian glukosa, dan pengolahan zat pewarna kadar tinggi. 2. Bentuk Granula Karbon aktif bentuk granula/tidak beraturan dengan ukuran 0,2-5mm. Jenis ini umumnya digunakan dalam aplikasi fase cair dan gas. Beberapa penggunaan dari karbon aktif ini adalah untuk pemurnian emas, pengolahan air, air limbah dan air tanah, pemurniaan pelarut, dan penghilang bau busuk. 3. Bentuk Pelet Karbon aktif berbentuk pelet dengan diameter 0,8-5 mm. Kegunaannya adalah untuk aplikasi gas karena mempunyai tekanan rendah, kekuatan mekenik tinggi, dan kadar abu rendah. Karbon aktif bentuk pelet ini biasa digunakan untu pemurniaan udara, kontrol emisi, tromol otomotif, penghilang bau kotoran, dan pengontrol emisi pada gas buang. Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap. Dalam hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorpsi, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Sifat Adsorben Arang aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-masing berkaitan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar. Selain komposisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif mengakibatkan semakin luas besar. Dengan demikian kecepatan adsorbsi bertambah.
Untuk
meningkatkan
kecepatan
adsorbsi,
dianjurkan
agar
menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Jumlah atau dosis arang aktif yang digunakan juga harus diperhatikan. 2. Sifat Serapan Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh arang aktif, tetapi kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Adsorbsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul serapan dari struktur yang sama, seperti deret homolog. Adsorbsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan. 3. Temperatur Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk mengamati temperatur pada saat berlangsungnya proses. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsorbsi adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan. Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan pada titik didihnya.Untuk
Universitas Sumatera Utara
senyawa volatile, adsorbsi dilakukan pada temperatur kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih rendah. 4. pH (Derajat Keasaman) Untuk asam-asam organik, adsorbsi akan meningkat bila pH diturunkan, yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorbsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam. 5. Waktu Kontak Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada partikel arang aktif untuk bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama. Semakin lama waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat organik dan logam dalam air akan turun apabila kontaknya cukup. Waktu kontak biasanya sekitar 10-15 menit (Sembiring, 2003) 2.6.1. Pembuatan Karbon Aktif 1. Metode Tradisional Pembuatan karbon aktif dengan metode tradisional sangat sederhana yaitu dengan menggunakan drum atau lubang bawah tanah dengan cara pengolahan sebagai berikut. Bahan yang hendak dibakar dimasukkan ke dalam drum yang terbuat dari
Universitas Sumatera Utara
pelat besi atau lubang yang yang telah disiapkan, kemudian dinyalakan sehingga terbakar. Pada saat pembakaran drum atau lubang ditutup sehingga hanya ventilasi yang dibiarkan terbuka, untuk sebagai jalan keluarnya asap, ketika asap yang keluar sudah berwarna kebiru-biruan, ventilasi ditutup dan dibiarkan selama lebih kurang 12 jam. Setelah itu dengan hati-hati tutup drum dibuka dan dicek apakah masih ada bara yang menyala jika masih ada tutup drum ditutup kembali, tidak dibenarkan menggunakan air untuk mematikan bara yang sedang menyala karena dapat menurunkan kualitas karbon yang dihasilkan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 1994). Pembuatan karbon aktif dengan metode ini biasanya menghasilkan keaktifan yang rendah bahkan dibawah keaktifan menurut standar industri Indonesia (SII), hal ini disebabkan proses pembentukan karbon aktif tidak memungkinkan terbentuknya pori-pori dengan baik. Pada saat pembakaran, residu-residu yang ada pada bahan dasar berupa senyawa-senyawa hidrokarbon ikut terbakar tetapi masih ada tersisa dan tetap masih melekat pada karbon tersebut, residu yang terbakar ini menutupi pori-pori karbon sehingga menurunkan kualitasnya (Sudrajat, 1993) 2. Metode yang diperbaharui Metode pembuatan karbon aktif yang diperbaharui dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap pengarangan (karbonisasi) dan tahap pengaktifan (aktivasi), dalam metode ini bahan baku dipanaskan dengan jumlah udara seminimal mungkin agar rendemen yang dihasilkan cukup besar. Hasil yang diperoleh dengan metode ini
Universitas Sumatera Utara
berupa karbon yang memberi keaktifan dan rendemen yang cukup besar (Supeno, 1990). Pada proses pengaktifan terjadi pemecahan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul pada permukaan karbon sehingga pori-pori atau 1uas permukaan menjadi lebih besar.Metode pengaktifan yang umum digunakan dalam pembuatan karbon aktif ada dua cara, yaitu pengaktifan secara kimia dan pengaktifan secara fisika (Sembiring, 2003). 2.6.2. Proses Aktivasi Karbon Aktif 1. Proses Kimia Bahan baku dicampur dengan bahan-bahan kimia tertentu, kemudian dibuat padat. Selanjutnya padatan tersebut dibentuk menjadi batangan yang dikeringkan serta dipotong-potong. Aktivasi dilakukan pada temperatur 100 ºC. Arang aktif yang dihasilkan, dicuci dengan air selanjutnya dikeringkan pada temperatur 300 ºC. dengan proses kimia, bahan baku dapat dikarbonisasi terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan bahan-bahan kimia. 4. Proses Fisika Bahan baku terlebih dahulu dibuat arang. Selanjutnya arang tersebut digiling, diayak untuk selanjutnya diaktivasi dengan cara pemanasan pada temperatur 1000 ºC yang disertai dengan pengaliran uap. Proses fisika banyak digunakan dalam aktivasi arang antara lain : a. Proses Briket yaitu bahan baku atau arang terlebih dahulu dibuat briket, dengan cara mencampurkan bahan baku atau arang halus dengan ter. Kemudian, briket yang dihasilkan dikeringkan pada 550 ºC untuk selanjutnya diaktivasi dengan uap.
Universitas Sumatera Utara
b. Destilasi kering yaitu merupakan suatu proses penguraian suatu bahan akibat adanya pemanasan pada temperatur tinggi dalam keadaan sedikit maupun tanpa udara. Hasil yang diperoleh berupa residu yaitu arang dan destilat yang terdiri dari campuran methanol dan asam asetat. Residu yang dihasilkan bukan merupakan karbon murni, tetapi masih mengandung abu dan ter. Hasil yang diperoleh seperti methanol, asam asetat dan arang tergantung pada bahan baku yang digunakan dan metoda destilasi (Sembiring, 2003). Diharapkan daya serap arang aktif yang dihasilkan dapat menyerupai atau lebih baik dari pada daya serap arang aktif yang diaktifkan dengan menyertakan bahan-bahan kimia. Dengan cara ini, pencemaran lingkungan sebagai akibat adanya penguraian senyawa-senyawa kimia dari bahan-bahan pada saat proses pengarangan dapat dihindari. Selain itu, dapat dihasilkan asap cair sebagai hasil pengembunan uap hasil penguraian senyawa-senyawa organik dari bahan baku. Menurut Hawley dalam Sembiring (2003), ada empat hal yang dapat dijadikan batasan dari penguraian komponen kayu yang terjadi karena pemanasan pada proses destilasi kering, yaitu : 1. Batasan A adalah suhu pemanasan sampai 200 ºC. Air yang terkandung dalam bahan baku keluar menjadi uap, sehingga kayu menjadi kering, retak-retak dan bengkok. Kandungan karbon lebih kurang 60 %. 2. Batasan B adalah suhu pemanasan antara 200-280 ºC. Kayu secara perlahan-lahan menjadi arang dan destilat mulai dihasilkan. Warna arang menjadi coklat gelap serta kandungan karbonnya lebih kurang 70 %.
Universitas Sumatera Utara
3. Batasan C adalah suhu pemanasan antara 280-500 ºC. Pada suhu ini akan terjadi karbonisasi selulosa, penguraian lignin dan menghasilkan ter. Arang yang terbentuk berwarna hitam serta kandungan karbonnya meningkat menjadi 80 %. Proses pengarangan secara praktis berhenti pada suhu 400 ºC. 4. Batasan D adalah suhu pemanasan 500 ºC, terjadi proses pemurnian arang, dimana pembentukan ter masih terus berlangsung. Kadar karbon akan meningkat mencapai 90 %. Pemanasan di atas 700 ºC, hanya menghasilkan gas hidrogen. Namun Cheremisinoff dan A. C. Moressi (1978) dalam Sembiring (2003) mengemukakan secara umum dan sederhana proses pembuatan arang aktif terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1. Dehidrasi yaitu proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170 ºC. 2. Karbonisasi yaitu pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu di atas 170 ºC akan menghasilkan CO, CO2 asam asetat. Pada suhu 275 ºC, dekomposisi menghasilkan ter, methanol dan hasil samping lainnya. Pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400-600 ºC. 3. Aktivasi yaitu dekomposisi ter dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktivator. Proses aktifasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud dengan aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan
Universitas Sumatera Utara
sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorbsi. Metode aktifasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif adalah (Rajagukguk, 2011) : 1. Aktifasi Kimia Aktifasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia. Aktifator yang digunakan adalah bahanbahan kimia seperti hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat,klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4 . 2. Aktifasi Fisika Aktifasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2. Umumnya arang dipanaskan di dalam tanur pada temperatur 800-900 ºC. Oksidasi dengan udara pada temperatur rendah merupakan reaksi isotherm sehingga sulit untuk mengontrolnya. Sedangkan pemanasan dengan uap atau CO2. Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap pada temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep Penyaringan Dengan Ketebalan Berbagai Lapisan Briket Kulit Durian 1. 45 cm 2. 50 cm 3. 55 cm 4. 60 cm
Kadar Besi (Fe) Sesudah Perlakuan
Kadar Besi (Fe) Sebelum Pelakuan
Memenuhi Syarat (Permenkes RI No. 416 tahun 1990)
Tidak Memenuhi Syarat (Permenkes RI No. 416 tahun 1990)
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara